Minggu, 15 Mei 2016

SYAIR PUISI JALALUDDIN RUMI

BENTUK GAJAH
SYAIR PUISI JALALUDDIN RUMI
Disebutnya nama Nabi Musa,
sudah menjadi sebuah rangkaian
yang membelenggu pemikiran para pembacaku,
mereka berfikir ini merupakan cerita-cerita yang terjadi dahulu kala.
Disebutkannya Nabi Musa hanya bertindak sebagai topeng,
tetapi cahaya Nabi Musa adalah persoalan terkini,
wahai sahabatku.
Nabi Musa dan Fir’aun itu di dalam dirimu:
engkau mesti mencari pihak-pihak yang bertentangan ini
di dalam dirimu-sendiri.
Penjanaan Nabi Musa akan terus berlaku
hingga Hari kiamat: Cahaya itu tidak berlainan,
walaupun pelitanya berlain-lainan.
Lampu tanah ini berlainan dengan sumbu itu,
tetapi cahaya mereka tidak berbeda:
ia dari Alam Sana.
Jika engkau terus melihat kaca lampu,
engkau akan dikelirukan,
karena dari kaca muncullah pelbagai keragaman.
Tapi jika pandanganmu kekal kepada Cahaya,
engkau akan dibebaskan dari keragaman
dan bermacam-macamnya bentuk yang terbatas.
Dari tempat yang menjadi objek pandangan,
wahai engkau yang adalah hakikat kehadiran,
dari sanalah bangkit perbedaan antara seorang yang
beriman sejati dengan seorang Zoroaster,
dan dengan seorang Yahudi.
Seekor gajah ditempatkan dalam sebuah bilik yang gelap:
beberapa orang Hindu membawanya untuk dipamerkan.
Banyak orang datang untuk melihat,
semua masuk ke dalam kegelapan.
Karena melihatnya dengan mata tidaklah mungkin,
semua orang merabanya, di pusat kegelapan,
dengan telapak tangan masing-masing.
Orang yang tangannya meraba belalainya berkata:
“Makhluk ini seperti sebuah saluran pipa air.”
Bagi orang yang tangannya menyentuh telinganya,
dia tampak seperti sebuah kipas.
Orang yang lain lagi, yang memegang kakinya,
berkata: “Menurutku bentuk gajah itu seperti sebuah Pilar.”
Yang lainnya, mengusap belakangnya, berkata:
“Sesungguhnya, gajah ini seperti sebuah singgahsana.”
Demikianlah, ketika seseorang mendengar (Gambaran
mengenai sang gajah), dia memahami (hanya) sesuai
dengan bagian yang disentuhnya saja.
Berdasarkan (beragamnya) objek pandangan,
berbeda-bedalah dakwaan mereka:
satu orang mengatakannya bengkok seperti “dal,”
yang lain berkata lurus seperti “alif.”
Sekiranya tangan masing-masing orang memegang lilin,
tiada perbedaan di dalam kata-kata mereka.
Pandangan persepsi-pancaindera itu hanyalah seperti
telapak tangan; tidaklah telapak tangan itu memiliki
kemahiran untuk mencapai keseluruhan gajah.
Mata bagi Lautan adalah suatu hal,
manakala buih itu suatu hal yang lain lagi:
tinggalkan buih dan lihatlah dengan mata bagi Lautan.
Siang-malam, tiada hentinya pergerakan
arus-buih dari Lautan: engkau memandang buih,
tetapi tidak Lautnya.
Kita bertumbukan satu sama lain,
seperti perahu: mata kita gelap,
sungguhpun kita terletak pada air yang jernih.
Wahai Rabb, engkau yang telah tertidur di dalam perahu ragamu,
engkau sudah melihat air,
tetapi lihatlah kepada Air dari air itu.
Air itu mempunyai Air yang menggerakannya:
jiwa itu mempunyai Ruh yang memanggilnya.
Dimanakah Nabi Musa dan Nabi Isa
ketika Sang Matahari memercikkan air
kepada ladang biji ciptaan?
Dimanakah Nabi Adam dan Hawa,
ketika Tuhan memasang tali kepada busur ini?
Lisan ini juga kelu;
lisan yang tidak kelu itu dari Sebelah Sana.
Jika Dia bercakap dari sumber itu,
kakimu akan menggeletar;
tapi jika dia tidak membincangkan itu,
sungguh malang nasibmu!
Dan jika Dia bercakap dengan memakai ibarat,
wahai anak-muda,
engkau akan terhijab oleh bentuk-bentuk itu.
Engkau terbenam ke bumi,
seperti rumput kau angguk-anggukkan kepala
mengikuti hembusan angin;
tanpa kepastian.
Tetapi engkau tidak mempunyai kaki
yang dapat membuatmu beranjak,
atau cobalah menarik kakimu
keluar dari lumpur itu.
Bagaimana mungkin engkau menarik kaki kamu?
Hidupmu itu dari lumpur tersebut:
luar-biasa beratnya untuk kehidupan seperti milikmu
untuk berjalan.
Tapi ketika engkau menerima kehidupan dari Tuhan,
wahai huruf-berirama,
engkau menjadi mandiri dari lumpur ini,
dan akan dibangkitkan.
Apabila bayi yang semula menyusui disapih dari jururawat,
dia menjadi pemakan serbuk dan beranjak darinya.
Seperti benih, engkau terikat kepada susu dari bumi:
Upayakanlah untuk menghentikan dirimu
dengan mencari makanan untuk qalb-mu.
Minumlah kata-kata Hikmah,
karena ia adalah cahaya yang terhijab,
wahai engkau,
yang tidak mampu menerima Cahaya tanpa hijab;
Hingga engkau menjadi mampu menerima Cahaya,
wahai jiwa;
sehingga engkau mampu menatap tanpa hijab
kepada sesuatu yang (kini) tersembunyi.
Dan jelajahilah langit seperti bintang;
atau bahkan berkelanalah tanpa-batas,
bebas dari langit mana pun.
Engkaulah yang datang menjadi dari ketiadaan.
Katakan, bagaimana caranya engkau menjadi?
Engkau tiba tanpa menyadarinya.
Bagaimanakah caranya engkau datang,
tidaklah engkau ingat,
tetapi akan kami lantunkan sebuah isyarat.
Bebaskanlah nalarmu, dan perhatikan!
Tutuplah telingamu, lalu dengarlah!
Tidak, takkan kuceritakan padamu,
karena engkau masih mentah:
engkau masih di musim semimu,
belum lagi engkau sampai ke bulan Tamuz.
Wahai makhluk mulia,
alam dunia ini seperti sebatang pohon,
kita seperti buah setengah-matang pada pohon itu.
Buah setengah-matang melekat erat ke dahan,
karena sepanjang mereka belum masak,
taklah mereka sesuai untuk istana.
Ketika mereka sudah masak dan menjadi manis,
sambil menggigit bibirnya,
mereka sekadar melekat saja ke dahan.
Apabila mulutnya sudah dibuat manis oleh kesentosaan,
kerajaan alam dunia ini menjadi tawar untuk sang Lelaki.
Memegang erat dan melekatnya jiwa
seseorang begitu kuatnya merupakan tanda ketidak-matangan:
di sepanjang engkau itu adalah embrio, pekerjaanmu adalah meminum-darah.
Banyak perkara yang lain lagi,
tetapi Ruh al-Quds akan memberitahu kisah itu,
tanpa aku.
Tidak, walaupun engkau
akan mengisahkannya ke telingamu sendiri,
tanpa aku, ataupun yang selain dari Aku,
wahai engkau yang seperti Aku.
Seperti ketika engkau tertidur,
engkau beranjak dari hadiratmu
kepada hadirat dirimu-sendiri:
Engkau mendengar dari dirimu-sendiri,
dan menganggap bahwa seseorang sudah menceritakan
kepadamu di dalam mimpi.
Wahai sahabat,
engkau bukan “engkau” yang tunggal;
tidak, engkau adalah lelangit dan lautan yang dalam.
“Engkau” -mu yang perkasa-sembilan-ratus kali lipat-
adalah lautan dan tempat tenggelamnya seratus “engkau.”
sebenarnya,
apakah yang dimaksud dengan istilah jaga dan tidur?
diamlah,
karena _ lah yang yang lebih tahu apa yang benar.
diamlah,
supaya engkau dapat mendengar Yang Bersabda,
apa-apa yang tidak akan terdapat
dalam kenyataan atau dalam penjelasan.
diamlah,
agar engkau dapat mendengar dari Matahari,
apa-apa yang tidak disenaraikan dalam buku
atau dalam pemberian.
diamlah,
supaya jiwa yang berbicara bagimu:
di dalam Bahtera Nuh tinggalkanlah berenang!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar