Sabtu, 28 November 2015

MEREGUK SARI TASAWUF.

MENJADI  HAMBA ALLAH.

Akar dan "Aku" kita bukan hanya tertanam di dalam Zat Ilahi atau"Aku",
yang pada akhirnya adalah satu-satunya Zat, sementara semua yang lain 
merupakan Pengungkapan -Diri dan manifestasi Dia, 
tetapi kita juga memiliki diri manusiawi dan individual 
yang diciptakan oleh Tuhan, yang nyata pada tingkatannya sendiri.

Untuk memahami sepenuhnya realitas sebagai manusia , 
kita juga harus memahami sepenuhnya aspek hakikat kita 
sebagai hamba Allah, untuk menggunakan bahwa tradisi Islam,
Ego kita harus menyadari kehambaannya secara sepenuhnya,
yang oleh kaum Sufi disebut 'ubudiyyah di hadapan Tuhan 
dan kita harus menyadari bahwa 
sebagai hamba kita tidak akan pernah menjadi Tuhan.

Itulah sebabnya Sufi-Sufi besar seperti Abu al-Hasan Al-Syadzili ,
pendiri salah satu , yang tarekat Sufi terpenting  pada abad ketiga belas,
menegaskan bahwa hasrat untuk menyatu dengan Allah itu sendiri
justru lebih menjauhkan kita dari Allah dibandingkan semua yang lain.
Demikian pula Ibnu 'Arabi , orang bijak adari Andalusia , yang juga 
hidup pada abad ketiga belas dan yang begitu banyak berbicara 
tentang kesatuan yang Nyata, menegaskan dalam cara yang mirip 
bahwa hamba (al-'abd akan tetap hamba dan Tuhan (al-Rabb) 
akan tetap Tuhan.
Tetapi , dengan rahmat Allah , dengan pengesahan dari Tuhan ,
percik Ilahi di dalam kemanusiaan , yang dikenali dengan akal,
dapat melampaui semua dualitas , termasuk 
dualitas hamba dengan Tuhan, untuk mencapai yang Satu, Zat Ilahi,
yang merupakan akar dari "Aku" sang hamba.
Akan tetapi,
tanpa mewujudkan kehambaan yang sempurna , 
kita tidak dapat mewujudkan Kesatuan puncak itu , 
karena tanpa realisasi ini, ego kita, yang masih menegaskan 
keberadaan mereka yang terpisah , akan mencegah Allah 
di dalam diri kita dari berkata "Aku".

Dalam bahasa Arab, kata penghambaan ('ubudiyyah) terkait secara 
etimologis dengan kata menyembah ('ibadah) , 

Al-Qur'an menyatakan

"Aku tidak menciptakan jin dan manusia 
  melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku ". 
  Q.S. Al-Dzariyat. (51):56, 

dan juga 

"Tidak ada Tuhan melainkan Aku , 
  maka sembahlah olehmu sekalian akan Aku".
  Q.S. Al-Anbiya' (21) ;23.

Dari sudut pandang Islam , 
karena itu, raison d'etre keberadaan manusia adalah 
untuk menyembah Allah dan dengan demikian 
mewujudkan keadaan penghambaan yang sempurna,
yang juga berarti 
menyadari apa arti menjadi manusia sepenuhnya.

Tasawuf  mengajak kita menyelami makna terdalam ibadah 
dalam rangka mewujudkan hakikat kita sebagai hamba Allah
yang sempurna dan juga sebagai makhluk yang diciptakan Allah 
untuk menjadi teman bicara-Nya.

Dalam Tasawuf , 
manusia adalah cermin 
yang memantulkan semua Nama dan sifat Allah ;
kita adalah wujud-wujud yang diciptakan ,
menurut hadist yang terkenal, "dalam citra (shurah) Allah",
Citra disini bukan berarti bentuk dalam pengertian biasa , 
karena Allah itu tidak berbentuk , melainkan lebih sebagai
pantulan dari Nama dan Sifat Ilahi.

Tasawuf juga memahami "untuk menyembahku" berarti
"untuk mengenalku" , sebuah pengetahuan (makrifat) 
yang hanya mungkin melalui realisasi penghambaan kita 
yang sempurna.

Realisasi itu secara etimologis
berarti bukan hanya mematuhi Allah sebagai tuan kita , 
melainkan juga menyadari 
bahwa segala sesuatu pada akhirnya milik Allah 
dan bahwa di dalam diri sendiri, kita adalah seorang fakir (faqir),
pada salah sebutan yang paling jamak bagi pengikut jalan Sufi.
Istilah Persia darwish , yang masuk ke dalam bahasa Inggris 
sebagai dervish, memaksudkan kebenaran yang sama .
Itu berarti , merendahkan diri di hadapan gerbang Realitas Ilahi.

Makna tertinggi dari penghambaan pada kenyataannya adalah
kesadaran tentang "ketiadaan" kita dihadapan Allah.
Hanya dengan melalui pintu gerbang "peniadaan ini" ,
atau apa yang disebut para Sufi sebagai fana', 
kita dapat meraih kekekalan, baqa', di dalam Tuhan 
dan mencapai akar dari "Aku" kita dan karenanya juga yang Ilahi.

Manusia sebagai manusia semata 
tidak dapat masuk ke dalam tempat perlindungan Ilahi, 
namun di dalam diri kita terdapat sebuah realitas yang sudah Ilahiah.

Menjadi manusia sepenuhnya berarti 
mewujudkan kehampaan sempurna kita dan 
melepaskan tabir keberadaan yang terpisah
melalui amalan spiritual sehingga Allah, 
yang transeden dan imanen di dalam diri kita, 
dapat berucap "Aku".

@SHN.

































Tidak ada komentar:

Posting Komentar