TERLARANG BERTANYA DZATNYA Hal yang terlarang bertanya atau memikirkan tentang DzatNya Rasulullah shallallahu alaihi wasallam telah melarang kita untuk bertanya atau memikirkan tentang DzatNya Rasulullah shallallah
TERLARANG BERTANYA DZATNYA
Hal yang terlarang bertanya atau memikirkan tentang DzatNya
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam telah melarang kita untuk bertanya atau memikirkan tentang DzatNya
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda, ” Berpikirlah tentang nikmat-nikmat Allah, dan jangan sekali-kali engkau berpikir tentang Dzat Allah”
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda “…Janganlah kalian berpikir tentang Dzat Allah, tapi pikirkanlah ciptaan-Nya.…” (HR Ahmad dan Ath-Thabarani).
Para ulama mengatakan “Berpikirlah kalian tentang ciptaan Allah dan jangan sekali-kali berpikir tentang Dzat Allah, sebab memikirkan tentang Dzat Allah akan menggoreskan keraguan dalam hati”.
Sedangkan kaum muslim tidak boleh ragu tentang Allah, sebagaimana diriwayatkan dari Fudhalah bin ‘Ubaid, dari Rasulullah Shollallahu ‘Alaihi wa Sallam, beliau bersabda “Tiga jenis orang yang tidak perlu engkau tanyakan lagi nasibnya,
1. Orang yang merampas selendang Allah, sesungguhnya selendang Allah adalah kesombongan-Nya, sarung-Nya adalah kemuliaan.
2. Orang yang ragu tentang Allah.
3. Dan orang yang berputus asa terhadap rahmat Allah.”
(Hadits shahih, diriwayatkan oleh al-Bukhari dalam al-Adabul Mufrad (590), Ahmad (IV/19), Ibnu Hibban (4559), Ibnu Abi ‘Ashim dalam as-Sunnah (89) dan al-Bazzar (84, lihat Kasyful Astaar)
Firman Allah ta’ala yang artinya
“(yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): “Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka.” (QS Ali ‘Imran [3]:191).
“Katakanlah: “Perhatikanlah apa yaag ada di langit dan di bumi. Tidaklah bermanfaat tanda kekuasaan Allah dan rasul-rasul yang memberi peringatan bagi orang-orang yang tidak beriman“. (QS Yunus [10] : 101).
“Dan Kami tidak menciptakan langit dan bumi dan apa yang ada antara keduanya tanpa hikmah. Yang demikian itu adalah anggapan orang-orang kafir, maka celakalah orang-orang kafir itu karena mereka akan masuk neraka.” (Shaad: 27).
Awaluddin makrifatullah, akhiruddin makrifatullah
Awal beragama adalah mengenal Allah dan akhir atau tujuan beragama adalah menyaksikan Allah dengan hati (ain bashiroh)
Manusia mengenal Allah (makrifatullah) melalui tanda-tanda kekuasaanNya yang merupakan ayat-ayat kauniyah yaitu ayat-ayat dalam bentuk segala ciptaan Allah berupa alam semesta dan semua yang ada didalamnya. Ayat-ayat ini meliputi segala macam ciptaan Allah,baik itu yang kecil (mikrokosmos) ataupun yang besar (makrokosmos).
Ayat-ayat kauniyah dapat menegaskan kemukjizatan ilmiah pada ayat-ayat qauliyah(Al Qur’an) sehingga manusia semakin mengakui kebenaran ayat-ayat qauliyah (Al Qur’an).
Dengan memperhatikan tanda-tanda kekuasaanNya yang merupakan ayat-ayat kauniyah maka kita bisa mengetahui dan meyakini keberadaan dan kebesaran Allah Subhanahu wa Ta’ala bukan keberadaan Tuhan karena menempatkanNya disuatu tempat seperti di langit atau di atas ‘Arsy.
Begitupula harus kita ingat selalu bahwa pertanyaan “di mana” dalam arti menanyakan tempat hanya diperuntukkan kepada makhlukNya yang dibatasi dimensi ruang dan waktu.
Pertanyaan “di mana” tidak layak ditujukan pada Allah ta’ala.
Imam Sayyidina Ali ra juga mengatakan yang maknanya:“Sesungguhnya yang menciptakan ayna (tempat) tidak boleh dikatakan bagi-Nya dimana (pertanyaan tentang tempat), dan yang menciptakan kayfa (sifat-sifat makhluk) tidak boleh dikatakan bagi-Nya bagaimana“
Ibnu Hajar al Asqallâni dalam Fathu al Bâri-nya,1/221:“Karena sesungguhnya jangkauan akal terhadap rahasia-rahasia ketuhanan itu terlampau pendek untuk menggapainya, maka tidak boleh dialamatkan kepada ketetapan-Nya: Mengapa dan bagaimana begini? Sebagaimana tidak boleh juga mengalamatkan kepada keberadaan Dzat-Nya: Di mana?.”
Imam al Qusyairi menyampaikan, ” Dia Tinggi Yang Maha Tinggi, Luhur Yang Maha Luhur dari ucapan “bagaimana Dia?” atau “dimana Dia?”. Tidak ada upaya, jerihpayah, dan kreasi-kreasi yang mampu menggambari-Nya,atau menolak dengan perbuatan-Nya atau kekurangan dan aib. Karena, tak ada sesuatu yang menyerupai-Nya. Dia Maha Mendengar dan Melihat. Kehidupan apa pun tidak ada yang mengalahkan-Nya. Dia Dzat Yang Maha Tahu dan Kuasa“.
Hadits kisah budak Jariyah di dalam kitab Sahih Muslim yang diriwayatkan oleh Muawiyah bin al-Hakam as-Sulami tidak bisa dijadikan landasan untuk i’tiqod karena pertanyaan “di mana” tidak patut disandarkan kepada Allah ta’ala
Hadits kisah budak Jariyah tidak diletakkan dalam bab tentang iman (i’tiqod) namun pada bab tentang sholat.
Hal pokok yang disampaikan oleh hadits terebut adalah pada bagian perkataan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam yang artinya,“Sesungguhnya shalat ini, tidak pantas di dalamnya ada percakapan manusia,karena shalat itu hanyalah tasbih, takbir dan membaca al-Qur’an.”
Pada saat Muawiyah bin al-Hakam as-Sulami meriwayatkan kisah budak Jariyah, beliau dalam keadaan baru masuk Islam yang dapat diketahui dengan pernyataannya “Wahai Rasul shallallahu alaihi wasallam sesungguhnya aku adalah seorang yang baru saja berada di dalam kejahiliyahan kemudian datang Islam”.
Jadi redaksi/matan kisah budak Jariyah adalah periwayatan Muawiyah bin al-Hakam as-Sulami secara pribadi yang kemungkinan besar masih dipengaruhi keyakinan (aqidah) kaum sebelumnya seperti paganisme , bahwa ‘alam Tuhan’ itu berada di langit, seiring dengan ‘alam dewa-dewa’ keyakinan non muslim.
Alam dewa dan alam Tuhan selalu dikaitkan dengan alam tinggi, yang dipersepsi berada di langit, dalam arti ruang yang sesungguhnya. Sehingga, kita sering mendengar cerita-cerita tentang ‘turunnya’ para dewa-dewi, bidadari, atau bahkan ‘Tuhan’ sendiri dari langit nun jauh di sana menuju ke Bumi. Keyakinan pagan adalah keyakinan yang menyembah dewa-dewi dan unsur-unsur alam. Di antaranya adalah keyakinan penyembah Matahari, Bintang, Bulan, penyembah api, penyembah pepohonan, gunung-gunung, dan lain sebagainya.
Pengaruh keyakinan bahwa “alam Tuhan” itu berada di langit mengakibatkan segelintir umat Islam berkeyakinan (beri’tiqod) Tuhan berada (bertempat) di langit (fis sama) atau di atas ‘Arsy (alal ‘Arsy) atau diatas Sidratul Muntaha atau berada di alam tinggi, di atas awan sana. Di langit seperti negeri dongeng jaman dahulu kala, yang tidak akan pernah anda temui ketika anda naik pesawat ruang angkasa sekalipun, baik dengan teknologi pesawat ruang angkasa pada masa kini maupun nanti.
Oleh karenanya ada di antara umat Islam yang berpendapat, untuk bertemu Allah kita harus mengarungi jarak ke langit, ke luar angkasa sana. Termasuk ketika Rasulullah shallallahu alaihi wasallam Mi’raj. Beliau datang ke Sidratul Muntaha itu dipersepsikan untuk bertemu Allah. Sebab, dalam persepsi mereka, Allah itu di langit, jauh dari kita dalam arti mempunyai jarak, ruang dan waktu.
Ibn Al Jawzi berkata “Aku (Ibnul Jawzi) berkata: “Para ulama (Ahlussunnah Wal Jama’ah) telah menetapkan bahwa Allah tidak diliputi oleh langit dan bumi serta tidak diselimuti oleh segala arah. Adapun bahwa budak perempuan tersebut berisyarat dengan mengatakan di arah langit adalah untuk tujuan mengagungkan Allah”
Begitupula Imam Nawawi (w. 676 H/1277 M) dalam Syarah Shahih Muslim (Juz. 5 Hal. 24-25) maka ia mentakwilnya agar tidak menyalahahi Hadis Mutawatir dan sesuai dengan ushulus syariah. Yakni pertanyaan ‘Aina Allah? diartikan sebagai pertanyaan tentang kedudukan Allah bukan tempat Allah, karena aina dalam bahasa Arab bisa digunakan untuk menanyakan tempat dan juga bisa digunakan untuk menanyakan kedudukan atau derajat. Jadi maknanya; “Seberapa besar pengagunganmu kepada Allah?”. Sedangkan jawaban Fis Sama’ diartikan dengan uluwul kodri jiddan (derajat Allah sangat tinggi).
Tentang hadits pada matan kisah budak Jariyah, berkata Imam asy-Syafi’i–rahimahullah- :
واختلف عليه في إسناده ومتنه، وهو إن صحفكان النبي – صلى الله عليه وسلم – خاطبها على قَدرِ معرفتها، فإنها وأمثالها قبل الإسلامكانوا يعتقدون في الأوثان أنها آلهة في الأرض، فأراد أن يعرف إيمانها، فقال لها: أيناللَّه؟ حتى إذا أشارت إلى الأصنام عرف أنها غير مؤمنة، فلما قالت: في السماء، عرفأنها برئت من الأوثان، وأنها مؤمنة بالله الذي في السماء إله وفي الأرض إله، أو أشار،وأشارت إلى ظاهر ما ورد به الكتاب.
“Dan telah terjadi khilaf pada sanaddan matan nya (hadits jariyah), dan seandainya shohih Hadits tersebut, maka adalah Nabi –shallallahu ‘alaihi wasallam- bertanya kepada hamba tersebut menurut kadar pemahaman nya, karena bahwa dia (hamba) dan kawan-kawan nya sebelum Islam, mereka meyakini bahwa berhala adalah Tuhan yang ada di bumi, maka Nabi ingin mengetahui keimanan nya, maka Nabi bertanya : “Dimana Allah ?” sehingga apabila ia menunjuk kepada berhala, Nabi mengetahui bahwa ia bukan Islam, maka manakala ia menjawab : “Di atas langit” Nabi mengetahui bahwa ia terlepas dari berhala dan bahwa ia adalah orang yang percaya kepada Allah yaitu Tuhan di langit dan Tuhan di bumi, atau Nabi mengisyarah dan ia mengisyarah kepada dhohir yang datang dalam Al-Quran”. [Lihat Kitab Tafsir Imam asy-Syafi’ipada surat al-Mulk -قال الله عزَّ وجلَّ: أَأَمِنْتُمْ مَنْفِي السَّمَاءِ
dan [Lihat Kitab Manaqib Imam Syafi’i jilid 1 halaman 597 karangan Imam Baihaqqi, pada Bab
-ما يستدل به على معرفة الشَّافِعِي بأصولالكلام وصحة اعتقاده فيها- ]
Penjelasannya
واختلف عليه في إسناده ومتنه
“Dan telah terjadi khilaf pada sanad dan matan nya”
Maksudnya : Khususnya pada matan (redaksi) hadits Jariyah telah banyak terjadi perbedaan pendapat ulama Hadits, baik dalam keshohihan sanad nya atau dalam matan nya, sepantasnya Hadits ini ditinggalkan bagi orang yang ingin beraqidah dengan aqidah yang selamat, karena ketidak-jelasan status Hadits ini.
وهو إن صح فكان النبي – صلى الله عليه وسلم– خاطبها على قَدرِ معرفتها
“dan seandainya shohih Hadits tersebut, maka adalah Nabi –shallallahu ‘alaihi wasallam- bertanya kepada hamba tersebut menurut kadar pemahaman nya”
Maksudnya : Bila ternyata Hadits Jariyah itu benar Hadits Shohih, atau bagi orang yang menganggapnya sebagai Hadits Shohih, maka jangan di telan mentah-mentah, pahami dulu bagaimana maksud Nabi sesungguhnya dalam Hadits tersebut, Imam Syafi’i mengatakan bahwa maksud Nabi bertanya kepada hamba itu dengan pertanyaan “Dimana Allah” adalah bertanya menurut kemampuan kepahaman hamba tersebut, artinya Nabi bertanya “Siapa Tuhan nya” sebagaimana didukung oleh sanad dan matan dalam riwayat yang lain, Nabi tidak bermaksud menanyakan arah atau tempat keberadaan Allah.
فإنها وأمثالها قبل الإسلام كانوا يعتقدونفي الأوثان أنها آلهة في الأرض
“karena bahwa dia (hamba) dan kawan-kawan nya sebelum Islam, mereka meyakini bahwa berhala adalah Tuhan yang ada di bumi”
Maksudnya : Cara Rasulullah bertanya untuk mengetahui statusnya muslim atau non muslim dengan pertanyaan “Dimana Allah” adalah menyesuaikan dan mempertimbangkan keadaan hamba tersebut yang masih awam, karena mereka sebelum datang Islam, mereka menyembah dan meyakini bahwa berhala yang bertempat di bumi adalah Tuhan mereka, maka sesuailah keadaan tersebut dengan pertanyaan Nabi “Di mana Allah”. Sementara Allah tidak seperti Tuhan-Tuhan mereka yang bertempat.
فأراد أن يعرف إيمانها، فقال لها: أين اللَّه؟
“maka Nabi ingin mengetahui keimanannya, maka Nabi bertanya : Dimana Allah ?”
Maksudnya : Nabi bertanya “Dimana Allah” untuk mengetahui status keimanan hamba tersebut, artinya Rasul bertanya siapa Tuhan yang ia imani, Nabi tidak bermaksud bertanya di mana tempat berhala nya berada bila hamba itu seorang penyembah berhala, dan tidak bermaksud menanyakan di mana tempat Allah berada bila hamba tersebut percaya kepada Allah, tapi hanya menanyakan apakah ia beriman kepada Allah atau bukan.
حتى إذا أشارت إلى الأصنام عرف أنها غيرمؤمنة
“sehingga apabila ia menunjuk kepada berhala, Nabi mengetahui bahwa ia bukan Islam”
Maksudnya : Mempertimbangkan keadaan orang-orang dimasa itu yang masih banyak menyembah berhala, maka ketika Rasul ingin mengetahui status hamba tersebut, Rasul bertanya dengan pertanyaan “Di mana Allah” agar mudah bagi nya menjawab bila ia penyembah berhala, maka ia menunjukkan tempat berhala yang ia sembah, dan otomatis diketahui bahwa ia bukan orang yang percaya kepada Allah.
فلما قالت: في السماء، عرف أنها برئت منالأوثان
“maka manakala ia menjawab : “Diatas langit” Nabi mengetahui bahwa ia terlepas dari berhala”
Maksudnya : Ketika hamba itu menjawab “Di atas langit” maka Nabi mengetahui bahwa ia adalah bukan penyembah berhala, jawaban hamba ini juga tidak bisa dijadikan alasan bahwa Nabi mengakui “Allah berada (bertempat) diatas langit” karena tidak ada hubungan antara jawaban dan pertanyaan Nabi,seperti dijelaskan di atas bahwa maksud Nabi bertanya demikian adalah ingin mengetahui status hamba muslim atau non muslim, maka jawaban hamba ini dipahami sesuai dengan maksud dari pertanyaan, Nabi tidak menanyakan apakah ia beraqidah “Allah ada tanpa arah dan tempat” atau “Allah ada di mana-mana” atau “Allah berada (bertempat) di atas langit” atau lain nya, bukan itu masalah nya disini.
وأنها مؤمنة بالله الذي في السماء إله وفيالأرض إله
“dan bahwa ia adalah orang yang percaya kepada Allah yaitu Tuhan di langit dan Tuhan di bumi”
Maksudnya : Dan dari jawaban hamba tersebut dapat diketahui bahwa ia adalah orang yang percaya kepada Allah yaitu Tuhan di langit dan Tuhan di bumi. Allah di langit bukan berarti Allah berada (bertempat) di langit, dan Allah di bumi bukan berarti Allah berada (bertempat) di bumi atau di mana-mana, tapi Allah adalah Tuhan sekalian alam, baik di langit atau di bumi, makhluk dilangit bertuhankan Allah, dan makhluk di bumi juga bertuhankan Allah. Firman Allah ta’ala yang artinya “Dan Dialah Tuhan di langit dan Tuhan di bumi dan Dialah Yang Maha Bijaksana lagi Maha Mengetahui.” (QS Az Zukhruf[43]:84]
أو أشار، وأشارت إلى ظاهر ما ورد به الكتاب
“atau Nabi mengisyarah dan ia mengisyarah kepada dhohir yang datang dalam Al-Quran”
Maksudnya : Imam Syafi’i berkata kemungkinan tanya-jawab Nabi dan hamba di atas tidak pernah ada, Nabi hanya mengisyarah tidak bertanya dengan kata-kata, dan hamba juga menjawab nya dengan isyarah tanpa kata, dan kata-kata di atas hanya berasal dari perawi atau pemilik hamba yang menceritakan kejadian tersebut, maka tidak mungkin sama sekali menjadikan Hadits Jariyah ini sebagai landasan dalam i’tiqod.
Hujjatul Islam, Abu Hamid Al Ghazali , terhadap riwayat yang lain yang menerangkan bahwa budak wanita ini adalah seorang yang bisu dan ia tidak memiliki cara lain untuk menunjukkan ketinggian Allah Yang Maha Kamal kecuali dengan menggunakan bahasa isyarat menunjuk langit. Dialog ini dilakukan oleh Rasul shallallahu alaihi wasallam karena para sahabat menyangka budak wanita sebagai seorang penyembah berhala di rumah-rumah penyembahan berhala. Rasul shallallahu alaihi wasallam ingin mengetahui kebenaran prasangka mereka terhadap keyakinan sang budak, maka sang budak memberitahukan kepada mereka keyakinannya bahwa sembahannya bukanlah berhala-berhala yang ada di rumah-rumah penyembahan berhala, sebagaimana yang disangkakan terhadapnya (Abu Hamid AlGhazali, Al Iqtishad Fie Al I`tiqad, Dar Al Bashair, Kairo, cet. ke I, 2009,Hal.: 245)
Dalam al-Fiqh al-Absath, al-Imam Abu Hanifah menuliskan:
قُلْتُ: أرَأيْتَ لَوْ قِيْلَ أيْنَ اللهُ؟ يُقَالُ لَهُ: كَانَ اللهُ تَعَالَى وَلاَ مَكَانَ قَبْلَ أنْ يَخْلُقَ الْخَلْقَ، وَكَانَ اللهُ تَعَالَى وَلَمْ يَكُنْ أيْن وَلاَ خَلْقٌ وَلاَ شَىءٌ، وَهُوَ خَالِقُ كُلّ شَىءٍ.
“Aku katakan: Tahukah engkau jika ada orang berkata: Di manakah Allah? Jawab: Dia Allah ada tanpa permulaan dan tanpa tempat, Dia ada sebelum segala makhluk-Nya ada. Allah ada tanpa permulaan sebelum ada tempat, sebelum ada makhluk dan sebelum segala suatu apapun. Dan Dia adalah Pencipta segala sesuatu”
Berikut kutipan percakapan antara Imam Abu Hanifah dengan seorang atheis yang menanyakan tentang DzatNya
Orang Atheis : ” Bagaimana bentuk Dzat Tuhan, apakah dia seperti air, besi atau seperti asap ?”
Imam Abu Hanifah : “Pernahkah anda melihat orang sakratul maut dan meninggal? apakah yang terjadi?”
Orang Atheis : “Keluarnya ruh dari jasad “.
Imam Abu Hanifah : ” Bagaimana bentuk ruh ?”
Orang Atheis : “Kami tidak tahu”
Imam Abu Hanifah : ” Bagaimana kita bisa menjelaskan ruh Dzat Tuhan, sementara ruh ciptaan -Nya saja anda tidak tahu”.
Orang Atheis : “Lantas di tempat manakah tuhan berada?”
Imam Abu Hanifah : “Kalau kita menyuguhkan susu segar, maka di dalam susu itu adakah minyak samin?”
Orang Atheis : “ya.”
Imam Abu Hanifah : ” Dimanakah letak minyak samin?”
Orang Atheis : “Minyak samin itu bercampur menyebar di dalam kandungan susu”.
Imam Abu Hanifah : ” Bagaimana aku harus menujukkan dimana Allah berada, kalau minyak samin yang ciptaan manusia saja tidak dapat anda lihat dalam kandungan susu itu?”
Syaikh Nawawi al Bantani berkata, Barang siapa meninggalkan 4 kalimat maka sempurnalah imannya, yaitu
1. Dimana
2. Bagaimana
3. Kapan dan
4. Berapa
Jika ada orang yang bertanya pada Anda : Dimana Allah ? Maka jawabnya : Allah tidak bertempat dan tidak dilalui oleh masa
Jika ada orang yang bertanya pada Anda : Bagaimana sifat Allah ? Maka jawabnya : Tidak ada sesuatupun yang menyamai-Nya
Jika ada orang yang bertanya pada Anda : Kapan adanya Allah ? Maka jawabnya : Pertama tanpa permulaan dan terakhir tanpa penghabisan
Jika ada orang yang bertanya pada Anda : Ada Berapa Allah ? Maka jawabnya : Satu Sebagaimana firman Allah Ta`ala di dalam Qalam-Nya Surat Al-Ikhlas ayat pertama : “Katakanlah olehmu : bahwa Allah itu yang Maha Esa (Satu).
Jika ada orang yang bertanya pada Anda : Bagaimana Dzat dan sifat Allah ? Maka jawabnya : Tidak boleh membahas Dzat Allah Ta`ala dan Sifat-sifatnya. Karena meninggalkan pendapat itu sudah termasuk berpendapat. Membicarakan Zat Allah Ta`ala menyebabkan Syirik. Segala yang tergores didalam hati anda berupa sifat-sifat yang baru adalah pasti bukan Allah dan bukan sifatnya.
Wassalam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar