Membaca Melalui Asma-Asma-Nya
Mengenal Allah Melalui Allah
KHM Luqman Hakim
Sebuah peristiwa paling monumental dalam sejarah dunia,
adalah turunnya
Al-Qur’an pertama kali di Gua Hira’.
Pertemuan Rasulullah sayyidina
Muhammad SAW,
dengan Malaikat Jibril saat itu – bertepatan dengan
Lailatul Qadr --
merupakan representasi dari sebuah awal sekaligus akhir
dari perjalanan waktu dunia yang terbatas,
menuju waktu Ilahi yang tiada hingga – ‘azali dan abadi --.
Betapa tidak. Ketika Jibril AS, memeluk beliau,
sambil mendiktekan
bacaan, “Iqra’!,”
lalu dijawabnya “Maa anaa bi qaari’” (Aku tak bisa
membaca).
Sebuah jawaban teologis, filosufis dan sekaligus
sufistik.
Disebut teologis
karena ketika itu Rasulullah berada di
hadapan wajah Allah,
sehingga yang ada hanyalah tauhidullah,
bahkan
dirinya sendiri sekali pun sirna dalam tauhid sampai harus berkata,
“Aku
tak bisa membaca…”
Begitu juga sangat filosufis,
karena dunia
filsafat tak habis-habisnya mengurai peristiwa itu
sebagai landasan
utama peradaban tauhid di muka bumi.
Setiap kali dimaknai secara
filosufis,
muncul pula cahaya baru dibalik makna yang tersembunyi.
Bahkan juga sangat sufistik,
karena “al-qaari al-haqiqi huwa Allah
Ta’ala”,
Sang Pembaca yang hakiki adalah Allah Ta’ala.
Karena Dialah
yang berkalam,
dan Yang Maha Tahu makna kalam yang sesungguhnya.
Sampai kali ketiga,
disaat Jibril AS meneruskan,
Iqro’ bismi rabbikalladzi khalaq….dan seterusnya.
Kanjeng Nabi Muhammad SAW baru bisa menirukan.
Disinilah rahasia Asma
Allah tersembunyi
bagaimana Rasulullah SAW mampu membaca
ketika
kelanjutan kalimat pada ayat itu terbesit kalimat Bismi Rabbik
(Dengan
Asma Tuhanmu).
Seandainya boleh ditafsirkan,
“Bacalah Al-Qur’an ini
dengan nama Tuhanmu.
Siapa nama Tuhanmu? “Allah!”
Dengan kata lain,
bacalah Al-Qur’an ini dengan Allah…Allah…Allah…”.
Dan memang
demikian,
akhirnya tak satu pun dari seluruh tinta yang menghabiskan
tujuh lautan ruhani maupun tujuh lautan fisika,
mampu menuliskan,
melukiskan bahkan menggambarkan
dahsyatnya ilmu Allah dalam kalamullah
itu.
Yang ada hanyalah gemuruh jiwa yang menggetarkan
seluruh jagat
semesta ruhani dan jasmani,
dalam kristal jantung Rasulullah SAW.
Bahkan
sampai beliau menggigil dalam fana’ul fana’.
Karena wa yabqo wajhu rabbika dzul-jalaali wal-ikraam, ketika itu.
“Zammiluuni…Zammiluuni….” Selimuti aku….selimuti aku….
Seakan
Rasulullah SAW, berkata:
“Selimuti aku….selimuti…
karena cahaya dari
Maha Cahaya-Mu
yang memancar di seluruh jagat cerminku.
Selimuti aku,
selimuti….,
betapa senyap, sunyi, beku, dingin,
tiada tara dalam
GenggamanMu…..
Selimuti…Oh, selimuti….dan
akulah sesungguhnya selimut-Mu…
.Akulah Nama-Mu,
akulah Ismu Rabbik itu…Oh…..”
Saat itu,
dan mulai kala itu, tiada hari tanpa munajat,
tiada kondisi
dan waktu
melainkan adalah waktu-waktu penuh liqa’ Allah.
Maka ismu
rabbik itu melimpah begitu dahsyatnya
tanpa bisa terucap, tertulis dan
terbayang,
menjadi Al-Asma’ul Husna.
Peristiwa Hira’ itu, juga
awal mula sebuah ajaran tentang dzikrullah dimulai.
Gemuruh dzikrullah,
telah menyelimuti seluruh nadi, ruh dan sirr Rasulullah SAW,
dalam
hamparan jiwanya.
Karena hanya jiwa-jiwa yang beriman saja yang bisa
menjadi istana Ilahiah.
Bahkan, dari 99 Al-Asmaul Husna yang
pernah dihaditskan oleh Rasulullah SAW,
dibaca oleh Asy-Syeikhul Akbar
Muhyiddin Ibnu ‘Araby,
kemudian tertulis dalam kitabnya,
An-Nuurul Asna
Bi-MunajaatiLlaahi Bi-Asmaail Husnaa.
99 Munajat yang begitu indah,
sekaligus menggambarkan Huquq ar-Rubuiyyah (hak-hak Ketuhahan)
dan huqul
‘ibad wal ‘ubudiyah (hak-hak kehambaan dan ubudiyah).
Misalnya, ketika membaca asma-Nya, “Allah”,
Ibnu ‘Araby bermunajat:
Ya Allah, tunjukkan padaku, bersama-Mu, kepada-Mu.
Limpahilah rizki
keteguhan (keketapan) di sisi Wujud-Mu,
sepanjang diriku dengan nya,
untuk beradab di hadapan-Mu….
Yaa…Rahmaan,
kasihanilah daku
dengan pemenuhan paripurna nikmat-nikmat-Mu,
tersampainya cita-cita
ketika menahan cobaan-cobaan dahsyat dan ujian-Mu.
Yaa… Rahiim,
sayangilah daku dengan memasukan ke surge-Mu
dan bersuka ria dengan taqarrub dan memandang-Mu…
Yaa Maalik,
Wahai….Diraja dunia dan akhirat, dengan kekuasaan mutlak
paripurna,
Jadikan diriku sampai di Jannatun Na’im
dan Kerajaan Agung
dengan beramal penuh total.
Yaa.. Quddus,
sucikan diriku dari aib-aib dan bencana,
sucikan diriku dari dosa-dosa dan kejahatan diri.
Yaa…Salaam,
selamatkan daku dari seluruh sifat yang tercela,
dan
jadikan diriku dari golongan orang yang dating kepada-Mu dengan qalbun
saliim.
Ya… Mu’min,
amanlahlah daku di hari yang paling
mengejutkan,
limpahilan rizki padaku dengan bertambahnya iman kepada-Mu,
sebagai bagianku.
Yaa…Muhaimin…
Jadikanlah diriku sebagai
penyaksi dan pemandang atas pemeliharaan-Mu,
dan jadikanlah daku sebagai
pemelihara dan pemegang amanah-amanah-Mu
dan Janji-janji-Mu.
Yaa…Aziz…
Jadikanlah daku dengan Perkasa-Mu
termasuk orang-orang yang
merasa hina di hadapan-Mu
dan berikanlah padaku amaliah dengan amal-amal
akhirat di sisi-Mu.
Yaa… Jabbaar…
Paksalah diriku untuk
berselaras dengan Kehendak-Mu,
dan janganlah Engkau jadikan aku sebagai
pemaksa pada hamba-hamba-Mu.
Yaa..Mutakabbir,
jadikanlah daku
termasuk orang-orang yang tawadlu’ atas kebesaran-kebesaran-Mu,
tergolong orang-orang yang tunduk atas hukum dan keputusan-Mu.
Yaa…Khaaliq,
ciptakan pertolongan dalam hatiku untuk taat kepada-Mu,
dan
lindungi daku dari kezaliman dan pengikutnya diantara
makhluk-makhluk-Mu.
Yaa..Baari’,
jadikanlah diriku dari golongan yang terbaik dari manusia,
dan riaslah daku dengan akhlak baik yang diridlai.
Yaa…Mushawwir,
Rupakanlah diriku dengan bentuk ubudiyah pada-Mu,
dan cahayailah daku dengan cahaya-cahaya ma’rifat-Mu.
Dan seterusnya sampai sembilan puluh sembilan Nama Allah.
Itulah implementasi lain,
dari ”Berakhlaqlah dengan Akhlaq-Akhlaq Allah”.
Maka Al-Asmaul Husna, adalah hampiran pertama,
ketika seorang hamba
ingin merespon akhlaqullah,
melalui munajat-munajat
sebagaimana
digambarkan oleh Ibnu ‘Araby.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar