Rabu, 14 Oktober 2015

Rahasia Kandungan Surat Al Fatihah

Subhanallah, Ternyata Inilah Rahasia Kandungan Surat Al Fatihah (Bagian ke-1)

Posted on 14/10/2015 by Ayat Al Akrash in Al-Quran

Oleh : Ust. Nouman Ali Khan


Ilustrasi. (Foto : labibahqotrunnada.tumblr.com)

Syahida.com –  Kita akan membicarakan tentang surat Al Fatihah, ini adalah topik yang saya pilih sendiri. 
Saya bersyukur karena bisa diberi kebebasan untuk memilih topik yang akan dibicarakan. Dan saya memilih untuk membahas surat Al Fatihah dengan Anda semua. 
Mungkin ada yang penasaran, kenapa membahas Surat Al Fatihah butuh waktu 3 jam? Rasa penasaran itu akan segera terjawab sebentar lagi.

Saya akan berbagi dengan Anda tentang Surat Al Fatihah. 
Semoga ini dapat memberi pemahaman tentang bagaimana memahami isi Al Qur’an dengan cara yang agak berbeda, dengan menaruh perhatian lebih dari seperti yang biasanya kita lakukan.

Alhamdulillahirabbil’alamin, Ayat Pertama Dalam Surat Al Fatihah

Alhamdulillah, surat yang paling indah dalam Al Quran adalah surat yang pertama. 
Ini adalah surat pertama yang diturunkan secara lengkap. 
Banyak diantara Anda yang sudah tahu bahwa Iqra bismirabbika ladzi halaq adalah wahyu yang pertama. 
Tapi itu hanya sebagian surat, tidak diturunkan satu surat secara lengkap.
 Al-Fatihah adalah surat pertama yang diturunkan dengan lengkap kepada Rasulullah SAW. Ada sedikit perbedaan pendapat, apa ayat pertama Surat Al-Fatihah?
 Ada yang yakin bahwa ayat pertama Al-Fatihah adalah bismillaahirrahmaanirrahiim. 
Ulama lain meyakini bahwa ayat pertama adalah Alhamdulillahirabbil’alamin. 
Ada perbedaan di sini.

Malam ini kita tak punya waktu untuk mendiskusikan perbedaan itu. 
Dan karena keterbatasan waktu juga, jika ayat 1 saya anggap adalah bismillahirrahmaanirrahiim, kita akan di sini membahas bismillaahirrahmanirrahiim saja malam ini. 
Maka saya langsung saja beritahu pendapat yang saya yakini lebih meyakinkan, 
yaitu Al-Fatihah dimulai dari Alhamdulillahirabbil’alamin. 
Dan saya pun sangat menghormati mereka yang berpendapat lain. 
Menurut saya, ada beberapa pertanda kuat dari Al-Quran dan Hadits Rasulullah SAW, bahwa Al-Fatihah


Ilustrasi. (Foto : m-u-so-m.tumblr.com)

dimulai dari Alhamdulillahirabbil’alamin. 
Contohnya, pada hadits qudsi yang sudah sering didengar, jika kamu pernah membaca penjelasan Al Qur’an dari ulama terdahulu, mereka akan menyebutkan Hadits ini ketika mereka menjelaskan Al-Fatihah. Haditsnya sering kita dengar, “Aku membagi doa hamba-Ku menjadi 2 bagian.” Kemudian haditsnya menyebutkan keseluruhan Al-Fatihah, tapi di hadits itu tidak dimulai dari Bismillahirrahmanirrahiim. Bunyi haditsnya adalah dimulai dengan: “Ketika hamba-Ku mengatakan Alhamdulillahirrabil’alamin…(kemudian berlanjut terus).., yang berarti, ini cukup membuat saya yakin Al-Fatihah dimulai dari Alhamdulillahirabbil’alamin.. Wallahu ta’ala. Dari sinilah kita akan memulai.

Frase pertama, Alhamdulillah

Frase pertama dari Al-Fatihah adalah yang sering sekali diucapkan oleh muslim. Bunyinya adalah “Alhamdulillah”. Kita sering sekali menggunakan di percakapan sehari-hari, ketika saling bertemu, kamu bertanya apa kabarnya. Dan kemudian mereka langsung menjawab, “Alhamdulillah”. Frase ini akan lebih kita perdalam. Apa yang saya pikirkan adalah bahasanya. Bukan hanya apa yang Allah katakan, tapi juga bagaimana cara Allah mengatakannya, ketimbang bentuk lain pengucapannya.

Terjemahan dari Alhamdulillah biasanya adalah, “Segala puji bagi Allah” atau “Terima kasih Allah”. Ini terjemahan yang cukup menarik. Banyak terjemahannya adalah “Segala puji bagi Allah atau Terima kasih Allah”.

Dua Arti Kata “Hamd”, Pujian dan Terima kasih. Apa Bedanya?

Saya akan mulai dengan kata ‘Hamd’, yang dalam Bahasa Arab memiliki 2 arti. Saya ingin semua yang membaca di sini mengingatnya. Kata ‘Hamd’ memiliki 2 arti, yang pertama berarti “Pujian”, yang kedua berarti “Terima kasih”. Pujian dan Terima Kasih. Ini adalah 2 hal yang berbeda, bukan suatu hal yang serupa. Yang pertama yang ingin saya bahas adalah, apa bedanya antara memuji dan berterima kasih. Ini hal pertama yang perlu kita ingat.

1. Contoh Memuji

Misalnya, kamu sedang di jalan, dan kamu melihat mobil yang bagus sekali. Apa yang kamu lakukan? Memuji atau berterima kasih? Pastinya memuji. Apakah mungkin kamu datangi mobil itu dan mengusapnya sambil berkata, “Terima kasih banyak BMW”, tentu kamu tidak akan melakukan itu kan, tapi kamu akan mengatakan, “Mobilnya bagus!”. Kamu memuji.

Contoh lainnnya. Misalnya kamu mengunjungi rumah tetangga yang baru memiliki bayi. Kamu datang dan mengatakan, “Bayinya lucu sekali, cakep sekali.” Meskipun mungkin sebenarnya tak terlalu lucu :) . Yang kamu lakukan adalah memuji, bukan justru berterima kasih.

Contoh lagi, kalau sedang menonton olahraga, lalu atletnya sangat ahli, kamu akan memuji si atlet, “Wah, luar biasa itu.” Kamu tak berterima kasih, tapi memuji.

2. Berterima kasih, Tidak Otomatis Memuji

Tapi kalau berterima kasih, itu hal yang beda. Terima kasih diucapkan bila seseorang melakukan sesuatu untukmu. Jadi kalau kamu melihat sesuatu yang impresif, cantik, mengagumkan dan membuatmu tertarik, maka kamu akan memujinya. Tapi jika seseorang berbuat sesuatu yang baik padamu, maka kamu akan berterima kasih, kamu tak harus memujinya. Seseorang yang kamu puji, tak harus selalu kamu ucapkan terima kasih. Begitu juga sebaliknya, bila kamu berterima kasih, kamu tak harus memujinya juga.

Saya beri contohnya saat di mana kamu berterima kasih tapi tidak perlu memuji. Saya ambil contohnya dari Al Qur’an. Nabi Musa itu dibesarkan dalam keluarga yang menarik. Dia diadopsi oleh Firaun. Firaun membesarkannya, lalu beberapa tahun kemudian Nabi Musa pun kembali (untuk mendakwahinya). Firaun berkata, “Berani sekali kamu? Berani sekali kamu berkata seperti ini kepadaku?”. Firaun berkata, QS. Asy Syuara ayat 18, “Bukankah kami yang membesarkanmu sejak bayi di istana ini? Bukankah kamu menghabiskan banyak waktu hidupmu di sini? Sekarang kamu bicara begini kepadaku?”

Apa yang Firaun bilang pada Musa? “Apakah kamu tidak bersyukur?”. Dan jawaban dari Nabi Musa kala itu adalah… “Memang engkau berjasa bagiku, terima kasih.” Dengan kata lain, meskipun Firaun tidak pernah dipuji, dan tak pernah dipuji para nabi ataupun kaum muslimin, tapi bila ia berbuat baik, ia akan mendapat ucapan terima kasih. Ucapan terima kasih bisa ada, meski tanpa pujian.


Ilustrasi. (Foto : jadzab.com)

Contoh lainnya. Al Qur’an berbicara tentang hak-hak orangtua. Para orangtua di sini pasti tahu karena sering memanfaatkan ayat ini. Al Qur’an berbicara tentang hak-hak orangtua. Allah berfirman tentang orangtua, “Bersyukurlah kepada-Ku dan pada kedua orangtuamu.” (QS. Luqman ayat 14). Dan ayat 15 : “Jika orangtuamu memaksamu untuk berbuat syirik, jangan patuhi mereka.” Syirik itu perbuatan yang amat buruk, tidak ada yang lebih buruk daripada syirik. Tapi di awal ayat dikatakan, kamu harus tetap bersyukur pada mereka. Dengan kata lain, jika mereka berbuat syirik, kamu tidak akan memuji apa yang mereka lakukan. Tapi tetap saja, mereka orangtuamu, jadi kamu harus tetap berterima kasih padanya. Coba pikirkan kisah Nabi Ibrahim a.s. Dia tidak memuji apa yang dilakukan ayahnya. Tapi dia tetap ucapkan terima kasih kepada ayahnya.

Maka yang pertama yang ingin saya sampaikan adalah, kata “Hamd” dalam Al-Fatihah berarti memiliki 2 hal, yaitu pujian dan terima kasih. Dua hal ini berbeda. Terkadang kamu bisa memuji tanpa perlu berterima kasih dan begitu juga sebaliknya.

Sekarang kita lihat apa yang dikatakan Allah dalam kata Alhamdulillah. Allah berfirman, segala puji itu untuk Allah dan Dia pun berfirman, segala ucapan terima kasih hanya bagi Allah, dan Dia tidak ingin mengatakan hanya sebagian-sebagian saja.

Alasan tidak memakai kata Al Madhulillah dan Asy syukrulillah

Ada kata Bahasa Arab, yakni ‘Al Madhulillah’, yang artinya “Segala puji hanya bagi Allah”. Saya tidak ada masalah dengan terjemahannya, karena kata ‘Madh’ itu hanya berarti terpuji saja.

Ada juga ‘Asy syukrulillah’. Jika Dia berfirman seperti itu, saya juga tidak masalah jika terjemahannya adalah, “Terima kasih hanya untuk Allah atau syukur hanya bagi Allah”. Tapi Allah tidak menggunakan 2 kata itu, tetapi justru memakai, Alhamdulillah, yang artinya Dia menggabungkan makna keduanya. Mana kata yang lebih baik? Ada beberapa alasan, yaitu :

A. Kata Al Maudhulillah, artinya memuji tapi tak sungguh-sungguh

Alasan yang pertama, ketika kamu memuji sesuatu, terkadang tidak sungguh-sungguh. Misalnya, kamu sedang mengebut dan seorang polisi menyuruhmu minggir, kalimat yang pertama kamu ucapkan adalah: “Topi Anda bagus sekali, pak.” Atau, “Ganteng sekali Anda hari ini.” Kamu memujinya, tapi sebenarnya kamu tidak sungguh-sungguh. Kamu hanya berharap agar tidak kena tilang saja.

Atau contoh lainnya, biasanya yang masih muda, ketika nilai raportnya jelek sekali, kamu masuk ke rumah, lalu mengatakan “Ma, masakan mama hari ini enak banget.” Padahal ibunya belum masak :) . Kamu memuji, tapi tidak sungguh-sungguh. Pujian bisa saja palsu.

Banyak pujian palsu untuk para raja, pujian palsu untuk para bos, untuk para hakim, sering yang seperti ini. Pujian yang sifatnya formal. Untuk menyenangkan seseorang tapi kamu tak sungguh-sungguh memujinya. Contohnya saat kamu sedang wawancara kerja, dan itu wawancara kerja paling kacau yang pernah kamu lakukan. Tapi ketika selesai dan kamu akan pergi, kamu tetap mengucapkan, “Senang bertemu dengan Anda.” Tidak menyenangkan, tapi kamu harus tetap mengucapkannya. Itu pujian palsu.

Jadi kata “Madh” yang digunakan, maka bisa jadi pujiannya palsu. Tidak pantas diucapkan untuk Allah.

B. Kata Asy-syukrulillah, artinya berterima kasih hanya setelah dibantu

Misalnya yang digunakan adalah kata ‘Asy-syukrulillah’, yang artinya segala ucapan syukur/terima kasih hanya untuk Allah. Ucapan terima kasih diucapkan, ketika kamu mendapat suatu bantuan. Sesuatu dilakukan untukmu dan kamu sadar kamu sedang dibantu, maka kamupun mengucapkan terima kasih. Misalnya, banmu kempes, lalu seseorang datang menolong, maka kamu pun mengucapkan terima kasih. Jika ban mobilmu kempes dan tidak ada orang yang menolong, kamu hanya tidur-tiduran saja di mobil, maka kamu tidak akan mengucapkan terima kasih pada siapapun.

Ucapan terima kasih diberikan jika ada yang bantu dan kamu sadar akan pertolongan itu. Dengan kata lain, itu adalah suatu reaksi. Tidak mungkin kamu mengucapkan terima kasih lebih dulu. Tidak mungkin kamu bertemu seseorang dan langsung mengatakan, “Terima kasih, terima kasih, terima kasih.” Tidak akan seperti itu. Itu aneh.

C. Kata Hamd, Pujian yang sungguh-sungguh dan Bukan Reaksi

Allah menggunakan kata ‘Hamd’, menggunakan pujian dan syukur. Kata ‘Hamd’ dalam Bahasa Arab hanya berarti pujian yang sungguh-sungguh, bukan pujian yang dibuat-buat atau palsu, bukan suatu reaksi. Dan Hamd lebih kuat daripada kata “Al Madhulillah” ataupun kata “Asy-syukrulillah”. Hamd Lebih mencakup banyak hal daripada “Al Madhulillah” ataupun kata “Asy-syukrulillah”. Allah memilih kata yang lebih baik daripada 2 kata tadi bila digabung.

D. Meski Dua Kata Al Madhu wa Syukrulillah Digabungkan, Tetap Lebih Kuat Kata Alhamdulillah, Karena Lebih Mudah Diucapkan dan Singkat, Punya Dua Makna dalam Satu Kata

Dan ini yang terakhir. Dalam Bahasa Indonesia, ada 2 arti untuk kata ‘Hamd’ tadi. Tapi Allah cukup pakai kata 1 kata, Hamd. Maka mungkin kalian menemui hal yang rumit di Al Qur’an saat menerjemahkannya (bila tidak paham). Terkadang Allah pakai 1 kata, tapi untuk memahaminya, kamu butuh beberapa kata, benar seperti itu kan? Tapi bagaimana jika Allah sendiri memakai 2 kata tadi? Bagaimana jika Allah menyebutkan, “Al Madhu wa Syukrulillah”? Jika Allah sendiri yang menyebutkan 2 kata tadi, pujian dan terima kasih untuk Allah. Jika saja Dia


Ilustrasi. (Foto : noraalgalad.deviantart.com)

gunakan 2 kata tadi, apakah akan sama? Tidak akan sama. Tak akan sama, karena ada prinsip mendasar yang indah dalam Bahasa Arab dan ini sesungguhnya prinsip dalam semua bahasa apapun. Dalam Bahasa Arab ada istilah yang artinya, “Bicara yang terbaik adalah dengan sedikit kata, namun maksudnya dapat disampaikan.” Gunakan lebih sedikit kata, tapi maksudnya sampai. Itu yang terbaik.

Beberapa diantara Anda ada yang punya teman, yang bicara selama 30 menit, tapi tak jelas apa yang dia sampaikan. Bicaranya banyak, tapi intinya tidak ada. Kamu ingin dia cepat sampaikan intinya apa. Ada yang kebanyakan menggunakan kata-kata hanya untuk menjelaskan hal yang sederhana. Contohnya, “Hari ini saya ke suatu sisi bangunan yang banyak tapakan naik turun untuk pindah lantai.” Padahal, bilang saja lagi naik tangga! J Tidak perlu menjelaskan detail yang tak penting. Cara bicara yang terbaik haruslah jelas, ringkas dan mudah diucapkan. Sehingga ‘Al Hamd’ itu lebih mudah diucapkan, ketimbang ‘Al Madhu wa Syukrulillah’.

E. Kata Alhamdulillah, Tidak Perlu Memakai Kata ‘Dan’, Karena sudah jadi satu

Tapi ada lagi perbedaannya.  Dalam Bahasa Arab Klasik, ketika kamu menaruh kata ‘dan’. Kata ‘dan’ diantara dua hal. Kata “dan” itu sederhana, selalu digunakan. Kalau pakai kata “dan” dalam Bahasa Arab adalah ‘wa’. Ini memisahkan dua hal, bahkan memisahkan pengertiannya. Jadi jika kamu menyebutkan ‘Al Madhu WA asyukrulillah’, kamu mengatakan, “Segala puji bagi Allah untuk suatu hal DAN segala syukur untuk Allah akan hal yang lain”. Mereka tidak selalu bergabung, karena memang katanya tidak digabungkan. Karena dipisah, maka terkadang kamu mungkin sedang ingin memuji Allah tapi tidak berterima kasih kepada-Nya. Dan terkadang kamu ingin bersyukur pada-Nya tapi tidak memuji-Nya. Tapi jika kamu mengucapkan Alhamdulillah, bagaimanapun kondisinya, apa maksud dari ucapanmu? Artinya adalah kamu memuji dan berterima kasih pada-Nya bersamaan, kamu tidak bisa memilih salah satu.

Makna Kata Alhamdulillah :

A. Kata Alhamdulillah, Berarti Berpikir Positif dan Optimis

Misalnya, kamu sedang berjalan dan kamu lalu melihat mobil bagus, kamu ucapkan Alhamdulillah, apa maksud yang seharusnya? Kamu memuji Allah, karena telah memberikan kemampuan pada seseorang untuk merancang dan membangun mobil itu dan kamu berterima kasih pada Allah karena dapat kesempatan untuk duduk di mobil itu. Kamu memuji dan bersyukur di saat yang bersamaan. Itu yang kamu lakukan. Ini sikap yang sering terjadi diantara kaum muslim.


Ilustrasi. (Foto : questforparadise.wordpress.com)

Sering sekali jika ada yang menanyakan kabar ketika di saat yang buruk. “Bagaimana kabarmu?” Dan dijawab dengan wajah kusut dan sedih,”Emm, ya Alhamdulillah”. Saat itu, kamu tidak sungguh-sungguh memuji Allah ketika cara bicaranya seperti itu. Kamu tidak sungguh-sungguh berterima kasih pada-Nya. Alhamdulillah itu tidak hanya kata yang terucap, tapi juga gambaran sikap. Allah tidak tertarik dengan apa yang hanya terucap. Dia lebih tertarik dengan hubungan antara yang terucap dengan yang ada di hati.

Kita harus pahami apa yang kita katakan saat ucapkan Alhamdulillah. Misalnya saat kamu terjebak macet dan kamu ucapkan Alhamdulillah. Hal ini agak sulit kan ya? Karena saya yakin kalian sering sekali terjebak macet. Saat macet dan mengucap Alhamdulillah, apa maksud yang seharusnya? Bahwa, “Ya Allah seburuk apapun ini kelihatannya, saya yakin ada hikmah dan sesuatu yang baik untuk diriku, saya bersyukur atas macet ini, saya memuji-Mu dan saya bersyukur karena saya selamat, saya senang karena saya masih punya mobil. Saya terjebak macet, tapi setidaknya saya punya mobil sendiri, saya punya pekerjaan.” Kamu harus mulai berpikir secara positif. Dengan Alhamdulillah, itu memaksa kaum muslimin untuk selalu berpikir secara positif. Harus seperti itu. Ini hal pertama yang saya sampaikan padamu.

B. Alhamdulillah Adalah Kata Benda, Permanen, Tak Terikat Waktu

Kedua yang ingin saya sampaikan tentang Alhamdulillah. Dalam Bahasa Arab, kamu bisa gunakan kata benda dan kata kerja. Memang ini akan terdengar seperti pelajaran tata bahasa. Jadi kata kerja dan kata benda, mana yang dapat ada bentuk waktunya? Seperti bentuk lampau (past tense), saat ini (present tense) dan yang akan datang (future tense).

Kata kerja bisa menggambarkan waktu, tapi kata benda tidak bisa. Tidak ada bentuk lampau atau yang akan datang untuk kata benda. Apakah kalian paham?

Ketika saya katakan, “Saya sedang memuji Allah”, maksudnya adalah memuji sekaligus berterima kasih, tapi hanya ucapkan satu, agar singkat. Ketika saya ucapkan, “Saya sedang memuji Allah”, berarti saya menggunakan kata kerja.


Ilustrasi. (Foto : pinterest.com)

Kalau saya katakan, “Kita MEMUJI Allah”, berarti adalah kata kerja saat ini. Ketika saya katakan: “SEGALA PUJI milik Allah.” Kata “puji” di kalimat itu termasuk kata benda atau kata kerja? Apakah jelas bahwa kata “puji” di sini adalah kata benda? Allah bisa saja menyebutkan kata kerja, misalnya ‘Ahmdullah’, yang artinya “Aku memuji Allah”. Atau ‘Nahmadullah’, seperti yang biasa di khutbah. “Alhamdulillah nahmaduhu wasta’inu..”, pernah dengar kan? Jadi, ini kata kerja.

‘Nahmaduhu’, artinya kita memuji-Nya, ‘Ahmaduhu’, artinya aku memuji-Nya. Tapi Allah tidak mengatakan, ‘Aku’ atau ‘Kita’. Dia tidak menggunakan kata kerja, tapi Dia gunakan kata benda.

Hal dasar yang tadi saya sebutkan adalah, kata benda tidak ada kaitannya dengan waktu, baik lampau, sekarang atau akan datang. Kata kerja ada kaitannya dengan waktu, baik lampau, sekarang atau yang akan datang. Ini yang membuatnya jadi indah.

Jika saya mengatakan, ‘Aku sedang memuji Allah’, maka saya hanya melakukannya saat ini saja, saya tidak mengatakan tentang masa lampau, atau waktu yang akan datang. Jika saya mengatakan kata kerja bentuk lampau, maka tak ada kaitannya dengan masa sekarang dan yang akan datang, karena hanya bisa salah satu saja. Dan karena saya sedang memuji Allah saat ini saja, maka belum tentu sejam berikutnya saya masih memuji. Waktunya terbatas saat ini saja, tidak permanen. Kata kerja itu tidak permanen (terikat waktu).

Namun Allah memakai kata benda, yang permanen (tak terikat waktu). Segala puji bagi Allah, Alhamdulillah, digambarkan tak terikat dengan waktu. Tahukah kamu apa artinya itu? Artinya, saya mungkin hanya bisa memuji Allah saat ini saja. Tapi pujian bagi Allah itu akan selalu ada. Saya mungkin tak akan memuji Allah selama-lamanya tapi pujian bagi Allah akan selalu ada. Pujian bagi Allah tidak tergantung oleh saya. Alhamdulillah itu berarti, pujian bagi Allah tak tergantung oleh saya.

C. Kata “Alhamd” Berdiri Sendiri, Tidak Memerlukan Subjek/Pelaku

Ini hal ke-2 tentang kata kerja dan kata benda, coba perhatikan. Ketika kamu menggunakan kata kerja, seseorang perlu melakukan kegiatan tersebut, disebut subjek, disebut  fa’il dalam Bahasa Arab. Seseorang perlu melakukan yang disebutkan. Kamu tak bisa, kalau hanya mengatakan hal tidak lengkap seperti, “Mengerjakan ujian”. Memangnya siapa yang mengerjakan ujiannya? Atau tidak pas kalau kamu mengatakan, “Menghilang!”. Apanya yang hilang? “Oh, pulpen saya, pulpen saya yang hilang.” Paham kan?


Ilustrasi. (Foto : islamicreflections1.wordpress.com)

Kalau kamu gunakan kata kerja, harus dilengkapi dengan pelakunya. Tidak bisa kalau hanya kata kerja tanpa pelakunya, tidak bisa dipahami, dan akan membingungkan. Tapi kalau kata benda, tidak butuh seseorang untuk melakukannya. Kata benda tidak memerlukan pelaku. Kata benda itu berdiri sendiri. Sebuah apel, ya apel. Apakah kamu perlu menanyakan, siapa yang melakukan? Tidak perlu. Karena berdiri sendiri.

Ketika Allah menggunakan kata ‘Alhamd’. Dia membuatnya berdiri sendiri, tak butuh seseorang. Kalau Allah gunakan kata kerja, maka perlu seseorang, iya kan? Perlu seseorang untuk memuji-Nya, entah itu saya atau pun Anda. Perlu seseorang untuk memuji-Nya, entah itu saya atau pun Anda. Tapi Allah membuatnya berdiri sendiri, tak butuh seseorang atau pun suatu hal. Ini lebih kuat dari kalimat: “Segalanya memuji Allah”, “Semua orang memuji Allah”, karena kalau ‘semua orang’ dan ‘segala sesuatu’ disebutkan maka berarti hanya ‘semua orang’ dan ‘segala sesuatu’ sekarang saja. Tapi Allah tidak ingin dibatasi oleh waktu ataupun oleh orang yang melakukannya. Subhanallah… Allah tidak membutuhkan kita untuk mengucapkan Alhamdulillah. Kita harus sadar, bahwa ketika mengucapkan Alhamdulillah, kita sadar bahwa Allah tidak butuh kita, kita yang butuh Allah. Pemahaman itu hanya berasal dari 1 kata, Alhamdulillah.

D. Alhamdulillah, Bukan Kata Perintah

Kata perintah merupakan kata kerja yang berbentuk khusus. Misalnya dalam Bahasa Arab, kamu bisa saja bilang, ‘Ihmadullah’, artinya “Pujilah Allah!”. Atau “Ayo sholat Maghrib!”, atau ketika menyuruh anak Anda, “Ambilkan air!”. Misalnya, ketika saya di rumah, saya suruh anak perempuan saya, Husna, untuk mengambil air, “Hei, Husna, bawakan ayah air!”. Husna punya dua pilihan. Ketika kamu memerintah seseorang, dia punya 2 pilihan. Dia bisa kerjakan ataupun tidak. Jika saya perintahkan Husna untuk mengambil air, dia punya dua pilihan, apakah dia ambilkan air, atau dia tidak harus ambil air. Dua pilihan yang jelas buat Husna.

Jika Allah berfirman, “Pujilah Allah!”, apa kemungkinan yang terjadi? Ada yang mengerjakan, ada pula yang tidak mau melakukannya. Oleh karena itu, jika kamu perintahkan seseorang untuk melakukan sesuatu, ‘bola’ nya kamu serahkan ke dia. Tergantung dia. Mungkin dia kerjakan, mungkin juga tidak. Allah tidak mengatakan pujian bagi-Nya itu tergantung dengan kita. Dia tidak menaruh ‘bola’ nya pada kita. Mau kamu kerjakan atau tidak, masa bodoh, pujian bagi-Nya tetap ada. Alhamdulillah akan terus ada, selama-lamanya akan tetap ada. Manusia datang dan pergi, generasi akan terus berganti, dunia pun juga akan pergi, tapi pujian bagi Allah akan terus ada, seperti itu faktanya. [ANW/Syahida.com]

===========

Tidak ada komentar:

Posting Komentar