“Kata-kata
tidak lain hanyalah ‘bayangan’ dari kenyataan.
Kata-kata merupakan cabang dari kenyataan.
Apabila ‘bayangan’ saja dapat menawan hati,
betapa mempesona kekuatan kenyataan yang ada
di balik bayangan!."
Kata-kata hanyalah pra-teks,
Kata-kata merupakan cabang dari kenyataan.
Apabila ‘bayangan’ saja dapat menawan hati,
betapa mempesona kekuatan kenyataan yang ada
di balik bayangan!."
Kata-kata hanyalah pra-teks,
aspek simpatilah
yang dapat menarik hati orang pada orang lain,
bukan kata-kata.
Walaupun manusia dapat melihat ribuan mukjizat
yang dimiliki seorang nabi atau seorang suci,
hal itu tidak akan membawa keuntungan baginya sama sekali
apabila dia tidak memiliki simpati kepada nabi ataupun orang suci itu.
Unsur simpati itulah
yang dapat mengguncangkan dan menggelisahkan seseorang.
Apabila tidak terdapat unsur simpati warna gading padi pada batang padi,
maka padi itu tidak akan dipesonakan warna gading.
Meskipun begitu,
simpati yang memiliki kekuatan dahsyat itu
tidak dapat diindera oleh seseorang.
yang dapat menarik hati orang pada orang lain,
bukan kata-kata.
Walaupun manusia dapat melihat ribuan mukjizat
yang dimiliki seorang nabi atau seorang suci,
hal itu tidak akan membawa keuntungan baginya sama sekali
apabila dia tidak memiliki simpati kepada nabi ataupun orang suci itu.
Unsur simpati itulah
yang dapat mengguncangkan dan menggelisahkan seseorang.
Apabila tidak terdapat unsur simpati warna gading padi pada batang padi,
maka padi itu tidak akan dipesonakan warna gading.
Meskipun begitu,
simpati yang memiliki kekuatan dahsyat itu
tidak dapat diindera oleh seseorang.
Itulah
salah satu pernyataan dari seorang penyair, filosof, sastrawan besar
Jalaluddin Rumi, yang banyak dikenal pula oleh tidak hanya sebagian
orang atau kelompok, golongan, sebagai salah seorang tokoh sufi islam
termasyhur, berkat karya-karya sastranya, yang dengan lirihnya
mendendangkan cinta tiada tara kepada-Nya. Cinta dan rindu yang tiada
akhir, ketulusan yang tanpa batas ke hadirat sang Khaliq. Suatu hasrat
untuk melebur menjadi satu—fana—dengan tuhan.
Bagi
pembaca yang sekaligus pecinta sastra tentunya tidak akan merasa asing,
menyimak ungkapan-ungkapan kata yang mengkalimat di atas, ini dikutip
dari sebuah buku yang terjemahan Inggrisnya, “Signs of the unseen ; the
discourses of Jalaluddin Rumi”, karya ini merupakan terjemahan dari nas
asli Persia yang disunting oleh Prof. Badi’uzzaman Furuzanfar yang
berjudul “Fihi ma fihi” yang pernah diterbitkan majelis press di
Teheran. Pada tahun 1330h/1952m dalam bahasa Arab. Dan sekarang ini
sudah diterjemahkan pula ke dalam bahasa Indonesia dengan mengambil
judul “Yang mengenal dirinya yang mengenal Tuhannya : Aforisme-aforisme
sufistik Jalaluddin Rumi”.
Jalaluddin
Rumi lahir di Balkhi, sebuah kota yang terletak dalam wilayah
perbatasan Afganistan bagian utara, pada tahun 1207m. Ayahnya seorang
yang terdidik yang mendapat kedudukan terhormat sebagai salah satu
pemimpin teologi dan guru sufisme, bernama lengkap Jalaluddin Baha’uddin
Muhammad yang kemudian lebih dikenal dengan nama Baha Walad. Dari
ayahnyalah Jalaluddin Rumi banyak mendapatkan pengajaran tentang
ilmu-ilmu klasik Arab dan Persia dan banyak lagi ajaran agama islam yang
Jalaluddin Rumi dapatkan berkat pengaruh besar ayahnya tersebut.
Jalaluddin
Rumi juga mendalami kitab suci Al-Qur’an, baik dari segi pembacaan,
penjelasan ataupun penafsirannya, sampai kepada cabang ilmu fiqih islam
dan hadits-hadits nabi yang Jalaluddin Rumi tunjukkan melalui
karya-karyanya yang termasyhur dan mendalam.
Sekitar
tahun 1218/1219m, ayahnya beserta Jalaluddin Rumi dan keluarga
mengungsi ke Turki Seljuq, sebelum penyerbuan bangsa Mongol ke kota
Balkhi. Di Konya (Turki) ayahnya—Baha’uddin Walad—menjadi seorang khatib
yang memberikan pengajaran kepada masyarakat setempat dan dari luar
wilayah tersebut, sehingga mendapat julukan “Sultan kaum terpelajar”.
Ayahnya wafat pada Januari 1231m di kota Konya, dan Jalaluddin Rumi
menggantikan posisi ayahnya sebagai khatib di kota tersebut.
Dalam
perjalanannya yang kemudian menjelma sebagai seorang sufi, tak terlepas
dari bimbingan Sayyid Burhanuddin Muhaqqiq dari Termez, salah seorang
murid ayahnya yang pada gilirannya mengenalkan pada Jalaluddin Rumi ke
dalam kehidupan spiritual yang penuh misteri. Jalaluddin Rumi sangat
tertarik dan mengagumi karya-karya puisi Arab Al-Mutanabi, hingga dalam
setiap kesempatan Jalaluddin Rumi sering mengutip bai-bait puisi dari
Al-Mutanabi ke dalam karya-karyanya, di antara karya terpopulernya
adalah Matsnawi dan Diwan.
Pada
bulan Oktober 1244m, Jalaluddin Rumi berjumpa dengan sesosok yang
misterius dipenuhi dengan teka-teki, dia adalah seorang Darwisy
(pengelana) bernama Syamsuddin Muhammad dari Tabriz. Di sebuah
penginapan milik seorang saudagar gula Jalaluddin Rumi bertemu dengan
Darwisy itu, ketika Jalaluddin Rumi berkendaraan dengan sekelompok orang
yang terpelajar yang secara kebetulan melewati penginapan milik
saudagar gula tersebut. Saat itu Syamsuddin muncul dan memegang kendali
kuda Jalaluddin Rumi dan mengajukan satu pertanyaan, “wahai pemimpin
muslim, manakah yang lebih agung, Bayazid-Abu Yazid Al-Bustami, dari
Korasan, atau nabi Muhammad?”. Jalaluddin Rumi menjawab. “Sungguh sebuah
pertanyaan yang sulit, bagaikan tujuh Syurga hancur terkoyak-koyak dan
jatuh berantakan ke bumi. Kebakaran besar muncul dalam diriku dan
menimbulkan api ke otakku. Dari sana aku melihat gumpalan asap mencapai
tiang-tiang singgasana tuhan. Nabi adalah sosok yang paling agung dari
seluruh ummat manusia, mengapa mesti membicarakan dan membandingkan
dengan Bayazid?… kehausan Bayazid telah terpuaskan hanya dengan satu
tegukan itu. Dia akan mengatakan telah cukup dengan satu tegukan itu.
Kendi pemahamannya telah terisi. Pencahayaanya hanya sebanyak yang
muncul melalui cahaya langit dan rumahnya. Nabi, pada sisi lain meminta
agar diberi lebih banyak untuk minum dan selalu merasa kahausan. Dia
berbicara tentang kehausan dan bahkan terus memohon agar ditarik lebih
mendekat.
Semenjak
pertemuan itulah Jalaluddin Rumi dan Syamsuddin menjadi lebih dekat dan
sering bercengkrama. Bahkan selama kurang lebih selama tiga bulan
lamanya, mereka mengasingkan diri dari keramaian, siang dan malam. Demi
untuk merasakan persamaan, tak ada seorang pun yang melihat keberadaan
mereka berdua. Dan murid-murid Jalaluddin Rumi sendiri tak pernah berani
mengusik dan mengganggu kebesaran antara keduanya.
Suatu
hari setelah merayakan pertemuan keduanya, tiba-tiba Syamsuddin
menghilang dan sempat membuat perasaan Jalaluddin Rumi seakan kesepian
dan putus asa. Lalu Jalaluddin Rumi meminta putra tertuanya Sultan Walad
untuk membawa kembali Syamsuddin ke kota Konya. Akhirnya Syamsuddin
dapat ditemukan dan menetap di rumah Jalaluddin Rumi, dan menikahi salah
seorang pelayan rumah yang tergolong masih muda.
Pada
1248 Syamsuddin untuk kedua kalinya kembali menghilang. Jalaluddin
Rumi, dengan kepergiannya kali ini, sampai dia rela mencari sendiri,
pargi ke Syiria sebanyak dua kali, hanya untuk menemukan sahabatnya itu.
Jalaluddin Rumi sadar bahwa Syamsuddin tidak mungkin lagi ditemukan,
baik secara fisik maupun metaforik. Akhirnya Jalaluddin Rumi memutuskan
untuk lebih mencari diri Syamsuddin “yang nyata” dalam dirinya sendiri,
karena, meski raga mereka terpisah, akan tetapi jiwa dan hati mereka
selamanya.
Pencarian
diri Syamsuddin ini banyak terlontarkan lewat syair-syair yang
dituliskan Jalaluddin Rumi sendiri, ataupun yang dia lantunkan dengan
“Kasidah Cinta”-nya. Mari kita simak beberapa ungkapan Jalaluddin Rumi ;
“Syam-I Tabrizi/Kau matahariku dalam awan kata-kata/bila mataharimu
marak bercahaya/segala ucapan yang lainpun lenyap sirna…”.
Betapa
dalam pencarian Jalaluddin Rumi terhadap sahabatnya itu. Ia digambarkan
sebagai matahari yang mampu menerangi awan kata-kata, Jalaluddin Rumi
menganggap setiap perkataan Syamsuddin adalah sesuatu yang sangat
mempengaruhi sikap, perilaku dan kehidupannya. Jalaluddin Rumi juga
memetaforkan kata-kata Syamsuddin sebagai matahari yang selalu marak
bercahaya, menyelubungi jiwa dan alam pikirannya, hingga apabila ia
sedang berkata-kata, maka suara-suara itu yang ada di sekitarnya
seolah-olah lenyap tak ada.
“Jiwa,
aku telah sampai pada jiwa dari jiwa/raga, kau telah meninggalkan
kewadakan/manikam merah ialah sedekah dari kekasih kita/darwisy makan
emas dari yang maha karya…”. Darwisy di sini ditujukan kepada Syamsuddin
Muhammad dari Tabriz. “Kau jiwaku/dan tanpa jiwaku/bagaimana mesti
hidup aku/kau mataku/dan tanpa kau/aku tak punya mata/untuk melihat
sesuatu/kau tahu bahwa aku tak ingin hidup tanpa kau/bagiku lebih baik
mati/daripada pengusiran ini/demi Allah yang membangkitkan kembali
orang-orang mati…”.
Tampak
jelas keharuan cinta Jalaluddin Rumi kepada Syam-I Tabrizi itu. Dia
merasakan antara jiwanya dengan jiwa Syam-I Tabrizi—Syamsuddin Muhammad
dari Tabriz—adalah satu, tak terpisahkan. Jalaluddin Rumi juga
mengibaratkan raga itu telah lebur melalui ungkapan, “raga, kau telah
meninggalkan kewadakan”. Raga itu tak ada, yang tersisa hanyalah sebuah
rasa penyatuan, permesraan kembali yang diharapkan setelah kebangkitan
nanti setelah kematian.
Hari-hari
Jalaluddin Rumi dipenuhi dengan pencarian cintanya yang mistikus, dan
pengungkapan cintanya hanya mampu terlukis atas kehadirat illahi rabbi
yang tiada pernah terbatas keagungan cinta-Nya. Cinta yang demikian suci
ini, Jalaluddin Rumi tunjukkan melalui karya-karya sastra besarnya
(Matsnawi dan Diwan, hanya menyebut di antaranya).
Setelah
menjalani kehidupan dengan mengajar, membimbing dan melayani kebutuhan
pengikut dan sahabatnya serta melakoni berbagai hal yang mistikus,
Jalaluddin Rumi meninggal dunia pada hari senin 17 Desember 1273m.
sebelum meninggal Jalaluddin Rumi sempat berkata kepada para sahabatnya ;
“Di dunia ini aku merasakan dua kedekatan, satu kepada tubuh dan satu
lagi kepada kalian. Ketika rahmat tuhan, aku harus melepaskan diri dari
kesunyian dan kehidupan duniawi, kedekatan kepada kalian akan tetap
ada”.
—Jami, Nafahal Al Uns, h-463, terjemahan Thackston, Jr—.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar