MENJADI HAMBA ALLAH.
Akar dan "Aku" kita bukan hanya tertanam di dalam Zat Ilahi atau"Aku",
yang pada akhirnya adalah satu-satunya Zat, sementara semua yang lain
merupakan Pengungkapan -Diri dan manifestasi Dia,
tetapi kita juga memiliki diri manusiawi dan individual
yang diciptakan oleh Tuhan, yang nyata pada tingkatannya sendiri.
Untuk memahami sepenuhnya realitas sebagai manusia ,
kita juga harus memahami sepenuhnya aspek hakikat kita
sebagai hamba Allah, untuk menggunakan bahwa tradisi Islam,
Ego kita harus menyadari kehambaannya secara sepenuhnya,
yang oleh kaum Sufi disebut 'ubudiyyah di hadapan Tuhan
dan kita harus menyadari bahwa
sebagai hamba kita tidak akan pernah menjadi Tuhan.
Itulah sebabnya Sufi-Sufi besar seperti Abu al-Hasan Al-Syadzili ,
pendiri salah satu , yang tarekat Sufi terpenting pada abad ketiga belas,
menegaskan bahwa hasrat untuk menyatu dengan Allah itu sendiri
justru lebih menjauhkan kita dari Allah dibandingkan semua yang lain.
Demikian pula Ibnu 'Arabi , orang bijak adari Andalusia , yang juga
hidup pada abad ketiga belas dan yang begitu banyak berbicara
tentang kesatuan yang Nyata, menegaskan dalam cara yang mirip
bahwa hamba (al-'abd akan tetap hamba dan Tuhan (al-Rabb)
akan tetap Tuhan.
Tetapi , dengan rahmat Allah , dengan pengesahan dari Tuhan ,
percik Ilahi di dalam kemanusiaan , yang dikenali dengan akal,
dapat melampaui semua dualitas , termasuk
dualitas hamba dengan Tuhan, untuk mencapai yang Satu, Zat Ilahi,
yang merupakan akar dari "Aku" sang hamba.
Akan tetapi,
tanpa mewujudkan kehambaan yang sempurna ,
kita tidak dapat mewujudkan Kesatuan puncak itu ,
karena tanpa realisasi ini, ego kita, yang masih menegaskan
keberadaan mereka yang terpisah , akan mencegah Allah
di dalam diri kita dari berkata "Aku".
Dalam bahasa Arab, kata penghambaan ('ubudiyyah) terkait secara
etimologis dengan kata menyembah ('ibadah) ,
Al-Qur'an menyatakan
"Aku tidak menciptakan jin dan manusia
melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku ".
Q.S. Al-Dzariyat. (51):56,
dan juga
"Tidak ada Tuhan melainkan Aku ,
maka sembahlah olehmu sekalian akan Aku".
Q.S. Al-Anbiya' (21) ;23.
Dari sudut pandang Islam ,
karena itu, raison d'etre keberadaan manusia adalah
untuk menyembah Allah dan dengan demikian
mewujudkan keadaan penghambaan yang sempurna,
yang juga berarti
menyadari apa arti menjadi manusia sepenuhnya.
Tasawuf mengajak kita menyelami makna terdalam ibadah
dalam rangka mewujudkan hakikat kita sebagai hamba Allah
yang sempurna dan juga sebagai makhluk yang diciptakan Allah
untuk menjadi teman bicara-Nya.
Dalam Tasawuf ,
manusia adalah cermin
yang memantulkan semua Nama dan sifat Allah ;
kita adalah wujud-wujud yang diciptakan ,
menurut hadist yang terkenal, "dalam citra (shurah) Allah",
Citra disini bukan berarti bentuk dalam pengertian biasa ,
karena Allah itu tidak berbentuk , melainkan lebih sebagai
pantulan dari Nama dan Sifat Ilahi.
Tasawuf juga memahami "untuk menyembahku" berarti
"untuk mengenalku" , sebuah pengetahuan (makrifat)
yang hanya mungkin melalui realisasi penghambaan kita
yang sempurna.
Realisasi itu secara etimologis
berarti bukan hanya mematuhi Allah sebagai tuan kita ,
melainkan juga menyadari
bahwa segala sesuatu pada akhirnya milik Allah
dan bahwa di dalam diri sendiri, kita adalah seorang fakir (faqir),
pada salah sebutan yang paling jamak bagi pengikut jalan Sufi.
Istilah Persia darwish , yang masuk ke dalam bahasa Inggris
sebagai dervish, memaksudkan kebenaran yang sama .
Itu berarti , merendahkan diri di hadapan gerbang Realitas Ilahi.
Makna tertinggi dari penghambaan pada kenyataannya adalah
kesadaran tentang "ketiadaan" kita dihadapan Allah.
Hanya dengan melalui pintu gerbang "peniadaan ini" ,
atau apa yang disebut para Sufi sebagai fana',
kita dapat meraih kekekalan, baqa', di dalam Tuhan
dan mencapai akar dari "Aku" kita dan karenanya juga yang Ilahi.
Manusia sebagai manusia semata
tidak dapat masuk ke dalam tempat perlindungan Ilahi,
namun di dalam diri kita terdapat sebuah realitas yang sudah Ilahiah.
Menjadi manusia sepenuhnya berarti
mewujudkan kehampaan sempurna kita dan
melepaskan tabir keberadaan yang terpisah
melalui amalan spiritual sehingga Allah,
yang transeden dan imanen di dalam diri kita,
dapat berucap "Aku".
@SHN.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar