"CINTA ALLAH"
Cinta tak ubahnya berhala yang dipuja di zaman sekarang.
Ia seperti Lata, 'Uza dan Hubal dalam kejahilan masa kini.
Darah para pemuda , waktu dan kesadarannya adalah korban-korban
yang disuguhkan di hadapannya.
Dan dupa-dupa yang dibakar di depan mihrab yang berkabut.
Cinta adalah bisnis para pemilik modal dan
penyia-nyiaan waktu bagi orang-orang yang memiliki wawasan hati.
Cinta adalah topik yang paling populer yang banyak diselewengkan
pengertiannya di zaman ini.
Cinta ditampilkan oleh media-media penerangan
dalam keadaan cacat dan sakit.
Dalam nyanyian ,novel, film, sandiwara da televisi,
pengertian cinta tak lebih dari rayuan-rayuan antara
perempuan dan lelaki , rintihan-rintihan di balik selimut dan
gambaran seorang lelaki yang berupaya menjerat isteri orang lain.
Seolah tak ada yang terlintas dalam benak sang pengarang
sepanjang waktunya selain bagaimana bisa sampai ke ranjang.
Dan produsen pun tak pernah berpikir selain bagaimana
upaya dan cara menelanjangi artis-artisnya.
Dan, di Eropa, keadaannya bahkan telah lebih jauh dari itu.
Disana , adegan penampakan kemaluan secara polos dan telanjang
bisa ditonton dalam film-film mereka.
Tidak sekedar itu , malahan mereka pun telah berani mempertontonkan
adegan-adegan seksual secara nyata.
Lebih dari itu, mereka pun telah sampai pada perangai abnormal
dengan menampilkan adegan-adegan seksual antar sesama jenis,
lelaki dengan lelaki dan wanita dengan wanita.
Bosan dengan semua itu, mereka menciptakan model adegan baru
yang menunjukkan betapa sangat bobroknya akhlak mereka.
Yakni, dengan mempertunjukkan hubungan seksual antara wanita
dengan anjing dan antara lelaki dengan babi.
Dan dibelakang semua aktivitas ini tersedia dana yang kuat
dan siap pakai bagi perusakan moral dunia.
Tidak ketinggalan tangan-tangan kotor politik pun ikut bermain di dalamnya.
Semua itu melenggang dengan leluasa bersimbolkan cinta, seni, kebebasan,
dan modernitas.
Dan kami, dari belakang mereka meniru-niru pula dengan amat bodohnya,
juga bersimbolkan cinta, seni, kebebasan, dan modernitas.
Dr Musthafa Mahmud.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar