Rabu, 07 Oktober 2015

Kaidah-Kaidah Tasawuf (bag. 1)

Wacana dalam Suatu Hal

Wacana tentang sesuatu adalah cabang datri proyeksi substansi, manfaat, dan materinya melalui ungkapan rasa hati, baik melalui upaya maupun  intuisi, agar semuanya kembali padanya dalam masing-masing apa yang terjadi, apakah menolak atau menerima, apakah dalam rangka mencari asal usulnya atau cabangnya saja. 
Karena itu harus mengajukan semua itu untuk didalami, untuk mengenal maupun menyeleksi, atau pun mencarai isyarat dibalik materinya. 
Fahamilah ini.

Definisi tentang Materi, Hakikat dan Tasawuf

Substansi sesuatu adalah hakikatnya. 
Sedangkan hakikatnya adalah yang menunjukkan totalitasnya. 
Untuk mendefinisikan semua itu harus dengan batasan yang lebih global, 
atau perumusan, yang lebih jelas, atau melalui penafsiran yang lebih sempurna penjelasannya, mudah difahaminya.

Tasawuf telah didefiniskan, dirumuskan, dan ditafsiri dengan berbagai dimensi, 
hingga mencapai dua ribu definisi. 
Semuanya kembali kepada cara menghadap Allah Ta’ala yang benar. 
Dan berbagai arah menghadap itu ada di dalamnya. Wallahu A’lam.

Perbedaan tentang Hakikat yang Satu dan Definisi Tasawuf

Perbedaan dalam hakikat yang satu, walau pun banyak jumlahnya, 
menunjukkan adanya  pemahaman yang jauh terhadap keseluruhannya.

Apabila dikembalikan pada asal prinsipnya yang satu, akan mengandung seluruh totalitas jumlah itu menurut pemahaman terhadap prinsip tersebut. 
Keseluruhan wacana berapresiasi dengan rincian-rincian masalahnya.
Pengungkapan masing-masing tersebut menurut kadar tujuan yang diraihnya, 
baik secara ilmiah, amaliyah, haal, rasa, dan sebagainya.

Perbedaan definisi tasawuf bermula dari itu semua, maka, 
Al-Hafidz Abu Nu’iam al-Ashbahany, ra, -- menurut umumnya kaum Hilyahnya – mendefinisikan dunia Tasawuf menurut pengalaman hilyah jiwanyanya masing-masing – mengaitkan dengan kondisi ruhaninya, dengan mengatakan: 
“Dan disebutkan: Tasawuf adalah demikian…..”

Saya merasakan, bahwa setiap orang yang memiliki bagian yang benar dalam tawajuuh (menghadap Allah Ta’ala), memiliki bagian dari Tasawuf, dan 
Ketasawufan masing-masing diukur menurut kebenaran Tawajuhnya. 

Hendaknya anda memahami.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar