Sabtu, 24 Oktober 2015

Perspektif Teori RUH dalam memecahkan permasalahan Bangsa Indonesia

Teori RUH adalah sebuah teori motivasi yang bersifat holistik-dinamik-integratif.  Menurut teori RUH, kekuatan motivasi terbentuk dari tiga unsur, yaitu “Risk avoidance”, “Uncertainty tolerance”, dan “Hope reliance”. Suatu situasi atau kondisi akan menimbulkan motivasi ketika mengandung ketiga unsur tersebut (memiliki RUH). Pada tataran permukaan situasi atau kondisi yang dapat menimbulkan motivasi tersebut adalah situasi dan kondisi yang mengandung tantangan (“challenge”), peluang (“incentive”), kebebasan untuk memilih (“freedom to choose”), dan kebermaknaan (“meaning”). Adapun pada level motif, setiap perilaku manusia akan diabdikan atau diandalkan pada sesuatu yang disebut sebagai “anchors”, yaitu diri sendiri, orang lain, materi, ilmu atau “virtues”, dan Tuhan sebagai “the ultimate anchor”.

Bangsa Indonesia jika dilihat dari perspektif Teori RUH, mengalami kompleks motivasional yang cukup parah, yaitu perpaduan antara “psychological state of learned helplessness”, “fatalism” dan sekaligus “comfort zone”.  Masyarakat miskin yang masih signifikan jumlahnya di Indonesia adalah masyarakat yang terpojok dalam kondisi yang membuat mereka berada dalam “psychological state of learned helplessness”. Di sisi lain religiusitas bangsa Indonesia yang sedemikian dibangga-banggakan sebenarnya memiliki karakteristik yang cenderung berada pada “psychological state” yang fatalistik.  Sementara itu para pemimpin dan pejabat serta masyarakat kelas atas (kaum elit) bangsa Indonesia dimanjakan dalam kemewahan yang membuat mereka berada pada “psychological state of comfort zone”, yang cirinya antara lain adalah sikap mementingkan diri sendiri. Hanya sedikit dari masyarakat Indonesia yang berada dalam “psychological state of optimum opportunity” maupun “optimum challenge”.

Hukum di Indonesia memiliki karakteristik yang “unfavorable” dari dua sisi.  Di satu sisi tidak tegas, sehingga masyarakat tidak merasa takut untuk melanggar aturan.  Di sisi lain hukum di Indonesia tidak menunjukkan keadilan, yang ditandai dengan merebaknya mafia peradilan, makelar kasus dan sebagainya. Hal ini menunjukkan bahwa “socio-structural force” tidak berdaya dalam masyarakat Indonesia. Ketakberdayaan “socio-structural force” ini memicu anarki di mana-mana.  

Pada sisi lain, masyarakat cenderung apatis terhadap hukum dan keadilan di Indonesia, karena sudah kehilangan RUH, yaitu tak menunjukkan risiko yang jelas dan tegas yang seharusnya memotivasi orang untuk menghindarinya, sekaligus tidak memberikan harapan yang meyakinkan untuk tercapainya keadilan. Dalam dinamika “strength of the force”, kondisi ini termasuk dalam “psychological state” dengan “optimum uncertainty” atau fatalistik, sehingga melumpuhkan motivasi kebangsaan dan melunturkan patriotisme. Padahal patriotisme sebagai motivasi kebangsaan adalah sesuatu yang sangat diperlukan dalam mendorong suatu bangsa untuk maju.

Untuk memulihkan motivasi kebangsaan pada masyarakat Indonesia, dibutuhkan reformasi motivasional yang serius dan mencakup strategi dalam politik, hukum, pendidikan, dan perekonomian. Formula yang ditawarkan Teori RUH mencakup dua prinsip, yaitu menekan gelombang materialisme dengan memperkuat spiritualitas yang memiliki makna meluruskan “anchor” kembali pada prinsip-prinsip ilahiah – dalam istilah Covey (1989) disebut sebagai “restroring character ethic”. Kemudian, strategi yang ke dua adalah mengembalikan RUH dari “socio-structural forces”, yang mencakup hukum, pendidikan dan ekonomi. 
Dalam bidang hukum, perlu ada kemauan politik yang tegas untuk melakukan reformasi hukum yang signifikan demi tegaknya hukum yang memiliki “socio-structural force” yang kuat, dengan ciri ketegasan (“risk”) dan keadilan (“hope”).  Untuk dapat melakukan ini memang diperlukan kepemimpinan nasional yang kuat, yang memiliki integritas tinggi, dan tidak hanya berorientasi pada mempertahankan kekuasaan.  Sikap politik yang tegas ini telah ditunjukkan oleh China, Singapura, dan Malaysia, dengan berbagai risikonya, namun berhasil mengangkat bangsa yang bersangkutan kepada kemajuan yang signifikan.

Dalam bidang pendidikan kebangsaan, patriotisme, atau dalam konteks bangsa Indonesia dikenal sebagai “semangat 45” atau “semangat kaum pergerakan”, perlu dipikirkan dan didesain secara serius sebagai proses pengembangan karakter bangsa. Selama ini pendidikan patriotisme hanya berhenti pada slogan-slogan, dan tidak jarang dimanfaatkan sebagai alat untuk memperebutkan dan melanggengkan kekuasaan. Di samping itu, bangsa Indonesia telah lama dinina-bobokkan dengan slogan ”tanah yang subur makmur, gemah ripah loh jinawi”. Secara psikologis perspektif tersebut telah membuat bangsa Indonesia pada “psychological state V”, atau merasa berada dalam “comfort zone”. 

Untuk dapat maju dan meningkatkan daya saing, bangsa Indonesia memerlukan “challenge” yang signifikan. Isu “Batik” dan lagu ”Rasa Sayange” yang ”diaku-aku” oleh bangsa lain telah memberikan ”cubitan” untuk menumbuhkan patriotisme. Namun sayang, sifatnya hanya impulsif dan sporadis, sehingga tidak memberikan dampak motivasional yang luas dan bertahan lama.  Yang lebih memprihatinkan lagi adalah menurunnya makna patriotisme di kalangan generasi muda Indonesia, sehingga ke-Indonesia-an menjadi hambar dan kehilangan ”meaning”, padahal patriotisme adalah sesuatu yang sangat penting dalam menumbuhkan motivasi kebangsaan untuk maju.

Sebagai perbandingan, hal ini sangat kontras dengan Jepang, misalnya, yang selalu meng-”indoktrinasi” rakyatnya bahwa Jepang tak punya apa-apa kecuali sumber daya manusia. Sementara Amerika memiliki doktrin dalam pendidikan kebangsaannya bahwa begitu seseorang menginjak dewasa maka dia harus mandiri, ”on their own”, sehingga sejak menginjak dewasa bangsa Amerika sudah terlatih untuk mengandalkan diri sendiri (“self-reliance”), suatu “positioning” yang menuntut perjuangan untuk bertahan hidup dan bersaing serta sukses dalam berbaur dengan masyarakatnya.

Dengan pertimbangan tersebut di atas, maka perlu desain nasional untuk memperhatikan unsur ”meaning”, ”challenge”, dan ”incentive” dalam pendidikan kebangsaan atau dalam membangun semangat patriotisme ke-Indonesia-an.  Kita dapat belajar dari Amerika yang telah berhasil menanamkan kebanggaan nasionalnya dengan jargon ”this is a free country”. Jargon ini telah berhasil diresapi sampai pada tingkat anak-anak SD, bahkan tidak hanya di kalangan kulit putih, tetapi juga di kalangan para imigran dari Asia maupun benua lainnya.  Jepang, telah diakui dunia sebagai negara yang kuat budaya tradisionalnya tetapi sekaligus canggih dalam teknologinya. 

Dalam bidang pendidikan formal, fenomena Ujian Nasional seperti yang diterapkan pemerintah hingga era 2010-an adalah sebuah contoh buruk yang merusak pilar-pilar pendidikan. Secara motivasional sistem UN tersebut telah memojokkan anak didik, guru dan orang tua pada sudut yang mengarah pada “psychological state I”, yaitu “learned helplessness”. Hal ini disebabkan karena UN memiliki “positioning” yang sangat “hegemonik” sebagai penentu nasib anak didik (“very high risk”), tanpa peduli prestasi anak didik di luar UN (“low opportunity and hope”). Ke”misterius”an soal dan ketidaksesuaian soal dengan apa yang diajarkan oleh guru di kelas juga menjadi sumber kecemasan yang “melumpuhkan” guru, orengtua, dan anak didik sehingga mereka yang seharusnya menjadi contoh bagi integritas menjadi terpaksa melakukan kecurangan-kecurangan untuk menyelamat-kan diri masing-masing.

Untuk memperbaiki sistem UN agar dapat berfungsi seperti yang diharapkan, perlu ditambahkan dosis dari unsur “hope”nya, misalnya dalam bentuk kesempatan yang lebih terbuka untuk dapat berhasil dengan jujur dan dengan belajar secara wajar. Untuk itu pemerintah, dalam hal ini departemen pendidikan nasional perlu belajar pada sistem SAT di Amerika, yang memadukan antara standardisasi kualitas, dengan kesempatan belajar secara wajar dan jujur. SAT sebagai ujian standard kompetensi adalah prasyarat bagi seorang lulusan SMA untuk melanjutkan ke perguruan tinggi. Mereka yang belum lulus SAT tidak akan diterima di perguruan tinggi. Namun demikian, soal-soal SAT tidaklah misterius karena dapat dipelajari, dan siswa dapat mengituti tes SAT kapan saja mereka siap. Jika gagal mereka boleh mengulanginya sampai akhirnya lulus.

Dalam bidang ekonomi perlu kebijakan yang berani dengan mengandalkan kekuatan dalam negeri. “Anchor” dari pembangunan ekonomi perlu digeser dari ketergantungan pada pihak luar negeri (“other”) menjadi perekonomian yang mandiri (“self”). Tentu saja kemandirian ekonomi ini tidak berarti asal anti modal asing tetapi juga didasarkan pada prinsip-prinsip ilmu ekonomi (“virtues”) yang tepat budaya dan mengakar pada bangsa Indonesia. Misalnya saja konsep perekonomian yang digagas oleh Bapak Bangsa Mohammad Hatta, yaitu sistem koperasi. Secara psikologis kebijakan yang mengakar pada kemandirian bangsa ini akan lebih mendorong motivasi kebangsaan atau patriotisme, yang memiliki RUH. Risiko dan “uncertainty” akan dirasakan, namun “hope” juga akan tinggi.  Perlu diingat bahwa pada masa krisis ekonomi 1997, perusahaan-perusahaan kecil menengah, yang notabene lebih mengakar dan mandiri, adalah sektor yang bukan hanya selamat dari krisis, tetapi justru berkembang pesat.  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar