Minggu, 18 Oktober 2015
Dekat Allah Bukan Karena Miskin, Jauhnya Pun Bukan Akibat Kaya
la bin Ziyad Al-Haritsi adalah konglomerat besar yang hidup pada masa pemerintahan Ali bin Abi Thalib. Ia tinggal di kota Bashrah. Hampir semua penduduk kota mengenalnya, karena mudah dikenali ciri-cirinya. Rumahnya mewah, pakaiannya wah, dan kendaraannya luar biasa. Suatu hari, Ali bin Abi Thalib berkunjung ke Bashrah. `Ala yang dikenal kaya raya meminta agar Khalifah berkenan untuk mengunjungi rumahnya. Ia berpikir bahwa khalifah yang menguasai hampir separoh dunia itu sangat layak untuk dijamu di rumahnya. Sesampai di rumah `Ala, Amirul Mukminin sangat kagum melihat kemewahan rumahnya. Ia sendiri hanya tinggal di rumah sederhana layaknya rakyat biasa. Setelah puas memandang interior rumahnya, Ali bin Abi Thalib menghampiri tuan rumah, sambil berkata: “Wahai `Ala, apa untungnya memiliki rumah sebesar ini, padahal engkau memerlukan rumah yang lebih besar dan lebih mewah kelak di akherat?” Pertanyaan Ali tidak bisa dijawab oleh `Ala. Pada mulanya ia berpikir bahwa sang khalifah hanya layak dijamu di istananya yang mewah dan megah itu, tapi ternyata sang khalifah bukanlah “orang dunia”. Ia tidak memandang dunia lebih dari sayap nyamuk. Kekuasaan yang digenggamnya tidak lebih dari sekadar sarana untuk beribadah kepada Allah dengan cara melayani makhluq-makhluq-Nya, yang bernama manusia. Ia menguasai dunia, tapi tidak dikuasai dunia. Melihat perubahan mimik dan perwajahan tuan rumah, Ali bin Abi Thalib segera dapat menangkapnya. Apalagi sebelumnya ia telah mengetahui bahwa tuan rumah mendapatkan kekayaannya melalui jerih payahnya sebagai saudagar, bukan dari hasil KKN. Oleh karenanya, Khalifah Ali segera menyampaikan pesannya: “Wahai `Ala, engkau bisa menjadikan rumahmu yang besar ini sebagai kendaraan yang akan mengantarkanmu pada rumah yang lebih besar di akhirat kelak” Betapa gembiranya tuan rumah mendengar pernyataan khalifah yang bijak itu. Ia segera menyambutnya dengan pertanyaan: “ Bagaimana caranya, wahai Amirul Mukminin?” Ali menjawab: “Engkau buka rumahmu ini untuk para tamu yang menghajatkannya, ikat silaturrahmi di antara kaum Muslimin, bela, dan tampakkan hak-hak kaum Muslimin di rumahmu, jadikan rumah ini sebagai tempat pemenuhan hajat saudara-saudara sesama Islam, dan jangan batasi hanya untuk kepentingan dan keserakahan dirimu semata-mata.” Puas dengan pernyataan dan jawaban Khalifah, tuan rumah memanfaatkan kesempatan langka itu untuk mengajukan permasalahannya yang lain. Ia bertanya: “Wahai Amirul Mukminin, aku mempunyai seorang saudara. Dia telah mengubah total cara hidupnya. Dia sekarang hanya berkhalwat di tempat-tempat sunyi, berpakaian kumuh, meninggalkan pekerjaan, bahkan menelantarkan keluarganya. Saudaraku yang bernama `Ashim bin Ziyad Al-Haritsi ini selalu mengatakan: `Semua itu aku lakukan semata-mata hanya ingin mendekatkan diri kepada Allah Swt.' Apakah sikap dan perbuatan saudaraku itu benar?” Ali bin Abi Thalib meminta agar `Ashim dihadirkan ke hadapannya. Di depan `Ashim, khalifah berkata agak kasar, “Wahai `Ashim, orang yang telah memusuhi dirinya sendiri! Sungguh setan telah memperdaya akalmu. Mengapa engkau telantarkan anak dan istrimu dengan alasan ingin mendakatkan diri kepada Allah?” “Apakah kau kira bahwa Allah yang menciptakan alam semesta beserta seluruh kenikmatannya itu tidak rela jika kau gunakan kenimatan itu secara tepat? Demi Allah, tidak begitu cara untuk mendekatkan diri kepada Allah!” Merasa terpojok, kemudian `Ashim menjawab, “Wahai Amirul Mukminin, aku lakukan semua ini semata-mata karena ingin meniru kezuhudan dan kesahajaanmu. Engkau hidup susah, akupun demikian. Engkau berpakaian kasar, akupun meniru. Engkau cukupkan dengan makan sekeping roti, akupun mencontohmu. Engkau adalah panutanku, wahai Amirul Mukminin.” Menghadapi jawaban `Ashim, Ali mencoba untuk mengklarifikasi dan mendudukkan persoalan pada tempatnya. Ia berkata, “Wahai `Ashim, aku berbeda dengan kamu. Aku memegang kekuasaan khilafah kaum Muslimin, sedangkan kamu tidak. Di bahuku terpikul amanat yang amat berat, sedangkan kamu tidak demikian. Aku mengenakan jubah kepemimpinan, sedangkan kamu adalah rakyat yang aku pimpin.” “Tanggung jawab seorang pemimpin di hadapan Allah itu teramat sangat berat. Allah mewajibkan para pemimpin untuk berbuat adil kepada setiap rakyatnya, sedangkan rakyat yang paling lemah adalah standar bagi dirinya. Seorang pemimpin selayaknya hidup seperti rakyatnya yang paling sederhana agar tercipta solidaritas dan perasaan senasib seperjuangan. Oleh karena itu, di bahuku ada kewajiban yang harus kutunaikan, sedangkan di bahumu ada kewajiban lain yang harus engkau laksanakan.” Kita mengenal baik dua menantu Rasulullah Saw, yaitu Utsman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib. Yang satu kaya raya, sedangkan yang lain sederhana, jika tidak boleh dibilang miskin. Kedua-duanya adalah kesayangan Rasulullah, bukan karena kayanya atau karena sederhananya. Kedua memantu itu disayang Rasulullah karena keshalihannya. Banyak orang kaya yang salah memandang kekayaannya, seperti halnya banyak juga orang miskin yang salah dalam memandang kemiskinannya. Kaya dan miskin adalah dua saudara kembar yang selalu ada dan menghiasi hidup di dunia. Tidak ada yang bisa disebut kaya jika tidak ada yang miskin, demikian juga sebaliknya. Al-Qur'an sendiri menyebutkan: “Dan Allah melebihkan sebahagian kamu dari sebahagian yang lain dalam hal rizki, tetapi orang-orang yang dilebihkan (rizkinya itu) tidak mau memberikan rizki mereka kepada budak-budak yang mereka miliki, agar mereka sama (merasakan) rizki itu. Maka mengapa mereka mengingkari nikmat Allah?” (an-Nahl: 71) Kaya dan miskin merupakan rekayasa Ilahiyah, sebagaimana siang dan malam. Masalahnya bukan pada kaya dan miskinnya, tapi bagaimana memandang harta tersebut. Tidak sedikit orang kaya yang benar dalam memandang kekayaannya. Akan tetapi sebagian besar yang lainnya persis seperti yang disitir oleh ayat di atas. Mereka tidak mau berbagi hartanya kepada orang lain, terutama kaum fakir miskin. Tidak ada yang berani membuat penilaian dan perbandingan antara Utsman bin Affan yang kaya raya dengan Ali bin Abi Thalib yang sangat sederhana. Apakah Ali yang lebih baik dari Utsman, atau Utsman justeru yang lebih baik dari Ali bin Abi Thalib. Yang jelas, keduanya termasuk sepuluh sahabat yang dijamin Nabi Muhammad Saw masuk dalam surga. Keduanya disayangi Rasulullah, bahkan kecintaannya dibuktikan dengan mengambil keduanya sebagai memantunya. *** Suatu saat, seorang guru merekomendasikan kepada muridnya untuk berguru kepada seorang sufi ternama. Setelah melewati perjalanan yang amat panjang, sang Murid akhirnya bisa berjumpa dengan guru yang dimaksud. Betapa kagetnya setelah ia mengatahui rumahnya yang mewah bak istana raja. Ia bertanya kepada para tetangganya, apakah betul bahwa istana itu tempat tinggal sang Sufi sebagaimana yang direkomendasikan oleh gurunya. Semuanya menjawab “Ya”. Lebih kaget lagi setelah si pemilik istana itu datang dengan pakaian yang mewah dan kendaraan yang luar biasa bagusnya. Sang murid bertanya-tanya dalam hatinya, apakah benar yang dimaksudkan oleh gurunya. Akan tetapi karena telanjur sudah menempuh perjalanan jauh yang sangat melelahkan, iapun menjumpai Sufi yang kaya raya tersebut. Setelah menyampaikan salam dari gurunya, ia pun menyampaikan maksud dan tujuannya. Betapa kagetnya sang murid setelah mendengar kata-kata yang keluar dari lisan Sufi yang kaya raya itu. Ia berkata, “Tolong sampaikan salam saya kembali kepada gurumu. Aku berpesan agar dia tidak selalu sibuk dengan urusan dunia.” Bak disambar petir di siang bolong. Bagaimana mungkin orang kaya raya itu memberi nasehat kepada gurunya yang jauh dari kehidupan dunia agar tidak sibuk dengan urusan dunia. Bukankah yang lebih sibuk mengurus dunia adalah orang kaya tersebut? Ia pamit pulang, tidak jadi berguru kepada orang yang direkomendasikan oleh gurunya. Sesampai di padepokan gurunya, ia melaporkan semua kejadian yang dialaminya, termasuk nasihat orang kaya itu kepada gurunya. Sang murid lebih tidak mengerti lagi setelah sang guru yang sangat dihormati itu ternyata menangis dan membenarkan nasihat orang kaya raya tersebut. Sang guru akhirnya menjelaskan bahwa orang kaya raya yang dijumpai oleh muridnya itu memang memiliki istana yang mewah, kendaraan yang bagus, dan selalu berpakaian indah. Tanah perkebunannya luas serta memiliki pabrik yang mempekerjakan banyak karyawan. Namun demikian, harta yang melimpah itu tidak menyebabkannya lalai dan lupa kepada Allah Swt. Hartanya tidak mengganggu dzikirnya kepada Allah Swt. Ia tidak sombong karena hartanya dan jika sewaktu-waktu hartanya diambil oleh pemiliknya, Allah Swt, ia pun tidak merasa terhina karenanya. Ia memandang harta biasa-biasa saja. Sementara saya, kata sang Guru, biar tidak punya harta yang melimpah, tapi hari-hari masih disibukkan untuk memikirkan harta. Bahkan bisa jadi saya, kata sang guru, lebih sibuk memikirkan urusan harta dari pada si sufi yang kaya raya tersebut. Kepada orang yang diberi karunia rizki yang lebih oleh Allah swt, hendaknya mereka dapat mengelola hartanya sebagai sarana untuk mendapatkan harta kekayaan yang lebih besar kelak di akhirat. Tak perlu bersikap kontra produktif dengan meninggalkan kehidupan dunia. Janganlah mengharamkan yang dihalalkan oleh Allah Swt. Adapun terhadap orang-orang yang belum mendapatkan rizki lebih dari Allah Swt, hendaklah tetap menjalankan ketaatan kepada Allah Swt dengan tulus dan ikhlas. Nikmati kemiskinan dengan lebih banyak mendekatkan diri kepada Allah Swt. Akhirnya, tidak ada halangan bagi orang kaya untuk menjadi shalih dan dekat dengan Allah swt. Demikian juga tidak ada alasan bagi orang miskin untuk tidak mendekat kepada Allah karena kemiskinannya. Orang kaya dan orang miskin mempunyai kesempatan yang sama untuk mendekati Allah Swt.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar