Hadits Qudsi Imam Ghazali
Allah berfirman :
“Wahai manusia !
Wahai budak-budak uang !
Aku menjadikan uang agar engkau dapat menikmati rejeki-Ku,
mengenakan pakaian-Ku dan
agar kalian semua membaca tasbih serta mensucikan diri-Ku.
Tetapi ternyata kalian semua mengambil kitab suci-Ku,
lalu engkau taruh di belakangmu dan
engkau mengambil uang lalu engkau tempatkan di atas kepalamu.
Kau agung-agungkan rumahmu dan kau remehkan rumah-Ku.
Sungguh engkau bukanlah manusia-manusia pilihan,
bukan orang yang merdeka.
Tapi engkau adalah budak dunia.
Sekumpulan manusia semacam dirimu laksana sebuah kuburan
yang dibangun dengan tembok.
Sepintas, jika dilihat dari luar, nampak cantik-molek, tapi di dalamnya jelek.
Begitu pula dengan sikapmu,
sepintas kalian berbuat bajik, simpatik dan penuh kasih pada orang lain
dengan mulutmu yang manis dan perbuatanmu yang indah memikat.
Namun itu pula engkau sesungguhnya hatimu keras dan kasar
serta budi pekertimu yang nista.
Wahai manusia !
Bersihkan perbuatanmu dari noda, lalu mintalah kepada-Ku !
Sungguh Aku akan memberi kepadamu lebih banyak lagi
dari apa yang diminta oleh para peminta.”
Allah berfirman :
“Wahai manusia !
Aku tidak menciptakanmu
karena Aku menginginkan agar yang sedikit menjadi banyak karenamu,
tidak karena Aku ingin menjadikan luluhnya binatang buas karenamu,
tidak karena Aku ingin meminta pertolongan dalam urusan yang Aku tak mampu,
tidak karena ingin menarik keuntungan bagi-Ku
atau pula untuk menolak yang membahayakan bagi diri-Ku.
Aku menciptakanmu,
agar tiada henti menyembah-Ku,
bersyukur sebanyak mungkin dan mensucikan-Ku pagi dan sore.
Wahai manusia !
Andai manusia yang pertama dan yang paling akhir di antara kalian,
seluruh jin dan manusia, baik tua maupun muda, baik yang merdeka maupun hamba berkumpul semua tunduk dan patuh kepada-Ku,
setitik tepung pun tidak akan menambah kebesaran singgasana kekuasaan-Ku.
Barangsiapa berjihad di jalan Allah,
sesungguhnya ia berjuang untuk kebaikan dirinya sendiri.
Sesungguhnya Allah tidak butuh sama sekali terhadap alam semesta.
Wahai manusia !
Sebagaimana engkau berbuat, engkau akan diperlakukan.”
Allah berfirman :
“Wahai manusia !
Jangan engkau menjadi orang yang terlambat dalam bertobat,
membumbung angan-angan dan mengharap kenikmatan hidup di akhirat tanpa amal. Berkata seperti ahli ibadah, beramal seperti orang munafik.
Jika diberi karunia tidak pernah mau menerima apa adanya.
Jika tidak diberi, tidak mau bersabar.
Mengajak berbuat baik pada orang lain tapi ia sendiri mengabaikannya.
Mencegah orang lain agar tidak berbuat nista, sementara ia sendiri melakukannya. Mencintai orang yang suka berbuat baik, namun ia sendiri tidak termasuk di dalamnya. Membenci orang yang bersikap hipokrit, padahal ia termasuk di dalamnya.
Mengatakan sesuatu yang tidak ia perbuat dan melakukan apa yang ia cegah.
Menuntut orang lain memenuhi janji, namun ia sendiri mengkhianati.
Wahai manusia !
Dalam setiap pergantian hari, sesungguhnya bumi selalu berkata kepadamu.
Wahai manusia !
Engkau berjalan di atas punggungku.
Kemudian jenazahmu ditaruh di dalam perutku.
Engkau makan sesuka hatimu di atas punggungku
dan setelah itu ulat-ulat memakan bangkaimu di dalam perutku.
Wahai manusia !
Sungguh aku ini adalah sarang binatang buas, rumah saling menuntut,
rumah tempat tinggal bersama, rumah kegelapan, sarang ular dan kalajengking.
Maka hendaknya engkau membangun diriku, bukan justru memporakporandakan diriku.”
Allah berfirman :
“Wahai manusia !
Barangsiapa berduka karena persoalan dunia, maka ia hanya akan kian jauh dari Allah, kian nestapa di dunia dan semakin menderita di akhirat.
Allah akan menjadikan hati orang tersebut dirundung duka selamanya,
kebingungan yang tak berakhir,
kepapaan yang berlarut-larut dan angan-angan yang selalu mengusik
ketenangan hidupnya.
Wahai manusia ! Hari demi hari usiamu kian berkurang, sementara engkau tidak pernah menyadarinya. Setiap hari Aku datangkan rejeki kepadamu, sementara engkau tak pernah memuji-Ku. Dengan pemberian yang sedikit engkau tidak pernah mau lapang dada. Dengan pemberian yang banyak, engkau tidak juga pernah merasa kenyang.
Wahai manusia !
Setiap hari Aku mendatangkan rejeki untukmu.
Sementara setiap malam malaikat datang kepada-Ku
dengan membawa catatan perbuatan jelekmu.
Engkau makan dengan lahap rejeki-Ku,
namun engkau tak segan-segan pula berbuat durjana kepada-Ku.
Aku kabulkan jika engkau memohon kepada-Ku.
Kebaikan-Ku tak putus-putus mengalir untukmu.
Namun sebaliknya, catatan kejelekanmu sampai kepada-Ku tiada henti.
Akulah pelindung terbaik untukmu. Sedangkan engkau hamba terjelek bagi-Ku.
Kau raup segala apa yang Kuberikan untukmu.
Kututupi kejelekan demi kejelekan yang kau perbuat secara terang-terangan.
Aku sungguh sangat malu kepadamu,
sementara engkau sedikitpun tak pernah merasa malu kepada-Ku.
Engkau melupakan diri-Ku dan mengingat yang lain.
Kepada manusia engkau merasa takut,
sedangkan kepada-Ku engkau merasa aman-aman saja.
Pada manusia engkau takut dimarahi, tetapi pada murka-Ku engkau tak peduli.”
Allah berfirman :
“Wahai manusia !
Terimalah anugerah yang Kuberikan dengan lapang dada,
maka engkau tidak akan berharap pada pemberian orang lain.
Tinggalkanlah rasa dengki, maka engkau akan terhindar dari kegelisahan hidup.
Hindari perbuatan haram, maka engkau aman dari kerancuan dalam beragama.
Barangsiapa mampu menjaga diri dari membicarakan kejelekan orang lain,
maka kecintaan-Ku akan Kuanugerahkan kepadanya.
Barangsiapa mengisolasikan diri dari kerumunan orang,
maka ia akan terhindar dari pengaruh jeleknya.
Barangsiapa mampu membatasi diri dari berbicara yang tidak ada gunanya,
itu menandakan kematangan akalnya.
Barangsiapa menerima dengan lapang dada atas pemberian Allah yang sedikit,
maka ia penuh percaya pada Allah.
Wahai manusia !
Jika engkau tidak melaksanakan ilmu yang telah engkau ketahui,
maka bagaimana mungkin engkau akan dapat mencari ilmu yang belum engkau ketahui.
Wahai manusia !
Bekerjalah di dunia seakan engkau tidak akan mati esok.
Kumpulkanlah harta seolah engkau akan hidup kekal di dunia.
Wahai dunia !
Jangan kau beri orang yang memburu dirimu.
Carilah orang yang menghindar darimu.
Jadilah kamu laksana manisan bagi mata orang yang memandangmu.”
Allah berfirman :
“Aku bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Aku.
Tiada sekutu bagi-Ku. Dan Muhammad adalah hamba dan utusan-Ku.
Barangsiapa tidak mau menerima suratan nasib yang telah Aku putuskan,
tidak bersabar atas segala cobaan yang Aku berikan,
tidak mau berterimakasih atas segala nikmat yang Aku curahkan,
dan tidak mau menerima apa adanya atas segala yang Aku berikan,
maka sembahlah Tuhan selain Aku.
Barangsiapa yang susah karena urusan dunia, sama saja ia marah kepada-Ku.
Barangsiapa mengadukan musibah yang menimpa dirinya (pada orang),
ia sungguh berkeluh-kesah pada-Ku.
Barangsiapa menghadap pada orang kaya dengan menundukkan diri karena kekayaannya, maka lenyaplah dua pertiga agamanya.
Barangsiapa menampar mukanya atas kematian seseorang, maka ia sama saja dengan mengambil sebuah tombak untuk memerangi Aku.
Barangsiapa memecah kayu di atas kubur,
maka ia sama saja dengan merobohkan pintu Ka’bah-Ku.
Barangsiapa tidak peduli terhadap cara mendapatkan makanan,
berarti ia tidak mempedulikan dari pintu mana Allah akan memasukkannya
ke dalam neraka Jahannam.
Barangsiapa tidak bertambah tingkat penghayatan keagamaannya,
sungguh ia dalam keadaan selalu berkurang.
Barangsiapa yang terus-menerus dalam keadaan berkurang,
kematian adalah jauh lebih baik baginya.
Barangsiapa mengamalkan ilmu yang ia ketahui,
maka Allah akan menganugerahkan ilmu yang belum ia ketahui.
Barangsiapa yang angan-angannya membumbung tinggi,
maka amal perbuatannya akan keruh.”
Allah berfirman :
“Wahai manusia !
Aku heran pada orang yang yakin akan kematian, tapi ia hidup bersuka-ria.
Aku heran pada orang yang yakin akan pertanggungjawaban segala amal perbuatan
di akhirat, tapi ia asyik mengumpulkan dan menumpuk harta benda.
Aku heran pada orang yang yakin akan kubur, tapi ia tertawa terbahak-bahak.
Aku heran pada orang yang yakin akan adanya alam akhirat,
tapi ia menjalani kehidupan dengan bersantai-santai.
Aku heran pada orang yang yakin akan kehancuran dunia, tapi ia menggandrunginya.
Aku heran pada intelektual, yang bodoh dalam soal moral.
Aku heran pada orang yang bersuci dengan air, sementara hatinya masih tetap kotor.
Aku heran pada orang yang sibuk mencari cacat dan aib orang lain,
sementara ia tidak sadar sama sekali terhadap cacat yang ada pada dirinya sendiri.
Aku heran pada orang yang yakin bahwa Allah senantiasa mengawasi segala perilakunya, tapi ia berbuat durjana.
Aku heran pada orang yang sadar akan kematiannya,
kemudian akan tinggal dalam kubur seorang diri,
lalu dimintai pertanggungjawaban seluruh amal perbuatannya,
tapi berharap belas-kasih dari orang lain.
Sungguh tiada Tuhan kecuali Aku dan Muhammad adalah hamba dan utusan-Ku”.
Tentang Dunia
Dunia ini adalah sebuah panggung atau pasar yang disinggahi oleh para musafir d
i tengah perjalannya ke tempat lain.
Di sinilah mereka membekali diri dengan berbagai perbekalan untuk perjalanan itu. Jelasnya, di sini manusia dengan menggunakan indera-indera jasmaniahnya,
memperoleh sejumlah pengetahuan tentang karya-karya Allah serta,
melalui karya-karya tersebut, tentang Allah sendiri.
Suatu pandangan tentang-Nya akan menentukan kebahagiaan masa-depannya.
Untuk memperoleh pengetahuan inilah ruh manusia diturunkan ke alam air dan lempung ini. Selama indera-inderanya masih tinggal bersamanya,
dikatakan bahwa ia berada di “alam ini”.
Jika kesemuanya itu pergi dan hanya sifat-sifat esensinya saja yang tinggal,
dikatakan ia telah pergi ke “alam lain”.
Sementara manusia berada di dunia ini ada dua hal yang perlu baginya.
Pertama,
perlindungan dan pemeliharaan jiwanya;
kedua,
perawatan dan pemeliharaan jasadnya.
Pemeliharaan yang tepat atas jiwanya, sebagaimana ditunjukkan di atas,
adalah pengetahuan dan cinta akan Tuhan.
Terserap ke dalam kecintaan akan segala sesuatu selain Allah
berarti keruntuhan jiwa.
Jasad bisa dikatakan sebagai sekadar hewan tunggangan jiwa dan akan musnah, sementara jiwa terus abadi.
Jiwa mesti merawat badan persis sebagaimana seorang peziarah,
dalam perjalanannya ke Makkah, merawat ontanya.
Tetapi jika sang peziarah menghabiskan waktunya untuk memberi makan
dan menghiasi ontanya, kafilah pun akan meninggalkannya
dan ia akan mati di padang pasir.
Kebutuhan-kebutuhan jasmaniah manusia itu sederhana saja,
hanya terdiri dari tiga hal; makanan, pakaian dan tempat tinggal.
Tetapi ...
nafsu-nafsu jasmaniah yang tertanam di dalam dirinya
dan keinginan untuk memenuhinya cenderung untuk memberontak
melawan nalar yang lebih belakangan tumbuh dari nafsu-nafsu itu.
Sesuai dengan itu, sebagaimana kita lihat di atas,
mereka perlu dikekang dan dikendalikan dengan hukum-hukum Tuhan
yang disebarkan oleh para nabi.
Sedangkan mengenai dunia yang mesti kita garap,
kita dapati ia terkelompokkan dalam tiga bagian, hewan, tetumbuhan dan barang tambah.
Produk-produk dari ketiganya terus-menerus dibutuhkan oleh manusia
dan telah mengembangkan tiga pekerjaan besar;
pekerjaan para penenun, pembangun dan pekerja logam.
Sekali lagi,
semuanya itu memiliki banyak cabang yang lebih rendah seperti penjahit, tukang batu dan tukang besi.
Tidak ada dari padanya yang bisa sama sekali bebas dari yang lain.
Hal ini menimbulkan berbagai macam hubungan perdagangan
dan seringkali mengakibatkan kebencian, iri hari, cemburu dan lain-lain penyakit jiwa. Karenanya timbullah pertengkaran dan perselisihan,
kebutuhan akan pemerintahan politik dan sipil serta ilmu hukum.
Demikianlah,
pekerjaan-pekerjaan dan bisnis-bisnis di dunia ini telah menjadi semakin rumit
dan menimbulkan kekacauan.
Sebab utamanya adalah manusia telah lupa bahwa kebutuhan-kebutuhan mereka sebenarnya hanya tiga; pakaian, makanan dan tempat tinggal,
dan bahwa kesemuanya itu ada hanya demi menjadikan jasad
sebagai kendaraan yang layak bagi jiwa di dalam perjalanannya menuju dunia berikutnya.
Mereka terjerumus ke dalam kesalahan yang sama
sebagaimana sang peziarah menuju Makkah yang, karena melupakan tujuan ziarah
dan dirinya sendiri, terpaksa menghabiskan seluruh waktunya untuk memberi makan
dan menghiasi ontanya.
Seseorang pasti akan terpikat dan tersibukkan oleh dunia – yang oleh Rasulullah dikatakan sebagai tukang sihir yang lebih kuat daripada Harut dan Marut –
kecuali jika orang tersebut menyelenggarakan pengawasan yang paling ketat.
Watak penipu dari dunia ini bisa mengambil berbagai bentuk.
Pertama,
ia berpura-pura seakan-akan bakal selalu tinggal dengan anda,
sementara nyatanya ia pelan-pelan menyingkir dari anda
dan menyampaikan salam perpisahan,
sebagaimana suatu bayangan yang tampaknya tetap, tetapi kenyatannya selalu bergerak.
Demikian pula,
dunia menampilkan dirinya di balik kedok nenek sihir yang berseri-seri tetapi tak bermoral, berpura-pura mencintai anda, menyayangi anda
dan kemudian membelot kepada musuh anda,
meninggalkan anda mati merana karena rasa kecewa dan putus asa.
Nabiyullah Isa a.s. melihat dunia terungkapkan dalam bentuk seorang wanita tua
yang buruk muka.
Ia bertanya kepada wanita itu, berapa banyak suami yang dipunyainya,
dan mendapat jawaban, jumlahnya tak terhitung.
Ia bertanya lagi, telah matikah mereka ataukah diceraikan.
Kata si wanita, ia telah memenggal mereka semua.
“Saya heran”, kata Isa a.s., “atas kepandiran orang yang melihat apa yang telah
kamu kerjakan kepada orang lain, tetapi masih tetap menginginimu.”
Wanita sihir ini mematut dirinya dengan pakaian indah-indah dan penuh permata,
menutupi mukanya dengan cadar, kemudian mulai merayu manusia.
Sangat banyak dari mereka yang mengikutinya menuju kehancuran diri mereka sendiri.
Rasulullah saw. Bersabda bahwa di Hari Pengadilan,
dunia ini akan tampak dalam bentuk seorang nenek sihir yang seram,
dengan mata yang hijau dan gigi bertonjolan.
Orang-orang yang melihat mereka akan berkata, “Ampun! Siapa ini?”
Malaikat pun akan menjawab, “Inilah dunia yang deminya engkau bertengkar dan berkelahi serta saling merusakkan kehidupan satu sama lain.”
Kemudian wanita itu akan dicampakkan ke dalam neraka
sementara dia menjerit keras-keras, “Oh Tuhan, di mana pencinta-pencintaku dahulu?” Tuhan pun kemudian akan memerintahkan agar mereka juga dilemparkan mengikutinya.
Siapa pun yang mau secara serius merenung tentang keabadian yang telah lalu,
akan melihat bahwa kehidupan ini seperti sebuah perjalanan yang babakannya dicerminkan oleh tahun, liga-liga (ukuran jarak, kira-kira sama dengan tiga mil) oleh bulan, mil-mil oleh hari, dan langkah-langkah oleh saat.
Kemudian, kata-kata apa yang bisa menggambarkan ketololan manusia
yang berupaya untuk menjadikannya tempat tinggal abadi dan membuat rencana-rencana untuk sepuluh tahun mendatang mengenai apa-apa yang boleh jadi tak pernah ia butuhkan, karena sangat mungkin ia sepuluh hari lagi sudah berada di bawah tanah.
Orang-orang yang telah mengumbar diri tanpa batas dengan kesenangan-kesenangan dunia ini, pada saat kematiannya akan seperti seseorang yang memenuhi perutnya
dengan bahan makanan terpilih dan lezat, kemudian memuntahkannya.
Kelezatannya telah hilang, tetapi ketidak-enakannya tinggal.
Makin berlimpah harta yang telah mereka nikmati – taman-taman, budak-budak laki dan perempuan, emas, perak dan lain sebagainya – akan makin keraslah mereka rasakan kepahitan berpisah dari semuanya itu.
Kepahitan ini akan terasa lebih berat dari kematian, karena jiwa
yang telah menjadikan ketamakan sebagai suatu kebiasaan
tetap akan menderita di dunia yang akan datang
akibat kepedihan nafsu-nafsu yang tak terpuaskan.
Sifat berbahaya lainnya dari benda-benda duniawi adalah bahwa
pada mulanya mereka tampak sebagai sekadar hal-hal sepele,
tetapi hal-hal yang dianggap sepele ini masing-masing bercabang tak terhitung banyaknya sampai menelan seluruh waktu dan energi manusia.
Isa a.s. bersabda:
“Pencinta dunia ini seperti seseorang yang minum air laut; makin banyak minum,
makin hauslah ia sampai akhirnya mati akibat kehausan yang tak terpuaskan,”
Rasulullah saw. bersabda:
“Engkau tak bisa lagi bercampur dengan dunia tanpa terkotori olehnya,
sebagaimana engkau tak bisa menyelam dalam air tanpa menjadi basah”.
Dunia ini seperti sebuah meja yang terhampar bagi tamu-tamu yang datang dan pergi
silih berganti.
Ada piring-piring emas dan perak, makanan dan parfum yang berlimpah-limpah.
Tamu yang bijaksana makan sebanyak yang ia butuhkan, menghirup harum-haruman, mengucapkan terima kasih pada tuan rumah, lalu pergi.
Sebaliknya tamu-tamu yang tolol mencoba untuk membawa beberapa piring emas
dan perak hanya dengan akibat semua itu direnggutkan dari tangannya
dan ia pun dicampakkan ke dalam keadaan kecewa dan malu.
Akan kita tutup gambaran tentang sifat-menipu dunia dengan tamsil pendek berikut ini.
Misalkan sebuah kapal akan sampai pada sebuah pulau yang berhutan lebat.
Kapten kapal berkata kepada para penumpang bahwa ia akan berhenti
selama beberapa jam di sana, dan mereka boleh berjalan-jalan di pantai sebentar,
tetapi memperingatkan mereka agar tidak terlalu lama.
Maka para penumpang pun turun dan bertebaran ke berbagai arah.
Meskipun demikian, orang yang paling bijaksana akan segera kembali,
menemukan bahwa kapal itu kosong, lalu memilih tempat yang paling nyaman di dalamnya.
Kelompok penumpang yang kedua menghabiskan waktu yang agak lebih lama
di pulau tersebut, mengagumi dedaunan, pepohonan dan mendengarkan
nyanyian burung-burung.
Ketika kembali ke kapal mereka temui tempat-tempat yang paling nyaman di kapal tersebut telah terisi dan terpaksa puas dengan tempat yang agak kurang nyaman.
Kelompok ketiga berjalan-jalan lebih lauh lagi dan menemukan batu-batu berwarna
yang amat indah, lalu membawanya kembali ke kapal.
Keterlambatan itu memaksa mereka untuk mendekam jauh di bagian paling rendah
kapal itu, tempat mereka dapati batu-batuan yang mereka bawa – yang ketika itu telah kehilangan segenap keindahannya – mengganggu mereka di perjalanan.
Kelompok terakhir berjalan-jalan sedemikian jauh sehingga tak bisa dijangkau lagi
oleh suara kapten kapal yang memanggil mereka untuk kembali ke kapal.
Sehingga kapal itu pun akhirnya terpaksa berlayar tanpa mereka.
Meraka luntang-lantung dalam keadaan tanpa harapan dan akhirnya mati kelaparan,
atau menjadi mangsa binatang buas.
Kelompok pertama mencerminkan orang-orang beriman yang sama sekali menjauhkan diri dari dunia, dan kelompok yang terakhir adalah kelompok orang kafir yang hanya mengurusi dunia ini dan sama sekali tidak mengacuhkan yang akan datang.
Dua kelompok di antaranya adalah orang-orang yang masih mempunyai iman,
tapi menyibukkan diri mereka, sedikit atau banyak,
dengan kesia-siaan benda-benda sekarang.
Meskipun telah kita katakan banyak hal yang menentang dunia,
mesti diingat bahwa ada beberapa hal di dunia ini yang tidak termasuk di dalamnya,
seperti ilmu dan amal baik.
Seseorang membawa bersamanya ilmu yang ia miliki ke dunia yang akan datang
dan, meskipun amal-amal baiknya telah lampau, efeknya tetap tinggal dalam pribadinya. Khususnya dengan ibadah yang menjadikan orang terus-menerus ingat
dan cinta kepada Allah.
Semuanya ini termasuk “hal-hal yang baik”, dan sebagaimana difirmankan dalam al-Quran, “tidak akan hilang.”
Ada hal-hal lainnya yang baik di dunia ini, seperti perkawinan, makanan, pakaian
dan lain sebagainya, yang oleh orang yang bijaksana digunakan sekadarnya
untuk membantunya mencapai dunia yang akan datang.
Benda-benda lain yang memikat pikiran yang menyebabkan setiap kepada dunia ini dan ceroboh tentang dunia lain, adalah benar-benar kejahatan
dan disebutkan oleh Rasulullah saw. dalam sabdanya:
“Dunia ini terkutuk dan segala sesuatu yang terdapat di dalamnya juga terkutuk,
kecuali zikir kepada Allah dan segala sesuatu yang mendukung perbuatan itu.”
Ulama yang terpedaya..
Kalangan Ulama ini ada beberapa golongan.
Salah satu golongan dari mereka, adalah kalangan yang terlalu mendalami ilmu-ilmu syari’at dan ilmu-ilmu rasionaI.
Mereka sibuk dengan disiplin tersebut, namun mengabaikan penjagaan dirinya
dari tindakan maksiat dan mengabaikan ketaatan.
Mereka terpedaya oleh ilmunya sendiri.
Anehnya, mereka menyangka memiliki posisi di hadapan Allah swt.
Bahkan mereka berasumsi bahwa Allah tidak akan menyiksanya,
karena ilmunya telah mencapai suatu tahap tertentu.
Mereka merasa bisa memberi syafaat terhadap orang lain,
dan mereka tidak terkena tuntutan dosa dan kesalahannya.
Mereka sebenarnya tertipu.
Kalau saja mereka mau melihat dengan mata hati, pasti mereka akan menemukan t
itik pandang bahwa ilmu itu terbagi menjadi dua :
Ilmu Muamalat dan Ilmu Mukasyafah,
yaitu pengetahuan terhadap Allah swt dan Sifat-sifat-Nya.
Sementara Ilmu Muamalat berfungsi sebagai komplementer hikmah yang dituju,
yaitu pengetahuan tentang halal dan haram, pengetahuan etika jiwa yang tercela dan terpuji.
Mereka itu seperti seorang dokter yang mampu mengobati orang lain,
sedangkan ia sendiri ketika sakit sebenarnya mampu mengobati dirinya sendiri,
tetapi hal itu tidak dilakukan. Lalu apa gunanya pengobatan tersebut?
Sungguh jauh dari harapan,
di mana terapi tidak akan bermanfaat kecuali orang yang mau meminum obat tersebut setelah merasakan demam.
Mereka melupakan firman Allah swt.:
“Sungguh benar-benar berbahagia orang yang menyucikan jiwa d
an benar-benar merugi orang yang mengotorinya”.
(Q.S. asy-Sayms: 9-10).
Allah tidak berfirman,
“Barangsiapa yang mengetahui penyucian jiwa dan menulis ilmunya,
serta mengajarkannya kepada manusia”.
Mereka pun alpa terhadap sabda Nabi saw.:
“Barangsiapa bertambah ilmunya dan tidak tambah hidayahnya,
maka tidak akan bertambah dari Allah kecuali jauh dari-Nya”.
“Sesungguhnya orang yang paling tersiksa di hari Kiamat adalah
seorang ilmuwan yang tidak diberi oleh Allah kemanfaatan atas ilmunya”.
Dan hadis-hadis lainnya yang sepadan.
Mereka itu adalah para Ulama yang tertimpa tipudayanya sendiri,
dan semoga Allah menjaga kita dari tingkah laku mereka.
Mereka sebenarnya terhimpit oleh kecintaan duniawi, egoisme
dan mencari kemudahan dunia saja, sembari berangan-angan bahwa
ilmunya mampu menyelamatkan dirinya di akhirat tanpa harus beramal.
Kelompok Pertama
Sedangkan kelompok Ulama lainnya menekuni ilmunya dan amal-amal lahiriah, meninggalkan maksiat-maksiat lahiriah, namun alpa dengan kondisi ruhani jiwanya.
Mereka tidak mau menghapus sifat-sifat tercelanya di hadapan Allah swt.
seperti: sombong, riya’, dengki, ambisi posisi dan status,
berhasrat buruk kepada sesama teman, mencari popularitas
di tengah-tengah negeri dan penduduknya.
Semua itu merupakan tipudaya, yang disebabkan oleh kealpaannya
terhadap hadis Nabi saw.:
“Riya’ adalah syirik kecil”.
“Dengki itu memakan kebaikan seperti api menghanguskan kayu kering”.
“Cinta harta dan kemuliaan bisa menimbulkan kemunafikan dalam hati,
seperti air menumbuhkan sayur mayur”.
Dan hadis-hadis lainnya.
Mereka pun melupakan firman Allah swt.:
“Kecuali orang-orang yang menghadap Allah dengan hati yang bersih”.
(Q.S. asy-Syu’ara’: 89).
Mereka alpa hatinya dan cukup dengan kesibukan amal lahiriah belaka.
Padahal yang hatinya tidak patuh, tidak akan sah taatnya.
Ia ibarat orang berpenyakit kudis,
lantas dokter memerintahkan untuk mengoleskan dan meminum obat,
tetapi ia hanya sibuk mengoleskan kulit luar saja, tanpa meminum obat.
Akhirnya, penyakit luar hilang tetapi penyakit dalamnya masih bercokol.
Padahal akar penyakit itu justru dari dalam, karenanya
semakin bertambahlah penyakit dalamnya.
Seandainya sumber penyakit dari dalam hilang, pasti yang di luar semakin ringan.
Begitu pula kotoran-kotoran manakala bertengger dalam hati,
akan tampak pengaruhnya pada fisik.
Kelompok Kedua
Sekelompok Ulama lain mengenal etika batin dan mengetahui bahwa pelanggaran tersebut dicaci oleh syari’at.
Hanya saja, karena mereka terlalu berbangga dan kagum pada diri sendiri,
mereka menduga dirinya lepas dari cacian tersebut.
Di sisi Allah, menurut mereka, telah bebas dari cobaan seperti itu.
Mereka yang dicaci adalah kalangan awam,
bukan pada pihak yang telah sampai pada taraf ilmu pengetahuan.
Sementara mereka kalangan Ulama merasa bebas dari sanksi tersebut,
sehingga mereka terjerumus dalam khayalan kebesaran dan jenjang tahta, ambisi keluhuran dan kehormatan, dan mereka tertipu oleh dugaan mereka sendiri,
bahwa cara yang mereka tempuh itu bukan sebagai tindak kesombongan.
Mereka beralasan apa yang dilakukan, sebagai upaya memuliakan agama,
menampakkan kemuliaan pengetahuan dan membantu agama Allah.
Mereka Iupa pesta iblis karena tindakan mereka itu, mereka juga alpa
bagaimana sebenarnya kontribusi Nabi Saww. dan bagaimana kehinaan orang-orang kafir.
Mereka juga lupa, bagaimana para sahabat bertawadhu’, merasa rendah hati, miskin
dan tempat tinggal apa adanya.
Sehingga Umar bin Khaththab r.a. pernah dikritik karena pakaiannya yang lusuh
setibanya di Syam.
Lalu Umar berkata,
“Kami adalah kaum dimana Allah meninggikan kami dengan Islam.
Kami tidak mencari kemuliaan selain Islam.”
Kemudian tipudaya lain,
memakai pakaian kebesaran untuk meraih kemuliaan agama,
dan ia menduga bahwa dirinya memuliakan ilmu dan menghormati agama
dengan tindakannya.
Ketika mereka membahas rasa dengki teman-temannya atau mereka yang kontra
terhadap ucapannya, ia tidak menduga bahwa tindakannya itu pun merupakan kedengkian pula.
Lantas ia berkelit,
“Ini merupakan kemarahan demi kebenaran,
mengkounter orang batil yang dilakukan melalui permusuhan dan kezalimannya.”
Tentu tindakannya merupakan tipudaya.
Sebab manakala ia menusuk sesama temannya melalui kritiknya,
kadang-kadang ia melontarkan bukan dengan amarah,
tetapi dengan rasa gembira karena mampu mengkounter temannya.
Kalau di hadapan manusia ia tampak marah, padahal hatinya gembira.
Terkadang lontarannya sebagai pamer pengetahuan, sembari berucap,
“Tujuan saya, sebenarnya memberi kontribusi faedah kepada manusia,”
padahal ucapannya itu didasari riya’.
Sebab bila tujuannya untuk membuat kebajikan kepada manusia,
tentu ia pasti lebih senang bila tindakannya itu dilakukan oleh orang lain yang sepadan
atau di atasnya, bahkan orang yang ada di bawahnya.
Kadang-kadang ketika memasuki rumah para penguasa, ia memuji-muji
dan menampakkan kecintaannya.
Ketika ditanya soal tindakannya itu, ia menjawab,
“Tujuan saya adalah untuk kemanfaatan bersama ummat Islam,
dan menolak bahaya dari penguasa itu.”
Padahal ia terkena tipudayanya sendiri.
Tentunya, bila memang demikian tujuannya,
pasti ia akan senang bila yang melakukan itu orang lain.
Seandainya ada seseorang yang berkenan dan sukses perannya di hadapan penguasa,
ia justru emosi pada tindakan orang lain itu.
Ketika ia bisa meraih harta dari penguasa, lantas muncul di benaknya
bahwa harta itu haram, tiba-tiba syetan berbisik,
“Ini harta tanpa pemilik, bisa dipakai untuk kemaslahatan ummat Islam.
Andakan pemuka ummat dan pakar nereka.
Karena Andalah agama ini bisa tegak.”
Di sini ada tiga tipudaya:
Pertama, bahwa ada harta yang tidak ada pemiliknya.
Kedua, demi kemaslahatan ummat Islam.
Ketiga, ia adalah pemuka ummat.
Lantas apakah ada seorang pemuka (Imam) kecuali orang yang menolak duniawi
seperti para Nabi, para sahabat dan Ulama-ulama ummat yang utama..?
Dan sepadan mereka, sebagaimana Isa as. berkata,
“Seorang alim yang buruk ibarat batu di pinggir jurang,
tidak mencerap air tidak pula memancarkan air” yang dialirkan ke pertanian.”
Kalangan pakar ilmu pengetahuan ataupun Ulama, banyak yang terpedaya,
dan tindakan destruktifnya lebih banyak dibanding reformasi kebajikannya.
Kelompok Ketiga
Mereka mampu mendefinisikan ilmu-ilmu pengetahuan dan menyucikan fisiknya, menampakkan ketaatan-ketaatannya, menjauhi kemaksiatan-kemaksiatan secara lahiriah, sementara mereka mengabaikan akhlak jiwa dari sifat-sifat qalbu,
sehingga tetap memelihara riya’, dengki, takabur, dendam dan ambisi meraih posisi. Mereka sedang berupaya memerangi diri mereka untuk bebas dari sifat-sifat tersebut, mereka ingin mencabut akar yang tumbuh dalam hatinya, tetapi mereka terpedaya.
Sebab dalam pelataran kalbunya ada sejumlah sisa-sisa tersembunyi,
berupa rekayasa syetan dan cacat pengkhianatan nafsu yang semakin dalam dan curam. Mereka tidak mengerti bahkan kemudian mengabaikannya sama sekali.
Padahal mereka ibarat orang yang ingin membersihkan tanaman dari rumput,
ia mengelilingi tanaman itu dan meneliti setiap jengkal tanaman dan rumput yang ada.
Tetapi ia tidak mencabut akar-akar rumput yang ada di dalam tanah,
dengan menduga bahwa semuanya sudah selesai.
Ketika alpa akan akar-akar rumput dalam tanah itu, rumput tumbuh kembali
dan merusak tanaman.
Mereka itu seandainya mau berubah pasti akan berubah.
Kadang-kadang mereka tidak mau bergaul dengan sesama,
sebagai ekspresi kesombongannya, bahkan memandang mereka dengan sebelah mata. Terkadang mereka melakukan kritik terhadap ijtihad orang lain
agar ia tidak dipandang sebelah mata saja.
Kelompok Keempat
para Ulama yang meninggalkan pentingnya ilmu pengetahuan.
Mereka hanya membatasi ilmu fatwa saja dalam bidang hukum dan peradilan.
Mereka lebih banyak menekuni bidang kerja duniawi yang berjalan untuk kebaikan kehidupan.
Lantas mereka menekuni bidang ilmu yang disebut dengan fiqih.
Mereka sebut disiplin itu dengan fiqih atau ilmu mazhab, sementara bersamaan dengan penekunannya tersebut mereka mengabaikan amal-amal yang lahiriah maupun batiniah.
Mereka tidak menjaga fisik, tidak mengendalikan ucapan dari pergunjingan,
mencegah perut dari barang haram, dan tidak mencegah untuk melangkah ke rumah-rumah penguasa.
Jika demikian seluruh fisiknya, mereka pun tidak bisa mengatur hatinya
dari sikap takabur,riya’, dengki dan seluruh sifat-sifat destruktif.
Mereka ini terpedaya oleh dua hal :
Pertama :
Dari segi ilmu pengetahuan.
Kami telah membangun terapinya dalam kitab Al-Ihya’.
Bahwa mereka itu seperti orang sakit yang mengetahui obatnya dari para cendekiawan, namun tidak mau tahu dan tidak mau menggunakannya.
Mereka itu sebenarnya disanjung oleh kehancuran, dari segi bahwa
mereka meninggalkan penyucian dan konsentrasi hati.
Mereka lebih sibuk dengan bab haid, denda, li’an, dzihar,
sementara mereka mengabaikan konstruksi di dalam jiwanya.
Mereka terpedaya oleh pengagungan orang-orang yang mengelilinginya,
karena ia sebagai seorang hakim atau mufti yang menjadi rujukan.
Bila mereka berpisah maka mereka saling menusukkan kejelekan masing-masing,
namun ketika mereka bertemu, lontaran-lontaran mereka tidak muncul lagi.
Kedua :
Juga dari segi ilmu pengetahuan.
Bahwa mereka berasumsi, ilmu pengetahuan itu hanya ada pada bidangnya,
dengan menduga ilmunya dapat menyelamatkannya.
Padahal sarana yang bisa menyelamatkan adalah kecintaannya terhadap Allah swt.
Cinta kepada Allah swt. tidak bisa diraih kecuali dengan ma’rifatullah.
Ma’rifat ini ada tiga:
Ma’rifat Dzat, Ma’rifat Sifat dan Ma’rifat Af’aal.
Mereka ibarat orang yang menjual bekal di tengah jalan orang yang sangat membutuhkannya, sementara mereka tidak tahu bahwa fiqih (pemahaman) itu
datang dari Allah, mengenal Sifat-Nya yang bersifat menakuti dan mencegah,
agar hati senantiasa merasakan ketakutan, menekuni takwa,
sebagaimana firman-Nya:
“Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa golongan
untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu
dapat menjaga dirinya”. (Q.S. at-Taubah: 122).
Di antara mereka ada yang membatasi bidang pengetahuan agama tersebut
pada bidang fiqih belaka dengan menekuni dimensi polemik antarulama (khilafiyah).
Mereka tidak mencurahkan perhatian kecuali melalui metode perdebatan, disiplin dan menampakkan polemik, mempertahankan kebenaran semata bertujuan untuk bangga diri dan menang-menangan. Sepanjang siang dan malam mereka berdiskusi
dalam soal pertentangan antarmazhab, mencaci kekurangan lawan atau terman.
Mereka sebenarnya tidak bertujuan mencari ilmu, tetapi untuk suatu gengsi
di hadapan orang lain.
Seandainya mereka sibuk dengan penjernihan hatinya, pasti tindakannya lebih baik dibanding pengetahuan yang tak bermanfaat kecuali sekadar manfaat dunia dan kesombongan.
Padahal gengsi tersebut akan berubah menjadi neraka yang menjilat di akhirat nanti.
Padahal dalil-dalil mazhab tidak lebih dari Kitabullah dan Sunnah Rasulullah saw.
Betapa buruknya tipudaya yang mereka geluti!
Kelompok Kelima
Mereka sibuk dengan ilmu Kalam dan polemik, dan sibuk mengkounter lawan-lawannya yang kontra.
Mereka memperbanyak wacana logika yang berbeda-beda, dan
menekuni doktrin metodologi dalam melawan kelompok lain yang berbeda.
Mereka ini ada dua kalangan:
Pertama, kalangan yang sesat dan menyesatkan,
dan kedua, adalah kalangan yang meneliti secara detail.
Kalangan yang sesat dan menyesatkan,
mereka terpedaya oleh kealpaannya melalui kesesatan yang dipeluk
dengan dugaan kuat bahwa kesesatan itu bisa menyelamatkannya.
Kelompok ini terpecah-pecah dan saling mengkafirkan satu sama lainnya.
Mereka tersesat karena memvonis suatu pandangan tanpa mengetahui bukti dalil.
dan metodologinya.
Mereka menganggap dalil syubhat pun bisa dibuat pegangan dan akhirnya buktinya pun syubhat.
Sementara kalangan yang meneliti secara detail, berpandangan bahwa
polemik merupakan persoalan prioritas dan menempati posisi utama dalam agama Allah. Mereka berasumsi bahwa tak seorang pun bisa sempurna agamanya
sepanjang belum mengkaji detail.
Siapa yang membenarkan Allah tanpa membuat penelitian dan kajian terhadap suatu premis, dia tidak dikategorikan sebagai Mukmin yang sempurna dan tidak bisa dianggap dekat dengan Allah swt.
Mereka sarma sekali tidak menoleh pada generasi pertama,
bahwa Nabi saw. yang disaksikan oleh mereka sebagai makhluk paling utama sama sekali tidak menuntut suatu dalil untuk keimanan seseorang.
Abu Umamah al-Bahily r.a. pernah meriwayatkan dari Nabi Saw. yang bersabda:
“Suatu kaum tidak akan pernah sesat sama sekali kecuali
jika perdebatan didatangkan kepada mereka”.
Kelompok Keenam
Mereka sibuk dengan nasihat, mengangkat derajat orang-orang yang membahas
seputar akhlak jiwa dan sifat-sifat hati, berupa khauf, raja, sabar; syukur; tawakkal, zuhud, yaqin, ikhlas dan kejujuran.
Mereka sebenarnya terkena tipudaya karena dugaannya jika berbicara
tentang predikat-predikat tersebut dan berdakwah dengan mengajak manusia
untuk mendisiplinkan dengan predikat itu, seakan-akan mereka telah memiliki
predikat yang sama.
Padahal mereka terlepas dari predikat tersebut kecuali sedikit orang saja,
di mana kalangan awam tidak mengetahuinya.
Mereka sebenarnya terbelenggu tipudaya yang dahsyat.
Sebab mereka kagum dengan dirinya sendiri.
Mereka menduga, bahwa mereka tidak menyelami ilmu cinta kepada Allah
kecuali mereka pasti selamat saat itu.
Mereka pun merasa aman dan terampuni dosanya karena mereka hafal
akan ucapan kalangan ahli zuhud, sementara amalnya sepi.
Mereka sebenarnya lebih dahsyat tipudayanya dibanding Ulama sebelumnya.
Hal itu disebabkan:
Mereka menyangka mencintai Allah dan Rasul-Nya, sementara mereka tidak mampu menyelami hakikat ikhlas kecuali mereka benar-benar ikhlas.
Mereka tidak pernah berpijak pada cacat jiwa yang tersembunyi kecuali
mereka merasa suci. Begitu pula seluruh sifat-sifatnya.
Mereka mencintai dunia namun dengan menampakkan zuhud duniawi,
padahal sangat ambisius dengan dunia dan kecintaannya yang kuat.
Mereka menganjurkan ikhlas sementara mereka tak pernah berlaku ikhlas.
Mereka menampilkan tindakan berdoa kepada Allah padahal mereka lari dari Allah swt.
Mereka menampakkan ketakutan terhadap Allah padahal mereka merasa dirinya aman
dari siksa Allah.
Mereka berdzikir kepada Allah tetapi sebenarnya mereka lupa dengan-Nya.
Mereka merasa dekat dengan Allah padahal mereka jauh dari-Nya.
Mereka mencaci sifat-sifat tercela sedangkan sifat itu dipakai oleh diri mereka.
Mereka menampakkan seakan-akan tidak butuh makhluk,
namun hatinya ambisius agar manusia mengerumuninya.
Seandainya mereka dihalangi dari majelis-majelisnya di mana manusia berdoa
kepada Allah di sana, dunia terasa sempit baginya.
Mereka menyangka melakukan kebajikan kepada manusia,
namun seandainya ada orang lain lebih dahulu tampil dan berhasil dihadapannya,
ia merasa gelisah dan dengki.
Bila ada sebagian sahabatnya yang memuji orang lain yang kontra padanya,
ia bersikap emosi kepada sahabatnya itu.
Mereka itu adalah kalangan yang benar-benar terkena tipudaya,
dan jauh dari peringatan serta kembali pada jalan yang benar.
KelompokKetujuh
Mereka beralih orientasi dari kewajiban prioritas dalam nasihat.
Mereka adalah penasihat-penasihat zaman ini yang menyimpang,
kecuali penasihat yang dilindungi oleh Allah swt.
Mereka menekuni ketaatan, melakukan ekstase dan mengutip wacana-wacana
dari aturan undang-undang syari’at dan keadilan, semata-mata agar dikagumi.
Kelompok lain malah menggunakan kata-kata yang indah, dengan tujuan menciptakan sajak-sajak dan agar disaksikannya perasaan-perasaan bertemu
dan berpisah dengan Tuhan.
Orientasi mereka agar dalam majelisnya ada semacam ekstase,
walaupun dengan tujuan-tujuan yang destruktif
Mereka sebenarnya adalah syetan-syetan manusia yang tersesat dan menyesatkan.
Bila kelompok-kelompok di atas tidak introspeksi diri, toh masih ada orang lain
yang mengoreksi dan meluruskan tindakan mereka.
Namun untuk kelompok terakhir ini mereka justru menghalangi jalan Allah,
dan menyeret manusia pada tujuan-tujuan dan tipudaya kepada Allah
dengan wacana-wacana penyimpangan, semata demi kemaksiatan dan kecintaan duniawi. Apalagi jika penasihat tersebut dihiasi dengan pakaian kebesaran dan penampilan,
mereka berpidato di hadapan manusia agar selalu patuh, berharap rahmat kepada
Allah swt., hingga mereka yang mendengarnya pun malah putus asa terhadap
rahmat Allah swt.
Kelompok Kedelapan
Mereka menerima ucapan ahli-ahli zuhud dan kisah-kisahnya dalam mencaci dunia,
lantas mereka mengulanginya menurut apa yang telah dihafalnya tanpa menguasai
makna sebenarnya.
Salah seorang dari mereka lantas berdiri di atas mimbar memberi nasihat
kepada orang lain, dan yang lain memberi nasihat di pasar-pasar sambil mengobrol
ke sana-ke mari.
Mereka menduga dirinya akan selamat di hadapan Allah, mendapat ampunan
dengan menghafal ucapan ahli zuhud sementara amalnya sendiri kosong.
Tentu mereka ini lebih dahsyat terpedayanya dibanding sebelumnya.
Kelompok Kesembilan
Mereka menenggelamkan waktu-waktu mereka dalam bidang ilmu hadis,
yakni dalam penyimakan hadis dan seluruh riwayatnya yang banyak.
Mereka mencari-cari sanad-sanad yang asing dan tinggi.
Hasrat mereka agar bisa berkeliling negeri dan meriwayatkan dari para syeikh,
untuk selanjutnya ia bisa mengatakan,
“Saya meriwayatkan dari Fulan, dan saya bertemu Fulan,
saya mempunyai sanad-sanad yang tidak dimiliki orang lain.”
Tipudaya yang melanda mereka ini dari berbagai segi, antara lain
mereka seperti pembawa buku.
Mereka tidak berkonsentrasi untuk memahami Sunnah dan merenungkan artinya,
namun terbatas pada penukilan.
Mereka menduga tindakannya itu sudah cukup, Sungguh jauh!
Bahkan tujuan mempelajari hadis dari segi makna dan pemahamannya sirna begitu saja.
Pertama-tama mempelajari hadis itu adalah mendengarkan, kemudian menghafal,
lantas memahami, selanjutnya mengamalkan, baru menyebarkan.
Mereka hanya membatasi diri mendengarkan kemudian tidak bisa membuat keputusan hukum dari ilmunya itu.
Manakala tidak ada gunanya dengan pembatasan kerja mereka seperti itu,
sementara hadis pada zaman ini bisa dibaca oleh anak-anak, mereka terpedaya dan alpa.
Sementara syeikh yang membacakan hadis pun kadang-kadang lupa,
sampai hadisnya bertumpuk namun tidak mengerti.
Si murid bisa jadi tertidur ketika syeikh meriwayatkan hadis,
dan sang syeikh tidak tahu ketika murid itu tidur.
Semua itu merupakan tipudaya.
Prinsip dalam penyimakan hadis adalah mendengarkannya dari Rasulullah saw,
lantas menghafalnya dan menyampaikannya sebagaimana adanya.
Riwayat itu lahir dari hafalan, dan hafalan lahir dari penyimakan.
Bila penyimakannya lemah dari Rasulullah saw, ia bisa mendengarkan atau menyimak
dari sahabat atau tabi’in, sehingga sima’nya dari mereka seperti penyimakannya
dari Rasulullah saw.
Ia harus memperhatikan dan menghafal sebagaimana para sahabat dan tabi’in menghafal, sehingga tak satu huruf pun yang dilalaikan.
Seandainya ragu ia tak berhak meriwayatkannya atau mengajarkannya.
Dan ia harus menyalahkan bilamana ada kesalahan.
Penghafalan hadis bisa melalui dua metode.
Pertama, melalui hati dengan cara kontinyu dan mengingat-ingat.
Kedua, melalui penulisan apa yang didengar dan pentashihan apa yang tertulis, dan kemudian menghafalnya agar tidak ada tangan yang mengubahnya.
Dalam hal ini hafalannya tertumpu pada kitab atau buku hadis, seharusnya buku-buku tersebut tersimpan rapi dalam perpustakaan dan terjaga agar tidak diubah orang lain.
Ia tidak boleh menulis penyimakan yang dilakukan anak-anak, orang yang lupa
dan orang yang tidur.
Seandainya itu boleh, pasti penyimakan anak-anak boleh ditulis ketika dalam ayunan.
Dalam penyimakan hadis memang ada syarat-syarat yang cukup banyak.
Tujuan mempelajari hadis adalah mengamalkan dan mengetahuinya.
Hadis memiliki pemahaman yang banyak sebagaimana al-Qur’an. Riwayat dari Abu Sufyan bin Abul Khair al-Munhy, bahwa dirinya hadir dalam majelis Zahir bin Ahmad as-Sarkhasy. Hadis pertama yang diriwayatkannya adalah sabda Nabi saw.
:“Di antara kebajikan Islamnya seseorang adalah meninggalkan
apa yang tak berguna”.
Lantas ia berdiri dan berkata,
“Ini sudah cukup bagiku hingga aku menuntaskan,
kemudian barulah aku menyimak yang lain.”
Demikian itu merupakan penyimakan yang sebenarnya.
Kelompok Kesepuluh
Mereka menekuni di bidang ilmu nahwu dan bahasa serta syair dan bahasa-bahasa langka. Mereka terpedaya di sini, karena menduga disiplin ilmunya bisa menyelamatkannya. Mereka merasa sebagai ulama ummat. Karena tegaknya agama dan Sunnah itu disertai ilmu nahwu dan bahasa. Lantas mereka tenggelam dalam bidang tersebut.
Sungguh ini keterpedayaan yang besar.
Kalau mereka berpikir pasti mereka tahu bahwa bahasa Arab itu seperti juga bahasa Turki. Orang yang mencurahkan hidupnya untuk bahasa Arab seperti orang lain yang mendalami bahasa Turki, India dan yang lainnya. Mereka hanya dibedakan adanya syari’at saja.
Padahal bidang bahasa adalah untuk mengenal ilmul gharib dalam Kitab dan Sunnah.
Dan dari segi nahwu ada yang berkaitan dengan Kitab dan Sunnah,
sementara mendalami secara ekstrem sampai pada frekuensi tak terbatas adalah
sikap berlebihan yang tidak perlu dilakukan.
Pakar dalam hal ini sebenarnya terkena tipudaya.
Puasa Dalam Pandangan Al Ghazali
Sesungguhnya ada tiga tingkatan puasa : biasa, khusus dan sangat khusus.
Puasa biasa, maksudnya adalah menahan diri terhadap makan, minum dan hubungan biologis antara suami istri dalam jangka waktu tertentu.
Puasa khusus, maksudnya adalah menjaga telinga, mata, lidah, tangan serta kaki
dan juga anggota badan lainnya dari berbuat dosa.
Sedang puasa yang sangat khusus, maksudnya adalah puasa hati dengan mencegahnya dari memikirkan perkara perkara yang hina dan duniawi, yang ada hanyalah mengingat Allah swt. dan akhirat.
Jenis puasa demikian dianggap batal bila sampai mengingat perkara perkara duniawi
selain Allah dan tidak untuk akhirat.
Puasa yang dilakukan dengan mengingat perkara perkara duniawi adalah batal, kecuali mendorong ke arah pemahaman agama, karena ini merupakan tanda ingat pada akhirat, dan tidak termasuk pada yang bersifat duniawi.
Mereka yang masuk ke dalam tingkatan puasa sangat khusus akan merasa berdosa
bila hari-harinya hanya terisi dengan hal hal yang dapat membatalkan puasa.
Rasa berdosa ini bermula dari rasa tak yakin terhadap karunia serta janji Allah swt.
untuk mencukupkan (dengan) rezeki Nya.
Untuk tingkatan ketiga ini adalah milik atau hanya dapat dicapai oleh para Rasul, para wali Allah dan mereka yang selalu berupaya mendekatkan diri kepada Nya.
Tidaklah cukup dilukiskan dengan kata-kata, karena hal tersebut telah menjadi nyata
dalam tindakan (aksi).
Tujuan mereka hanyalah semata mata mengabdi (berdedikasi) kepada Allah swt, mengabaikan segala sesuatu selain Dia. Terkait dengan makna firman Allah swt, “Katakanlah, Allah!
Kemudian biarkanlah mereka bermain main dalam kesesatannya.”
(Q s. 6: 91).
Syarat-syarat batin puasa khusus adalah jenis ibadah yang diamalkan
sebagaimana oleh orang orang saleh.
Puasa ini bermakna menjaga seluruh organ tubuh manusia agar tidak melakukan dosa
dan harus pula memenuhi keenam syaratnya:
1. Tidak Melihat Apa yang Dibenci Allah Swt.
Suatu hal yang suci, menahan diri dari melihat sesuatu yang dicela (makruh),
atau yang dapat membimbangkan dan melalaikan hati dari mengingat Allah swt.
Nabi Muhammad saw. bersabda,
“pandangan adalah salah satu dari panah-panah beracun milik setan,
yang telah dikutuk Allah"
Barangsiapa menjaga pandangannya, semata mata karena takut kepada Nya,
niscaya Allah swt. akan memberinya keimanan,
sebagaimana rasa manis yang diperolehnya dari dalam hati. ” (H.r. al Hakim, hadis shahih).
Jabir meriwayatkan dari Anas, bahwa Rasulullah saw. telah bersabda,
“Ada lima hal yang dapat membatalkan puasa seseorang:
berdusta, mengumpat, menyebar isu (fitnah), bersumpah palsu dan
memandang dengan penuh nafsu.”
2. Menjaga ucapan.
Menjaga lidah (lisan) dari perkataan sia-sia, berdusta, mengumpat, menyebarkan fitnah, berkata keji dan kasar, melontarkan kata kata permusuhan (pertentangan dan kontroversi); dengan lebih banyak berdiam diri, memperbanyak dzikir dan
membaca [mengkaji] al-Qur’an.
Inilah puasa lisan.
Said Sufyan berkata,
“Sesungguhnya mengumpat akan merusak puasa!
Laits mengutip Mujahid yang berkata,
‘Ada dua hal yang merusak puasa, yaitu mengumpat dan berbohong.”
Rasulullah saw. bersabda,
“Puasa adalah perisai.
Maka barangsiapa di antaramu sedang berpuasa janganlah berkata keji dan jahil,
jika ada orang yang menyerang atau memakimu,
katakanlah, Aku sedang berpuasa! Aku sedang berpuasa’!”
(H.r. Bukhari Muslim).
3. Menjaga Pendengaran.
Menjaga pendengaran dari segala sesuatu yang tercela;
karena setiap sesuatu yang dilarang untuk diucapkan juga dilarang untuk didengarkan. Itulah mengapa Allah swt. tidak membedakan antara orang yang suka mendengar
(yang haram) dengan mereka yang suka memakan (yang haram).
Dalam al Qur’an Allah swt. berfirman,
“Mereka gemar mendengar kebohongan dan memakan yang tiada halal.”
(Q.s. 5: 42).Demikian juga dalam ayat lain, Allah swt.
berfirman, “Mengapa para rabbi dan pendeta di kalangan mereka tidak melarang mereka dari berucap dosa dan memakan barang terlarang?” (Q.s. 5: 63).
Oleh karena itu, sebaiknya berdiam diri dan menjauhi pengumpat.
Allah swt. berfirman dalam wahyu Nya, ‘Jika engkau (tetap duduk bersama mereka), sungguh, engkaupun seperti mereka …” (Q.s. 4: 140).
Itulah mengapa Rasulullah saw. mengatakan,
“Yang mengumpat dan pendengarnya, berserikat dalam dosa.” (H.r. at Tirmidzi).
4. Menjaga Sikap Perilaku.
Menjaga semua anggota badan lainnya dari dosa: kaki dan tangan dijauhkan dari perbuatan yang makruh, dan menjaga perut dari makanan yang diragukan kehalalannya (syubhat) ketika berbuka puasa.
Puasa tidak punya arti apa apa bila dilakukan dengan menahan diri dari memakan
yang halal dan hanya berbuka dengan makanan haram.
Barangsiapa berpuasa seperti demikian, bagaikan orang membangun istana,
tetapi merobohkan kota.
Makanan yang halal juga akan menimbulkan kemudharatan,
bukan karena mutunya tetapi karena jumlahnya.
Maka puasa dimaksudkan untuk mengatasi hal tersebut.
Karena didera kekhawatiran, atau karena sakit yang berkepanjangan,
seseorang dapat memakan obat secara berlebihan.
Tetapi jelas tidak masuk akal jika kemudian ada yang menukar obat dengan racun.
Makanan haram adalah racun berbahaya bagi kehidupan beragama;
sedang makanan halal ibarat obat, yang akan memberikan kemanfaatan apabila
dimakan dalam jumlah cukup, tidak demikian halnya dalam jumlah berlebihan.
Memang, tujuan puasa adalah mendorong lahirnya sikap pertengahan.
Bersabda Rasulullah saw,
“Betapa banyak orang berpuasa yang tidak mendapatkan sesuatu,
kecuali lapar dan dahaga saja!” (H.r. an Nasa’i, Ibnu Majah).
Ini ada yang mengartikan pada orang yang berpuasa namun berbuka
dengan makanan haram.
Tetapi ada pula yang menafsirkan dengan orang yang berpuasa,
yang menahan diri dari makanan halal tetapi berbuka dengan daging dan darah manusia, dikarenakan mereka telah merusak puasanya dengan mengumpat orang lain.
Lainnya lagi menafsirkan bahwa mereka ini berpuasa tetapi tidak menjaga
anggota tubuhnya dari berbuat dosa.
5. Menghindari Makan Berlebihan.
Berbuka puasa dengan makan yang tidak berlebihan, sehingga rongga dadanya
menjadi sesak. Tidak ada kantung yang lebih tidak disukai Allah swt. selain perut
yang penuh (berlebihan) dengan makanan halal.
Dapatkah puasa bermanfaat sebagai cara mengalahkan musuh Allah swt. dan mengendalikan hawa nafsu, bila kita berbuka menyesaki perut dengan apa yang biasa
kita makan siang hari?
Terlebih lagi, biasanya di bulan puasa masih disediakan makanan tambahan,
yang justru di hari-hari biasa tidak tersedia.
Sesungguhnya hakikat puasa adalah melemahkan tenaga
yang biasa dipergunakan setan untuk mengajak kita ke arah kejahatan.
Oleh sebab itu, lebih penting (esensial) bila mampu mengurangi porsi makan malam
dalam bulan Ramadhan dibanding malam malam di luar bulan Ramadhan, s
aat tidak berpuasa.
Karenanya, tidak akan mendapatkan manfaat di saat berpuasa
bila tetap makan dengan porsi makanan yang biasa dimakan pada hari hari biasa.
Bahkan dianjurkan mengurangi tidur di siang hari, dengan harapan dapat merasakan semakin melemahnya kekuatan jasmani, yang akan mengantarkannya
pada penyucian jiwa.
Oleh karena itu, barangsiapa telah “meletakkan” kantung makanan di antara hati dan dadanya, tentu akan buta terhadap karunia tersebut.
Meskipun perutnya kosong, belum tentu terangkat hijab (tabir) yang terbentang
antara dirinya dengan Allah, kecuali telah mampu mengosongkan pikiran
dan mengisinya dengan mengingat kepada Allah swt. semata.
Demikian adalah puncak segalanya, dan titik mula dari semuanya itu adalah
mengosongkan perut dari makanan.
6. Menuju kepada Allah Swt dengan Rasa Takut dan Pengharapan.
Setelah berbuka puasa, selayaknya hati terayun ayun antara takut (khauf) dan harap [raja’]. Karena siapa pun tidak mengetahui, apakah puasanya diterima sehingga dirinya
termasuk orang yang mendapat karunia Nya sekaligus orang yang dekat dengan Nya, ataukah puasanya tidak diterima, sehingga dirinya menjadi orang yang dicela oleh Nya.
Pemikiran seperti inilah yang seharusnya ada pada setiap orang yang telah selesai melaksanakan suatu ibadah.
Dari al Hasan bin Abil Hasan al Bashri, bahwa suatu ketika melintaslah sekelompok orang sambil tertawa terbahak bahak.
Hasan al Bashri lalu berkata, ‘Allah swt. telah menjadikan Ramadhan sebagai
bulan perlombaan.
Di saat mana Para hamba Nya saling berlomba dalam beribadah.
Beberapa di antara mereka sampai ke titik final lebih dahulu dan menang,
sementara yang lain tertinggal dan kalah.
Sungguh menakjubkan mendapati orang yang masih dapat tertawa terbahak bahak dan bermain di antara (keadaan) ketika mereka yang beruntung memperoleh kemenangan, dan mereka yang merugi memperoleh kesia-siaan.
Demi Allah, apabila hijab tertutup, mereka yang berbuat baik akan dipenuhi (pahala) perbuatan baiknya, dan mereka yang berbuat cela juga dipenuhi oleh kejahatan yang diperbuatnya.”
Dengan kata lain, manusia yang puasanya diterima akan bersuka ria,
sementara orang yang ditolak akan tertutup baginya gelak tawa.
Dari al Ahnaf bin Qais, bahwa suatu ketika seseorang berkata kepadanya,
“Engkau telah tua; berpuasa akan dapat melemahkanmu.”
Tetapi al Ahnaf bahkan menjawab,
“Dengan berpuasa,
sebenarnya aku sedang mempersiapkan diri untuk perjalanan panjang.
Bersabar dalam menaati Allah swt. tentu akan lebih mudah daripada
menanggung siksa Nya.”
Demikianlah, semua itu adalah makna signifikan puasa.
Pentingnya Memenuhi Aspek aspek (Syarat) Batin
Sekarang Anda mungkin mengatakan,
“Dengan menahan makan, minum dan nafsu seksual, tanpa harus memperhatikan syarat batin itu sudah sah.
Menurut pendapat para ahli fiqih juga demikian, bahwa puasa yang bersangkutan
sudah dapat dikatakan memenuhi syarat, sudah sah.
Lalu mengapa kita harus repot repot?”
Anda harus menyadari bahwa para ulama fiqih telah menetapkan syarat-syarat lahiriah puasa dengan dalil-dalil yang lebih lemah dibanding dalil dalil yang menopang perlunya ditepati syarat syarat batiniah. Misalnya saja tentang mengumpat dan yang sejenis.
Bagaimanapun perlu diingat, bahwa para ulama fiqih memandang batas kewajiban puasa dengan hanya mempertimbangkan pada kapasitas orang awam yang sering lalai,
mudah terperangkap dalam urusan duniawi.
Sedangkan bagi mereka yang memiliki pengetahuan tentang hari Akhir,
akan memperhatikan sungguh-sungguh dan memenuhi dengan syarat batin,
sehingga ibadahnya sah dan diterima.
Hal demikian itu mereka capai dengan melaksanakan syarat-syarat
yang akan mengantarkannya pada tujuan.
Menurut pemahaman mereka, berpuasa adalah salah satu cara untuk menghayati
salah satu akhlak Allah Swt, yaitu tempat meminta (shamadiyyah),
sebagaimana juga contoh dari para malaikat, dengan sedapat mungkin
menghindari godaan nafsu, karena malaikat adalah makhluk yang terbebas
dari dorongan serupa.
Sedang manusia mempunyai derajat di atas hewan, karena dengan tuntunan akal
yang dimilikinya akan selalu sanggup mengendalikan nafsunya;
namun ia inferior (sedikit lebih rendah) dari malaikat,
karena masih dikuasai oleh hawa nafsu, maka ia pun harus mencoba untuk mengatasi godaan hawa nafsunya.
Kapan pun manusia dikuasai oleh hawa nafsunya, maka ia akan terjatuh dalam tingkatan yang terendah, sehingga tidak ada tempat lagi selain bersama hewan.
Kapan pun ia mampu mengatasinya, maka ia akan terangkat ke tingkatan para malaikat. Malaikat adalah makhluk yang paling dekat dengan Allah swt, karenanya malaikat pun menjadi contoh bagi makhluk yang ingin dekat dengan Allah.
Tentu dengan segala ibadah akan menjadikan diri semakin dekat dengan Nya.
Hanya saja bukan dalam pengertian dekat dalam dimensi ruang,
tetapi lebih pada kedekatan sifat.
Jika demikian itu adalah rahasia puasa bagi mereka yang memiliki
kedalaman pemahaman spiritual, apakah manfaat menggabungkan dua (porsi) makan
pada waktu berbuka, seraya memuaskan nafsu lain yang tertahan ketika siang hari.
Dan kalaulah demikian, lalu apa makna Hadis Nabi saw. yang berbunyi,
“Betapa banyak orang berpuasa yang tidak mendapat sesuatu selain lapar dan dahaga?”
Mengenal Rekayasa Setan
Setan melarang taat kepada Allah. Apabila hamba Allah terpelihara,
syetan memerintahkan agar hamba itu diperangi.
Apabila hamba itu diselamatkan Allah dari serangan setan,
hamba itu digoda kemudian agar tergesa-gesa.
Jika Allah menyelamatkannya, hingga amalnya sempurna,
setan menggoda agar memperlihatkan kesempurnaan amalnya.
Apabila Allah menjaganya dari godaan itu, setan masuk melalui takjub terhadap diri sendiri.
Apabila hamba melihat adanya anugerah Allah, setan menggoda agar hamba itu berijtihad dalam wilayah sirrullah (rahasia Allah).
Setan membisikkan kepada hamba,
“Sebenarnya Allah ingin menampakkan diri-Nya kepadamu!”
Ucapan ini, dengan harapan agar si hamba terjerumus riya’.
Tetapi, apabila sang hamba menyerahkan diri semuanya hanya pada Ilmu Allah,
maka ia selamat.
Jika hamba melemah, tidak mengikuti aturan Allah, setan berbisik kembali,
“Anda tidak butuh lagi terhadap amal tersebut.
Karena jika Anda ditakdirkan bahagia, pasti meninggalkan amal itu tidaklah membahayakan Anda. Namun jika Anda ditakdirkan celaka, tentu, amal itu sama sekali tidak memberi manfaat kepada diri Anda!”
Apabila Allah masih menyelamatkan hamba-Nya ini, maka sang hamba
berkata pada setan itu, “Aku ini hanya hamba.
Dan bagi seorang hamba harus melaksanakan perintah tuannya.
Sedang tuannya berbuat sekehendaknya dan menghukum sekehendaknya pula.”
Maka, hamba ini selamat dari setan, atas pertolongan Allah.
Jika tidak, maka hancurlah hamba tadi.
(Dikutip dari kitab Raudlatut Thalibin wa ‘Umdatus Salikin karya Imam Ghazali)
Bayan al Khatir
Membedakan Bisikan Allah, Bisikan, Malaikat, Bisikan Nafsu, Bisikan Syetan
Tulisan Hujjatul Islam Imam Al-Ghazaly dari kitab Roudlotut Tholibin wa-‘Umdatus Salikin, ini kami turunkan karena banyaknya pertanyaan dari pembaca soal cara membedakan bisikan-bisikan dari dalam hati, apakah dari Allah, nafsu atau syetan. Red.)
Kajian ini seputar bisikan-bisikan hati (khawathir) dengan segala bentuknya, upaya memerangi, mengalahkan dan unggul dalam menghalau perbuatan syetan yang jahat.
Juga bab ini tentang berlindung kepada Allah dari syetan dengan tiga cara:
Pertama, anda harus mengetahui godaan, rekayasa dan tipuan syetan.
Kedua, hendaknya anda tidak menanggapi ajakannya, sehingga qalbu anda tidak bergantung dengan ajakan itu.
Ketiga, langgengkan dzikrullah dalam qalbu dan lisan anda.
Sebab dzikrullah bagi syetan seperti penyakit yang menyerang manusia.
Untuk mengetahui rekayasa godaan syetan, akan tampak pada bisikan-bisikan (khawathir) dan berbagai macam caranya.
Mengenai pengetahuan tentang berbagai macam bisikan hati, patut anda ketahui,
bahwa bisikan-bisikan itu adalah pengaruh yang muncul di dalam qalbu hamba
yang menjadi pendorong untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu,
proses yang sepenuhnya terjadi di dalam qalbu ini berasal dari Allah – yang menjadi Pencipta segala sesuatu.
Dalam kaitan ini, bisikan hati ada empat macam:
Suatu bisikan yang datang dari Allah swt. dalam qalbu hamba adalah sebagai bisikan awal, sehingga Dia disebut dengan Nama al-Khathir (Sang Pembisik).
Bisikan yang relevan dengan watak alam manusia, yang disebutan-nafs (jiwa).
Bisikan yang terdorong oleh ajakan syetan, yang disebut waswas (perasaan ragu-ragu).
Bisikan yang juga datang dari Allah yang disebut al-Ilham.
Al-Khathir adalah bisikan yang datang dari Allah swt. sebagai bisikan awal,
terkadang berdimensi kebaikan, kemuliaan dan pemantapan dalam berhujjah.
Kadang-kadang berdimensi negatif dan sebagai ujian.
Al-Khathir yang datang dari pemberi Ilham tidak akan terjadi,
kecuali mengandung kebajikan, karena Dia adalah Yang Memberi nasihat dan bimbingan.
Sedangkan al-Khathir yang datang dari syetan, tidak datang kecuali mengandung elemen kejahatan.
Bisikan ini terkadang sepintas mengandung kebajikan, tetapi dibalik itu ada makar dan istidraj (covernya nikmat, dalamnya siksa bencana).
Sementara bisikan yang tumbuh dari hawa nafsu tidak luput dari elemen kejahatannya. Terkadang juga ada elemen baik tidak sekadar untuk pencapaian kenikmatan saja.
Ada tiga persoalan yang harus anda ketahui di sini:
pertama-tama, beberapa ulama berkata bahwa jika anda ingin mengenal dan mengetahui perbedaan antara bisikan kebaikan dan bisikan kejahatan, maka pertimbangkan dengan tiga ukuran nilai (mawazin), yang dapat mendeteksinya:
Apabila bisikan itu relevan dengan syariat, berarti baik.
Jika sebaliknya – baik karena rukhshah atau syubhat, maka tergolong bisikan jahat.
Manakala dengan mizan(ukuran nilai) itu tidak diperoleh kejelasan perbedaan
masing-masing, sebaiknya anda konfirmasikan dengan teladan orang-orang saleh.
Jika sesuai dengan teladan mereka, maka ikutilah, jika tidak ada kebaikan,
berarti hanya suatu keburukan.
Apabila dengan ukuran nilai (miizan) demikian anda masih belum menemukan kejelasan, konfrontasikan dengan motivasi yang terdapat pada nafs (ego) dan hawa (kesenangan). Jika ukuran nilainya merujuk sekadar pada kecenderungan nafs (ego)
yakni kecenderungan naluriah dan bukan untuk mencari harapan (raja’) dari Allah,
tentu saja termasuk keburukan.
Kedua, apabila anda ingin membedakan antara bisikan kejahatan yang bermula dari sisi syetan, atau dari sisi nafs (ego) ataukah bisikan itu dari sisi Allah swt.,
perlu anda perhatikan tiga hal ini:
Jika anda menemui bisikan yang kokoh, permanen, sekaligus konsisten pada satu hal, maka bisikan itu datang dari Allah swt., atau dari nafs (jika menjauhkan diri dari Allah). Namun jika bisikan itu menciptakan keraguan dan mengganjal dalam hati ,
maka itu muncul dari syetan.
Apabila bisikan itu anda jumpai setelah anda melakukan dosa, berarti itu datang dari Allah sebagai bentuk sanksi dari-Nya kepada anda. Jika bukan muncul dari akibat dosa, bisikan itu datang dari diri anda, yang berarti dari syetan.
Jika anda temui bisikan itu tidak melemahkan atau tidak mengurangi dari dzikir
kepada Allah swt., tetapi bisikan itu tidak pernah berhenti, berarti dari hawa nafsu. Sebaliknya, jika melemahkan dzikir berarti dari syetan.
Ketiga, apabila anda ingin membedakan apakah bisikan kebaikan itu datang dari Allah swt. atau dari malaikat, maka perlu diperhatikan tiga hal pula:
Manakala melintas sekejap saja, maka datang dari Allah swt.
Namun jika berulang-ulang, berarti datang dari malaikat,
karena kedudukannya sebagai penasihat manusia.
Manakala bisikan itu muncul setelah usaha yang sungguh-sungguh dan
ibadah yang anda lakukan, berarti datang dari Allah swt.
Jika bukan demikian,bisikan itu datang dari malaikat.
Apabila bisikan itu berkenaan dengan masalah dasar dan amal batin,
bisikan itu datang dari Allah swt.
Tetapi jika berkaitan dengan masalah furu` dan amal-amal lahiriah,
sebagian besarnya dari malaikat.
Sebab, menurut mayoritas ahli tasawuf malaikat tidak memiliki kemampuan
untuk mengenal batin hamba Allah.
Sementara itu, bisikan untuk suatu kebaikan yang datang dari syetan,
merupakan istidraj menuju amal kejahatan yang lantas menjadi berlipat-lipat,
maka anda perlu memperhatikan dengan cermat:
Lihatlah, apabila dalam diri anda, pada salah satu perbuatan jika berasal dari bisikan
di dalam hati anda dengan penuh kegairahan tanpa disertai rasa takut,
dengan ketergesa-gesaan bukan dengan waspada dengan tanpa perasaan aman, ketakutan pada Allah, dengan bersikap buta terhadap dampak akhirnya,
bukan dengan mata batin, ketahuilah bahwa bisikan itu berasal dari syetan.
Maka jauhilah, Bisikan seperti itu, harus anda jauhi.
Sebaliknya jika bisikan itu muncul bukan seperti bisikan-bisikan di atas, berarti :
datang dari Allah swt., atau dari malaikat.
Saya katakan, bahwa semangat yang membara dapat mendorong manusia untuk segera melakukan aktivitas, tanpa adanya pertimbangan dari mata hatinya, tanpa mengingat pahala bisa menjadi faktor yang membangkitkan kondisi itu semua.
Sedangkan cara hati-hati adalah cara-cara yang terpuji dalam beberapa segi.Khauf,
lebih cenderung seseorang untuk berusaha menyempurnakan dan mempraktekkan
suatu perbuatan yang benar dan bisa diterima Allah atas amal perbuatan itu.
Adapun perspektif hasil akhir suatu amal, hendaknya anda membuka mata hati
dengan cermat dalam diri anda ada keyakinan bahwa amal tersebut adalah amalan
yang lurus dan baik, atau adanya pandangan mengharapkan pahala di akhirat kelak.
Ketiga kategori di atas harus anda ketahui dan sekaligus anda jaga.
Sebab, semuanya mengandung ilmu-ilmu yang rumit sehingga sulit didapatkan
dan rahasia-rahasia yang mulia.
Pengetahuan Tentang Diri Kitab “Kimiya as Sa’adah”
Pengetahuan tentang diri adalah kunci pengetahuan tentang Tuhan,
sesuai dengan Hadits:
“Dia yang mentetahui dirinya sendiri, akan mengetahui Tuhan,”
dan sebagaimana yang tertulis di dalam al-Qur’an:
“Akan Kami tunjukkan ayat-ayat kami di dunia ini dan di dalam diri mereka,
agar kebenaran tampak bagi mereka.”
Nah, tidak ada yang lebih dekat kepada anda kecuali diri anda sendiri.
Jika anda tidak mengetahui diri anda sendiri,
bagaimana anda bisa mengetahui segala sesuatu yang lain.
Jika anda berkata” “Saya mengetahui diri saya”- yang berarti bentuk luar anda; badan, muka dan anggota-anggota badan lainnya – pengetahuan seperti itu tidak akan pernah bisa menjadi kunci pengetahuan tentang Tuhan.
Demikian pula halnya jika pengetahuan anda hanyalah sekedar bahwa kalau lapar
anda makan, dan kalau marah anda menyerang seseorang;
akankah anda dapatkan kemajuan-kemajuan lebih lanjut di dalam lintasan ini,
mengingat bahwa dalam hal ini hewanlah kawan anda?
Pengetahuan tentang diri yang sebenarnya, ada dalam pengetahuan tentang
hal-hal berikut ini:
Siapakah anda, dan dari mana anda datang?
Kemana anda pergi, apa tujuan anda datang lalu tinggal sejenak di sini,
serta di manakah kebahagiaan anda dan kesedihan anda yang sebenarnya berada? Sebagian sifat anda adalah sifat-sifat binatang, sebagian yang adalah sifat-sifat setan dan selebihnya sifat-sifat malaikat.
Mesti anda temukan, mana di antara sifat-sifat ini yang aksidental dan mana yang esensial (pokok). Sebelum anda ketahui hal ini, tak akan bisa anda temukan letak kebahagiaan anda yang sebenarnya.
Pekerjaan hewan hanyalah makan, tidur dan berkelahi.
Oleh karena itu, jika anda seekor hewan, sibukkan diri anda dengan pekerjaan-pekerjaan ini. Setan selalu sibuk mengobarkan kejahatan, akal bulus dan kebohongan.
Jika anda termasuk dalam kelompok mereka, kerjakan pekerjaan mereka.
Malaikat-malaikat selalu merenungkan keindahan Tuhan dan sama sekali bebas
dari kualitas-kualitas hewan.
Jika anda punya sifat-sifat malaikat, maka berjuanglah untuk mencapai sifat-sifat asal anda agar bisa anda kenali dan renungi Dia Yang Maha Tinggi, serta merdeka dari perbudakan nafsu dan amarah.
Juga mesti anda temukan sebab-sebab anda diciptakan dengan kedua insting hewan ini: mestikah keduanya menundukkan dan memerangkap anda, ataukah anda yang mesti menundukkan mereka dan dalam kemajuan anda – menjadikan salah satu di antaranya sebagai kuda tunggangan serta yang lainnya sebagai senjata.
Langkah pertama menuju pengetahuan tentang diri adalah menyadari bahwa
anda terdiri dari bentuk luar yang disebut sebagai jasad, dan wujud dalam yang disebut sebagai hati atau ruh.
Yang saya maksudkan dengan “hati” bukanlah sepotong daging yang terletak di bagian kiri badan, tetapi sesuatu yang menggunakan fakultas-fakultas lainnya sebagai alat dan pelayannya.
Pada hakikatnya dia tidak termasuk dalam dunia kasat-mata, melainkan dunia maya;
dia datang ke dunia ini sebagai pelancong yang mengunjungi suatu negeri asing untuk keperluan perdagangan dan yang akhirnya akan kembali ke tanah asalnya.
Pengetahuan tentang wujud dan sifat-sifatnya inilah yang merupakan kunci pengetahuan tentang Tuhan.
Beberapa gagasan tentang hakikat hati atau ruh bisa diperoleh seseorang
yang mengatupkan matanya dan melupakan segala sesuatu di sekitarnya
selain individualitasnya.
Dengan demikian, ia juga akan memperoleh penglihatan sekilas akan sifat tak berujung
dari individualitas itu.
Meskipun demikian, pemeriksaan yang terlalu dekat kepada esensi ruh
dilarang oleh syariat.
Di dalam al-Qur’an tertulis:
“Mereka bertanya kepadamu tentang ruh. Katakan: Ruh itu adalah urusan Tuhanku.”
(QS 17:85).
Yang bisa diketahui adalah bahwa ia merupakan suatu esensi tak terpisahkan
yang termasuk dalam dunia titah, dan bahwa ia tidak berasal dari sesuatu yang abadi, melainkan diciptakan.
Pengetahuan filosofis yang tepat tentang ruh bukanlah merupakan pendahuluan yang perlu untuk perjalanan di atas lintasan agama, melainkan muncul lebih sebagai akibat disiplin-diri dan kesabaran berada di atas lintasan itu, sebagaimana dikatakan dalam al-Qur’an:
“Siapa yang berjuang di jalan Kami, pasti akan Kami tunjukkan padanya jalan yang lurus.” (QS 29:69).
Untuk melanjutkan peperangan ruhaniah demi mendapatkan pengetahuan tentang diri dan tentang Tuhan, jasad bisa digambarkan sebagai suatu kerajaan, jiwa (ruh) sebagai rajanya serta berbagai indera dan fakultas lain sebagai tentaranya.
Nalar bisa disebut sebagai wazir atau perdana menteri, nafsu sebagai pemungut pajak dan amarah sebagai petugas polisi.
Dengan berpura-pura mengumpulkan pajak, nafsu terus-menerus cenderung
untuk merampas demi kepentingannya sendiri,
sementara amarah selalu cenderung kepada kekasaran dan kekerasan.
Pemungut pajak dan petugas polisi keduanya harus selalu ditempatkan di bawah raja,
tetapi tidak dibunuh atau diungguli, mengingat mereka memiliki fungsi-fungsi tersendiri
yang harus dipenuhinya.
Tapi jika nafsu dan amarah menguasai nalar, maka – tak bisa tidak – keruntuhan jiwa
pasti terjadi.
Jiwa yang membiarkan fakultas-fakultas yang lebih rendah untuk menguasai yang lebih tinggi ibarat seseorang yang menyerahkan seorang bidadari kepada kekuasaan seekor anjing, atau seorang muslim kepada tirani seorang kafir.
Penanaman kualitas-kualitas setan, hewan ataupun malaikat menghasilkan watak-watak yang sesuai dengan kualitas tersebut – yang di Hari Perhitungan akan diwujudkan dalam bentuk kasat-mata, seperti nafsu sebagai babi, ganas sebagai anjing dan serigala, serta suci sebagai malaikat.
Tujuan disiplin moral adalah untuk memurnikan hati dari karat-nafsu dan amarah,
sehingga bagaikan cermin yang jernih , ia memantulkan cahaya Tuhan.
Barangkali di antara pembaca ada yang akan berkeberatan,
“Tapi jika manusia telah diciptakan dengan kualitas-kualitas hewan, setan dan malaikat, bagaimana bisa kita ketahui bahwa kualitas malaikat merupakan esensinya
yang sebenarnya, sementara kualitas hewan dan setan hanyalah aksidental dan
peralihan belaka?” Atas pertanyaan ini,
saya jawab bahwa esensi tiap makhluk adalah sesuatu yang tertinggi di dalam dirinya dan khas baginya. Kuda dan keledai kedua-duanya adalah hewan pengangkut beban, tetapi kuda lebih unggul dari keledai karena ia dimanfaatkan untuk perang.
Jika gagal dalam hal ini, ia pun terpuruk ke tingkatan binatang pengangkut beban.
Fakultas tertinggi di dalamnya adalah nalar yang menjadikannya bisa merenung
tentang Tuhan.
Jika fakultas ini dominan dalam dirinya, maka ketika mati dia tinggalkan di belakangnya segenap kecenderungan kepada nafsu dan amarah, sehingga memungkinkannya berkawan dengan para malaikat.
Dalam hal pemilikan kualitas-kualitas hewan, manusia kalah dibanding banyak hewan, tetapi nalar membuatnya lebih unggul dari mereka, sebagaimana tertulis di dalam al-Qur’an: “Telah Kami tundukkan segala sesuatu di atas bumi untuk manusia” (QS 45:13).
Tetapi jika kecenderungan-kecenderungannya yang lebih rendah yang menang,
maka setelah kematiannya, dia akan selamanya menghadap ke bumi dan
mendambakan kesenangan-kesenangan duniawi.
Selanjutnya, jiwa rasional di dalam manusia penuh dengan keajaiban-keajaiban pengetahuan maupun kekuatan.
Dengan itu semua ia menguasai seni dan sains, ia bisa menempuh jarak dari bumi ke langit bolak-balik secepat kilat, dan mampu mengatur lelangit dan mengukur jarak antar bintang. Dengan itu juga ia bisa menangkap ikan dari lautan dan burung-burung dari udara,
serta bisa menundukkan binatang-binatang seperti gajah, unta dan kuda.
Pancainderanya bagaikan lima pintu yang terbuka menghadap ke dunia luar.
Tetapi ajaib dari semuanya ini, hatinya memiliki jendela yang terbuka ke arah dunia ruh yang tak kasat-mata.
Dalam keadaan tertidur, ketika saluran inderanya tertutup, jendela ini terbuka dan
ia menerima kesan-kesan dari dunia tak-kasat-mata; kadang-kadang bisa ia dapatkan isyarat tentang masa depan.
Hatinya bagaikan sebuah cermin yang memantulkan segala sesuatu yang tergambar
di dalam Lauhul-mahfuzh. Tapi, bahkan dalam keadaan tidur, pikiran-pikiran akan segala sesuatu yang bersifat keduniaan akan memburamkan cermin ini, sehingga kesan-kesan yang diterimanya tidak jelas. Meskipun demikian setelah mati pikiran-pikiran seperti itu sirna dan segala sesuatu tampak dalam hakikat-telanjangnya.
Dan kata-kata di dalam al-Qur’an pun menyatakan:
“Telah Kami angkat tirai darimu dan hari ini penglihatanmu amat tajam.”
Membuka sebuah jendela di dalam hati yang mengarah kepada yang tak kasat-mata ini juga terjadi di dalam keadaan-keadaan yang mendekati ilham kenabian,
yakni ketika intuisi timbul di dalam pikiran – tak terbawa lewat saluran-indera apa pun.
Makin seseorang memurnikan dirinya dari syahwat-syahwat badani dan memusatkan
pikirannya pada Tuhan, akan makin pekalah ia terhadap intuisi-intuisi seperti itu.
Orang-orang yang tidak sadar akan hal ini tidak punya hak untuk menyangkal hakikatnya.
Intuisi-intuisi seperti itu tidak pula terbatas hanya pada tingkatan kenabian saja. Sebagaimana juga besi, dengan memolesnya secukupnya, ia akan bisa dijelmakan
menjadi sebuah cermin.
Jadi, dengan disiplin yang memadai, pikiran siapa pun bisa dijadikan mampu menerima kesan-kesan seperti itu.
Kebenaran inilah yang diisyaratkan oleh Nabi ketika beliau berkata:
“Setiap anak lahir dengan suatu fitrah (untuk menjadi muslim); orang tuanyalah yang kemudian membuatnya menjadi seorang Yahudi, Nasrani atau Majusi.”
Setiap manusia, di kedalaman kesadarannya, mendengar pertanyaan
“Bukankah Aku ini tuhanmu?” dan menjawab “Ya”.
Tetapi ada hati yang menyerupai cermin yang telah sedemikian dikotori oleh karat dan kotoran sehingga tidak lagi memberikan pantulan-pantulan yang jernih.
Sementara hati para nabi dan wali, meskipun mereka juga mempunyai nafsu seperti kita, sangat peka terhadap segenap kesan-kesan ilahiah.
Bukan hanya dengan nalar pengetahuan capaian dan intuitif saja jiwa manusia bisa menempati tingkatan paling utama di antara makhluk-makhluk lain, tetapi juga dengan nalar kekuatan.
Sebagaimana malaikat-malaikat berkuasa atas kekuatan-kekuatan alam,
demikian jugalah jiwa mengatur anggota-anggota badan.
Jiwa yang telah mencapai suatu tingkatan kekuatan khusus, tidak saja mengatur jasadnya sendiri, melainkan juga jasad orang lain.
Jika mereka ingin agar seseorang yang sakit bisa sembuh, maka si sakit pun akan sembuh, atau menginginkan seseorang yang sehat agar jatuh sakit, maka sakitlah orang itu,
atau jika ia inginkan kehadiran seseorang, maka datanglah orang itu kepadanya.
Sesuai dengan baik-buruknya akibat yang ditimbulkan oleh jiwa yang sangat kuat ini,
hal tersebut diistilahkan sebagai mukjizat dan sihir.
Jiwa ini berbeda dari orang biasa dalam tiga hal:
1. Yang hanya dilihat oleh orang-orang lain sebagai mimpi,
mereka lihat pada saat-saat jaga.
2. Sementara kehendak orang lain hanya mempengaruhi jasad mereka saja,
jiwa ini, dengan kekuatan kehendaknya, bisa pula menggerakan jasad-jasad di luar mereka.
3. Pengetahuan yang oleh orang lain diperoleh dengan belajar secara sungguh-sungguh, sampai kepada mereka lewat intuisi.
Tentunya bukan hanya tiga tanda ini sajalah yang membedakan mereka dari orang-orang biasa, tetapi hanya ketiganya itulah yang bisa kita ketahui.
Sebagaimana halnya, tidak ada sesuatu pun yang mengetahui sifat-sifat Tuhan
yang sebenarnya, kecuali Tuhan sendiri, maka tak ada seorang pun yang mengetahui
sifat sebenarnya seorang Nabi, kecuali seorang Nabi.
Hal ini tak perlu kita herankan, sama halnya dengan di dalam peristiwa sehari-hari kita melihat kemustahilan untuk menerangkan keindahan puisi pada seseorang yang telinganya kebal terhadap irama, atau menjelaskan keindahan warna kepada seseorang yang sama sekali buta.
Di samping ketidakmampuan, ada juga hambatan-hambatan lain di dalam pencapaian kebenaran ruhaniah.
Salah satu di antaranya adalah pengetahuan yang dicapai secara eksternal.
Sebagai misal, hati bisa digambarkan sebagai sumur dan pancaindera sebagai lima aliran yang dengan terus-menerus membawa air ke dalamnya.
Agar bisa menemukan kandungan hati yang sebenarnya, maka aliran-aliran ini mesti dihentikan untuk sesaat dengan cara apa pun dan sampah yang dibawa bersamanya mesti dibersihkan dari sumur itu.
Dengan kata lain, jika kita ingin sampai kepada kebenaran ruhani yang murni,
pada saat itu mesti kita buang pengetahuan yang telah dicapai dengan proses-proses eksternal dan yang sering sekali mengeras menjadi prasangka dogmatis.
Kesalahan dari jenis lain, berlawanan dengan itu, dibuat oleh orang-orang yang dangkal yang – dengan menggemakan beberapa ungkapan yang mereka tangkap dari guru-guru Sufi – ke sana ke mari menyebarkan kutukan terhadap semua pengetahuan.
Ia bagaikan seseorang yang tidak cakap di bidang kimia menyebarkan ucapan:
“Kimia lebih baik dari emas,” dan menolak emas ketika ditawarkan kepadanya.
Kimia memang lebih baik dari emas, tapi para ahli kimia sejati amatlah langka,
demikian pula Sufi-sufi sejati.
Seseorang yang hanya memiliki pengetahuan yang dangkal tentang tasawuf,
tidak lebih unggul daripada seorang yang terpelajar.
Demikian pula seseorang yang baru mencoba beberapa percobaan kimia,
tidak punya alasan untuk merendahkan seorang kaya.
Setiap orang yang mengkaji persoalan ini akan melihat bahwa
kebahagiaan memang terkaitkan dengan pengetahuan tentang Tuhan.
Tiap fakultas dalam diri kita senang dengan segala sesuatu yang untuknya ia diciptakan.
Syahwat senang memuasi nafsu, kemarahan senang membalas dendam,
mata senang melihat obyek-obyek yang indah, dan telinga senang mendengar suara-suara yang selaras.
Fungsi tertinggi jiwa manusia adalah pencerapan kebenaran,
karena itu dalam mencerap kebenaran tersebut ia mendapatkan kesenangan tersendiri. Bahkan soal-soal remeh, seperti mempelajari catur, juga mengandung kebaikan.
Dan makin tinggi materi subyek pengetahuan didapatnya, makin besarlah kesenangannya.
Seseorang akan senang jika dipercayai untuk jabatan Perdana Menteri,
tetapi betapa lebih senangnya ia jika sang raja sedemikian akrab dengannya sehingga membukakan soal-soal rahasia baginya.
Seorang ahli astronomi yang dengan pengetahuannya bisa memetakan bintang-bintang dan menguraikan lintasan-lintasannya, mereguk lebih banyak kenikmatan dari pengetahuannya dibanding seorang pemain catur.
Setelah mengetahui bahwa tak ada sesuatu yang lebih tinggi dari Allah,
maka betapa akan besarnya kebahagiaan yang memancar dari pengetahuan sejati
tentang-Nya itu!
Orang yang telah kehilangan keinginan akan pengetahuan seperti ini adalah
bagaikan seorang yang telah kehilangan seleranya terhadap makanan sehat,
atau yang untuk hidupnya lebih menyukai makan lempung daripada roti.
Semua nafsu badani musnah pada saat kematian bersamaan dengan kematian
organ-organ yang biasa diperalat nafsu-nafsu tersebut.
Tetapi jiwa tidak.
Ia simpan segala pengetahuan tentang Tuhan yang dimilikinya, malah menambahnya.
Suatu bagian penting dari pengetahuan kita tentang Tuhan timbul dari kajian dan renungan atas jasad kita sendiri yang menampakkan pada kita kebijaksanaan, kekuasaan, serta cinta Sang Pencipta.
Dengan kekuasan-Nya, Ia bangun kerangka tubuh manusia yang luar biasa dari hanya suatu tetesan belaka.
Kebijakan-Nya terungkapkan di dalam kerumitan jasad kita serta kemampuan bagian-bagiannya untuk saling menyesuaikan, Ia perlihatkan cinta-Nya dengan memberikan lebih dari sekadar organ-organ yang memang mutlak perlu bagi eksistensi – seperti hati, jantung dan otak – tetapi juga yang tidak mutlak perlu – seperti tangan, kaki, lidan dan mata.
Kepada semuanya ini telah Ia tambahkan sebagai hiasan hitamnya rambut, merahnya bibir dan melengkungnya bulu mata.
Manusia dengan tepat disebut sebagi ‘alamu shshaghir’ atau jasad-kecil di dalam dirinya.
Struktur jasadnya mesti dipelajari, bukan hanya oleh orang-orang yang ingin menjadi dokter, tetapi juga oleh orang-orang yang ingin mencapai pengetahuan yang lebih dalam tentang Tuhan, sebagaimana studi yang mendalam tentang keindahan dan corak bahasa
di dalam sebuah puisi yang agung akan mengungkapkan pada kita lebih banyak
tentang kejeniusan pengarangnya.
Di atas semua itu, pengetahuan tentang jiwa memainkan peranan yang lebih penting
dalam membimbing ke arah pengetahuan tentang Tuhan ketimbang pengetauhan tentang jasad kita dan fungsi-fungsinya.
Jasad bisa diperbandingkan dengan seekor kuda dengan jiwa sebagai penunggangnya. Jasad diciptakan untuk jiwa dan jiwa untuk jasad.
Jika seorang manusia tidak mengetahui jiwanya sendiri – yang merupakan sesuatu yang paling dekat dengannya – maka apa arti klaimnya bahwa ia telah mengetahui hal-hal lain.
Kalau demikian,
ia bagaikan seorang pengemis yang tidak memiliki persediaan makanan, lalu mengklaim bisa memberi makan seluruh penduduk kota.
Dalam bab ini kita telah berusaha sampai tingkat tertentu untuk memaparkan kebesaran jiwa manusia.
Seseorang yang mengabaikannya dan menodai kapasitasnya dengan karat atau memerosotkannya, pasti menjadi pihak yang kalah di dunia ini dan di dunia mendatang.
Kebesaran manusia yang sebenarnya terletak pada kapasitasnya untuk terus-menerus meraih kemajuan.
Jika tidak, di dalam ruang temporal ini, ia akan menjadi makhluk yang paling lemah
di antara segalanya – takluk oleh kelaparan, kehausan, panas, dingin dan penderitaan.
Sesuatu yang paling ia senangi sering merupakan sesuatu yang paling berbahaya baginya. Dan sesuatu yang menguntungkannya tidak bisa ia peroleh kecuali dengan kesusahan dan kesulitan.
Mengenai inteleknya, sekadar suatu kekacauan kecil saja di dalam otaknya sudah cukup untuk memusnahkan atau membuatnya gila.
Sedangkan mengenai kekuatannya, sekadar sengatan tawon saja sudah bisa mengganggu rasa santai dan tidurnya.
Mengenai tabiatnya, dia sudah akan gelisah hanya dengan kehilangan satu rupiah saja. Dan tentang kecantikannya, ia hanya sedikit lebih cantik daripada benda-benda memuakkan yang diselubungi dengan kulit halus. Jika tidak sering dicuci, ia akan menjadi sangat menjijikkan dan memalukan.
Sebenarnyalah manusia di dunia ini sungguh amat lemah dan hina.
Hanya di dalam kehidupan yang akan datang sajalah ia akan mempunyai nilai,
jika dengan sarana “kimia kebahagiaan” tersebut ia meningkat dari tingkat hewan
ke tingkat malaikat.
Jika tidak, maka keadaannya akan menjadi lebih buruk dari orang-orang biadab
yang pasti musnah dan menjadi debu.
Perlu baginya untuk – bersamaan dengan timbulnya kesadaran akan keunggulannya sebagai makhluk terbaik – belajar mengetahui juga ketidakberdayaannya,
karena hal ini juga merupakan salah satu kunci kepada pengetahuan tentang Tuhan.
Pengetahuan Tentang Tuhan
Sebuah hadits Nabi (SAW) yang terkenal berbunyi
“Dia yang mengenal dirinya, mengenal Allah.”
Artinya, dengan merenungkan wujud dan sifat-sifatnya,
manusia sampai pada sebagian pengetahuan tentang Tuhan.
Tetapi karena banyak orang yang merenungkan dirinya tidak juga menemui Tuhan,
berarti bahwa tentulah ada cara-cara tersendiri untuk melakukan hal tersebut.
Kenyataannya, ada dua metode untuk bisa sampai pada pengetahuan ini.
Salah satu di antaranya sedemikian musykil sehingga tidak bisa dicerna
dengan kecerdasan biasa dan karenanya lebih baik tidak dijelaskan.
Metode yang lain adalah sebagai berikut.
Jika seorang manusia merenungkan dirinya, ia akan tahu bahwa sebelumnya ia tidak ada, sebagaimana tertulis di dalam al-Qur’an:
“Tidakkah manusia tahu bahwa sebelumnya ia bukan apa-apa?”
Selanjutnya ia ketahui bahwa ia terbuat dari satu tetes air
yang tidak mengandung intelek, pendengaran, kepala, tangan, kaki dan sebagainya.
Dari sini jelaslah bahwa, setinggi apa pun tingkat kesempurnaannya,
ia tidak menciptakan dirinya dan tidak pula ia mampu mencipta seutas rambut sekalipun.
Betapa sangat tak berdayanya ia pada waktu ia baru hanya berupa setetes air itu!
Jadi, sebagaimana telah kita lihat pada bab pertama (Pengetahuan Tentang Diri – pen.),
dia dapati pada wujudnya sendiri terpantulkan sebagai, katakanlah,
suatu miniatur kekuasaan, kebijakan dan cinta Sang Pencipta.
Jika semua orang pandai dari seluruh dunia dikumpulkan dan hidup mereka diperpanjang sampai waktu yang tidak terbatas, tidak akan bisa mereka hasilkan perbaikan apa pun
atas bangun satu bagian saja dari jasad manusia.
Misalnya, pada penyesuaian geligi depan dan samping pada pengunyahan makanan,
serta pada bangun lidah, kelenjar-kelenjar air liur dan kerongkongan untuk penelanannya, kita dapati peralatan-peralatan yang tidak bisa dibuat lebih baik lagi.
Demikian pula seseorang yang merenungkan tangan dengan lima jari-jarinya yang tidak sama panjang – empat di antaranya dengan tiga persendian dan jempol yang hanya mempunyai dua – serta dengan cara bagaimana ia bisa dipergunakan untuk mencekal, menjinjing atau memukul, secara terus terang akan mengakui bahwa tidak akan mungkin kebijakan manusia bisa membuatnya lebih baik lagi dengan mengubah jumlah dan
aturan jari-jari tersebut, atau dengan jalan lain apa pun.
Jika seorang manusia lebih lanjut memikirkan bagaimana beragam keinginannya akan makanan, penginapan dan lain sebagainya, pemenuhannya begitu banyak disodorkan
dari gudang penciptaan, ia pun menjadi sadar bahwa rahmat Allah adalah
sebesar kekuasaan dan kebijakan-Nya, sebagaimaan Ia sendiri berkata:
“Rahmat-Ku lebih luas dari kemarahan-Ku.”
Dan menurut hadits Nabi (SAW),
Allah lebih lembut penciptaan dirinya sendiri,
manusia menjadi tahu akan kemaujudan Tuhan.
Dari kerangka tubuhnya yang menakjubkan ia mengetahui kekuasaan dan kebijakkan Allah.
Dan lewat karunia yang berlimpah untuk memenuhi berbagai kebutuhannya,
ia mengetahui kecintaan Allah.
Dengan cara ini pengetahuan tentang diri menjadi kunci bagi pengetahuan tentang Allah. Bukan saja sifat-sifat manusia merupakan suatu pantulan sifat-sifat Tuhan,
tetapi bentuk kemaujudan jiwa manusia pun menghasilkan suatu wawasan
tentang bentuk kemaujudan Allah.
Dengan demikian bisa dikatakan bahwa Allah dan jiwa kedua-duanya tidak terbatasi
oleh ruang dan waktu, serta berada di luar pengelompokan-pengelompokan jumlah dan kualitas.
Demikian pula gagasan-gagasan tentang bentuk, warna atau ukuran tidak bisa pula dihubungkan dengan keduanya.
Orang mengalami kesulitan untuk membentuk suatu konsepsi tentang hakikat semacam itu yang hampa kualitas, jumlah, dan sebagainya, padahal kesulitan yang sama terkaitkan pula dengan konsepsi tentang perasaan kita sehari-hari, seperti marah, sakit, senang atau cinta.
Semuanya itu adalah konsep-konsep pikiran dan tidak bisa dimengerti oleh indera, sementara kualitas, jumlah dan lain sebagainya adalah konsep-konsep indera.
Sebagaimana telinga tidak bisa mengenali warna, tidak pula mata bisa mengenali suara; dalam ketidakmampuan kita membayangkan hakikat-hakikat puncak, yaitu Allah dan ruh, kita dapati diri kita berada di dalam suatu wilayah di mana konsep-konsep indera tidak bisa ambil bagian.
Meskipun demikian, sebagaimana bisa kita lihat, Allah adalah pengatur jagat dan Ia – yang berada di luar ruang dan waktu, kuantitas dan kualitas – mengatur apa-apa yang sedemikian terkondisikan.
Begitu pulalah ruh mengatur jasad dan anggota-anggotanya dalam keadaan ia sendiri
tidak kasat-mata, tidak terbagi-bagi dan tidak tertempatkan di suatu bagian khusus
mana pun.
Karena, bagaimana bisa sesuatu yang tidak terbagi-bagi tertempatkan di dalam sesuatu yang bisa tergagi-bagi.
Dari semuanya ini bisa kita lihat betapa benarnya hadits Nabi (SAW):
“Allah menciptakan manusia di dalam kemiripan dengan diri-Nya sendiri.”
Dan setelah kita sampai pada sebagian pengetahuan tentang esensi dari sifat-sifat Allah lewat perenungan akan esensi dan sifat-sifat ruh, maka akan bisa kita pahami
metode kerja, pengaturan dan pendelegasian kekuasaan Allah
kepada kekuatan-kekuatan kemalaikatan dan sebagainya, yaitu dengan jalan mengamati bagaimana masing-masing kita mengatur kerajaan-kerajaan kecilnya sendiri.
Sebagai contoh sederhana, misalkan seorang manusia ingin menulis nama Allah.
Pertama sekali keinginan ini terbetik di dalam hati, baru kemudian dibawa ke otak oleh ruh-ruh vital. Bentuk kata “Allah” tergambar di dalam relung-relung otak, kemudian berjalan sepanjang saluran syaraf dan menggerakkan jari-jari yang pada gilirannya menggerakkan pena. Dengan demikian nama “Allah” terguratkan di atas kertas tepat sebagaimana dibayangkan di dalam otak penulisnya.
Demikian pula, jika Allah menghendaki sesuatu, maka sesuatu itu tampil di dalam dataran ruhaniah yang di dalam al-Qur’an disebut sebagai “Singgasana” (al-‘arsy).
Dari singgasana itu ia berlalu lewat suatu arus spiritual ke arah suatu dataran
yang lebih rendah yang disebut kursi (al-kursiy),
kemudian bentuknya tampil dalam al-lauh ‘al-mahfuzh yang,
dengan perantaraan kekuatan-kekuatan yang disebut sebagai “malaikat-malaikat”,
mewujud dan tampil di atas bumi dalam bentuk tetanaman, pepohonan dan hewan-hewan, sebagai pencerminan keinginan dan pikiran Allah, sebagaimana huruf-huruf yang tertulis mencerminkan keinginan yang terbetik di dalam hati dan bentuk yang hadir di dalam
otak sang penulis.
Tidak seorang pun bisa memahami seorang raja kecuali seorang raja.
Karena itu Tuhan telah menjadikan masing-masing kita sebagai, katakanlah,
seorang raja dalam miniatur, atas suatu kerajaan yang merupakan tiruan dari kerajaan-Nya yang telah disusutkan secara tidak terbatas.
Di dalam kerajaan manusia, singgasana Allah dicerminkan oleh ruh, malaikat (Jibril)
oleh hati, kursy oleh otak dan lauhul-mahfuzh oleh ruang-gudang pikiran.
Jiwa – yang ia sendiri tak tertempatkan dan tak terbagi-bagi – mengatur jasad
sebagaimana Allah mengatur jagad.
Pendeknya, kepada kita diamanatkan suatu kerajaan kecil, dan
kita diwajibkan untuk tidak ceroboh dalam mengaturnya.
Mengenai pengenalan tentang bagaimana Allah memelihara,
ada banyak tingkatan pengetahuan.
Ahli fisika biasa, seperti seekor semut yang merangkak di atas selembar kertas dan mengamati huruf-huruf hitam yang tersebar di atasnya,
akan menunjukkan “sebab” hanya kepada pena saja.
Seorang astronom, seperti seekor semut dengan pandangan agak lebih luas,
bisa melihat jari-jari yang menggerakkan pena.
Maksudnya, ia mengetahui bahwa bintang-bintang berada di bawah
kekuasaan malaikat-malaikat.
Jadi, sehubungan dengan berbagai tingkat persepsi orang,
perdebatan mesti timbul dalam melacak sebab dari akibat.
Orang-orang yang matanya tidak pernah melihat ke balik dunia-gejala,
adalah seperti orang-orang yang salah menempatkan hamba-hamba
dari tingkatan yang paling rendah ke tingkatan raja.
Hukum-hukum tentang gejala mesti tetap atau, jika tidak, tak akan ada sains dan sebagainya; tetapi untuk menempatkan hamba-hamba sebagai majikan
adalah suatu kesalahan besar.
Selama perbedaan di dalam fakultas perseptif para pengamat ini masih ada,
perdebatan memang mesti perlu berlanjut.
Bagaikan beberapa orang buta yang mendengar bahwa seekor gajah telah datang
ke kotanya, lantas pergi menyelidikinya.
Pengetahuan yang bisa mereka peroleh hanyalah lewat indera perasaan,
sehingga ketika seorang memegang kaki sang binatang,
yang satu lagi memegang gadingnya dan yang lain telinganya, dan,
sesuai dengan persepsi mereka masing-masing,
mereka menyatakannya sebagai suatu batangan, suatu tabung yang tebal dan
suatu lapisan kapas,
masing-masing mengambil sebagian untuk menyatakan keseluruhannya.
Jadi, sang ahli fisika dan astronomi mengacaukan hukum-hukum yang mereka tangkap dengan Sang Penetap hukum-hukum.
Kesalahan yang sama dilemparkan kepada Ibrahim di dalam al-Qur’an yang meriwayatkan bahwa ia berturut-turut berpaling kepada bintang-bintahg, bulan dan matahari sebagai obyek-obyek penyembahan, sampai kemudian menjadi sadar tentang Dia
yang membuat segala sesuatu, Ibrahim pun berseru:
“Saya tidak menyukai segala sesuatu yang terbenam.” (QS 6:76).
Kita memiliki sebuah contoh yang sudah umum tentang pengacuan kepada
sebab-sebab kedua apa-apa yang seharusnya diacu kepada Sebab Pertama,
yaitu dalam persoalan apa yang disebut sebagai penyakit.
Misalnya jika seseorang kehilangan rasa tertariknya pada urusan duniawi,
memiliki rasa benci terhadap kesenangan-kesenangan umum,
dan tampak tenggelam dalam depresi, dokter akan berkata:
“Ini adalah kasus melankoli yang membutuhkan resep ini dan itu.”
Seorang ahli fisika akan berkata:
“Ini adalah persoalan kekeringan otak yang disebabkan oleh cuaca panas dan
tidak bisa disembuhkan sampai udara menjadi lembab kembali.”
Sang ahli astrologi akan mengaitkan hal ini dengan konjungsi atau oposisi tertentu
planet-planet.
“Sejauh jangkauan pengetahuan mereka,” kata al-Qur’an.
Tidak terbayangkan oleh mereka bahwa yang sesungguhnya terjadi adalah
seperti demikian: bahwa Yang Maha Kuasa berkehendak mengurus kesejahteraan
orang itu, dan oleh karenanya telah memerintahkan hamba-hamba-Nya,
yakni planet-planet atau unsur-unsur, agar menciptakan keadaan seperti itu di dalam diri orang tersebut, sehingga ia bisa berpaling dari dunia ke arah Penciptanya.
Pengetahuan tentang kenyataan ini merupakan suatu mutiara yang berkilauan
dari lautan pengetahuan keilhaman, yang dibandingkan dengannya,
semua bentuk pengetahuan lain menjadi bagaikan pulau-pulau di tengah laut.
Dokter, ahli fisika dan ahli astrologi tersebut, tak syak lagi memang benar dalam
cabang pengetahuan-khususnya masing-masing, tetapi mereka tidak bisa melihat bahwa penyakit itu adalah, katakanlah, suatu tali cinta yang digunakan oleh Allah untuk menarik
para wali mendekat kepada diri-Nya.
Tentang para wali ini Allah berfirman: “Aku sakit dan kamu tidak menjenguk-Ku.”
(ini hanya kiasan-pen).
Penyakit itu sendiri adalah salah satu di antara bentuk-bentuk pengalaman
yang menjadi sarana bagi manusia untuk sampai pada pengetahuan tentang Allah, sebagaimana Ia lewat mulut nabi-Nya (SAW):
“Penyakit-penyakit itu sendiri adalah hamba-hamba-Ku, dan dikenakan atas pilihan-Ku.”
Catatan-catatan di atas memungkinkan kita memasuki lebih dalam makna seruan-seruan yang melekat di bibir orang-orang mukmin:
“Subhanallah, alhamdulillah, la ilaha illallah, allahu akbar.”
Mengenai yang terakhir, kita bisa berkata bahwa hal itu tidaklah berarti bahwa
Allah lebih besar dari penciptaan, karena penciptaan adalah pengejawantahan-Nya, sebagaimana cahaya adalah pengejawantahan matahari.
Dan akan tidak benar kalau dikatakan bahwa matahari lebih besar dari cahayanya sendiri. Hal itu lebih berarti bahwa kebesaran Allah sama sekali melampaui kemampuan kognitif dan bahwa kita hanya bisa membentuk suatu gagasan yang amat kabur dan
tidak sempurna tentang-Nya.
Jika seorang anak meminta kita untuk menerangkan padanya kesenangan-kesenangan yang ada di dalam pemilikan kedaulatan, kita bisa berkata bahwa hal itu adalah
seperti kesenangan-kesenangan yang ia rasakan di dalam bermain-main dengan
alat pemukul dan bola, meskipun pada hakikatnya keduanya tidak memiliki sesuatu
yang sama kecuali bahwa keduanya termasuk ke dalam katagori kesenangan.
Jadi, seruan Allahu akbar berarti bahwa kebesaran-Nya jauh melampaui kemampuan pemahaman kita.
Lagi pula, pengetahuan tentang Allah yang tidak sempurna seperti itu -sebagaimana yang bisa kita peroleh – bukanlah sekadar suatu pengetahuan spekulatif belaka,
tetapi mesti dibarengi dengan penyerahan dan ibadah.
Jika seseorang meninggal dunia, dia berurusan hanya dengan Allah saja.
Dan jika kita harus hidup bersama seseorang, kebahagiaan kita sama sekali tergantung pada tingkat kecintaan yang kita rasakan kepadanya.
Cinta adalah benih kebahagiaan, dan
cinta kepada Allah ditumbuhkan dan dikembangkan oleh ibadah.
Ibadah dan zikir yang terus-menerus seperti itu mengisyaratkan suatu tingkat tertentu
dari keprihatinan dan pengekangan nafsu-nafsu badaniah.
Hal ini tidak berarti bahwa seseorang diharapkan untuk sama sekali memusnahkan
nafsu-nafsu badaniah itu, karena jika demikian halnya, maka ras manusia akan musnah.
Tetapi batasan-batasan yang ketat mesti dikenakan pada usaha pemuasannya.
Dan karena manusia bukan hakim yang terbaik dalam kasusnya sendiri,
maka untuk menetapkan batasan-batasan apa yang harus dikenakan itu
sebaiknya ia konsultasikan masalah tersebut kepada pembimbing-pembimbing ruhaniah.
Pembimbing-pembimbing ruhaniah seperti itu adalah para nabi dan pewarisnya.
Hukum-hukum yang telah mereka tetapkan berdasar wahyu Tuhan menentukan
batasan-batasan yang mesti ditaati dalam persoalan-persoalan ini.
Orang yang melanggar batas-batas ini berarti “telah menganiaya dirinya sendiri”, sebagaimana tertulis di dalam al-Qur’an.
Meskipun pernyataan al-Qur’an ini telah jelas, masih ada juga orang-orang yang,
karena kejahilannya tentang Allah, melanggar batas-batas tersebut.
Kejahilan ini bisa disebabkan karena berbagai sebab.
Pertama, ada orang yang gagal menemukan Allah lewat pengamatan,
lantas menyimpulkan bahwa Allah itu tidak ada dan
bahwa dunia yang penuh keajaiban-keajaiban ini menciptakan dirinya sendiri
atau ada dari keabadian.
Mereka bagaikan seseorang yang melihat suatu huruf yang tertulis dengan indah
kemudian menduga bahwa tulisan itu tertulis dengan sendirinya tanpa ada penulisnya,
atau memang sudah selalu ada.
Orang-orang dengan cara berpikir seamcam ini sudah terlalu jauh tersesat sehingga berdebat dengan mereka akan sedikit sekali manfaatnya.
Orang-orang seperti itu mirip seorang ahli fisika dan astronomi yang kita sebut di atas.
Kedua, sejumlah orang yang, akibat kejahilan tentang sifat jiwa yang sebenarnya,
menolak doktrin kehidupan akhrat, tempat manusia akan diminta pertanggungjawabannya dan diberi balasan baik atau dihukum.
Mereka anggap diri mereka sendiri sebagai tidak lebih baik daripada hewan-hewan atau sayur-sayuran, dan sama-sama bisa musnah.
Ketiga, di lain pihak, ada orang yang percaya pada Allah dan kehidupan akhirat,
tapi hanya dengan iman yang lemah.
Mereka berkata kepada diri mereka sendiri.
“Allah itu Maha Besar dan tidak tergantung pada kita;
kita beribadah atau tidak merupakan masalah yang sama sekali tidak penting bagi Dia.”
Mereka berpikir seperti orang sakit yang ketika oleh dokter diberi peraturan pengobatan tertentu kemudian berkata:
“Yah, saya ikuti atau tidak, apa urusannya dengan dokter itu.”
Tentunya hal ini tidak berakibat apa-apa terhadap dokter tersebut,
tetapi pasien itu bisa merusak dirinya sendiri akibat ketidaktaatannya.
Sebagaimana pastinya penyakit jasad yang tak terobati berakhir dengan kematian jasad, begitu pula penyakit jiwa yang tak tersembuhkan akan berakhir dengan kepedihan
di masa datang.
Sesuai dengan kata-kata al-Qur’an:
“Orang-orang yang akan diselamatkan hanyalah yang datang kepada Allah
dengan hati yang bersih.”
Keempat, adalah orang-orang kafir yang berkata:
“Syariah mengajarkan kepada kita untuk menahan amarah, nafsu dan kemunafikan.
Hal ini jelas tidak mungkin dilaksanakan, mengingat manusia diciptakan
dengan kualitas-kualitas bawaan seperti ini di dalam dirinya.
Sama saja dengan kamu meminta agar kami jelmakan yang hitam menjadi putih.”
Orang-orang jahil itu sama sekali buta akan kenyataan bahwa syariah
tidak mengajarkan kita untuk mencerabut nafsu-nafsu ini,
melainkan untuk meletakkan mereka di dalam batas-batasnya.
Sehingga, dengan menghindar dari dosa-dosa besar, kita bisa mendapatkan ampunan
atas dosa-dosa kita yang lebih kecil.
Bahkan, Nabi saw. berkata:
“Saya adalah manusia seperti kamu juga, dan marah seperti yang lain-lain.”
Dan di dalam al-Qur’an tertulis:
“Allah mencintai orang-orang yang menahan amarahnya,”
bukan orang-orang yang tidak punya marah sama sekali.
Kelima, adalah kelompok yang menonjol-nonjolkan kemurahan Allah
seraya mengabaikan keadilan-Nya, kemudian berkata kepada dirinya sendiri:
“Ya, apa pun yang kita kerjakan, Allah Maha Pemaaf.”
Mereka tidak berpikir bahwa meskipun Allah itu bersifat pemaaf,
beribu-ribu manusia hancur secara menyedihkan karena kelaparan dan penyakit.
Mereka mengetahui bahwa siapa saja yang menginginkan suatu kehidupan, kemakmuran atau kepintaran, tidak boleh sekadar berkata,
“Tuhan Maha Pemaaf,” tetapi mesti berusaha sendiri dengan keras.
Meskipun al-Qur’an berkata:
“Semua makhluk hidup rizkinya datang dari Allah,” di sana tertulis pula:
“Manusia tidak mendapatkan sesuatu kecuali dengan berusaha.”
Kenyataannya adalah ajaran semacam itu berasal dari setan,
dan orang-orang seperti itu hanya berbicara dengan bibirnya, tidak dengan hatinya.
Keenam, adalah kelompok yang mengklaim sebagai telah mencapai suatu tingkat kesucian tertentu sehingga dosa tidak dapat lagi mempengaruhi mereka.
Meski demikian, jika anda perlakukan salah seorang di antara mereka dengan tidak hormat, dia akan menaruh dendam terhadap anda selama bertahun-tahun.
Dan jika salah seorang di antara mereka tidak mendapatkan sebutir makanan
yang dia pikir merupakan haknya, seluruh dunia akan tampak gelap dan sempit baginya. Bahkan, jika ada di antara mereka benar-benar bisa menaklukkan nafsu-nafsunya,
mereka tidak punya hak untuk membuat klaim semacam itu, mengingat para nabi
– jenis manusia yang tertinggi – terus-menerus mengakui dan meratapi dosa-dosa mereka.
Beberapa di antara mereka mempunyai dosa yang sedemikian besar,
sehingga mereka bahkan menjauhkan diri dari hal-hal yang halal.
Pernah diriwayatkan dari Nabi saw. bahwa suatu hari ketika sebutir koma
dibawa kepadanya, beliau tidak mau memakannya hanya lantaran tidak yakin bahwa
korma tersebut diperoleh secara halal.
Sementara orang-orang yang berkehidupan bebas ini mau meneguk berliter-liter anggur dan mengklaim (saya menggigil pada saat menulis ini) sebagai lebih unggul dari Nabi
yang kesuciannya diancam oleh sebutir kurma, sementara mereka tidak terpengaruh
oleh anggur sebanyak itu.
Patutlah jika setan membenamkan mereka ke dalam kehancuran total.
Orang-orang suci sejati mengetahui bahwa orang yang tidak bisa menguasai
nafsu-nafsunya tidak pantas disebut sebagai seorang manusia.
Dan bahwa seorang muslim sejati adalah orang yang dengan senang hati mau mengakui batas-batas yang ditetapkan oleh syariah.
Orang yang berupaya dengan dalih apa pun untuk mengabaikan kewajiban-kewajibannya, sudah jelas berada dalam pengaruh setan dan harus diajak berbicara tidak dengan sebatang pena, tapi dengan sebilah pedang.
Para penganut mistik palsu semacam ini kadang-kadang berpura-pura telah tenggelam
di dalam lautan ketakjuban.
Tetapi, jika anda bertanya kepada mereka tentang apa yang mereka takjubkan,
mereka tidak tahu.
Mereka mesti disuruh agar takjub semau mereka, tetapi pada saat yang sama
agar mengingat bahwa Yang Maha Kuasa adalah penciptanya,
dan bahwa mereka adalah abdi-abdi-Nya.
Hujjatul Islam, Al-Ghazali, mengatakan,
“Ketika anda mendengar panggilan sholat oleh muadzin,
maka berusahalah membayangkan hingar bingarnya teriakan di hari kiamat.
Persiapkan diri lahir batin untuk menjawabnya.
Mereka yang segera menjawab ajakan tersebut, niscaya akan menjadikan dirinya
orang yang mendapat perlakuan lemah lembut di hari Pembalasan nanti.
”Adzan dan Iqomah adalah wujud “peringatan Ilahi” bagi para hamba-hambaNya
untuk melakukan sholat.
Sampai Nabi SAW mewajibkan ummat untuk menjawab panggilan itu,
dengan menirukan kalimat Adzan tersebut, bahkan jedah waktu antara adzan dan iqomah, kita disunnahkan sholat sunnah dua rokaat.
Mengapa ada adzan dan iqomah sebelum sholat fardlu dimulai?
Karena dalam Al-Qur’an sendiri disebutkan tiga kategori pelaku sholat:
Pertama,
para hamba yang diperintahkan sholat, dengan kata perintah “Aqimish-sholat”
(Qs. Yunus, 105, Huud, 114, Al-Isra’,78, Thoha, 14, Luqman 17, al-Ahzaab, 33).
Kemudian pada surat-surat lain seperti dalam surat Al-Baqarah, An-Nisaa’, al-An’aam Al-A’raaf, Yunus, Hajj, an-Nuur, Ar-Ruum, asy-Syura, Ar-Rahman, al-Mujadilah, al-Muzammil, menggunakan kata perintah dengan bentuk Jama’, yakni “Aqiimush-Sholat”.
Masing-masing perintah baik dengan sasaran orang tunggal atau pun Jama’,
memiliki impressi yang berbeda, dengan etika dan adab yang secara keseluruhan menekankan bahwa adab sholat haruslah berhubungan dengan keikhlasan beribadah (sholat).
Ada perintah menegakkan sholat yang berhubungan dengan:
1. Waktu,
2. Adab mengingat Allah,
3. Menegakkan tauhidnya sholat agar tidak terjerumus dalam kemusyrikan.
4. Perintah lain seperti menunaikan zakat dan sikap berbegang teguh pada Allah,
5. Tata cara sholat, dengan mengikuti tata cara Rasulullah saw,
6. Hubungan sholat dengan amar ma’ruf nahi mungkar
7. Informasi hikmah sholat yang mencegah fakhsya’ (perilaku buruk) dan kemungkaran.
Banyak hikmah dibalik perintah-perintah tersebut, sehingga diperlukannya Adzan dan Iqomah untuk mengingatkan kesadaran vertikal kita kepada Allah SWT.
Kata Iqomah sendiri, juga berhubungan dengan kata penegakan sholat.
Selain kata perintah, juga ada kategori informasi berikut yang:
Kedua, Qa’im, (Ali Imran, 39) yang identik dengan predikat “Muqiimush-Sholat”, orang yang menegakkan sholat (Ibrahim, 40 dan Al-Hajj, 35).
Yaitu orang-orang yang benar-benar menegakkan sholatnya sebagaimana doa-doa Nabiyullah Ibrahim agar anak cucunya dan keluarganya bisa menjadi Muqiimush-Sholah, yaitu mereka yang mendirikan sholat dengan khusyu’, ikhlas, Lillahi Ta’ala.Ketiga, Iqomush-Sholat, (Al-Ambiya’, 73, An-Nuur, 37) yang lebih memberikan gambaran para pelaku Sholat sebagai ahli ibadah yang mencapai maqom ‘abudah, yaitu ketika hamba sholat, hanya Allah yang dipandang (Musyahadah).
Karena itu, jika kita renungi makna yang terkandung dalam kalimat Adzan dan Iqomah bisa kita urai sebagai berikut
:Allahu Akbar Allahu Akbar x2Takbir adalah perjalanan terkahir dari kehambaan manusia kepada Allah Ta’ala, pengakuan, amaliyah, dan maqomat serta nuansa terdalam
dari ruhaniyah manusia. Tetapi juga sekaligus juga awal kita menghadap Allah.
Sehingga setiap sholat pun kita membaca Takbirotul Ihram sebagai pernyataan iman kita kepada Allah, bahkan setiap perubahan dari gerak gerik sholat kita
.Asyhadu Allaa Ilaaha Illallah x2 Asyhadu Anna Muhammadarrasuulullaah x2Syahadatain adalah kepasrahan dan keislaman kita, atas wujud keimanan kita.
Dengan Syhadatain itulah kita memperbaharui iman kita setiap lima waktu sehari.
Lalu segala bentuk kemakhlukan di semesta jagad lahir dan batin kita,
haruslah terhapuskan agar tidak menjadi berhala ketika kita menghadap
Allah Ta’ala.Seluruh pengakuan iman kita ada dalam Syahadatain,
yang harus segera kita wujudkan dalam praktek ibadah utama kita, sholat.
Jika mengingat Allah melalui Musyahadah (dan karena itu bunyi syahadat adalah Asyhadu, aku bersaksi) segalanya tiada, yang Ada hanya Yang Maha Ada, Allah Ta’ala.
Sedangkan Syahadah kepada Nabi Muhammad sebagai Rasul Allah SWT merupakan sikap keimanan kita kepada Nubuwwah dan RisalahNya melalui Inti Cahaya Kenabian dan Risalah, Muhammad SAW.
Karena melalui Cahaya Nabi kita mengenal Allah dan Musyahadah kepadaNya,
dan melalui Cahaya Nabi, Allah memantulkan seluruh Fadlal dan Rahmatya
kepada kita.
Hayya ‘Alash-Sholaah x 2Lalu kita menghadap Allah dengan diawali Takbirorul Ihrom dan diakhiri dengan Salam.
Marilah kita sholat, marilah kita sholat.
Allah memanggil dengan CintaNya, Kasih dan KaruniaNya.
Sebab jika kita tidak memenuhi panggilanNya, kita akan kehilangan Cinta dan FadlalNya.
Hayya ‘Alal Falaah x 2Mari meraih kemenangan.
Tidak ada kemangan kecuali memenangkan sebuah pertarungan melawan
hiruk pikuk makhluk (selain Allah) dalam jiwa kita,
karena kemenangan sesungguhnya adalah kebersamaan kita dengan Allah.
Karena dalam kebersamaan itu terjadi penyatuan diri kita dalam Musyahadah kepada Allah. Dari Allah, (minaLlah) kepada Allah (ilaLlah), Bersama Allah, (ma’aLlah) di Dalam Allah, (fiLlah) hanya bagi Allah, (liLlah) dan menyandar total kepada Allah (‘alaLlah).
Allahu Akbar x2 Takbir diulang kembali, menjelang akhir dari sebuah panggilan,
untuk memasuki kalimat Tauhid. Laailaaha IllallaahTiada Tuhan selain Allah.
Jika adzan kita hayati, kita akan memasuki Iqomatus-Sholah melalui panggilan Iqomah untuk masuk sholat, jelas, jiwa kita sudah lebur dalam Ilahi.
sumber :https://jiwa2kegelapan.wordpress.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar