Melihat asma-asma Ilahi dianggap suatu hal yang mungkin dilakukan
(ia berpendapat bahwa asma-asma tersebut merupakan hijab
terhadap Yang diberi asma).
Begitu pula halnya melihat nur Ilahi yang meliputi Dzat-Nya.
Akan halnya melihat Wajah atau Dzat Allah, atau Diri-Allah,
atau sifat keesaan Allah, atau keagungan Allah,
maka hal itu mustahil terjadi.
Mayoritas shufi menamakan nur sebagai meliputi wajah Allah.
mereka menamakan-Nya al-Wajhu 'l-Karim (Dzat Yang Mahamulia)
secara majaz (kiasan).
Diantara mereka ialah, Imam Abu 'l-Azaim yang telah mengatakan
bahwa beliau pernah melihat Dzat Allah .
Dalam hal ini , beliau bermaksud bahwa yang dilihatnya adalah
nur tersebut.
Sebagai bukti ialah apa yang dijelaskannya melalui bait-bait sya'ir
berikut ini :
"Dzat Ilahi dalam kegelapan kebuataan tak bisa dilihat.
Jika menampilkan Diri-Nya , maka ahlu 'l-kamal dan ahlu 'l-jalal
(shufi) dibuat tak sadarkan diri.
Dzat Ilahi mempunyai hijab yang menghalangi jiwa dan akal
untuk bisa melihat - Nya, Maha suci Dzat Ilahi dari penglihatan
selain-Nya. Dzat Ilahi muncul melalui penampilan sekaligus
Dia pun memisahkan Diri.
Suatu penampilan yang mengetengahkan kepada kita akan nur-Nya.
Mahasucikanlah Dzat Ilahi dari penitisan dan bisa dihubungi".
Kemudian beliau mengatakan,
"Yang tampak daripada-Nya hanyalah sifat-sifat-Nya saja".
Dapat disimpulkan , bahwa semua yang dikatakannya tentang
melihat wajah Allah, yang hal ini banyak diulang-ulang dalam
kebanyakan sya'irnya, beliau memaksudkannya bahwa
itu adalah nur-nur Ilahi yang meliputi Dzat-Nya dan
bukan Dzat itu sendiri. Sebab, Wajah (Dzat) Allah mengandung
keagungan, pengaruh dan keperkasaan yang dapat menghancurkan
apa saja yang melihat-Nya.
Demikian pula melihat Dzat Allah merupakan hal yang mustahil,
dan hanya pancaran nur dari Dzat Ilahi saja yang bisa dilihat.
DR.MUSTHAFA MAHMUD.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar