"KESAKSIAN TAUHIDI DAN TERBUKANYA HIJAB".
Menurut Ibnu 'Arabi , futuh itu ada tida macam yaitu :
futuh kepandaian, futuh ketenangan dalam batin, dan
futuh keramat dan mukasyafah.
Dengan futuh kepandaian ,
kalimat-kalimat yang dikeluarkan oleh shufi
terasa segar dan menyejukkan, hingga dapat menembus hati
dan meresap ke dalamnya bagai anak panah yang tepat
yang mengenai sasaran.
Dan Allah menjadikan perkataaan nya bisa diterima oleh semua orang,
mempunyai pengaruh yang serentak terhadap orang-orang
yang mendengarkannya, dan mempunyai kemampuan yang memukau
dalam memainkan kata-kata.
Futuh ketenangan batin
membuat seseorang senang menyendiri dan merasakan kenikmatan.
Karena itu, seorang shufi tidak pernah merasa kesepian,
meski dalam waktu yang lama.
Kesendiriannya itu justru mengundang dialog dengan dirinya sendiri,
mendatangkan ilham dan masukan-masukan yang cemerlang
dari sisi Allah swt , hingga dirinya terhibur dan merasakan
kebersamaan yang abadi.
Futuh, keramat,
hal-hal yang bertentangan dengan adat dan mukasyafah,
sebagian di antaranya diceritakan oleh Ibnu 'Arabi, bahwa
hal itu merupakan kemampuan ruhani seorang murid
dalam mengatur penggandaan jasadnya dalam waktu yang sama,
sehingga seorang shufi bisa menampilkan dirinya di beberapa
tempat dalam waktu yang bersamaan (mereka adalah wali-wali abdal)
Ini merupakan peristiwa yang bertentangan dengan hukum alam
tetapi biasa terjadi di akhirat.
Karena menurut kehidupan disana,
hal itu merupakan suatu kebiasaan secara tabiat.
Ibnu 'Arabi menjelaskan tentang tidak adanya lagi
keajaiban dalam hal ini.
Bukankah ruh dapat mengatur anggota-anggota tubuh
yang banyak dalam kehidupan dunia ?
Mengenai keramat dan hal-hal yang bertentangan dengan hukum alam,
merupakan suatu masalah yang membutuhkan bahasan panjang.
Dan di sini bukanlah tempat bagi pembahasan hal itu ,
lantaran menurut menurut 'arif tidak ada gunanya sama sekali.
Menurut pendapat orang-orang yang benar-benar 'arif ,
penekunan masalah ini hanya akan menghambat hijrahnya
seorang murid kepada Tuahannya.
Juga bisa menimbulkan fitnah bagi dirnya, sehingga ia mendakwakan
diri sebagai wali, dan orang banyak pun berhimpun di sekelilingnya.
Terkadang,
hal ini dijadikan sarana olehnya untuk meraih pangkat , kedudukan
atau kekayaan yang akan mencampakkan dirinya kepada kehancuran
dan menamatkan riwayatnya dalam kehinaan.
Mengingat hal ini,
maka menekuni hal-hal yang keramat,
memperhatikan dan menceritakannya merupakan perkara yang dibenci
di kalangan mereka.
Shufi sejati akan menganggap hal itu sebagai surat yang harus ditutupi
dan diingkari.
Ia boleh melihat secara rahasia antara dirinya dengan Tuhannya,
tidak boleh memamerkan atau menekuninya.
Dengan demikian,
ia telah berupaya menolak fitnah dan membuktikan diri dengan sikapnya,
bahwa dalam hijrahnya, ia hanya bertujuan kepada Tuhannya dan
tidak selainnya..
Hingga karenanya,
naiklah derajat shufi kepada tingkatan yang lebih luhur dalam futuh, yaitu
al-masyhadu -'t -tauhidi.
Telah sampai kepada derajat ini Nabi Muhammad saw,
ketika beliau di-mi'rajkan, dimana beliau
melihat secara langsung nur-nur Dzat Ilahi.
Kalangan 'arifin menggambarkan kesaksian ini,
bahwa semua gambaran dan tanda kebendaan
lenyap dan lebur di dalamnya,
begitu pula jasad 'arif dan dzatnya pun lenyap..
'Arif menyendiri dalam kesadaran yang mutlak dan tak berjasad.
Disitu, kemana pun berpaling, ia hanya melihat nur Ilahi
yang tak ada seperti-Nya ,
tak bisa digambarkan, tak ada batasan dan tak ada arah.
Rasulullah saw. menjawab orang yag bertanya kepadanya,
"Bagaimana Anda melihat Tuhanmu ?".
Beliau menjawab,
"Merupakan nur yang tak jelas bagaimana aku melihatnya ?"
Al-Qur'an menggambarkan tentang masyhad
(pemandangan ini dengan firman-Nya) :
Q.S. 53:17-18, artinya
"Penglihatannya (Muhammad) tidak berpaling dariyang lihatnya itu,
dan tidak(pula) melampauinya.
Sesungguhnya dia telah melihat sebagian tanda-tanda
(kekuasaan) Tuhannya yang paling besar".
DR.Musthafa Mahmud.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar