Sabtu, 28 November 2015

MEREGUK SARI TASAWUF

TAFSIR SURAT AL-FATIHAH.

Teks surah itu diawali dengan Alhamdulillah , "Segala puji bagi Allah",
dan kalimat ini adalah atas nama manusia 
walaupun di sini ia diucapkan oleh Allah.
Kata untuk puji adalah al-hamd, dan sikap yang melekat di dalamnya 
merupakan aspek penting dari menjadi manusia yang sebenar-benarnya.
Al-Qur'an menegaskan dalam beberapa ayat bahwa 
segala sesuatu memuji Allah, tetapi pujian oleh manusia
laki-laki dan perempuan memiliki arti penting yang khusus ,
karena manusia telah diberikan kemungkinan untuk tidak memuji Allah
dan tidak bersyukur kepada-Nya.
Istilah al-hamdu lillah atau "segala puji bagi Allah", 
yang juga menyiratkan syukur kepada-Nya sangatlah penting sehingga
ucapan itu menyebar dalam kehidupan keseharian semua umat Islam.
Pengulangannya tanpa henti dalam kegiatan sehari-hari menciptakan 
sebuah sikap yang terus memuji Allah dan menunjukkan 
rasa terimakasih.
Sumber-sumber tradisional Islam menegaskan bahwa pada Hari Kiamat
semua Muslim yang telah menjalankan agama mereka dengan setia 
akan berkumpul di bawah "panji kesyukuran"(liwa' al-hamd) 
yang dibawa oleh Nabi.

Dalam Tasawuf , 
hamd dan sikap batin yang berkaitan dengannya adalah penting .
Pengikut Jalan itu diharapkan untuk selalu bersyukur kepada Allah
dan memuji-Nya tanpa peduli apa pun keadaan mereka.

Menurut  sebuah cerita Sufi, 
satu  hari seorang guru dan murid-muridnya sedang duduk bersama-sama .
Sang guru bertanya pada salah seorang murid,
"Dalam keadaan apakah kita harus mengucapkan al-hamdu lillah?"
Murid menjawab, "Setiap kali seseorang menerima karunia atau berkah 
dari Allah dia harus mengucapkan al-hamdu lillah".
Sang guru menjawab, 
"Kalau begitu apa perbedaan 
  antara engkau dan anjing yang duduk di depan kita ?"
  Jika aku melemparkan kepadanya sepotong daging, 
  ia menggoyang-goyang ekornya dalam syukur dan memuji Tuhan.
  Dan apabila aku tidak melakukannya , ia hanya  duduk disana ,
  menunggu sesuatu dariku".

Sang guru menambahkan.
"Seorang darwish adalah orang yang, ketika menerima berkah atau 
  karunia Allah , dia mengucapkan al-hamdu lillah  
  lalu ketika tidak menerima apa pun serta berada dalam kesulitan 
  dan kekurangan  yang paling besarpun , 
  dia tetap megucapkan al-hamdu lillah".

Sikap memuji Allah dan selalu bersyukur kepada-Nya , 
dengan kesadaran bahwa di dalam diri sendiri kita adalah miskin,
dan Allah adalah Kaya yang dari-Nya semua berkat mengalir - 
dari hidup yang kita punyai hingga udara yang kita hirup ,
hingga makanan yang kita makan, hingga tanah yang kita injak -
adalah sikap yang diperlukan untuk benar-benar menjadi manusia.

Ini adalah komponen penting kemanusiaan kita dan 
merupakan jalan mendasar bagi kita untuk menyadari siapakah  kita 
dan untuk mencapai keadaan penghambaan yang sempurna.

Bagaimanapun karunia Allah yang terbesar kepada kita adalah 
Firman-Nya atau wahyu , 
yang memungkinkan kita untuk kembali kepada-Nya.

"Segala puji bagi Allah ' pada awal Al-Fatihah dapat dipahami 
dalam arti bahwa kita memuji Allah dan bersyukur kepada-Nya
karena dipandang layak menerima wahyu-Nya, 
dan kita mengucapkan al-hamdu lillah karena Allah 
telah menciptakan kita sebagai manusia dan berbicara kepada kita, 
bahwa Dia lah menempatkan kita , bahwa Dia telah menempatkan kita
dalam keadaan dimana kita  dapat secara sadar mengucapkan  
al-hamdu lillah.

Keagungan keadaan manusia bukanlah dalam hal kemampuan manusia
membuat mesin-mesin rumit atau menyusun teori-teori kompleks,
melainkan bahwa laki-laki dan perempuan layak diajak berbicara 
oleh Allah dan dianggap pantas menerima wahyu dan bimbingan-Nya.

Pembuka al-hamdu lillah ini bisa dikatakan 
bukan hanya menjadi pembuka untuk wahyu dan bimbingan-Nya.
Pembuka al-hamdu lillah ini bisa dikatakan 
bukan hanya menjadi  pembuka untuk wahyu Al-Qur'an selebihnya,
tetapi lebih dari itu atas rasa syukur kita untuk menjadi manusia.

Menjadi manusia berarti mampu mendengar Firman Tuhan 
dan digiring kembali kepada-Nya.
Fakta bahwa dalam ritual Islam setiap Muslim 
- laki-laki maupun perempuan- 
berdiri secara langsung di hadapan Allah
dalam shalat sehari-hari tanpa perantara, dalam pandangan Sufi
bukan hanya mengindikasikan bahwa setiap Muslim memiliki fungsi
"kependetaan" , melaainkan juga bahwa 
ada sebuah titik yang menghubungkan masing-masing jiwa dengan Allah.
Seperti yang dikatakaan Rumi,

"Ada sebuah sambungan,
  tanpa pengecilan,
  tanpa perbandingan,
  antara Tuhan jiwa dan jiwa manusia".
                              -Mastnawi 4;761.

@SHN.












Tidak ada komentar:

Posting Komentar