Minggu, 17 Januari 2016

Secarik Puisi Muhammad Iqbal

Secarik Puisi Muhammad Iqbal

Pertama kali saya melihat secarik puisi ini di tembok/ papan pengumuman sebuah institusi. 
Saya yang sebenarnya juga seorang pembaca sastra dan sesekali membuat coretan alakadarnya cukup minder saat itu, 
karena ada manusia di sekitar saya yang mampu membuat puisi seperti ini. 
Saya juga menggemari lembar kehidupan di harian kompas, 
sering juga membaca puisi-puisinya. 

Tapi kadang dan kebanyakan saya tinggalkan saja, tanpa bekas, 
karena gak tahu artinya bahkan saya rasa mungkin memang ada yang gak punya arti juga 

:). (Terakhir saya baca tulisan Goenawan Mohamad, 
dan gak ngerti sama sekali apa maksudnya!! 

Tentang Don Quite gitu…, kalo gak salah Don Kuite itu salah satu judul karya sastra 
dari Amerika latin. 
Disana juga ditulis Mas Gun bakalan buat buku aforisme tentang Tuhan…. WOW Ngeri…..)

Balik ke M.Iqbal tadi, -
yang namanya mirip orang Indonesia sehingga saya ketipu- 
ketika membaca puisi ini, saya terpesona dengan pilihan katanya…

Dan suatu saat saya temui lagi secarik puisi ini di rumah kakak saudara sepupu, 
di muat di buletin wanadri No. 18, april-mei 2003.
 Akan saya tulis ulang di bawah ini:

Hari Pertama Penciptaan
Langit Mencemooh Bumi

Demi nikmat penyatuan dan pelepasan, 
kehidupan membangun semesta raya ini dan 
dari desah nafasnya tercipta rumah keajaiban dari siang dan malam.

Masing-masing bertebaran menerpa gairah 
dan cinta diri untuk berekspresi sambil berteriak lantang:
 “Aku berbeda dengan engkau.”

Maka bulan dan bintang-gemintang belajar terbang menari, 
ratusan lampu-lampu dinyalakan di angkasa: 
matahari menggantung di langit biru 
membentang kubah emasnya dengan tali-tali berwarna perak, 
di ujung timur fajar pertama pecah 
dan dari dunia yang baru lahir ia mengangkat tabir 

Tapi manusia bumi masih terpencil, sepi dan sunyi.

Belum ada kafilah melintasi padang pasirnya, 
sungai-sungai belum bergelut menelikung bebukitan, 
belum ada awan gemawan menjatuhkan tetesan di dedaunan, 
tiada burung-burung bercerecau di dahan-dahan, 
dan tiada pula rusa-rusa mungil melompat di sesemakan.

Bumi yang belum rata layaknya asap yang menggunpal-gumpal, 
belum lagi menyalakan laut dan darahnya dengan kehidupan. 
Rerumputan tertidur di dasar lelap, 
belum tersentuh angin musim dingin

Langit mencerca bumi: 
“Belum pernah aku lihat makhluk seburuk engkau, 
terpejam buta dalam jangkauanku: 
tanpa lampuku, darimana engkau peroleh terangmu? 

Engkau dapat tumbuh setinggi puncak Alvand, 
tapi ia sebenarnya tidak pijar ataupun tumbuh. 
Sekarang pilihlah perempuan sundal 
yang akan meremasmu atau matilah dalam kehinaan.”

Umpatan ini membuat bumi berduka, 
bermuram durja diliputi kesedihan dan 
menerawang Tuhan demi menyirami kehidupannya yang kotor 
dan tiba-tiba dari balik tabir langit suara menyahut: 

“Andaikan engkau tahu pusakamu yang tak ternilai harganya, 
engkau mungkin tidak akan bersedih. 
Karena apabila engkau memandang jiwamu 
engkau akan menemukan hayat yang menggelegak 
siap menerangi hari-harimu dan tidak perlu lagi cahaya dari luar

Apa yang membuat hari benderang? 
Matahari bundar yang ternoda!

Dari hayat yang tidak ternoda cahayamu akan terbit. 
Cahaya ini akan menuju angkasa raya 
melaju lebih cepat ketimbang cahaya bulan dan matahari.

Sudahkah engkau hapuskan sketsa harapan dari kanvas jiwamu? 
Dari debu-debu kegelapanmu sendiri cahaya akan bersinar.

Pengetahuan manusia akan mendesak menguasai angkasa, 
cintanya akan mengaku Yang Tak Terhingga.

Dengan mata yang lebih terjaga ketimbang milik jibril, 
ia akan menemukan jalan meski tanpa bimbingan.

Terbentuk dari lempung, 
manusia akan membumbung seperti malaikat 
hingga langit menjadi kedai minuman tua 
di pinggir jalan-jalan yang ditempuhnya.

Kubah-kubah langit kan ditembusnya bagai jarum menusuk sutra.
Dan ia akan mencuci kehidupan dari segala nodanya.

Tatapan matanya akan membuat suram kabut bumi cerah berseri.
Meski hanya sedikit berdoa dan banyak menumpahkan darah, 
namun dia tetap melaju selamanya.

Dari semesta ia akan belajar memahami sifat-sifat sang wujud, 
“Siapa yang tenggelam dalam pesona kecantikan Tuhan, 
 maka ia akan menjadi raja segenap makhluk ciptaan.”

Mohammad Iqbal, dari Javid Nama: Ziarah Abadi

Ya. M. Iqbal, seperti nama Indonesia, 
jadi wajar saja dulu saya kira ini adalah tulisan orang Indonesia. 
Akhirnya saya tahu, rupanya ini tulisan dari orang Pakistan. 
M. Iqbal itu orang Pakistan, dan salah satu bidan berdirinya bangsa Pakistan,
 selain itu M. Iqbal yang ini juga bapak rohani bangsa Pakistan 
(sayang sekali kalo bangsa Pakistan saat ini masih bergolak). 
Dia itu selain berprofesi sebagai pengacara dan politikus juga sebagai sastrawan. 
Bahkan ada sebagian pihak yang mengatakan dia sudah pantas 
menerima penghargaan nobel literatur (sastra), 
tapi gak mungkin dapat karena penghargaan ini 
juga ada sangkut paut dalam hal politik.

Puisi ini sendiri berasal dari bagian awal bukunya yang berjudul Javid Nama, 
diambil dari nama anaknya Javid Iqbal. 
Sebenarnya asik saja membacanya, karena menafsirnya juga sulit. 
Apalagi puisi ini cuma sepotong, 
tapi kalo mau menafsir secara utuh satu buku 
ya perlu otentik akademis murni dong…

Tapi baca puisi ini asyik, ada gairah dan kekuatan terasa di sana. 

Tampaknya seandainya dipersonifikasi bumi itu 
dapat diibaratkan sebagai manusia 
yang termarjinalkan atau dalam skup lebih besar adalah 
sebagai suatu bangsa 
yang dihinakan/diremehkan. 
(he.. he.. bangsa siapa coba? Yang jelas bukan bangsa kita bukan?)

Tetapi bangsa/ induvidu ini tetap maju bahkan suatu saat, 
“langit menjadi kedai minuman tua di pinggir jalan-jalan yang ditempuhnya.” 

Sebelum bait itu, 
semangat untuk merdeka dari ketertindasan pun juga telah tampak, 

“Apabila engkau memandang jiwamu engkau akan menemukan hayat 
yang akan menggelegak siap menerangi hari-hari 
dan tak perlu lagi sumber cahaya dari luar.” 

Cahaya luar itu adalah dari matahari bundar yang ternoda. 
Kalau konteks tempat tinggal Iqbal sendiri, 
mungkin Inggris yang saat itu masih mengatur bangsa India.

Dalam bukunya sendiri puisi ini diletakkan di bagian-bagian awal. 
Bukunya ini sebenarnya lebih menceritakan perjalanan spiritual yang dilakukannya, ditemani Rumi, yang lantas dipanggilnya Sungai Hayat.

Tapi yang gak enak membaca bukunya ini ialah 
dia menyampaikan seolah-olah melakukan perjalanan ke ruang angkasa, 
ke bulan, ke saturnus dan ke planet-planet lain. 

Dan setiap perjalanan dia menemukan berbagai jenis orang/ tokoh. 
Memang ada yang bilang kalo imajinasi Iqbal sudah mendahului Amerika 
menjelajah angkasa, 
tapi kan kita tahu di planet2 dan bulan itu tidak ada siapa-siapa. 
Jadi isinya keliatan rada-rada aneh.

Ehmmm. Intinya, saya memang tertipu, tapi ternyata dia itu M. Iqbal yang itu loh…. :)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar