Selasa, 24 November 2015

BELAJAR MENGAMATI PIKIRAN KITA

Pembicara: Bpk. Anggito 

(Bagian ke-3 dari 4 tulisan. Materi lainnya: (1) Belajar Bersikap Sadar, (2) Memakmurkan Diri, (4) Belajar Memahami Kehidupan.)

Pikiran adalah sesuatu yang paling dekat dengan kita. 
Sebegitu dekatnya sehingga sering tidak kita sadari.

Banyak orang merasa berpikir hanya ketika terjaga. 
Padahal pada saat tidur, bahkan ketika mati, 
kita tetap berpikir tapi dengan wahana yang berbeda.

Berpikir adalah aktivitas yang tidak bisa lepas dari kehidupan 
sehingga sering kita larut dan 
jadi tidak bisa mengenali bahwa kita sedang berpikir.

Konteks berpikir itu konteks jiwa.

Pertanyaannya adalah.. dengan apa kita berpikir?

Ada 2 wahana: 

(1) panca indera, 
merupakan wahana untuk berpikir logis; 
jenis ini mendominasi manusia, 
menjadi sumber kehidupan manusia, 
berhitung untung-rugi; 
pusatnya di otak (fisik); 

(2) hati/qalbu, 
bekerja berlandaskan norma-norma agama; 
jenis ini menjadi penyeimbang 
agar manusia tidak didominasi pikiran otaknya.

Yang lebih baik adalah menyeimbangkan keduanya. 
Permasalahannya, 
dari dua jenis ini yang mana yang tetap berfungsi 
dalam berbagai kondisi.

Bukankah ketika tidur panca indera beristirahat; 
bukankah ketika seseorang meninggal, 
otak fisiknya kehilangan kekuatan; 
lalu pikiran manakah yang masih berfungsi..
 [Ada sisi lain yang bertugas mengamati 
  agar keduanya ini tetap berjalan. 
  Pengamat, yang berada di luar pikiran.]

Pikiran adalah energi
—relatif halus dan ringan, serta cepat berubah. 
Penggerak utama pikiran adalah keinginan. 
Keinginan timbul dari rangsangan panca indera.

Eksistensi pikiran seseorang dengan eksistensi Tuhan adalah sesuatu yang berbeda.

Tuhan memberi kebebasan kepada manusia 
untuk mengelola pikirannya sendiri, 
maka manusia harus bisa memenej pikirannya.

Alam bawah sadar seseorang luasnya tidak terbatas. 
Berbagai persoalan tertumpuk di alam luas itu. 
Dan itu bisa sesekali muncul pada saat kepekaan meningkat.

Pada saat seseorang meninggal, 
kadang keinginan duniawinya masih menumpuk, 
sakaratul maut adalah saat terakumulasinya 
keinginan-keinginan inderawi 
ketika saat harus berpindah alam. 

Sehingga kadang seseorang sangat lama untuk menyadari 
bahwa ia telah berpindah alam (dan ini yang sangat dikhawatirkan). 
Maka banyak-banyaklah kita mengendalikan pikiran (: keinginan). 
Maka ketika hidup jangan menciptakan keinginan-keinginan yang tidak realistis, 
yang akan membuat jiwa kita jadi jauh dari kehidupan kita.

Misal, 
ketika kita mencintai seseorang tapi tidak dapat terwujudkan, 
maka keinginan itu akan tersimpan di alam bawah sadar, 
dan suatu saat akan muncul. 
Maka jangan berkeinginan yang muluk-muluk.

Jangan ciptakan keinginan-keinginan yang tidak perlu 
karena ia memerlukan kesempatan untuk diwujudkan. 
Kendalikan keinginan.

# Mengendalikan keinginan.

'Keinginan' selalu ingin memisahkan kemudahan dengan kesusahan
--padahal keduanya adalah satu paket dari kehidupan. 

Kita cenderung menyiapkan jiwa kita hanya untuk menghadapi satu hal, yaitu kemudahan.

Misal 
ketika seseorang berharap sesuatu A (kesenangan), 
maka seluruh energi dan emosi disiapkan ke arah itu, 
tapi ketika A tidak didapat, ia kecewa.
Baiknya,
 prediksi boleh A, tapi jiwa kita harus disiapkan 
untuk kemungkinan terjadi dan tidak terjadi.
 Jika terjadi bersyukur, 
jika tidak terjadi juga tidak apa-apa. 
Inilah jiwa yang tenang.

Pikiran seharusnya tidak boleh terpaku pada dua kutub yang ekstrim 
alias tidak terpengaruh oleh dua kutub.
 “Apakah jiwamu sama tenangnya 
ketika mendapat hal yang menyedihkan dan menyenangkan?”

Lalu, tidak boleh berkeinginankah..?
Merencanakan sesuatu itu perlu, tapi dasarnya adalah kekinian. 
Berambisi boleh, tapi pertanyaannya adalah 
apakah jiwa kita siap jika ambisi itu gagal atau berhasil.

Setiap ambisi itu disesuaikan dengan kondisi kejiwaan kita 
(disinilah peran pengamat berada), sehingga tidak membebani jiwa.
Misal,
 seseorang dengan ambisi besar 
tapi ketika tidak tercapai ia bisa bersikap tenang, 
biasa-biasa saja, artinya jiwanya tenang.

Perlu yang namanya mengistirahatkan keinginan, bukan meniadakan. 
Mengistirahatkan dalam arti memberi ruang kosong pada jiwa kita. 
Bukankah mangkok berguna ketika kosong, 
ruang kosong itu menyiratkan kegunaan. 

Jiwa yang tenang adalah jiwa yang memiliki ruang untuk berdialog dengan Tuhan. 
Maka istirahatkan jiwa dari keinginan-keinginan yang tidak perlu.

Bagaimana memenej alam bawah sadar?
Yang perlu dilakukan adalah 
bagaimana kita memenej alam sadar kita (baca: terjaga) 
agar alam bawah sadar kita tidak terbebani 
dogma-dogma, aturan-aturan, pikiran-pikiran atau sesuatu yang dipaksakan. 
Kuncinya ada pada agama, yaitu: 
lakukan sesuatu dengan ikhlas.

Keikhlasan berdampingan dengan memaafkan. 
Ketika kita kehilangan sesuatu, 
kita merasa ikhlas 
tapi jika rasa kehilangan itu masuk ke dalam hati, 
jadi seolah-olah ikhlas tapi tidak ikhlas. 
Artinya, pikiran ikhlas tapi hati tidak.

Kalbumu adalah pintu masuk Tuhan ke dalam manusia.

# Keinginan untuk maju, maju, maju..! 
Pertanyaannya maju dalam hal apa?
Trend di negara-negara Barat, 
kemajuan materi yang tinggi tidak bisa memberi sesuatu yang mereka cari, 
sehingga sekarang mereka lari ke agama-agama Timur, 
sesuatu yang bisa memberi apa yang mereka cari.

Soal benar-salah adalah wilayah pikiran, 
soal baik-buruk adalah wilayah moral. 
Wilayahnya berbeda. 
Jangan lakukan apapun yang membebani jiwamu.

Surga dan neraka bisa kita ciptakan sendiri 
bahkan di saat kita masih hidup. 
Misal kita bisa ciptakan surga dalam rumah tangga kita.

Tuhan pada hakekatnya tidak mencampuri kebebasan berpikir manusia. 
Tidak ada yang melarang manusia untuk berpikir tentang apapun. 
Tapi harus diingat bahwa kebebasan berpikir ada rambu-rambunya. 
Kebebasan berpikir diberikan untuk menjalani kehidupan.

Manusia bisa berpikir apa saja, tidak terbatas, padahal pikiran itu sendiri terbatas. 
Karena pikiran itu hanya bisa menerima fakta-fakta empiris 
(yang adanya di wilayah panca indera).

Jangan isi jiwamu dengan kegaduhan. 
Istirahatkan jiwamu. 
Kualitasmu tidak ditentukan oleh pikiranmu, 
melainkan oleh ruh-mu (sang jiwa yang tenang). 
Maka isilah hidupmu 
dengan hal-hal yang akan memperkaya batinmu.[]

Posted by Dedeh SH No comments:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar