HAKIKAT ZIKIR.
Zikir
itu bukan sampai banyak, melainkan sampai kelu.
"Man arafallaha kalla
lisanuhu",
siapa mengenal Allah dengan sebenar-benar pengenalan,
kelu
lidahnya. (hadis).
Mulut kita berucap "Laa ilaaha illallah".
Dari mana munculnya perkataan ini?
Dari hati.
"Laa ilaaha illalah" yang dari hati ini dari mana asalnya?
Dari syir hati.
Yang dari syir hati ini dari mana?
Tentulah dari dalam
syir.
Yang di dalam syir itu siapa?
Rahasia Allah.
Jadi kalau kita cermati, siapa yang sebenarnya berzikir itu?
Syariatnya => kita berzikir
Hakikatnya => kita menzikirkan Yang Punya Nama
Makrifatnya => Yang Punya Zikir Berzikir
Kalau
belum tahu bahwa yang di dalam syir ini berzikir,
bagaimana Anda akan
karam dalam zikir?
Paling-paling Anda hanya dapat karam dalam sebutan
zikir saja.
Kalau Anda dapat yang di dalam syir itu berzikir,
tentu
berjalanlah Anda dengan yang di dalam syir itu kepada Allah.
Inilah amal
yang sampai ke Tuhan.
Jadi, tidak akan mudah untuk karam di dalam syir
kalau kita tidak mendapati yang di dalam syir itu berzikir.
Takrif Zikir [Tujuan]
Kalau
kita hendak berzikir,
perlu dulu tentang takrif zikir atau tujuan
zikir.
Yang dikatakan tarikat itu jalan.
Jalan menuju ke mana?
Tentulah
menuju kepada yang dimaksud.
Yang dimaksud itulah tujuan zikir, yaitu
Allah.
Kalau mulut berzikir menyebut laa ilaaha
illallah,
yang di dalam syir itulah yang kekal kepada Alah.
Karena
munajatnya orang yang berzikir itu
Ilaa Ilahu Anta maksudi wa
makrifataka bi a'tinii mahabbata wa makrifataka,
'tidak ada yang
kumaksud hanya Engkau ya Allah'.
Kalau sudah Allah yang
kita maksud,
untuk apa terpengaruh dengan yang terpandang-pandang dalam
zikir.
Kalau terpengaruh dengan yang terpandang-pandang ketika berzikir,
berarti kita sudah menyimpang dari maksud semula
karena mestinya
munajat kita hanya pada Allah.
Allah itu sudah pasti laysa kamitslihi
syaiun.
Apa pun yang terpandang-pandang itu bukan laysa kamitslihi
syaiun.
Biar surga sekali pun yang dipandangkan,
itu tetap bukan yang
laysa kamitlsihi syaiun.
Orang yang tidak bermaksud kepada selain Allah
tidak akan terpengaruh dengan itu.
Jadi dalam beramal
ibadah apa saja,
takrif (tujuan) itulah yang kita pegang.
Bukan zikirnya
yang kita pegang, takrifnya itu yang kita pegang.
Kalau
sudah pada Allah saja takrif zikir,
mestinya tidak mungkin ada orang
berzikir
sampai histeris, mabuk, atau bahkan pingsan
karena Allah tidak
bersifat zalim.
Jangan sampai kamu banyak berzikir lalu malah timbul
kelainan jiwa.
Munajat
Munajat itulah
niat ikhlas orang yang berzikir.
Tidak ada maksud kepada selain Allah.
Kalau tidak paham tentang munajat dan takrif zikir,
bisa-bisa dimabukkan
oleh zikir.
Asyik kepada yang bukan dimaksud semula.
Kalau hal yang
bukan Allah sudah masuk ke badan,
inilah yang jadi penyakit.
Musyahadah
Zikir
itu untuk mendapatkan musyahadah.
Musyahadah untuk mendapat fana.
Fana
fillah itu untuk mendapatkan baqa billah.
Kalau sudah baqa billah,
mana
ada fana lagi karena fana itu awal baqa.
Kalau sudah
dapat baqa, mana ada fana lagi.
Kalau sudah dapat fana, mana ada
musyahadah lagi.
Kalau sudah dapat musyahadah, mana ada zikir lagi?
Inilah yang disampaikan di awal tulisan ini.
Bahwa zikir itu bukan
sampai banyak, melainkan sampai kelu.
Sebetulnya jalan yang sampai kepada Allah itu ada empat, yaitu
Syariat ← kenyataan yang di-ada-kan Allah.
Berlaku pada anggota zahir, yaitu berupa perintah (amar)dan larangan (nahi);
Tarikat
← jalan yang menyempurnakan syariat.
Berlaku pada hati. Contoh
praktiknya: mulut berkata "merah".
Hati harus yakin bahwa
barang yang
disebut itu benar-benar merah.
Inilah disebut menyempurnakan syariat.
Hakikat ← keyakinan kita kepada yang wajib dipercaya.
Hanya satu, yaitu Allah.
Berlaku pada syir hati (nyawa).
Makrifat
← pengenalan yang sempurna tentang Allah.
Bagaimana pengenalan yang
sempurna pada Allah itu?
Yaitu semua yang terpandang, terpikir, terasa,
tersentuh, tercium,
dan lain-lain itu bukan Allah.
Karena orang yang
sempurna mengenal Allah itu keyakinannya tetap.
Bahwa Allah itu laysa
kamitslihi syaiun.
Syariatnya, kita berzikir.
Makrifatnya,
Rahasia Allah itulah yang berzikir
atau yang di dalam sir itulah yang berzikir.
Perkataan
ini bukan hendak menjadikan kita adalah Allah
atau setara dengan Alah,
melainkan kita meyakinkan Zat Allah itulah Diri Allah,
bukan kita adalah
Allah.
Kesimpulan kata:
Zat Allah itulah yang memuji Tuhannya.
Kalau kita sudah dapat jalan pengetahuan ini,
dapatlah kita jalan
musyahadah, muraqabah, dan jalan ahlul kasyaf.
Jalan
musyahadah itu hanya kita mengetahui.
Amalannya bukan pakai baca-baca
lagi
karena amalan batin itu pakai pandangan mata hati (syuhud matahati)
Jalan
muraqabah itu adalah
pandangan mata hati tidak lepas dari takrif.
Seperti kucing yang mengintai tikus.
Fokus tidak berpaling dari target.
Jalan
ahlul kasyaf.
Ini tidak cukup dengan paham saja,
melainkan harus dengan
bimbingan khusus.
Seperti kita membimbing bayi sampai dia baligh.
Contoh praktik ahlul kasyaf:
Kita
melihat tulisan.
Sebenarnya yang kita lihat kertas putih, tetapi yang
tampak tulisannya.
Justru karena melihat kertas putih itulah kita bisa
melihat tulisan.
Coba andai kertas putih itu terbuka, masuklah ke kertas
putih itu.
Akan tampak semua tulisan.
Ini baru mukadimah soal kasyaf.
Tips Praktik Zikir yang Mengesakan Allah
Di awal tulisan tadi disebutkan "zikir itu bukan sampai banyak,
melainkan sampai kelu".
Nah, bagaimana cara praktiknya?
Ucapkanlah kalimah-kalimah zikir atau wirid itu tanpa terputus.
Ucapkan secara bersambung dalam satu tarikan napas.
contoh zikir yang benar mengesakan Allah:
meski jumlah bacaannya banyak,
Allah-nya tetap Satu.
"Allaaahu...Allaahu...Allaahu."
contoh zikir yang lalai mengesakan Allah.
Jumlah bacaannya banyak,
jumlah Allah-nya juga ikut banyak.
"Allaaah. Allaah. Allaah."
Bisa
jadi karena banyak yang membaca seperti cara terakhir itulah
banyak
orang yang setelah banyak berzikir malah jadi "tidak waras."
Itu
sebabnya zikir itu bukan sampai banyak, melainkan sampai kelu.
Kalau
banyak-banyak,
banyak juga yang mau masuk ke badan kita lalu mengaku
Tuhan.
Inilah siasat Iblis-setan
agar manusia-manusia saleh ahli zikir
tidak lurus sampai ke Allah,
melainkan kepada yang
terpandang-pandang,
terasa-rasa,
terpikir-pikir,
terbayang-bayang, dan lain-lain.
Nauzubillah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar