Ibnu 'l Faridh mengatakan tentang kemustahilan ini
dengan gaya bahasa sya'ir,
"Ku gelarkan tirai di hadapan Wajah-Ku sebagai hijab
untuk makhluk. Kemudian berkatalah Dia,
"Berita gembira untukmu dengan penutup Wajah-Ku"
Artinya, bahwa batas maksimal pertemuan dengan-Nya
hanya sampai pada penutup wajah-Nya , dan
penutup wajah ini selamanya tidak akan bisa disingkapkan.
Dalam gaya bahasa sya'ir yang baik dan fasih, Ibnu 'l Faridh
menjawab pertanyaan orang yang bertanya kepadanya,
"Berikanlah kepadaku gambaran tentang Dzat Allah".
"Mereka berkata kepadaku, 'Berikanlah gambaran tentang-Nya,
sebab engkau lebih mengetahui tentang-Nya'.
'Ya, aku mengetahui tentang sifat-sifat-Nya'.
Dia tampak jernih, tapi bukan air,
lembut, tapi bukan hawa,
cahaya, tapi bukan api,
ruh, tapi tak berjasad.
Firman -Nya lebih awal dari semua makhluk , dan
di situ tidak ada bentuk dan gambar .
Dan segala sesuatu oleh karena-Nya bisa ada.
Kemudian, oleh karena hikmah-Nya , terhalanglah Dia
dari semua orang yang tidak memahami-Nya".
Jika dilihat dari alam lahiriah, Allah itu tampak jelas,
dan menjadi sangat rahasia jika ditilik dari sisi Dzat-Nya
Tetapi Dia tidak berubah-ubah dan tidak bertambah banyak,
meski alam lahiriah semakin banyak.
Allah Yang Mahahaq tetap Gaib dari segala bentuk
dan gambaran di alam wujud ini.
Kita hanya bisa berhubungan dengan sifat-sifat dan
asma-asma-Nya .
Tentang Dzat-Nya , maka itu merupakan rahasia
yang tak bisa dijangkau.
Dalam pandangan , fenomena-fenomena ini tak tampak,
kecuali hanya sekadar pengertian benda,dan
bukan benda itu sendiri
(artinya , sifat-sifat dan asma-asma -Nya bisa tampak,
tetapi Dzat-Nya tetap rahasia , tak tampak selamanya,
tak berubah dan tak bertambah banyak).
Lagi pula , sifat-sifat-Nya hanya tampak pada benda-benda
yang dimungkinkan sesuai dengan kemampuan masing-masing.
Jadi, apa yang kita saksikan berupa keanekaragaman itu,
sebenarnya hanya merupakan hukum atau nisbat
kepada sifat-sifat dan asma-asma Ilahi.
Pemikiran ini menunjukkan kepada Ibnu 'Arabi suatu kesimpulan
yaitu, tentang ketidakadaan pembagian (tajziah) dalam Diri Tuhan.
Sebab , Tuhan tidak memberikan apa-apa dari Dzat-Nya terhadap
penampilan-penampilan-Nya.
Seperti matahari pun tidak memberikan apa-apa dari eksistensinya
terhadap bulan, pada saat matahari menampilkan diri dengan
cahanya terhadap bulan.
Karena itu, dalam memahami ayat Laisa kamistslihi syai'un
(Tidak ada sesuatupun yang menyamai-Nya), para shufi
mengartikan bahwa mereka tidak melihat Allah, kecuali
hanya Dzat dan identitasnya-Nya saja.
Dan bahwa hal ini merupakan sesuatu yang terhijab
di mata orang yang melihat penampilan Tuhan
Identitas tersebut adalah ruh dari gambaran yang tampak
dalam penampilan.
Dikatakan, "Aku bukanlah aku (artinya , Allah bukan aku)".
Dan dikatakan, "Wahai Dia bukanlah dia".
(artinya , Allah bukan sesuatu tersebut dan bukan pula lelaki itu)
Tapi, Dia adalah Dia.
Semua itu adalah terminologi yang lazim dipakai oleh para Darwisy
(orang yang hidup hanya untuk beribadah) yang mengandung
banyak isyarat.
Seperti tadi , pemikiran ini juga sempat mengantarkan Ibnu 'Arabi
pada kesimpulan meniadakan perantara.
Artinya, tidak ada yang mengantarai Anda dan Allah selain Allah.
Allah, seperti yang telah saya katakan, adalah Hijab
terhadap Diri-Nya.
Dia-lah yang menghijab Diri-Nya dengan Diri-Nya, dan
Dia-lah yang menampakkan asma-asma-Nya .
Allah menghijab Diri-nya dengan asma-asma-Nya ,
dan asma-asma Allah itu adalah Dia Sendiri.
Oleh karena itu, tentang permunculan Allah di mata makhluk-Nya,
shufi menggambarkannya dengan kata-kata , "Dia adalah bukan Dia".
(artinya , semua yang tampak ini adalah sifat-sifat dan asma-asma-Nya ,
bukan Dzat Allah sendiri).
Selanjutnya ia mengatakan tentang dirinya,
"Aku adalah bukan aku ...
(melainkan Ia adalah Dzat Allah yang berada di baliknya dalam kegaiban,
Ia berbuat dan menyingkapkan tentang Diri-Nya dari dalam diriku)"
DR.MUSTHAFA MAHMUD
Tidak ada komentar:
Posting Komentar