Salamun‘alaikum, salam kasih dan dan silaturahmi buat pengunjung dan pengikut
“Perjalanan Mukmin” diharap sihat sejahtera dan dikurniakan akal yang
sihat yang senantiasa berada didalam rahmat Allah hendaknya, al fatehah
buat semua umat Islam.
Saya sangat berkenan pada tulisan dibawah ini lalu saya mengambil-nya tanpa meminta izin terlebih dahulu kerana saya tidak tahu bagaimana untuk menghubungi-nya, diharap jika beliau membaca-nya boleh menghubungi saya samada membenarkan ataupun tidak,
jika beliau tidak mengizinkan-nya lantas saya akan memadamkan-nya.
Apapun tulisan dan huraian dibawah ini amat tersemat kedalam jiwa saya,
kerana ini adalah pegangan sebenar “Ahli Sunnah Wal Jama’ah” dari “Ahlul
Bait”.
Diantara pelajar-pelajar lulusan akademi dan halaqah Rasulullah S.A.W.
Syaidina Ali K.W.J adalah pelajar terbaiknya.
Dengan potensi suci dan sempurna Ali KWJ. mampu menangkap semua pelajaran sang guru, tidak ada satu huruf pun yang tidak difahami olehnya bahkan setiap satu huruf yang
diajarkan oleh Rasul S.A.W. terbuka baginya seribu pintu ilmu.
Hal ini menjadikan Ali KWJ. pemilik kesempurnaan akal dan iman.
Di kalangan para arif, Ali KWJ. adalah wujud tajalli tertinggi dari Haq yang maha
tinggi.
Karena ketinggian wujud suci alawi ini, hanya ka’bah yang mampu menerima tajalli wujudnya dan hanya mihrab yang sanggup menahan berat beban shahadah wujud suci ini.
Hijab dunia dan tabir akhirat di hadapan pandangan hakikat Ali KWJ. tidak lagi memiliki warna.
Pandangan Ali KWJ mampu menembus alam malakut serta tidak ada lagi yang tersembunyi dari pandangannya.
Beliau berkata : “ Sesungguhnya aku telah melihat alam malakut dengan izin
Tuhanku, tidak ada yang ghaib ( tersembunyi ) dariku apa-apa yang
sebelumku dan apa-apa yang akan datang sesudahku.
”[1]
Ali as. adalah ayat kubra Haq yang maha tinggi, insan kamil yang
memiliki ilmu kitab, seperti yang disabdakan oleh Rasulallah S.A.W.: “
salah seorang misdaq dari ayat ( katakanlah! Cukuplah Allah S.W.T
sebagai saksi antara aku dan kalian serta orang yang memiliki ilmu kitab
)
[2] adalah saudaraku Ali.”[3]
Para
arif serta ahli bathin dengan bangga mengaku diri mereka sebagai murid
dari sang murod agung ini, dan menjadikan Ali KWJ. sebagai qutub dari
silsilah mursyidnya. Imam Hadi as. berkata : Ali KWJ. adalah kiblat kaum
Arifiin
“[4]
Dikalangan ahli hikmah, hikmah alawi merupakah hikmah tertinggi.
Wujud,perbuatan serta kalam Ali KWJ. sarat dengan hikmah yang memancar dari
maqam imamahnya serta menjadi lentera bagi para pengikutnya.
Dalam filsafat ketuhanan Ali KWJ. adalah orang pertama dalam islam yang
meletakkan batu asai burhan dan membukakan pintu hujah falsafah bagi
para filusufi dan ahli hikmah sesudahnya.
Selain dari itu Ali KWJ. adalah orang pertama yang menggunakan istililah-istilah falsafah arab dalam menjelaskan masalah-masalah filsafat.
Menurut pandangan Ali KWJ. makrifat ketuhanan merupakan makrifat tertinggi dan merupakan paling sempurnanya makrifat. Seperti dalam ucapannya: “ Makrifat tentang Allah Ta’ala adalah paling tingginya makrifat
“[5] serta ucapannya: “ Barang siapa yang mengenal Allah swt. maka sempurnalah makrifatnya
“.[6]Ucapan-ucapan fasih Ali KWJ. dalam Nahjul Balaghah sangat sarat dengan hikmah dan makrifat tertinggi. Ucapan seperti ini tidak mungkin keluar kecuali dari orang yang memiliki kedudukan khusus dan tinggi tentang pengetahuan dan makrifatnya terhadap Tuhan.
Tahapan Pengenalan Tuhan dalam Ucapan Imam Ali KWJ.
Ali KWJ. dalam khutbah pertama dari Nahjul Balaghah menjelaskan urutan
tahapan pengenalan terhadap Tuhan, mulai dari tahapan sederhana hingga berakhir kepada tahapan yang sangat dalam dan detail.
1. Mengenal Tuhan dan mengakui akan ketuhananNya
Sebuah pandangan dunia yang dimiliki semua keyakinan dan agama baik yang
muwahid ataupun yang musyrik mulai dari agama primitife sampai kepada islam.
Yang tertera dalam ucapannya : “awwal ( asas ) dari agama adalah mengenal Tuhan”.
[7] Alias. dalam beberapa khutbahnya berusaha mengajukan beberapa argument
untuk pembuktian akan keberadaan sang pencipta dari alam semesta,
seperti dalam ucapan singkatnya : “setiap sesuatu yang bersandar kepada
selainnya maka ia adalah sebab”.
[8]
Ucapan singkat akan tetapi memiliki kandungan yang luas ini ingin
menjelaskan hukum sebab-musabab dan menjelaskan bahwa semua yang ada di
dunia ini sebab, karena wujud mereka bukanlah dzati ( mumkin ). Oleh
karenanya harus ada sesuatu yang keberadaanya dzati (wajib alwujud).
Dalam khutbah lain Ali KWJ. berkata : “Celakalah orang yang mengingkari
sang maha muqaddir dan tidak meyakini mudabbir”
[9]
kelanjutan dari kutbah ini : “Apakah mungkin ada bangunan tanpa ada
yang membangun dan apakah mungkin ada perbuatan tanpa adanya pelaku?”
[10]
Dalam pandangan Ali KWJ. keyakinan akan keberadaan Tuhan merupakan
sesuatu yang fitrah dan dengan sekadar melihat wujud makhluknya, manusia
akan mempu mengungkap keberadaan sang pencipta, seperti dalam
ucapannya: “Aku merasa heran dengan orang yang mengingkari Allah swt.,
sementara dia melihat ciptaanNya!”
[11]
2. Tashdiq
Tashdiq adalah satu konsep yang lebih khusus dibanding dengan makrifat, karena
makrifat merupakan konsep mencakup pengetahuan yang bersifat dlanni
serta pengetahuan yaqini.
Seperti halnya makrifat, tashdiq juga memilikibeberapa tingkatan:
Pertama:
Tashawwur ibtidai dari bagian-bagian ( maudlu dan mahmul ) cadangan dan
keyakinan sederhana akan kebenaran hukum dari nisbah tiap bagian tadi.
Keyakinan orang awam terhadap cadangan-cadangan seperti “Tuhan ada” atau
“Tuhan maha melihat” tidak didasari oleh kemantapan pengetahuan setiap
bagian dari cadangan atau hukum nisbah antara bagian-bagian tersebut.
Artinya pengetahuan mereka tentang bagian dari cadangan serta hukum dari
nisbah antara keduanya sangatlah ijmal. Oleh karenanya keykinan mereka
sangatlah rapuh.
Kedua:
Tashdiq yang muncul setelah pengetahuan yang nisbi terhadap
bagian-bagian cadangan serta keyakinan yang muncul dari pengakuan akan
kebenaran nisbah antara bahagian-bahagian tersebut. Akan tetapi
keyakinan nisbi ini masih belum bisa menjadi faktor penggerak
kehidupannya, artinya keyakinan ini masih tergantung kepada perhitungan
untung rugi. Kalau cadangan tersebut membawa keuntungan bagi
keberadaannya maka cadangan tersebut sempurna dan kalau tidak maka dia
akan berpaling dari keyakinan ini.
Ketiga
: Tashdiq yang muncul dari kejelasan terhadap bagian-bagian cadangan
dan tidak ada sedikitpun keraguan terhadapnya serta keyakinan yang
mantap terhadap hukum nisbah antara bagian-bagian cadangan tadi. Akan
tetapi keyinanan tersebut belum malakah dan menjadi darah dagingnya,
artinya walaupun dengan segala kejelasan akan bagian cadangan serta
hukumnya akan tetapi keyakinan ini tidak meresap ke dalam kehidupan dan
tujuan hidupnya.
Keempat
: Tashdiq atau keyakinan yang dihasilkan dari pengetahuan sempurna
terhadap bagian-bagian cadangan serta hukum nisbah antara bagain-bagian
ini. Dan keyakinan ini sudah mendarah daging, malakah dan sudah menjadi
faktor penggerak yang besar dalam kehidupannya. Ini merupakan keyakinan
hakiki yang muncul dari kesempurnaan makrifar. Keyakinan seperti ini
yang dianjurkan oleh Ali KWJ. dalam salah satu khutbahnya : “Jangan
jadikan ilmu kalian kebodohan dan keyakinan kalian menjadi syak, jika
kalian sudah mengetahui maka amalkanlah dan jika kalian sudah
meyakininya maka praktek-kanlah”
[12]
Atau dalam salah satu hadits Ali KWJ. berkata : “Ilmu selalu
bergandingan ( maqrun ) dengan amal ; barang siapa yang sudah mengetahui
maka ia akan mengamalkan dan barang siapa yang mengamalkan berarti ia
telah mengetahui. Ilmu selalu bergandingan dengan amal, ( jika ia
mengamalkannya ) maka ilmu akan menjawabnya dan jika tidak maka ia pun
akan meninggalkannya”
[13]
3. Tauhid
Setelah manusia melewati ketiga tahapan tashdiq dan masuk kepada tingkatan
keempat, maka kelazimannya dia akan mengakui keesaan Tuhan. Karena pada
tingkatan keempat dari tashdiq, manusia sudah memiliki pengetahuan
sempurna terhadap bagian-bagian cadangan, Argumentasi akan keberadaan
wajib al-wujud merupakan hujah terhadap keEsa-annya. Pembuktian akan
keberadaan wajib al-wujud ( dalam istilah falsafi ) yaitu Allah swt. (
dalam istilah agama ) adalah pembuktian akan keberadaan Dzat yang maha
sempurna dan tidak terbatas. Dan kelaziman dari ketidak terbatasanNya
adalah keEsa-anNya. Dalam salah satu hadistnya : “mengetahuinya berarti
mengesakannya”
[14]
(seperti hujah yang dikemukakan oleh Mulla Sadra). Dalam pandangan Ali
KWJ. yang dimaksud dengan Esa dan satunya Tuhan bukanlah satu dalam
bilangan sehingga Dia terpisah dari yang lain dengan batasan, akan
tetapi artinya tidak ada sekutu bagi-Nya dan Tuhan adalah wujud yang
bashit dan tidak tersusun dari bagian seperti dalam ucapannya : “Satu
akan tetapi bukan dengan bilangan”[15]
4. Ikhlas
Tahapan selanjutnya adalah Ikhlas tentang Tuhan ; “kesempurnaan tauhid adalah ikhlas terhadapNya”
[16]
Ibnu Abi Hadid (diyakini juga oleh Allamah Ja’fari); maksud dari ikhlas
dalam khutbah ini -dengan melihat kalimat-kalimat berikutnya dari
khutbah ini- adalah mensucikan ( akhlasha/khalis danestan ) wujud Tuhan
dari segala kekurangan dan sifat-sifat salbi.
[17]
5. Penafian Sifat
Tuhan
merupakan wujud yang mutlak serta maha tidak terbatas, oleh karenanya
kekuatan akal dengan kongsep-kongsep dzihn-nya setiap kali hendak
memberikan sifat ( dengan kongsep-kongsep ) tidak akan bisa mensifati
Tuhan dengan sempurna dan mensifati Tuhan dengan apa yang seharusnya.
Karena setiap kongsep dari satu sifat berbeza dengan kongsep dari sifat
lain ( terlepas dari misdaq ), maka kelazimannya adalah keterbatasan.
Artinya kalau kita memberikan sifat kepadaNya berarti kita telah
membandingkan ( satu sifat dengan yang lain atau antara Dzat dengan
sifat ). Ketika kita telah membandingkan berarti kita menduakannya,
ketika kita menduakannya berarti kita men-tajziah, ketika kita
men-tajziah berarti kita tidak mengenalNya dan seterusnya seperti yang
di huraikan dalam khutbahnya.>
[18]
Wujud Tuhan yang maha tidak terbatas tidak mungkin bisa diletakkan
dalam satu wadah, baik wadah berupa suatu wujud atau dicakup dalam wadah
berupa kongsep kulli yang dihasilkan dari perbuatan akal. Oleh
karenanya golongan yang meyakini adanya hulul pada dzat Tuhan, mereka
telah membatasi Tuhan dalam satu wujud makhluk tertentu. Seperti
keyakinan bahwa Isa as. atau Ali KWJ. adalah wadah bagi wujud Tuhan,
sangat jelas bahwa pandangan seperti itu sudah menyimpang dari Tauhid
dan bertetangan dengan akal serta teks-teks agama seperti ucapan Ali
KWJ. : “ barang siapa yang berkata bahwa Tuhan ada pada sesuatu maka ia
telah menyatukanNya dengan sesutau itu, dan barang siapa yang menyatakan
bahwa Tuhan diatas ( diluar ) dari sesutau berarti ia telah memisahkan
Tuhan darinya “. Wujud yang maha tidak terbatas, tidak berakhir dan
memiliki wahdat ithlaqi memiliki dua kekhususan; pertama ‘ainiah wujudi
dan hadir secara wujud dengan semua makhluk sebagai tajalli isim-Nya
akan tetapi tidak dalam artian hulul. Kedua : fauqiah wujudi , karena
wujudnya yang tidak terbatas tidak mungkin bisa dibatasi hanya pada
makhluk yang terbatas ( hulul ).
Artinya
wujud mutlak ini selian hadir di dalam wujud makhluk juga berada di
luar wujud makhluk, sebab kalau tidak maka wujud-Nya akan terbatas.
Seperti yang diutarakan oleh Imam Husein bin Ali KWJ. ketika menafsirkan
ayat “ Allah al-shamad “ maknanya adalah “ laa jaufa lahu “ atau
wujud-Nya tidak memiliki kekosongan artinya tidak ada bahagian pun dari
wujud ini yang kosong dari-Nya. Hal ini juga dijelaskan dalam khutbah
selanjutnya : “ bersama segala sesuatu akan tetapi tidak dengan
muqaranah dan bukan segala sesuatu akan tetapi tidak jawal dan terpisah
darinya. Kesimpulan-nya bahwa filsafat yang bersenjatakan akal dengan
segala kekuatan-nya tidak akan bisa memahami Tuhan dengan apa adaNya (
ihathah ). Begitu pula kekuatan amal manusia yang terbatas, lewat
irfannya, tidak akan sampai pada shuhud dan hudzur pada kedalaman sifat
dari wujud yang maha Agung ini. Pengetahuan manusia tentang Tuhan selalu
diiringi dengan pengakuan ketidak mampuan dan kelemahan. Pada kutbah
lain Ali KWJ. berkata : “kekuatan fikir manusia tidak sampai kepada
sifat-Nya, dan hati tidak akan bisa meraih kedalam-Nya”
[19]
penjelasan lain dari penafian sifat, adalah menafikan sifat sebagai
sesuatu yang terpisah dari mausuf. Penafsiran ini dikuatkan oleh kalimat
sesudahnya : “dengan kesaksian bahwa setiap sifat bukanlah mausuf dan
setiap mausuf bukanlah sifat “ atau kalimat sebelumnya dari khutbah ini :
: “Dzat yang sifatnya tidak memiliki batasan yang membatasinya”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar