Abu Yazid adalah sufi pertama yang membawa ajaran al-fana, al-baqa, dan ittihad, yakni suatu ajaran mengenai paham meniadakan diri (jasmani), yang mana kesadaran rohani merupakan hal yang kekal saat bersatu dengan-Nya.
1. Al-Fana
Artikel utama untuk bagian ini adalah: Fana
Fana berarti sirna.
Maksudnya adalah lenyapnya kesadaran diri seorang sufi tentang alam jasmani ini, termasuk tentang dirinya sendiri.
Istilah fana oleh kaum sufi dipakai untuk menunjukkan gugurnya sifat-sifat tercela.
Menurut Abu Said Al-Kharraz, fana ialah sirnanya kesadaran tentang manusia (ubudiyat) dan selain Allah. Al Jailani dan Al Hujwiri berpendapat bahwa kefanaan datang kepada manusia melalui penglihatan akan keagungan Tuhan dan terbukanya kemahakuasaan Ilahi dalam hatinya, sehingga pada perasaannya, dunia ini akan sirna dari pikirannya.
Ajaran ini diperoleh Abu Yazid dari gurunya yang bernama Abu Ali al-Sindi yang berasal dari India.
Para ahli tasawuf membagi fana menjadi empat tingkatan :
Tingkat 1: Fana fil-Af'al (fana dalam perbuatan)
Tingkat 2: Fana fis-Sifat (fana dalam persifatan/ watak)
Tingkat 3: Fana fil-Asma (fana dalam penamaan)
Tingkat 4: Fana fidz-Dzat (fana dalam zat/ esensinya)
Pintu menuju kefanaan terbagi menjadi dua, yakni
Dawamudz Dzikri (mengistiqomahkan/ mengkekalkan zikir) dan
Dawamun Nisyan (mengekekalkan lupa pada dunia dan selain Allah).
Diceritakan bahwa Abu Yazid pernah berkata ketika ia naik haji untuk pertama kali, yang dilihat adalah bangunan Ka’bah dan dirinya.
Kemudian ia naik haji lagi, maka selain ia melihat bangunan Ka’bah dan dirinya, ia merasakan Tuhannya Ka’bah.
Pada haji yang ketiga, dia tidak merasakan apa-apa lagi kecuali Tuhannya Ka’bah.
Selain itu, juga ada catatan tentang ucapannya yang menunjukkan pengalaman fananya.
Ia berkata, "Pada hari (tahap) pertama, aku zuhud terhadap dunia dan segala isinya, pada hari kedua aku zuhud terhadap akhirat dan segala isinya, pada hari ketiga aku zuhud terhadap apa saja selain Allah, dan pada hari keempat tidak ada yang tinggal bagiku selain Allah."
Gambaran kesadaran Abu Yazid seperti yang diungkapkan tersebut dinamakan fana. Kemanapun ia mengarahkan wajahnya, yang terlihat oleh mata hatinya adalah Allah saja. Mata hatinya yang mengarah ke alam gaib (alam di luar dunia) terbuka.
Adapun mata kepalaya yang mengarah ke alam jasmani (dunia), kendati terbuka, ia tidak melihat apa-apa.
Indra-indra lahiriah yang lain tidak menangkap apa-apa, tidak merasakan panas atau dinginnya hawa, tidak pula merasakan sayatan pisau pada kaki atau tangannya.
Sufi yang sudah sampai sampai ke taraf keadaan hanya melihat Allah dengan mata batinnya, disebut juga al-arif bi Allah.
Menurut Abu Yazid, Al-arif tidak melihat dalam tidurnya kecuali Allah, tidak pula dalam jaganya kecuali Allah, tidak berbeda kecuali dengan selain Allah, dan tidak menyaksikan kecuali Allah.
Ciri yang mendominasi kefanaan Abu Yazid sendiri adalah sirnanya segala sesuatu selain Allah dari pandangannya, yang mana seorang sufi tidak lagi menyaksikan kecuali satu, Allah.
Bahkan dia tidak lagi melihat dirinya sendiri karena dirinya melebur dalam zat yang Maha Kuasa.
Dia pernah berkata, "Aku keluar dari Yang Maha Benar menuju Yang Maha Benar dan akupun berseru: Wahai Engkau yang aku! Telah kuraih tingkat kefanaan".
Meski telah mencapai tingkatan fana, ia tetap disiplin berpegang pada hukum-hukum Islam. Menurut Abu Yazid, seorang wali (kekasih Allah) harus tetap melaksanakan syariat, agar Tuhan tetap menjaga tingkat pengalaman spiritual (keagamaan) yang pernah dicapainya.
2. Al Baqa
Dengan terjadinya fana itu, berarti telah terjadi baqa.
Baqa dan fana seperti dua muka dari satu lembar kertas.
Baqa sendiri berarti meninggalkan kebodohan menuju pada kondisi yang mengetahui,
pergi dari kebekuan hati ke pemujaan tanpa henti serta meninggalkan penilaian atas manusia yang bersifat sementara menuju ke penglihatan langsung kasih Ilahi yang abadi (kelanggengan dalam mengingat Tuhan).
Namun tidak semua sirna dari kesadaran sang sufi karena masih ada yang tinggal atau yang tetap terus ada dalam kesadarannya, yaitu Allah SWT.
Kesadaran Abu Yazid tentang Tuhan tetap ada.
Dia pernah berkata, "Aku mengenal Tuhan melalui diriku sampai aku fana (lenyap), kemudian aku mengenal-Nya melalui diri-Nya, maka aku hidup.
Ia telah membuatku gila pada diriku sehingga aku mati, kemudian Dia membuatku gila pada-Nya, dan akupun hidup.
Gila pada diriku adalah kefanaan, sedangkan gila pada-Nya adalah kebaqaan."
Dalam fana seorang sufi akan merasa sirna atau tenggelam dalam lautan ketuhanan yang baqa, seperti tenggelamnya besi dalam lautan api yang menyala.
Di saat itu sifat-sifat kemanusiaannya tidak dirasakannya lagi, yang hanyalah adalah sifat-sifat ketuhanan yang baqa pada dirinya.
Keadaan seperti itulah yang disebut baqa, yakni merasa hidup dengan sifat Tuhan yang abadi/kekal.
3. Ittihad
Keadaan seperti fana-baqa itu dapat disebut sebagai ittihad (satu), yakni merasa satu dengan Allah.
Setelah seseorang mencapai fana dan baqa, maka selanjutnya adalah tingkatan ittihad. Dalam kitab Futuh Al-Ghaib bab:17,
Syekh Abdul Qadir Jaelani menjelaskan,
"Apabila kamu telah bersatu dengan Tuhan, maka kamu akan merasa aman dan selamat dari apa saja selain-Nya.
Kamu akan mengetahui bahwa tidak ada yang wujud (ada) selain Dia saja.
Kamu akan mengetahui bahwa untung, rugi, harapan, takut, bahkan apa saja adalah dari dan karena Dia juga.
Dialah yang patut ditakuti dan kepada Dia sajalah (tempat) meminta perlindungan dan pertolongan.
Karenanya, lihatlah selalu perbuatan-Nya, nantikanlah perintah-Nya, dan patuhlah selalu kepada-Nya.
Putuskanlah hubunganmu dengan apa saja yang bersangkutan dengan dunia ini, juga dengan akhirat.
Janganlah kamu melekatkan hatimu, kecuali pada Allah SWT."
Dia menambahi bahwa ketika semua hubungan dunia telah diputuskan oleh seorang hamba yang telah satu dengan Allah, maka ia pun aka menerima kekudusan (kesucian) yang kekal, di mana tidak ada lagi cacat dan cela.
Mereka menjadi orang yang dipilih Allah untuk menjadi kekasih.
Namun tentang hakikat ittihad hanya dapat diketahui oleh mereka yang sudah merasakan pengalaman spiritual tersebut.
Fana, baqa, dan ittihad dapat diibaratkan seperti tiga aspek yang berbentuk satu segitiga.
Pengalaman sang sufi satu dengan Tuhan dapat dipahami dari kata-kata Abu Yazid dan perbuatannya.
Merasa satu dengan Tuhan dapat diibaratkan seperti "besi yang berada di dalam api".
Demikianlah perjalanan ruhani seorang sufi menuju Allah yang puncaknya adalah ittihad.
Kontroversi Pengalaman Abu Yazid serta ucapan-ucapannya yang terkadang sulit dipahami oleh orang awam (orang biasa), menyebabkan sebagian ulama menentangnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar