Selasa, 24 November 2015

Tiga Aliran Pembaharuan di Turki : Barat, Islam, dan Nasionalisme

Tiga Aliran Pembaharuan di Turki : Barat, Islam, dan Nasionalisme (Perkembangan Modern Dalam Dunia Islam)
Tiga Aliran Pembaharuan di Turki :
Barat, Islam, dan Nasionalisme

Pada abad pertengahan Dunia Barat telah maju, ditandai dengan beberapa kemajuan dan penemuan teknologi modern. Islam sudah masuk ke daerah Turki mulai abad Hijriyah dan Islam berkembang dengan pesat , bangsa Turki mencapai puncak kemegahan dari tahun 1520-1566 kemudian mendapat gelar orang sakit (The Sick Men) karena bangsa Turki akhirnya juga lumpuh pada abad ke-19. Pembaharuan di Turki meliputi empat fase pembaharuan yang dimulai oleh Sultan Mahmud II, yang mengubah madrasah tradisional tanpa pengetahuan umum menjadi madrasah yang berpengetahuan umum. Tanzimat yaitu usaha untuk mengatur dan memperbaiki struktur organisasi pemerintahan sementara Usmani Muda dan Turki Muda ingin mengubah sistem pemerintahan konstitusional bukan dengan kekuasaan absolut. Dan pembaharuan-pembaharuan tersebut  dapat disimpulkan ke dalam tiga aliran yaitu Barat, Islam dan Nasionalisme.

Kata Kunci  : Sultan Mahmud II, Tanzimat, Usmani Muda, Turki Muda, Barat, Islam, Nasionalisme.

I.             Pendahuluan
Dalam pembaharuan di kerajaan Usmani[1], dapat dilihat adanya tiga golongan pembaharuan. Pertama, golongan Barat yang ingin mengambil peradaban Barat sebagai dasar pembaharuan, golongan kedua yakni golongan Islam yang berargumen bahwasanya dasar daripada segala sesuatu itu seharusnya adalah Islam, golongan ketiga adalah golongan nasionalis Turki yang timbul paling kemudian yang melihat bahwa bukan peradaban Barat dan bukan Islam yang harus dijadikan dasar, tetapi nasionalisme Turki.
Untuk dapat memahami pembaharuan yang dianjurkan oleh ketiga golongan tersebut perlu diketahui terlebih dahulu identitas masing-masing. Betulkah golongan Barat mengingini westernisasi, dalam arti meniru segala apa yang ada di Barat? Dan golongan Islam, siapakah mereka? Apakah mereka golongan yang disebut tradisionalis, yang ingin mempertahankan tradisi yang semenjak lama telah ada pada umat Islam? Ataukah mereka termasuk golongan yang disebut modernis, yang ingin kembali kepada ajaran-ajaran dasar dalam Islam seperti terdapat dalam Al-Qur’an dan Hadith dan mengadakan interpretasi yang sesuai dengan zaman modern? Dan golongan nasionalis Turki, apa pendirian mereka terhadap agama? Betulkah mereka mempunyai faham sekularisme?
II.           Kondisi Obyektif Turki Masa Pembaharuan
Turki Usmani mulai kehilangan daerah-daerah kekuasaannya atau berkurang kontrolnya di wilayah Balkan dan Eropa Timur. Pada tahun 1815, Serbia berhasil memperoleh hak otonomi untuk mengatur daerahnya sendiri. Tahun 1829, Yunani berhasil memperoleh kemerdekaan dari kekuasaan Turki Usmani. Seiring dengan itu, Serbia, Moldavia, dan Rumania juga mendapatkan otonomi penuh. Pada tahun 1877 Rusia dan Pan Slavia merebut Bosnia-Hezegovina dan Bulgaria dari tangan Turki Usmani diikuti dengan pernyataan kemerdekaan Serbia, Montenegro, dan Rumania. Kehilangan wilayah yang demikian luas tersebut merupakan lanjutan dari derita Turki Usmani yang pada abad sebelumnya telah pula kehilangan wilayah Cremia dan sekitar black sea. Daerah Laut Hitam tersebut telah jatuh ke tangan Rusia pada perang Rusia-Turki yang berlangsung pada tahun 1768-1774 dan 1787-1792.[2] Pada saat yang sama, Turki Usmani juga kehilangan wilayah kekuasaannya di Afrika Utara. Mesir, di bawah pimpinan Muhammad Ali, melepaskan diri pada awal abad XIX. Pada tahun 1830 Aljazair direbut oleh Perancis.[3]
Kekalahan-kekalahan yang diderita Turki Usmani ini disebabkan oleh komplesitas masalah yang sedang dihadapainya. Tentara Turki Usmani yang dahulu demikian disegani di daratan Eropa sudah mulai tertinggal dalam bidang peralatan, teknik dan organisasi dibandingkan dengan kekuatan tentara Negara-negara Eropa. Turkipun sudah tetinggal dalam bidang ekonomi, politik, ilmu pengetahuan dan teknologi dari Negara-negara Barat. Di samping kemunduran di bidang-bidang tersebut, Turki Usmani juga mengalami kemunduran dalam bidang hukum. Bahkan, sebagaimana dikemukakan Satria Effendi, pada awal abad ke-19 fiqh Islam mencapai puncak kemundurannya di Turki Usmani.[4] Suasana kemunduran Islam itu tergambar  dari karakteristik hukum Islam yang berkembang ketika itu. Ciri khas yang menonjol pada bidang hukum saat itu dapat dilihat dari beberapa segi. Pertama, dari segi pemikiran fiqh. Kedua, dari segi system pengajaran dan pengembangan fiqh. Ketiga, dari segi metode penulisan karya fiqh. Kegiatan pengembangan fiqh yang diadakan sebatas upaya-upaya takhrij, tarjih, dan tanzim terhadap karya fiqh madhab. Sementara itu, ditinjau dari segi metode penulisan karya fiqh, terdapat kecenderungan umum untuk menulis ringkasan dan penjelasan bagi kitab-kitab fiqh yang telah ada. Al-Zarqa’ dengan nada sinis mengibaratkan metode penulisan ini dengan ungkapan “bagaikan memasukkan unta ke dalam botol”. Setelah matan fiqh dihasilkan, penulis matan atau penulis lain menulis penjelasan, komentar, dan tambahan terhadap matan tersebut. Tulisan seperti disebut Sharah. Sharah ini kemudian diberi pula penjelasan yang dinamakan dengan Hashiyah. Hashiyah inipun dibuat pula penjelasannya yang dinamakan Taqrir.[5] Karakteristik tersebut di atas mewarnai hukum Islam pada masa tersebut dan membawa hukum Islam ke dalam jurang kejumudan dan kemunduran.
Menanggapi keadaan hukum Islam yang demikian, dalam bidang hukum Islam, muncul tiga aliran pemikiran dan gerakan. Ketiga aliran ini muncul sebagai respon terhadap keadaan hukum Islam yang sedang mundur dan masuknya pengaruh Barat ke dunia Islam. Aliran pertama yang diwakili kelompok Islam konservatif ingin memperthankan status quo hukum Islam yang ada saai itu. Bagi kelompok ini hukum, hukum Islam baik yang bersifat absolute dan ijtihadi telah lengkap dan selalu mampu mengatur dan menjawab semua permasalahan hukum, tidak terkecuali yang terjadi di zaman modern. Terjadinya kemunduran, termasuk di bidang hukum bukan berasal dari kekurangan hukum Islam, melainkan karena kesalahan ummat Islam yang tidak lagi konsisten menjalankan hukum Islam. Untuk memecahkan permasalahan hukum yang terjadi di zaman modern, maka ummat Islam harus menerapkan hukum Islam yang diwarisi dari masa lalu tersebut secara murni dan konsekwen. Aliran kedua berpendapat bahwa jalan keluar dari permasalahan hukum di Turki Usmani adalah dengan melakukan reformasi dan reformulasi hukum Islam secara parsial. Hukum Islam terbagi atas hukum yang bersifat absolute dan hukum yang bersifat relative kebenarannya. Ajaran murni yang ditegaskan langsung oleh al-Qur’an dan Sunnah Nabi adalah bersifat absolute dan tidak bisa dirubah. Sedangkan hukum-hukum yang merupakan hasil ijtihad para mujtahid dapat dirubah sesuai dengan situasi dan kondisi yang berkembang. Aliran ketiga yang diwakili kelompok westernis-sekularis berpendapat bahwa hukum Islam di Turki Usmani yang sudah dipraktekkan berabad-abad lamanya sudah tidak relevan lagi dan sudah tidak mampu lagi memecahkan permasalahan-permasalahan baru yang muncul akibat kemajuan ilmu pengetahuan dan tekhnologi. Keadaan hukum yang demikian tidak bisa dibiarkan harus dicarikan jalan keluarnya. Solusi yang mereka ajukan dan perjuangkan adalah penggantian hukum Islam dengan hukum-hukum yang berasal dari Barat. Hukum-hukum Barat menurut kelompok ini telah terbukti mampu mengatur dan membawa masyarakat Barat kea rah kemajuan yang gilang gemilang. Perbaharuan hukum Islam sebagai solusi alternative mereka tolak dengan alasan pembaharuan hukum Islam sulit disepkati metodenya dan pembaharuan ini akan berjalan lamban, sementara persolan yang dihadapi semakin mendesak untuk dipecahkan dan akan selalu berkembang.[6]
Shaw  & Shaw mencatat beberapa perubahan mendasar yang dilancarkan pemerintahan Turki Usmani di masa pembaharuan. Pada tahun 1843 menetapkan hukum pidana (Ceza Kanunnamesi) dan pada tahun 1850 ditetapkan hukum dagang (Ticaret Kanunnamesi). hukum pertanahan ditetapkan pada tahun 1858 dan hukum perdagangan laut tahun 1863. Perangkat hukum material baru tersebut berkiblat kepada hukum-hukum Barat yang sarat dengan nilai-nilai sekularisme. Sebagai sarana penerapan hukum formal dan lembaga peradilan. Peradilan campuran yang bersifat sekuler didirikan dan hukum acara pidana dan hukum acara perdata yang barupun disusun kemudian.[7] 
Salah satu dinamika internal dalam masyarakat Turki Usmani kala itu  menurut catatan Erik J.Zurcher adalah berhubungan dengan perubahan posisi warga Negara non-muslim dalam strata kewarganegaraan Turki Usmani. Para penguasa saat itu membuat materi dan institusi hukum baru untuk mengakomodasi kepentingan penganut agama non-Islam (terutama Kristen) yang telah disejajarkan kedudukannya dengan warga Negara yang beragama Islam. Dalam rangka inilah diperkenalkan hukum pidana baru yang mengakui kesamaan kedudukan muslim dan non-muslim. Pada saat yang sama diperkenalakan pula peradilan campuran dalam kasus-kasus perdagangan yang juga diberlakukan bagi warga Negara asing. Pada tahun 1884 hukuman mati bagi orang yang murtad dari agama Islam dihapuskan.[8]
Pertarungan antara tiga aliran ini dalam mensosialisasikan dan menerapkan ide-ide mereka berlangsung sejak masuknya pengaruh Barat secara intensif ke Turki Usmani.
III.         Pembaharuan di Turki
Perkembangan modernisasi di Turki semakin melaju ke depan dengan membawa visi beraneka ragam sesuai kepentingan yang melatar belakanginya. Pada gerakan sebelumnya dikenal adanya kebangkitan Usmani Muda dan Turki Muda yang banyak memberi corak atas pemikiran rakyat Turki, terutama kepada penguasa dan kaum terpelajar di sana. Pada makalah ini, dibahas warna khas dari gerakan yang ada di Turki. Sebagaimana dikemukakan oleh Harun Nasution bahwa gerakan pada fase ini terbagi kepada tiga kelompok, yaitu; pertama gerakan yang berorientasi dan masih berpegang secara ketat pada prinsip Islam yang disebut Islamisme, kedua, gerakan yang banyak mengadopsi (mengambil) pemikiran, sikap hidup berdasarkan pola-pola kehidupan Barat, atau terilhami oleh Barat (terbaratkan), kelompok ini dinamakan Westernisme, ketiga, gerakan yang menitik beratkan ke dalam yakni menyembulkan aspek keaslian Turkisme atau lebih tepat secara kenegaraan mereka selalu mementingkan sikap, pola pikir dan tindakan nasional. Mereka tidak mau mengambil sesuatu yang berbau Barat dan juga tidak mengambil sesuatu yang terilhami oleh perasaan keagamaan (Islam). Sehingga para patriotisme yang tinggi membawa mereka lebih mengutamakan nasionalitas di atas segala-galanya. Kelompok yang berpaham demikian dinamakan Nasionalisme.[9]
Walaupun perlu digaris bawahi bahwa dorongan tertinggi atas semua kelompok ide pembaharuan itu pada prinsipnya mengacu nilai Islam, namun ada golongan yang lebih mementingkan Baratnya daripada Islam, atau sebaliknya mementingkan Islam secara prinsip tanpa memandang enteng (dengan merasa masih cukup penting) peradaban Barat. Dan ada pula golongan yang mementingkan perasaan nasional Turki walaupun mereka pada dasarnya juga orang Islam.
IV.        Barat
Westernisme dalam Islam (kebarat-baratan) golongan atau gerakan yang mengajak umat Islam untuk menerima pengetahuan Barat dan semua yang datang dari Barat.[10]
Pada golongan ini selain orang-orang Barat yang mempunyai idealisme Barat, juga tokoh intelegensia Turki sendiri yang terbaratkan dalam pemikiran dan perilakunya. Apalagi dalam hal ini Turki merupakan bagian dari Eropa Timur (beberapa wilayah Turki pada masa itu berada di Eropa timur), dan hanya agama saja yang berbeda dengan orang Barat, namun mereka berada pada posisi geografis yang memungkinkan untuk menyerap ide Barat secara sempurna. Dari sisi ini gagasan Barat nampak amat sesuai dengan kondisi Turki yang ingin menapak maju menuju modern. Golongan ini karena banyak mengkonsumsi pemikiran Barat dalam semua aspeknya, maka mereka disebut golongan Westernisme.
Gerakan Westernisme, juga menggolkan ide-ide sekularisme dalam basis kekuatannya. Mereka berusaha mengadopsi pemikiran Barat secara intensif, sehingga aspek sosial kemasyarakatan selalu diteropong dengan pandangan-pandangan sekular.
Golongan ini terdiri dari beberapa tokoh yang dalam gerakan pembaharuan di Turki sebelumnya juga banyak mengedepankan pemikiran Barat secara intensif, namun tokoh yang dianggap paling mutakhir adalah Tawfik Fikret (1867-1951) seorang pemikir sekaligus sastrawan yang banyak mengkritik dan menentang kaum tradisional. Dan satunya lagi adalah Abdulllah Jewdat (1869-1932). Seorang intelektual bergelar Doktor yang dianggap pendiri Perkumpulan Persatuan dan Kemajuan. Mereka ini merupakan orang yang cukup gigih dalam mendorong perjalanan pembaharuan Turki dengan gagasan-gagasan Barat.[11]
Tawfik Fikret banyak melontarkan pemikiran kritikan terhadap ulama tradisional yang dianggapnya telah membawa umat Islam ke dalam situasi fatalis. Umat Islam pada masa itu sangat tergantung kepada paham keagamaan tradisional. Sedangkan paham tradisional itu dalam banyak hal telah membawa kemunduran, seperti berserah total kepada nasib, memberikan gambaran tentang kekuasaan dan keadilan Tuhan selalu sewenang-wenang dan seperti seorang raja yang zalim. Pendapat ulama tradisional itu, dikecam Fikret sehingga ia banyak dimusuhi para ulama.
Dalam banyak hal pemikiran golongan Barat secara umum mempunyai kesamaan. Dapat dilihat dalam pemikiran Abdullah Jewdat. Ia menganggap bahwa kelemahan umat Islam pada saat itu bukan terletak pada ajaran Islam tapi pada sistem sosial dan kekhalifahan. Yang perlu diubah adalah Kerajaan Usmani bukan sultan. Begitu juga tentang Islam, yang perlu diubah adalah umatnya. Selama ini keadaan umat Islam terjangkiti sikap bodoh, malas, patuh kepada elite agama secara membuta, walaupun elite agamanya itu bodoh. Hal-hal yang diajarkan oleh elite agama bodoh itu dianggap ajaran Islam. Mereka terperangkap dalam perilaku demikian karena menganggap benar. Akhirnya pemikiran tokoh ini pun dianggap musuh elite agama dan Islam saat itu.[12]
Golongan Barat tidak setuju dengan konsep kenegaraan. Negara bagi mereka harus bersifat sekuler, dalam arti harus dipisahkan dari agama, seperti halnya di Barat. Tetapi karena masih terikat pada ajaran Islam, mereka tidak mempunyai konsep yang jelas mengenai cara pemisahan itu. Konsep din-u-devlet masih besar pengaruhnya dalam masyarakat dan disamping itu wujudnya telah diperkuat pula oleh Konstitusi 1876. oleh karena itu mereka menganjurkan supaya sekularisasi diadakan bukan terhadap negara, tetapi terhadap masyarakat.[13]
Dalam bidang pendidikan golongan Barat ingin membawa kebebasan mimbar, kebebasan berdiskusi, olahraga, pekerjaan tangan, dan sebagainya. Guru harus mengetahui ilmu jiwa dan ilmu sosial. Tujuan pendidikan ialah membina pemuda yang dapat berdiri sendiri, cerdas, jujur dan patriotis. Pendidikan agama harus dibersihkan dari supervisi dan ke dalam kurikulumnya dimasukkan logika dan ilmu pengetahuan modern.[14]
Dalam bidang ekonomi, kemunduran menurut golongan Barat disebabkan oleh keengganan orang Turki untuk menerima peradaban Barat dan tetapnya mereka berpegang pada tradisi dan institusi yang telah usang. Keadaan ekonomi dapat diperbaiki hanya dengan menerima sistem ekonomi Barat dengan corak kapitalisme, liberalisme, individualisme dan ide bekerja untuk penumpukan harta yang terdapat di dalamnya. Juga harus diterima pemikiran liberal Barat dan kemajuan teknologinya. Sikap mental ketimuran yang dipengaruhi oleh faham fatalisme dan rasa benci pada perubahan harus dihilangkan.
Beberapa pemikiran mereka yang lain adalah tentang nasionalitas. Menurut mereka, Barat saat ini maju karena menerapkan rasionalitas dalam hidupnya. Rasionalitas itu juga dianggap tiang dari ilmu pengetahuan dan teknologi. Begitu juga terhadap agama, bangsa Barat hanya mau menganut agama rasional. Karena bangsa Barat dapat dianggap guru, maka segala yang berbau Barat mesti diambil. Murid mesti taat pada guru.[15]
Semua aspek-aspek penting yang dapat mendorong kemajuan dianggap oleh golongan Barat sebagai ideologi baru yang mampu membangkitkan modernisasi Turki dan rakyatnya. Ditilik dari segi ini, jelas bahwa mereka akan berusaha sekuat tenaga menafsirkan Islam sesuai dengan tuntutan zaman. Dengan kata lain, Islam diusahakan selalu cocok dengan pemikiran modern. Kalau tidak cocok, bukan pemikiran modernnya yang keliru melainkan nilai Islamnya belum dapat diserasikan. Rasa bersimpati terhadap Barat dan semua aspeknya, bahkan bisa jadi mendorong mereka akan mengambil sesuatu yang negatif, asalkan nilai itu memang datang dari Barat.[16]
Terlepas dari itu semua, nuansa pembaharuan di Turki memang mempunyai citra tersendiri yang boleh jadi malah dianggap unik. Mengingat pertarungan ide untuk mengedepankan masing-masing kepentingan dengan tujuan yang sama yaitu menghantarkan Turki kepada kemajuan adalah dianggap hal yang wajar bagi semua negara berkembang dan bahkan pernah jaya pada masa sebelumnya. Dari sini, yang dilihat secara keseluruhan nampaknya tidak bisa dipungkiri bahwa pembaharuan atau modernisasi Turki dianggap sepenuhnya bernilai positif.
V.          Islam
Kriteria Islam yang dijadikan patokan kelompok ini dalam menggagas pembaharuan tanpa membedakan latar belakang keturunan, suku bangsa. Tokoh penting yang berperan dalam mempertahankan prinsip Islam sebagai dasar pembaharuan di Turki adalah Mehmed Akif (1870-1936). Ia sangat respek terhadap nilai-nilai Islam sehingga segala sesuatu perlu dicermati dalam kacamata Islam.
Menurut pendapat Mehmed Akif, agama Islam tidak pernah menghambat kemajuan. Sebagai perbandingan menurutnya bangsa Jepang dapat maju karena mengambil kemajuan Barat. Yang mereka ambil adalah ilmu pengetahuan dan teknologinya. Bukan agama dan perilaku moralnya. Sedangkan Islam malah sebaliknya yaitu mengambil peradaban (perilakunya), dan ini penting menurut mereka.[17] Kaum intelegensi Turki suka sekali meniru Barat, jadi, letak kemunduran umat Islam bukan pada agamanya, melainkan pada sikap yang keliru dalam mengambil sesuatu yang datangnya dari Barat.
Menurut golongan Islam, kelemahan umat Islam selama ini tidak terletak pada shari’at. Tapi terletak pada shari’at yang tidak dijalankan oleh umat Islam terutama oleh Khalifah Usmani. Agar umat Islam tidak mundur, maka shari’at ini perlu dijalankan. Lebih lanjut, selama ini pemerintahan di Turki tidaklah dapat dikatakan pemerintahan Islam, karena nilai Islam tidak dijalankan dalam sistem kekhalifahan, jadi menurut golongan ini Kerajaan Usmani bukanlah kerajaan Islam.
Golongan Islam di sini amat kuat berpegang kepada prinsip tradisional tanpa mengadakan dan mencerna gagasan Barat. Dengan kata lain mereka kembali kepada dasar-dasar ajaran Islam baik Al-Qur’an maupun Hadith tanpa mengadakan interpretasi terhadap ajaran itu dan tidak pula mau menyesuaikannya dengan tuntutan zaman. Ciri khas demikian lebih banyak mewarnai gagasan-gagasan mereka, yang dianggap mewakili Islam tradisional.
Pemikiran yang cukup aktual pada masa itu adalah tentang pakaian wanita. Golongan Islam sangat anti dengan kebebasan pakaian wanita. Terkait dengan pakaian wanita, golongan ini tidak sependapat dengan konsep Barat yang menerapkan hak dan kewajiban wanita sama dengan laki-laki, sebagaimana dalam konsep emansipasi yang didengung-dengungkan. Tinggi rendahnya martabat wanita bukan terletak pada pakaian dan kebebasannya, melainkan pada ketaatannya menjalankan shari’at. Menurut Musa Kazim, seorang tokoh golongan ini, wanita tidak dapat diberikan status dan hak yang tinggi karena ia mempunyai emosional. Kalau wanita diberikan hak yang sama dengan laki-laki, sudah dapat dipastikan tiap wanita akan pergi ke Mahkamah menuntut perceraian, hal demikian akan membuka seluruh rahasia rumah tangga yang tadinya tersimpan rapi.[18]
Walaupun golongan Islam ini dianggap tradisional menurut penilaian Harun Nasution, namun mereka tidak pernah menolak kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang datangnya dari Barat. Mereka sependapat tentang masuknya pengetahuan umum dalam kurikulum sekolah madrasah. Walaupun demikian, mereka menolak konsep sekularisasi yang diterapkan melalui modernisasi pendidikan. Pendidikan yang diterapkan hendaknya mengacu kepada nilai-nilai Islam, tanpa itu kerontokan moral tidak mudah dapat dihindari. Hanya agamalah yang dapat menyelamatkan mereka dari dekadensi moral tersebut.[19]
Golongan Islam tidak menentang kemajuan ekonomi dan pemuka mereka, Ahmed Nazmi menganjurkan supaya umat Islam mempelajari dasar-dasar dan hukum ekonomi modern. Yang mereka tentang ialah faham kapitalisme dan individualisme yang terdapat di dalam sistem ekonomi Barat. Tetapi juga mereka menolak sosialisme dan komunisme, karena keduanya bersama dengan kapitalisme tergolong dalam hal-hal buruk yang ditimbulkan peradaban Barat. Bunga uang mereka samakan dengan riba, dan oleh karena itu masyarakat yang menghalalkan bunga uang, dalam pandangan mereka pasti akan runtuh dan hancur. Makin banyak praktek bunga uang dijalankan makin banyak kapital yang dimonopoli kaum kapitalis, dan makin meningkat kemiskinan dalam masyarakat demikian. Asuransi juga dianggap riba dalam bentuk lain oleh sebagian dari golongan Islam. Sebagian lain berpendapat bahwa asuransi membawa kepada kekufuran karena di dalam asuransi terdapat faham tidak percaya pada qadha dan qadhar Tuhan. Pembaharuan yang diingini golongan Islam amat terbatas. Mereka lebih banyak mempertahankan status quo daripada mengadakan perubahan dalam institusi-institusi tradisional Kerajaan Usmani.[20]
Dari uraian-uraian di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa pembaharuan yang dikehendaki golongan Islam ialah membuat Kerajaan Usmani sempurna sifat ke-Islamannya. Hukum yang dipakai di dalamnya harus hukum Islam dan pimpinan negara harus terletak di tangan kaum ulama
VI.        Nasionalisme
Aliran Nasionalisme ini adalah mereka yang sudah berusaha sekuat tenaga mencoba berbagai alternatif dalam memecahkan berbagai problema kehidupan rakyat Turki, dan bahkan mereka dianggap telah mengambil sintesis antara aliran westernisme dengan islamisme. Usaha ini mereka lakukan untuk kepentingan yang lebih mendesak mengingat terpecahnya berbagai golongan di Turki karena banyaknya kepentingan di antara rakyat.. Beberapa tokoh penting yang perlu dicatat antara lain: Yusuf Akcura (1876-1933), Zia Gokalp (1875-1924), dan Mustafa Kemal Attaturk (1881-1938).
Yusuf Akcura merupakan tokoh pembaharu yang mengedepankan pemikiran penghimpunan masyarakat Turki. Ia berusaha menyatukan visi masyarakat Turki baik yang ada di wilayah itu maupun mereka yang berada di Rusia (Kazan), Krimea dan Azarbaijin sebagai satu bangsa. Pada saat itu ada tiga kekuatan yang selalu berbeda di dalam kerajaan Usmani. Mereka dari golongan Islam, Rakyat Turki dan Rakyat bukan Islam. Bagi mereka ini yang terpenting menghidupkan perasaan nasional terhadap tanah airnya sendiri. Persatuan serupa hanya bisa kuat kalau mereka diikat oleh perasaan satu agama dan satu bangsa. Karena kesatuan demikian amat sulit sebab ada tantangan lain dari rakyat Rusia, maka yang perlu ditumbuhkan adalah sikap nasionalisme.
Ide demikian dikembangkan lagi oleh Zia Gokalp seorang yang dianggap pendiri Nasionalisme Turki. ia lahir di Diyabakr dan setelah menamatkan sekolah tinggi modern yang mengajarkan berbagai pengetahun umum termasuk bahasa Perancis, lalu memasuki Sekolah Dokter Hewan di Istambul. Pengetahuan agama Islam seperti bahasa Arab, filsafat, teologi dan tasawuf ia dapatkan dari pamannya.
Nasional yang dipahamkan  orang selama ini, menurutnya keliru. Perasaan nasional tumbuh selama ini hanya didasarkan atas bangsa, bukan berdasarkan kebudayaan. Kebudayaan sangat luas, dan bersifat unik, nasional dan subyektif. karena berdasarkan kebudayaan, maka Turki Usmani yang ada selama ini adalah bersifat nasional yang secara geografi terbatas pada wilayah kekuasaan Republik Turki saja.
Selama ini menurut Zia, kebudayaan Turki seperti masih kabur dan menghilang dikalahkan oleh kebudayaan Islam. Untuk dapat menumbuhkan kebudayaan Turki itu, rakyat Turki perlu mengikis tradisi-tradisi, konstitusi-konstitusi berdasarkan Islam yang selama ini dianggap banyak melahirkan kemunduran. Kebudayaan nasional pun akhirnya dapat dihidupkan.
Dalam kehidupan bernegara, Turki tidak perlu memakai shari’at Islam sebagai dasar negara. Negara hanya dapat berjalan berdasarkan perundangan negara bukan agama. Agama perlu dipisahkan secara tegas dari kepentingan negara, begitu juga sebaliknya. Secara administrasi, negara Turki perlu menata sistem pemerintahannya. Misalnya kekuasaan Shaikh al-Islam harus dihapuskan dan dikembalikan kepada parlemen, pemindahan Mahkamah Shari’at dari jurisdiksi Shaikh al-Islam kepada Kementerian Kehakiman, begitu juga pemindahan madrasah dari kekuasaan Shaikh itu kepada Kementerian Pendidikan. Walaupun Mahkamah Shari’at bisa diperlukan, namun fungsinya dialihkan kepada aktivitas muamalat semata. Jadi soal-soal diniah memang berada pada elite agama dan soal-soal kenegaraan berada pada  umara. Dengan demikian negara mutlak berdasarkan nilai-nilai sekuler.
Golongan Nasionalis, juga menolak pendapat para ulama tradisional tentang bunga bank. Menurut Mansurizade, salah seorang tokoh golongan ini, bunga bank itu tidak riba dan haram. Yang diharamkan dalam Al-Qur’an bukanlah penyewaan uang, tetapi penjualan uang. Riba baik di dalam Al-qur’an maupun dalam Hadith digambarkan sebagai soal jual beli. Imam-imam besar dalam mazhab fiqh buka di Bab riba, tapi di Bab Ijarah (sewa menyewa). Jadi yang diharamkan disini menjual uang bukan penyewaan atau peminjaman. Penyewaan dan peminjaman itu halal, yang diharamkan adalah riba.
Golongan nasionalis Turki juga mengingini pembaharuan dalam status kaum wanita. Wanita menurut Zia Gokalp diikut sertakan dalam pergaulan sosial dan kehidupan ekonomi. Juga mereka harus diberi hak yang sama dalam soal pendidikan, perceraian dan warisan. Poligami juga harus dihapuskan.[21]
Dalam bidang pendidikan, mereka berusaha menciptakan sistem pendidikan yang khusus sesuai dengan kebudayaan Nasional Turki sendiri yang berasaskan nilai-nilai sekuler modern, tidak berdasarkan Islam.[22]
Berbeda dengan tokoh-tokoh nasionalisme di atas, Mustafa Kemal Attaturk merupakan tokoh nasionalis yang berusaha menggabungkan semua kepentingan, baik Islam, Barat maupun perasaan keturkian. Walaupun ide keislaman yang paling terkebelakang dalam perimbangan kepentingan dibandingkan dengan ide-ide nasionalisme dan ide Barat, namun Islam tetap menjadi bagian yang tak terpisahkan dari pemikiran Mustafa Kemal Attaturk.
Ide-ide pembaharuan Attaturk merupakan penggabungan dari nilai Islam, westernisasi, dan nasionalisme. Walaupun yang paling menonjol adalah usaha westernisasi dengan ditopang oleh nasionalisme yang kokoh. Dalam persoalan bernegara, ia memang berusaha membangun suatu konstitusi baru.
 Apa yang dilakukan oleh Attaturk dalam proyek westernisasi dan sekularisasinya, sebenarnya secara formal hanya meneruskan ide-ide para nasionalis dan westernisasi sebelumnya. Namun langkah-langkah yang diambilnya lebih praktis, karena ia memakai kekuasaan. Sebagai pemimpin tertinggi Turki pada masa itu, program pembaharuannya walaupun mendapat tantangan dari golongan ulama tradisional namun ia tetap berpegang teguh kepada rancangan yang sudah ditetapkan.
Walaupun Republik Turki berusaha menjadi negara sekuler, namun sesungguhnya ia masih belum sepenuhnya menjadi sekuler. Menurut Harun Nasution, Attaturk sungguh pun berusaha mambangun Turki modern sebagaimana negara Barat, namun ia tidak sampai menghilangkan agama. Dengan kata lain agama masih diperhatikan oleh agama.
Attaturk memang sangat melarang sesuatu yang berbau agama, terutama yang berhubungan dengan negara, seperti sebutan Turki sebagai negara Islam, para ulama yang mempunyai wewenang dan kekuasaan mengurusi negara dengan dasar keulamaannya. Selain itu, ia juga melarang partai-partai yang mengatasnamakan agama, seperti Partai Islam, Partai Kristen, dan sebagainya. Segala yang berhubungan dengan kepentingan negara mesti dibebaskan dari pengaruh dan kekuasaan agama.
Terkait dengan kedudukan Attaturk sebagai seorang perancang negara yang sekularistik, ternyata jiwanya boleh dianggap sebagai seorang yang kuat dalam memahami Islam. Menurutnya, Islam adalah agama yang rasional yang sangat diperlukan oleh umat Islam. Tapi agama yang rasional ini telah dirusak oleh umatnya. Oleh sebab itu ia melihat perlu diadakan pembaharuan keagamaan. Al-Qur’an menurutnya perlu diterjemahkan ke dalam bahasa Turki supaya mudah dipahami.
Ide-ide yang dikemukakan Attaturk dianggap sebagai pemikiran yang radikal pada saat itu. Namun nyatanya, dalam proses  dan perkembangan eksistensi tiga golongan gerakan pembaharuan yang ada di Turki, maka dua kekuatan (Islam dan Barat) dianggap gagal memenuhi hasrat rakyat Turki. Kendati masyarakat Turki lebih banyak beragama Islam, namun dasar-dasar gerakan yang menamakan ”Islam” sebagai basis kekuatan nampaknya begitu kaku dan amat tradisional. Bahkan terkesan hanya sekedar label Islamnya, namun intinya berisi ”kekuatan lama” yang ditunggangi oleh kekuatan khalifah Usmani. Sedangkan kelompok Barat, dinilai tidak mengakar pada khazanah peradaban Turki, hanya lebih terfokus pada Baratnya sebagai nilai.
Dengan ini Attaturk, yang dalam banyak hal memang mengambil dasar-dasar pemikiran Barat sebagai inspirasi pembaharuannya. Namun ia bisa menumbuhkan semangat nasionalisme (peradaban Turki) dalam berbagai dimensi, sehingga dengan secara sadar rakyat Turki lebih memilih model yang ditawarkan Attaturk.
Hal lain yang menguntungkan, menurut Harun Nasution, bahwa saat itu model argumen nasionalisme sebagai motivasi kebangkitan hidup bernegara di sebagian besar negara Islam dianggap trendi dan mampu menarik simpati. Sehingga manakala nasionalisme dijadikan isu gerakan berbangsa-bernegara, tentu saja membuat banyak negara Islam akan mencoba gaya baru isu kenegaraan tersebut. Selebihnya, tentu saja karena rangsangan kebangkitan nasionalisme itu didorong oleh penjajahan Barat yang saat itu dianggap maju, dari kesadaran tentang kemajuan Barat itu. Tumbuh cita-cita ingin mengambil sesuatu yang positif dari negara maju (Barat) tersebut. Situasi demikian sedang melanda sebagian besar negara Islam bahkan negara yang bukan Islam di Timur. Jadi, ide nasionalisme dan pembaharuan inilah yang menjadi daya tarik gagasan Attaturk sehingga mampu mengalahkan saingan-saingannya terutama di kalangan ulama dan penguasa Usmani.
VII.      Penutup
Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa baik golongan Barat maupun golongan Nasionalis Turki tidaklah mengabaikan Islam dalam pemikiran pembaharuan mereka. Keduanya mengingini pembaharuan dalam Islam dan bukan di luar Islam. Dalam hal ini mereka sefaham dengan golongan Islam. Perbedaan mereka dengan golongan Islam ialah bahwa golongan Islam dalam pembaharuan bersifat tradisional, sedangkan golongan lainnya bersifat modernis, ingin mempertahankan tradisi dalam Islam.
Golongan Barat dan nasionalis Turki, walaupun telah banyak dipengaruhi oleh ide sekuler Barat, tetapi karena masih terikat pada agama, tidak berhasil merubah Kerajaan Usmani menjadi negara sekuler. Walau pembaharuan yang mereka kehendaki bersifat radikal, tetapi dalam keradikalan itu mereka tidak berniat menentang agama. Dengan kata lain pembaharuan mereka, kendatipun kelihatan radikal, masih diusahakan supaya tidak ke luar dari Islam.




* Mahasiswi Program Pasca Sarjana IAIN Sunan Ampel Surabaya Konsentrasi Pemikiran Islam, NIM F05411 061.
[1] Turki  Usmani  sebagai sebuah sistem kenegaraan tidak bisa dipisahkan dari sejarah masa lalu di wilayah yang kelak menjadi pusat dari pemerintahan Turki  Usmani . Yaitu Byzantium, dan sebelum berdirinya Turki  Usmani , di wilayah tersebut pernah berkuasa Kerajaan Romawi, setelah kerajaan ini surut maka muncullah Kerajaan Romawi Timur (Byzantium), secara tidak langsung kehadiran orang-orang pengembara Turki  Seljuk (Suku Bangsa yang melahirkan Kerajaan Turki  Usmani ) di wilayah tersebut setelah mendapatkan pancaran cahaya Islam ingin menguasai daerah itu karena memang letaknya sangat strategis. Baik Turki  Usmani  maupun Byzantium selalu merasa sebagai pewaris dari Kekaisaran Romawi kuno. Terkait apakah Turki  Usmani  menganut sistem kekhilafahan, bila ditengok kembali kepada sirah nabawiah, dimana pengangkatan 4 khalifah pertama Umat Muslim itu jauh dari kesan pewarisan takhta Kerajaan. Dan yang memulai sistem itu dalam tatanan Islam adalah dinasti Muawiyyah.. dilanjutkan oleh Abbasiyah dan seterusnya. Sebagaimana yang dikemukakan oleh para sejarawan, bahwa sistem yang digunakan oleh dinasti-dinasti tersebut (termasuk Turki  Usmani ) adalah perpaduan antara sistem kerajaan dengan sistem Islam. Dan  tidak dipungkiri jika Turki  Usmani  menganut sistem kekhalifahan namun perlu diperhatikan juga bahwa penyebutan bagi kekuasaan Turki  Usmani  itu ada tiga macam, selain Kerajaan, dinasti ini pun disebut Kesultanan, dan tentu Kekhalifahan. Setuju atau tidak setuju penyebutan Turki  Usmani  entah sebagai sebuah kerajaan, kesultanan ataupun Kekhalifahan kembali kepada kecenderungan seorang sejarawan

[2] Erik J.Zurcher, Turkey A Modern History, (London-New York: I.B. Taris & Co.Ltd, 1994),21-35 dan 78-79.
[3] Philip K.Hitti, History of the Arab, Cet 10, (New York: Mac Milan, 1976), 717-722.
[4] Satria Effendi M Zein, Munawir Sjadzali dan Reaktualisasi Hukum Islam di Indonesia, dalam Muhammad Wahyu Nafis, dkk, Konstektualisasi Ajaran Islam : 70 Tahun Prof.Dr.H.Munawir Sjadzali, M.A, (Jakarta : IPHI-Paramadina, 1995), 287.
[5] Must}afa Ahmad al-Zarqa’, Madkhal al-Fiqhi> al-‘A<mi>, Jilid I, (Damaskus : Dar al-Fikr, 1968), 186-187.
[6] Satria Effendi M Zein, Munawir Sjadzali dan Reaktualisasi Hukum Islam di Indonesia,288-289.
[7] Stanford J.Shaw dan Ezel Karol Shaw, History of the Ottoman Empire and Modern Turkey, (London : Cambridge University Press, 1992), 114-119.
[8] Erik J.Zurcher, Turkey A Modern History, 64.
[9] Abdul Sani, Lintasan Sejarah Pemikiran Perkembangan Modern Dalam Islam, (Jakarata : Raja Grafindo Persada, 1998), 110.
[10] Musyrifah Sunanto, Sejarah Peradaban Islam Indonesia, (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2005), 304.
[11] Abdul Sani, Lintasan Sejarah Pemikiran Perkembangan Modern Dalam Islam, 116 – 117.
[12] Ibid, 117.
[13] Harun Nasution, Pembaharuan Dalam Islam Sejarah Pemikiran dan Gerakan, (Jakarta : Bulan Bintang, 1996), 134.
[14] Ibid, 138.
[15] Abdul Sani, Lintasan Sejarah Pemikiran Perkembangan Modern Dalam Islam, 117-118.
[16] Ibid, 119.
[17] Ibid, 112.
[18] Ibid, 114.
[19] Ibid, 115.
[20] Harun Nasution, Pembaharuan Dalam Islam Sejarah Pemikiran dan Gerakan, 140.
[21] Gibb, Aliran-Aliran Modern Dalam Islam, (Jakarta : Rajawali Pers, 1993), 73.
[22] Thalhas, Asal-Usul Dua Kutub Gerakan Islam, (Jakarata : Galura Pase, 2002), 18.

Gibb, Aliran-Aliran Modern Dalam Islam, (Jakarta : Rajawali Pers, 1993).
Hitti, Philip K., History of the Arab, Cet 10, (New York: Mac Milan, 1976).
Nasution, Harun, Pembaharuan Dalam Islam Sejarah Pemikiran dan Gerakan, (Jakarta : Bulan Bintang, 1996).
Sani, Abdul Lintasan Sejarah Pemikiran Perkembangan Modern Dalam Islam, (Jakarata : Raja Grafindo Persada, 1998).
Shaw, Stanford J. dan Ezel Karol Shaw, History of the Ottoman Empire and Modern Turkey, (London : Cambridge University Press, 1992).
Sunanto, Musyrifah, Sejarah Peradaban Islam Indonesia, (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2005).
Thalhas, Asal-Usul Dua Kutub Gerakan Islam, (Jakarata : Galura Pase, 2002).
Zein, Satria Effendi M, Munawir Sjadzali dan Reaktualisasi Hukum Islam di Indonesia, dalam Muhammad Wahyu Nafis, dkk, Konstektualisasi Ajaran Islam : 70 Tahun Prof.Dr.H.Munawir Sjadzali, M.A, (Jakarta : IPHI-Paramadina, 1995).
al-Zarqa’, Must}afa Ahmad, Madkhal al-Fiqhi> al-‘A<mi>, Jilid I, (Damaskus : Dar al-Fikr, 1968).
Zurcher, Erik J., Turkey A Modern History, (London-New York: I.B. Taris & Co.Ltd, 1994).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar