Minggu, 18 Oktober 2015

HAKIKAT KETUHANAN

Salamun‘alaikum, salam kasih dan dan silaturahmi buat pengunjung dan pengikut 
“Perjalanan Mukmin” diharap sihat sejahtera dan dikurniakan akal yang 
sihat yang senantiasa berada didalam rahmat Allah hendaknya, al fatehah 
buat semua umat Islam. 

Saya sangat berkenan pada tulisan dibawah ini lalu saya mengambil-nya tanpa meminta izin terlebih dahulu kerana saya tidak tahu bagaimana untuk menghubungi-nya, diharap jika beliau membaca-nya boleh menghubungi saya samada membenarkan ataupun tidak, 
jika beliau tidak mengizinkan-nya lantas saya akan memadamkan-nya. 

Apapun tulisan dan huraian dibawah ini amat tersemat kedalam jiwa saya, 
kerana ini adalah pegangan sebenar “Ahli Sunnah Wal Jama’ah” dari “Ahlul
Bait”.

Diantara pelajar-pelajar lulusan akademi dan halaqah Rasulullah S.A.W. 
Syaidina Ali K.W.J adalah pelajar terbaiknya. 
Dengan potensi suci dan sempurna Ali KWJ. mampu menangkap semua pelajaran sang guru, tidak ada satu huruf pun yang tidak difahami olehnya bahkan setiap satu huruf yang
diajarkan oleh Rasul S.A.W. terbuka baginya seribu pintu ilmu. 

Hal ini menjadikan Ali KWJ. pemilik kesempurnaan akal dan iman. 
Di kalangan para arif, Ali KWJ. adalah wujud tajalli tertinggi dari Haq yang maha 
tinggi. 
Karena ketinggian wujud suci alawi ini, hanya ka’bah yang mampu menerima tajalli wujudnya dan hanya mihrab yang sanggup menahan berat beban shahadah wujud suci ini. 

Hijab dunia dan tabir akhirat di hadapan pandangan hakikat Ali KWJ. tidak lagi memiliki warna. 
Pandangan Ali KWJ mampu menembus alam malakut serta tidak ada lagi yang tersembunyi dari pandangannya.

Beliau berkata : “ Sesungguhnya aku telah melihat alam malakut dengan izin 
Tuhanku, tidak ada yang ghaib ( tersembunyi ) dariku apa-apa yang 
sebelumku dan apa-apa yang akan datang sesudahku.
”[1]
Ali as. adalah ayat kubra Haq yang maha tinggi, insan kamil yang 
memiliki ilmu kitab, seperti yang disabdakan oleh Rasulallah S.A.W.: “ 
salah seorang misdaq dari ayat ( katakanlah! Cukuplah Allah S.W.T 
sebagai saksi antara aku dan kalian serta orang yang memiliki ilmu kitab
)
[2] adalah saudaraku Ali.”[3]

Para
arif serta ahli bathin dengan bangga mengaku diri mereka sebagai murid 
dari sang murod agung ini, dan menjadikan Ali KWJ. sebagai qutub dari 
silsilah mursyidnya. Imam Hadi as. berkata : Ali KWJ. adalah kiblat kaum
Arifiin
“[4]
Dikalangan ahli hikmah, hikmah alawi merupakah hikmah tertinggi. 
Wujud,perbuatan serta kalam Ali KWJ. sarat dengan hikmah yang memancar dari 
maqam imamahnya serta menjadi lentera bagi para pengikutnya. 

Dalam filsafat ketuhanan Ali KWJ. adalah orang pertama dalam islam yang 
meletakkan batu asai burhan dan membukakan pintu hujah falsafah bagi 
para filusufi dan ahli hikmah sesudahnya. 
Selain dari itu Ali KWJ. adalah orang pertama yang menggunakan istililah-istilah falsafah arab dalam menjelaskan masalah-masalah filsafat. 

Menurut pandangan Ali KWJ. makrifat ketuhanan merupakan makrifat tertinggi dan merupakan paling sempurnanya makrifat. Seperti dalam ucapannya: “ Makrifat tentang Allah Ta’ala adalah paling tingginya makrifat

“[5] serta ucapannya: “ Barang siapa yang mengenal Allah swt. maka sempurnalah makrifatnya

“.[6]Ucapan-ucapan fasih Ali KWJ. dalam Nahjul Balaghah sangat sarat dengan hikmah dan makrifat tertinggi. Ucapan seperti ini tidak mungkin keluar kecuali dari orang yang memiliki kedudukan khusus dan tinggi tentang pengetahuan dan makrifatnya terhadap Tuhan.

Tahapan Pengenalan Tuhan dalam Ucapan Imam Ali KWJ.
Ali KWJ. dalam khutbah pertama dari Nahjul Balaghah menjelaskan urutan 
tahapan pengenalan terhadap Tuhan, mulai dari tahapan sederhana hingga berakhir kepada tahapan yang sangat dalam dan detail.

1. Mengenal Tuhan dan mengakui akan ketuhananNya

Sebuah pandangan dunia yang dimiliki semua keyakinan dan agama baik yang 
muwahid ataupun yang musyrik mulai dari agama primitife sampai kepada islam. 
Yang tertera dalam ucapannya : “awwal ( asas ) dari agama adalah mengenal Tuhan”.

[7] Alias. dalam beberapa khutbahnya berusaha mengajukan beberapa argument 
untuk pembuktian akan keberadaan sang pencipta dari alam semesta, 
seperti dalam ucapan singkatnya : “setiap sesuatu yang bersandar kepada 
selainnya maka ia adalah sebab”.
[8]
Ucapan singkat akan tetapi memiliki kandungan yang luas ini ingin 
menjelaskan hukum sebab-musabab dan menjelaskan bahwa semua yang ada di 
dunia ini sebab, karena wujud mereka bukanlah dzati ( mumkin ). Oleh 
karenanya harus ada sesuatu yang keberadaanya dzati (wajib alwujud). 
Dalam khutbah lain Ali KWJ. berkata : “Celakalah orang yang mengingkari 
sang maha muqaddir dan tidak meyakini mudabbir”
[9]
kelanjutan dari kutbah ini : “Apakah mungkin ada bangunan tanpa ada 
yang membangun dan apakah mungkin ada perbuatan tanpa adanya pelaku?”
[10]
Dalam pandangan Ali KWJ. keyakinan akan keberadaan Tuhan merupakan 
sesuatu yang fitrah dan dengan sekadar melihat wujud makhluknya, manusia
akan mempu mengungkap keberadaan sang pencipta, seperti dalam 
ucapannya: “Aku merasa heran dengan orang yang mengingkari Allah swt., 
sementara dia melihat ciptaanNya!”
[11]
2. Tashdiq
Tashdiq adalah satu konsep yang lebih khusus dibanding dengan makrifat, karena 
makrifat merupakan konsep mencakup pengetahuan yang bersifat dlanni 
serta pengetahuan yaqini. 
Seperti halnya makrifat, tashdiq juga memilikibeberapa tingkatan:

Pertama:
Tashawwur ibtidai dari bagian-bagian ( maudlu dan mahmul ) cadangan dan
keyakinan sederhana akan kebenaran hukum dari nisbah tiap bagian tadi. 
Keyakinan orang awam terhadap cadangan-cadangan seperti “Tuhan ada” atau
“Tuhan maha melihat” tidak didasari oleh kemantapan pengetahuan setiap 
bagian dari cadangan atau hukum nisbah antara bagian-bagian tersebut. 

Artinya pengetahuan mereka tentang bagian dari cadangan serta hukum dari
nisbah antara keduanya sangatlah ijmal. Oleh karenanya keykinan mereka 
sangatlah rapuh.

Kedua:
Tashdiq yang muncul setelah pengetahuan yang nisbi terhadap 
bagian-bagian cadangan serta keyakinan yang muncul dari pengakuan akan 
kebenaran nisbah antara bahagian-bahagian tersebut. Akan tetapi 
keyakinan nisbi ini masih belum bisa menjadi faktor penggerak 
kehidupannya, artinya keyakinan ini masih tergantung kepada perhitungan 
untung rugi. Kalau cadangan tersebut membawa keuntungan bagi 
keberadaannya maka cadangan tersebut sempurna dan kalau tidak maka dia 
akan berpaling dari keyakinan ini.

Ketiga
: Tashdiq yang muncul dari kejelasan terhadap bagian-bagian cadangan 
dan tidak ada sedikitpun keraguan terhadapnya serta keyakinan yang 
mantap terhadap hukum nisbah antara bagian-bagian cadangan tadi. Akan 
tetapi keyinanan tersebut belum malakah dan menjadi darah dagingnya, 
artinya walaupun dengan segala kejelasan akan bagian cadangan serta 
hukumnya akan tetapi keyakinan ini tidak meresap ke dalam kehidupan dan 
tujuan hidupnya.

Keempat
: Tashdiq atau keyakinan yang dihasilkan dari pengetahuan sempurna 
terhadap bagian-bagian cadangan serta hukum nisbah antara bagain-bagian 
ini. Dan keyakinan ini sudah mendarah daging, malakah dan sudah menjadi 
faktor penggerak yang besar dalam kehidupannya. Ini merupakan keyakinan 
hakiki yang muncul dari kesempurnaan makrifar. Keyakinan seperti ini 
yang dianjurkan oleh Ali KWJ. dalam salah satu khutbahnya : “Jangan 
jadikan ilmu kalian kebodohan dan keyakinan kalian menjadi syak, jika 
kalian sudah mengetahui maka amalkanlah dan jika kalian sudah 
meyakininya maka praktek-kanlah”
[12]
Atau dalam salah satu hadits Ali KWJ. berkata : “Ilmu selalu 
bergandingan ( maqrun ) dengan amal ; barang siapa yang sudah mengetahui
maka ia akan mengamalkan dan barang siapa yang mengamalkan berarti ia 
telah mengetahui. Ilmu selalu bergandingan dengan amal, ( jika ia 
mengamalkannya ) maka ilmu akan menjawabnya dan jika tidak maka ia pun 
akan meninggalkannya”
[13]

3. Tauhid

Setelah manusia melewati ketiga tahapan tashdiq dan masuk kepada tingkatan 
keempat, maka kelazimannya dia akan mengakui keesaan Tuhan. Karena pada 
tingkatan keempat dari tashdiq, manusia sudah memiliki pengetahuan 
sempurna terhadap bagian-bagian cadangan, Argumentasi akan keberadaan 
wajib al-wujud merupakan hujah terhadap keEsa-annya. Pembuktian akan 
keberadaan wajib al-wujud ( dalam istilah falsafi ) yaitu Allah swt. ( 
dalam istilah agama ) adalah pembuktian akan keberadaan Dzat yang maha 
sempurna dan tidak terbatas. Dan kelaziman dari ketidak terbatasanNya 
adalah keEsa-anNya. Dalam salah satu hadistnya : “mengetahuinya berarti 
mengesakannya”
[14]
(seperti hujah yang dikemukakan oleh Mulla Sadra). Dalam pandangan Ali 
KWJ. yang dimaksud dengan Esa dan satunya Tuhan bukanlah satu dalam 
bilangan sehingga Dia terpisah dari yang lain dengan batasan, akan 
tetapi artinya tidak ada sekutu bagi-Nya dan Tuhan adalah wujud yang 
bashit dan tidak tersusun dari bagian seperti dalam ucapannya : “Satu 
akan tetapi bukan dengan bilangan”[15]
4. Ikhlas

Tahapan selanjutnya adalah Ikhlas tentang Tuhan ; “kesempurnaan tauhid adalah ikhlas terhadapNya”
[16]
Ibnu Abi Hadid (diyakini juga oleh Allamah Ja’fari); maksud dari ikhlas
dalam khutbah ini -dengan melihat kalimat-kalimat berikutnya dari 
khutbah ini- adalah mensucikan ( akhlasha/khalis danestan ) wujud Tuhan 
dari segala kekurangan dan sifat-sifat salbi.
[17]
5. Penafian Sifat

Tuhan
merupakan wujud yang mutlak serta maha tidak terbatas, oleh karenanya 
kekuatan akal dengan kongsep-kongsep dzihn-nya setiap kali hendak 
memberikan sifat ( dengan kongsep-kongsep ) tidak akan bisa mensifati 
Tuhan dengan sempurna dan mensifati Tuhan dengan apa yang seharusnya. 
Karena setiap kongsep dari satu sifat berbeza dengan kongsep dari sifat 
lain ( terlepas dari misdaq ), maka kelazimannya adalah keterbatasan. 
Artinya kalau kita memberikan sifat kepadaNya berarti kita telah 
membandingkan ( satu sifat dengan yang lain atau antara Dzat dengan 
sifat ). Ketika kita telah membandingkan berarti kita menduakannya, 
ketika kita menduakannya berarti kita men-tajziah, ketika kita 
men-tajziah berarti kita tidak mengenalNya dan seterusnya seperti yang 
di huraikan dalam khutbahnya.>
[18]
Wujud Tuhan yang maha tidak terbatas tidak mungkin bisa diletakkan 
dalam satu wadah, baik wadah berupa suatu wujud atau dicakup dalam wadah
berupa kongsep kulli yang dihasilkan dari perbuatan akal. Oleh 
karenanya golongan yang meyakini adanya hulul pada dzat Tuhan, mereka 
telah membatasi Tuhan dalam satu wujud makhluk tertentu. Seperti 
keyakinan bahwa Isa as. atau Ali KWJ. adalah wadah bagi wujud Tuhan, 
sangat jelas bahwa pandangan seperti itu sudah menyimpang dari Tauhid 
dan bertetangan dengan akal serta teks-teks agama seperti ucapan Ali 
KWJ. : “ barang siapa yang berkata bahwa Tuhan ada pada sesuatu maka ia 
telah menyatukanNya dengan sesutau itu, dan barang siapa yang menyatakan
bahwa Tuhan diatas ( diluar ) dari sesutau berarti ia telah memisahkan 
Tuhan darinya “. Wujud yang maha tidak terbatas, tidak berakhir dan 
memiliki wahdat ithlaqi memiliki dua kekhususan; pertama ‘ainiah wujudi 
dan hadir secara wujud dengan semua makhluk sebagai tajalli isim-Nya 
akan tetapi tidak dalam artian hulul. Kedua : fauqiah wujudi , karena 
wujudnya yang tidak terbatas tidak mungkin bisa dibatasi hanya pada 
makhluk yang terbatas ( hulul ).
Artinya
wujud mutlak ini selian hadir di dalam wujud makhluk juga berada di 
luar wujud makhluk, sebab kalau tidak maka wujud-Nya akan terbatas. 
Seperti yang diutarakan oleh Imam Husein bin Ali KWJ. ketika menafsirkan
ayat “ Allah al-shamad “ maknanya adalah “ laa jaufa lahu “ atau 
wujud-Nya tidak memiliki kekosongan artinya tidak ada bahagian pun dari 
wujud ini yang kosong dari-Nya. Hal ini juga dijelaskan dalam khutbah 
selanjutnya : “ bersama segala sesuatu akan tetapi tidak dengan 
muqaranah dan bukan segala sesuatu akan tetapi tidak jawal dan terpisah 
darinya. Kesimpulan-nya bahwa filsafat yang bersenjatakan akal dengan 
segala kekuatan-nya tidak akan bisa memahami Tuhan dengan apa adaNya ( 
ihathah ). Begitu pula kekuatan amal manusia yang terbatas, lewat 
irfannya, tidak akan sampai pada shuhud dan hudzur pada kedalaman sifat 
dari wujud yang maha Agung ini. Pengetahuan manusia tentang Tuhan selalu
diiringi dengan pengakuan ketidak mampuan dan kelemahan. Pada kutbah 
lain Ali KWJ. berkata : “kekuatan fikir manusia tidak sampai kepada 
sifat-Nya, dan hati tidak akan bisa meraih kedalam-Nya”
[19]
penjelasan lain dari penafian sifat, adalah menafikan sifat sebagai 
sesuatu yang terpisah dari mausuf. Penafsiran ini dikuatkan oleh kalimat
sesudahnya : “dengan kesaksian bahwa setiap sifat bukanlah mausuf dan 
setiap mausuf bukanlah sifat “ atau kalimat sebelumnya dari khutbah ini :
: “Dzat yang sifatnya tidak memiliki batasan yang membatasinya”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar