Selasa, 24 November 2015

BELAJAR BERSIKAP SADAR

Pembicara: Anggito

(Bagian pertama dari 4 tulisan. Materi lainnya: 
(2) Memakmurkan Diri, (3) Mengamati Pikiran, (4) Belajar Memahami Kehidupan.)

Manusia terjaga tapi tidak sadar.

Kesadaran fisik, seseorang merasa sadar ketika dalam keadaan jaga, 
dalam hal ini kesadaran seolah didominasi oleh panca indera.

Bagaimana agar orang tetap sadar, 
tidak kehilangan kesempatan untuk menghayati setiap saat yang terjadi. 
Moment to moment, untuk setiap hal yang terjadi, dan meninggalkan jejak pada ingatan.

Misal, bernapas, 
bagaimana orang bisa menyadari bahwa bernapas terjadi pada saat 
terjaga dan tidak terjaga. 
Yang artinya, kesadaran seseorang itu tidak didominasi oleh panca indera saja.

Apakah engkau menyadari ketika engkau sedang makan?
Apakah engkau menyadari ketika engkau sedang berjalan?
Ternyata tidak. Pikiran kita kemana-mana. Ternyata kita kehilangan moment.

Tidakkah kau sadari bahwa di setiap napasmu itu kau mengecap setiap makanan.
Ingat, rasa syukur bisa hilang karena kita tidak sadar.

Ketika kita mencoba sadar pada setiap menit/setiap detik yang kita lakukan, 
dengan itulah kita mencoba mendisiplinkan pikiran. 
Misal,
Jika ketika shalat kita sadari setiap ayat yang dibaca, setiap gerakan yang dikerjakan dst.
Jika ketika melihat orang yang kekurangan, setiap jengkal hati diisi dengan belas kasih.

Sadar itu harus disengaja.

Kesadaran dengan panca indera,
Saya sadar ketika melihat pemandangan karena kesadaran penglihatan berfungsi.
Saya sadar ketika merasakan hembusan angin karena kesadaran peraba berfungsi.

Ketika mimpi, kita sadar melihat kucing, tapi kesadaran penglihatan tidak berfungsi.

Ketika mendengar suara musik yang indah, 
suara adalah fenomena, 
telinga adalah sarana, 
mendengar adalah substansi. 
Yang mendengar itu bukan telinga, telinga itu sarana, 
bedakan dengan mendengar yang dikerjakan oleh jiwa.

Saya bisa mendengar suara Tuhan tanpa telinga. Saya bisa melihat Tuhan tanpa mata.

Manusia itu harus sadar akan jiwanya. 
Harus belajar sadar. 
Peningkatan kesadaran tidak mungkin terjadi tanpa tubuh fisik. 

Ada 3 cara untuk belajar sadar, 
(1) bernapas dengan sadar 
(2) menjadi pengamat bagi diri sendiri 
(3) mempertahankan sikap sadar dengan tersenyum. 

Ketiga cara itu mengarah pada mendisiplinkan pikiran agar tidak mengarah kemana-mana.

Ad. 1 Bernapas dengan sadar. 

Napas adalah inti.

Ketika marah, napas memburu. 
Tenangkan, napas mereda, pikiran tenang.
Anda masih berjiwa ketika Anda bernapas. 
Kesadaran bernapas adalah titik awal.
Belajar menghayati napas, 
menjadi terlatih untuk tidak tertarik pada salah satu dari dua kutub: 
terlalu bahagia, napas memburu; 
terlalu marah juga napas memburu. 
Tidak tertarik pada salah satu dari dua kutub, artinya menjadi jiwa yang tenang.

Ad. 2 Menjadi pengamat bagi diri sendiri.

Ketika berjalan di sawah. Katakan bahwa saya sedang berjalan di sawah.

Ketika sedih, kita sadar bahwa kita sedang sedih. 
Artinya, kita berada di luar kesedihan itu.
Napas dikendalikan, 
dipusatkan, 
perhatikan napas Anda, 
tenang, 
pikiran terkontrol, 
kesedihan disadari (terkontrol), 
tidak terjebak dalam dualitas dua kutub (senang-sedih).

Ketika melewati jalan macet, disadari, dihayati, dinikmati. 
Tanpa kita terpengaruh (larut) dalam dualitas dua kutub (macet dan tidak macet).
Macet dan tidak macet adalah dua kutub. 
Pikiran bisa secara sadar untuk memilih macet 
atau memilih tidak macet (dengan berangkat lebih pagi).

Ad. 3 Mempertahankan sikap sadar dengan tersenyum.

Supaya ia meninggalkan jejak pada ingatan, 
maka perbuatan kesadaran yang kita lakukan itu harus punya identitas, 
yaitu dengan tersenyum. 
Tersenyumlah ketika bangun tidur, pertahankan sampai sore.

Tersenyum pada orang yang menjengkelkan kita, 
artinya kita tidak terikat pada orang itu. 
Kita tidak terpengaruh oleh perbuatannya. 
Kita tidak terjebak pada dualitas itu (jengkel-tidak jengkel). 
Kita sadar, merdeka.

Melihat kucing yang mencuri lauk kita, 
tersenyum, hmm.. 
kucing itu sudah menjalankan tugasnya dengan baik. 
(Kitanya yang lengah.) :)

#
Pada pikiran, ada kesadaran rasional yang berpusat di otak.
Pada perasaan, ada kesadaran qalbu yang berpusat di dada.

Apakah kesadaran bisa menemukan kebenaran?
Kebenaran ilmu pengetahuan menggunakan kesadaran pikiran.
Kesadaran agama menggunakan kesadaran moral.

#
Banyak orang bertanya tentang poligami.
Dari segi spiritual, saya tidak boleh mengomentari perbuatan orang.
Berusaha mencari jawaban, dan menemukan.. 
Manusia, senang memanipulasi pikirannya. 
Tahu mana yang benar/salah, 
tapi mengatasnamakan agama untuk membenarkan perbuatannya. 
Dari sudut fiqih, mungkin dibenarkan, tapi dengan syarat tertentu. (!) 
Bahkan dari sudut fiqih, hal ini menjadi perbincangan yang tidak ada selesainya.

Tapi, ingat.. 
Jangan pernah melukai hati perempuan. 
Ingatkah engkau akan satu organ di mana Allah melekatkan (menitipkan) cinta-Nya 
di dalam rahim (rahim = kasih sayang). 
Allah pun sangat memuliakan perempuan. 
Maka ketika melukai hati seorang perempuan, ingatlah kamu pada ibumu.

#
Manusia itu harus sadar akan jiwanya. 
Peningkatan kesadaran tidak mungkin terjadi tanpa tubuh fisik. 
Jiwa tidak bisa matang (maju) tanpa tubuh fisik. 
Misal, makan berlebihan, membebani fisik. Makan yang baik, memelihara fisik.

Fisik umurnya sepanjang dunia, selanjutnya akan hancur dimakan bumi.
Jiwa umurnya abadi, everlasting.

Pekerjaan mengingat adalah fungsi pikir. 
Tapi ia adalah pekerjaan fisik, yaitu otak.

Misal, 
saya sakit hati. Ingin membalas tapi tidak ada waktu. 
Seakan-akan hilang, tapi sesungguhnya tidak pernah hilang. 
Ia tetap ada, suatu saat akan muncul, dalam bentuk apapun.

Pikiran adalah energi. 
Energi tidak pernah hilang, hanya berubah bentuk. 
Belajar sadar adalah mendisiplinkan pikiran.

Pada saat sakaratul maut, tubuh/otak (fisik) berhenti berfungsi. 
Maka semua yang ada/pernah muncul, dimunculkan kembali, semua. 
Maka, jangan pernah berpikiran buruk, benci, dll. 
(Agar khusnul khatimah pada saat sakaratul maut.)

#
Apakah ambisi Anda menunggangi pikiran.
 Apakah ambisi Anda untuk kesombongan. 
Itu semua permainan pikiran.

Ambisi itu baik, asal tidak melampaui kemampuan Anda. 
Atau misal seberapa besar ego mendominasi dalam ambisi ini. 
Apakah misal saya siaran di radio ini untuk tujuan tertentu, 
misal untuk mencapai posisi tertentu, 
di situ ego yang masih mendominasi.

Belajar sadar artinya kita menjadi tuan dalam pikiran kita sendiri. 
Pikiran sangat diperlukan, 
tapi tidak pernah boleh mengendalikan hidup kita.

Hidup selalu ada dualitas,
 baik-buruk, bagus-jelek, panas-dingin, dsb. 
Dengan menjadi sadar (belajar sadar), 
kita tidak akan terjebak pada dualitas itu.
[]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar