Selasa, 24 November 2015

Ibnu Miskawaih dan Konsep Pemikiran Filsafatnya “ Jiwa dan Etika” (Filsafat Islam)

Ibnu Miskawaih dan Ibnu Miskawaih dan Konsep Pemikiran Filsafatnya “ Jiwa dan Etika”

Abstrak
Filsafat etika yang dipopulerkan oleh Ibn Miskawaih adalah filsafat etika yang berdasarkan pada doktrin jalan tengah. Doktrin jalan tengah (al-wasat}) yang dalam Bahasa Inggris dikenal dengan istilah The Doctrin of The Mean atau The Golden. Ibn Miskawaih secara umum memberi pengertian pertengahan (jalan tengah) tersebut antara lain dengan keseimbangan, moderat, harmoni, utama, mulia, atau posisi tengah antara ekstrem kelebihan dan ekstrem kekurangan masing-masing jiwa manusia. Singkat kata Etika berasal dari jiwa, maka yang harus diketahui terlebih dahulu oleh pengkaji etika adalah spesifikasi-spesifikasi jiwa. Ibnu Miskawaih menyebut kekuatan jiwa, sebagaimana yang dikatakan Plotinus, keutamaan-keutamaan yang berkaitan dengannya, dan keburukan-keburukan yang dihadapinya

Kata Kunci: Etika, Doktrin Jalan Tengah, Jiwa

I.             Pendahuluan
Etika dan jiwa merupakan salah satu pokok bahasan dalam filsafat. Etika merefleksikan bagaimana manusia harus hidup agar ia berhasil sebagai manusia. Karena itu tidak mengherankan bahwa hampir semua filsuf besar juga menulis dalam bidang etika.
Begitu beragam dan banyaknya para tokoh yang menulis mengenai filsafat yang sampai saat ini diakui lahir  di Yunani atau yang akrab disebut filsafat Barat, mereka para filosof semua bertanya bagaimana manusia harus membawa diri agar ia mencapai potensialitasnya yang tertinggi, agar kehidupannya betul-betul bermutu. Ada yang semata-mata focus pada dunia ini, dan ada yang pikirannya terarahkan kepada Yang Ilahi, ada yang menuntut ketegasan hati dan keberanian, ada yang mencari kebahagiaan, dan ada yang menekankan kewajiban.
Mengapa etika dan jiwa dibahas dalam filsafat dan disepakati merupakan cabang filsafat, etika dalam cabang filsafat tidak mempersoalkan keadaan manusia, melainkan mempersoalkan bagaimana manusia harus bertindak, tetapi tindakan manusia berkaitan dengan keadaan manusia itu, keadaan manusia itu sendiri dimaknai jiwa, berarti etika dan jiwa merupakan dua hal yang saling berkaitan. Bahkan dipahami bahwasanya etika lahir dari jiwa.
Pemikir Islam yang mewakili intelektual Islam dan membahas tentang filsafat etika dan mengkaitkannya dengan jiwa atau memaknainya etika lahir dari jiwa yaitu, Ibn Miskawaih pemikir yang yang cukup popular buah karyanya, beliau membahas cukup lengkap tentang etika, bahkan seorang hujjatul Islam Imam Al-Ghazali (450 H – 520 H/ 1058 M – 1128 M), yang tidak diragukan lagi pikiran-pikiran beliau dan bertebaran dalam karya-karya beliau yang cukup banyak dan terkenal di seluruh dunia terinspirasi oleh Ibn Miskawaih dalam pembahasannya tentang etika yang beliau amini juga merupakan cabang dari filsafat.
II.           Biografi
Nama lengkap Ibnu Miskawaih adalah Abu Ali Ahmad Ibn Muhammad Ibn Ya’qub Ibnu Miskawaih. Beliau lahir di kota Ray – Iran (sekarang kota Teheran)  pada 320 H (932 M) dan wafat di Asfarah pada 9 Safar 421 H (16 Februari 1030 M). Beliau belajar sejarah kepada Abu Bakar Ahmad ibn Kamil al-Qad{i (350/960) tentang buku Tarikh al-T{abari, dan belajar filsafat kepada Ibn al-Khammar, seorang komentator terkenal mengenai filsafat Aristoteles (seorang filosof Yunani 384 – 322 s.M).[1]
Sebelum memeluk agama Islam beliau beragama Majusi, hal ini berdasarkan penjelasan Jurji Zaidan bahwa beliau adalah seorang Majusi, kemudian memeluk Islam.[2] Berbeda dengan pendapat  Yaqut bahwa sebenarnya ayahnyalah yang mula-mula beragama Majusi kemudian memeluk Islam, karena Ibnu Miskawaih sendiri, sebagaimana tercemin pada namanya adalah putra seorang Muslim, yang bernama Muhammad.[3] Begitu pula dengan apa yang dikatakan oleh pengarang Dairah al-Ma’arif al-Islamiyyah bahwa neneknyalah yang Majusi, kemudian memeluk Islam. Artinya Ibnu Miskawaih sendiri lahir dalam keluarga Islam.
Ibn al-Khammar, mufasir kenamaan karya-karya Aristoteles, adalah gurunya dalam ilmu-ilmu filsafat. Ibnu Miskawaih mengkaji ilmu kimia bersama abu al-T{ayyib al-Razi, seorang ahli kimia. Dari beberapa pernyataan Ibnu Sina dan al-Tauhidi tampak bahwa mereka berpendapat bahwa beliau (Ibnu Miskawaih) tidak mampu berfilsafat. Iqbal, sebaliknya, menganggapnya sebagai salah seorang pemikir teitis, moralis dan sejarawan Paris paling terkenal.
Ibnu Miskawaih pada dasarnya adalah ahli sejarah dan moralis. Beliau juga seorang penyair.  Beliau tertarik kepada ilmu kimia bukan demi ilmu, tetapi demi emas dan harta, dan beliau sangat mengabdi kepada guru-gurunya. Tetapi Yaqut menyebutkan bahwa pada tahun-tahun kemudian dia berupaya mengikuti lima belas pokok petunjuk moral. Kesederhanaannya dalam melayani nafsu, ketegaran dalam menundukkan diri yang serakah dan kebijakan dalam mengatur dorongan-dorongan yang tidak rasional merupakan pokok-pokok petunjuk ini. Dia sendiri berbicara tentang perubahan moral dalam bukunya Tahdhib al-Akhlaq, yang menunjukkan bahwa beliau melaksanakan dengan baik apa yang telah ditulisnya tentang etika.
Beliau juga diduga beraliran Shi’ah, karena sebagain besar usianya dihabiskan untuk mengabdi kepada Al-Muhallabi, wazirnya pangeran Buwaihi yang bernama Mu’iz al-Daulah di Baghdad. Setelah wafatnya Al-Muhallabi pada 352 H (963 M), dia berupaya dan akhirnya diterima oleh Ibn al-‘Amid, wazirnya saudara Mu’iz al-Daulah yang bernama Rukn al-Daulah yang berkedudukan di Ray. Ibn al-‘Amid sendiri adalah seorang yang amat pandai dan tokoh sastra terkemuka. Selama tujuh tahun mengabdi sebagai pustakawan (khazin, yaitu penjaga perpustakaan besar yang menyimpan banyak rahasia) Ibn al-‘Amid, dia dapat menuntut ilmu, dapat memperoleh banyak hal positif berkat bergaul dengan pangeran ini, dan mendapat kedudukan berpengaruh di Ibu Kota Provinsi Buwaihi itu. Setelah Ibn al-‘Amid wafat pada 360 H (970 M), Ibnu Miskawaih tetap mengabdi kepada putranya yang bernama Abu al-Fath yang menggantikan Ibn al-‘Amid sebagai wazirnya Rukn al-Daulah dan yang juga terkenal pintar dalam bidang sastra. Ibnu Miskawaih tetap menduduki posisi ini sampai Abu al-Fath dipenjarakan dan wafat pada 366 H (976 M) dan Abu al-Fath digantikan oleh musuhnya, wazir terkemuka dan ahli sastra, Al-Shahib ibn ‘Abbad. Lalu Ibnu Miskawaih meninggalkan Ray menuju Baghdad dan mengabdi kepada istana pengeran Buwaihi, ‘Ad{u al-Daulah. Ibnu Miskwaih mengabdi kepada pangeran ini sebagai bendaharawan dan juga memegang jabatan-jabatan lain. Setelah pangeran wafat pada 372 H (983 M), Ibnu Miskawaih tetap mengabdi kepada para pengganti pangeran ini, Shamshu al-Daulah (388 H/998 M), dan Baha’ al-Daulah (403 H/1012 M) dan naik selama priode Baha’ al-Daulah ke posisi yang amat prestisius dan berpengaruh. Dia mencurahkan tahun-tahun terkhir dari hidupnya untuk studi dan menulis.[4]
Ibnu Miskawaih hidup pada masa Dinasti Buwaihi dari ragkaian kekhilafan Abbasiyah yang situasi sosial politiknya tergambar sebagai berikut. Pada periode 945-967 M merupakan masa kejayaan dan kemapanan. Dari tahun 967-1012 terjadi masa stagnasi dan kefakuman karena adanya perebutan kekuasaan sesama keluarga. Dalam periode 1012-1055 M Dinasti Buwaihi memasuki fase kemunduran dan kehacuran.
Dinasti Buwaihi sebagai rangkaian dari kekhilafahan Abasiyah mencurahkan perhatian besar terhadap ilmu pengetahuan dan kesusateraan. Pada masa ini muncul ilmuwan-ilmuwan besar seperti Istakhari ahli ilmu bumi, Nasawi ahli matematika, Al-Farabi (w. 950 M), Ibn Sina (w. 1037 M), Al-Farghani Abd al-Rahman al-S{ufi (w. 986 M), Abu al-’Ala al-Ma’arri (w. 1057 M) dan kelompok Ikhwan al-S{afa
III.         Karya Penting Ibnu Miskawaih
Ibnu Miskawaih memiliki keahlian dalam berbagai bidang ilmu. Ia telah menulis 41 buah buku dan artikel yang selalu berkaitan dengan filsafat akhlak. Dari 41 karyanya itu, 18 buah dinyatakan hilang, 8 buah masih berupa manuskrip, dan 15 buah sudah dicetak, diantara karyanya  adalah sebagai berikut
1.            Al-Fauz Al-Ashgar (tentang Ketuhanan, Jiwa, dan Kenabian; Metafisika)
2.            Al-Fauz Al-Akbar (tentang Etika)
3.            T{abarat Al-Nafs (tentang Etika)
4.            Tahdhib Al-Akhlaq wa Tat}hir Al-‘Araq (tentang Etika)
5.            Tartib Al-Sa’adat (tentang Etika dan Politik terutama mengenai pemerintahan Bani ‘Abbas dan Bani Buwaih)
6.            Tajarib Al-Umam (tentang sejarah yang berisi peristiwa-peristiwa sejarah sejak setelah air bah Nabi Nuh hingga tahun 369 H)
7.            Al-Jami’ (tentang Ketabiban)
8.            Al-Adwiyah (tentang Obat-obatan)
9.            Al-Ashribah (tentang minuman)
10.        Al-Mustaudi / Al-Mustaufa (tentang kumpulan syair-syair pilihan)
11.        Maqalat fi Al-Nafsi wa Al-‘Aql (tentang Jiwa dan Akal)
12.        Jawizan Khard –akal abadi- (tentang pemerintahan dan hukum yang berlaku di Arab, Persia, India, dan Romawi)
13.        Uns al-Farid (tentang koleksi anekdok, syair, pribahasa, dan kata-kata hikmah)
14.        Al-Siyar (tentang tingkah laku kehidupan)
15.        On The Simple Drugs (tentang Kedokteran)
16.        On The Composition of The Bajats (tentang seni memasak)
17.        Risalah fi al-Lazzah wa al-Alam fi Jauhar al-Nafs
18.        Ajwibah wa As’ilah fi al-Nafs wa al-Aql
19.        Al-Jawab fi al-Masa’il al-Thalath (tentang Naskah di Teheran (Ray), Fihrist Maktabat al-Majlis, II, No. 634)
20.        Risalah fi Jawab fi Su’al Ali Ibn Muhammad Abu Hayyam al-S{ufi fi Haqiqah al-‘Aql (tentang Perpustakaan Mashhad di Iran, No. 43)
21.        T{aharah al-Nafs (Naskah di Koprulu, Istanbul, No. 767)
Mengenai urutan karya-karyanya, kita hanya tahu dari Ibnu Miskawaih sendiri bahwa al-Fauz al-Akbar ditulis setelah al-Fauz al-Asghar, dan Tahdhib al-Akhlaq ditulis setelah Tartib al-Sa’adah.[5]
IV.        Konsep Pemikiran Ibnu Miskawaih
Dari karya-karya yang telah dihasilkan oleh Ibnu Miskawaih, bisa kita simpulkan bahwa ia adalah seorang yang lihai dalam masalah etika. Sehingga ia dijuluki sebagai Bapak Etika Islam.
Ibnu Miskawaih memang memiliki beberapa konsep pemikiran yang cukup hebat, seperti pemikirannya tentang konsep filsafat, metafisika, etika, filsafat politik dan lain sebagainya. Namun, menurut hemat kami, yang paling menarik untuk diperbincangkan adalah beberapa pokok pemikiran Ibnu Miskawaih berikut ini:
1.            Jiwa (النفس)
Menurut Ibnu Miskawaih, jiwa manusia mempunyai tiga kekuatan yang bertingkat- tingkat sesuai dengan urutan sebagai berikut:[6]
a)      Al- Nafs al- Bahimiyah (nafsu kebinatangan) yang buruk, manusia mempunyai sifat-sifat; ujub (pongah), sombong, mengolok-olok, penipu dan hina dina.
b)      Al Nafs al- Sabu’iah (nafsu binatang buas) yang sedang.
c)      Al Nafs al- Nathiqah ( jiwa yang cerdas) yang baik,  manusia mempunyai sifat-sifat yang adil, harga diri, berani, pemurah, benar dan cinta.
Jiwa, menurut Ibnu Miskawaih adalah Jauhar Rohani yang kekal, tidak hancur dengan sebab kematian jasad. Jiwa dapat menangkap keberadaan dzatNya dan mengetahui tentang keaktivitasannya. Sebagai argumennya, bahwa jiwa dapat menangkap bentuk sesuatu yang berlawanan dalam waktu yang bersamaan, seperti warna hitam dan putih, sedangkan jasad tidak dapat melakukan demikian. Bahkan menurut Ibnu Miskawaih, kebahagiaan dan kesengsaraan di akhirat nanti hanya dialami oleh jiwa saja, karena kelezatan jasmani bukanlah kelezatan hakiki.[7]
jiwa berasal dari limpahan Akal Aktif. Jiwa bersifat rohani, suatu substansi yang sederhana yang tidak dapat diraba oleh salah satu panca indera dan tidak bersifat material. Dengan adanya kemungkinan jiwa dapat menerima gambaran- gambaran tentang  banyak hal yang bertentangan satu sama lain. Lebih dari itu, didalam jiwa terdapat daya pengenalan akal yang tidak didahului dengan pengenalan inderawi. Dengan daya pengenalan akal itu, jiwa mampu membedakan antara yang benar dan yang tidak benar berkaitan dengan hal- hal yang diperoleh panca indera.[8]
Terkait dengan permasalahan jiwa seperti dijelaskan di atas, jiwa memiliki tiga daya, yaitu daya berpikir (nat}iqoh), daya keberanian (Shaja’ah), dan daya keinginan. Dari ketiga daya tersebut lahirlah masing-masing sifat kebaikan, yaitu hikmah, keberanian, kesederhanaan. Bila ketiga sifat kebajikan tersebut berjalan serasi, maka akan lahirlah sifat kebaikan keempat, yakni adil.
Karena Etika berasal dari jiwa, maka yang harus diketahui terlebih dahulu oleh pengkaji etika adalah spesifikasi-spesifikasi jiwa. Ibnu Miskawaih menyebut kekuatan jiwa, sebagaimana yang dikatakan Plotinus, keutamaan-keutamaan yang berkaitan dengannya, dan keburukan-keburukan yang dihadapinya.[9]
2.            Etika
Menurut Ibnu Miskawaih, moral atau akhlak adalah suatu sikap mental (hal li al-nafs) yang mengandung daya dorong untuk berbuat tanpa berpikir dan pertimbangan. Sikap mental ini terbagi dua; ada yang berasal dari watak dan ada pula yang berasal dari kebiasaan dan latihan. Dengan demikian, sangat penting menegakkan akhlak yang benar dan sehat. Sebab dengan landasan yang begitu akan melahirkan perbuatan-perbuatan baik tanpa kesulitan.[10]
Kata Akhlak adalah bentuk jamak (plural) dari kata Khuluk. Ibnu Miskawaih memberikan pengertian khuluk sebagai berikut: “Khuluk adalah peri keadaan jiwa yang mendorongnya untuk melakukan perbuatan-perbuatan tanpa dipikirkan dan diperhitungkan sebelumnya”.[11] Konsep ini senada dengan konsep akhlak yang diajukan oleh Imam Al-Ghozali dalam kitabnya, Ihya’ Ulum al-Diin.
Ibnu Miskawaih dalam hal ini, menolak pendapat sebagian pemikir Yunani yang mengatakan akhlak yang berasal dari watak yang tidak mungkin berubah. Oleh sebab itu Ibnu Miskawaih menegaskan kemungkinan perubahan akhlak itu terutama melalui pendidikan. Dengan demikian, dapat kita jumpai ditengah masyarakat ada orang yang memiliki akhlak yang dekat kepada malaikat dan apa pula yang lebih dekat kepada hewan.
Untuk itu, sangat dimungkinkan manusia mengalami perubahan-perubahan khuluk, dan dari segi inilah maka diperlukan adanya aturan-aturan shariat, diperlukan adanya nasihat-nasihat dan berbagai macam ajaran adab sopan santun.
3.            Masalah – Masalah Pokok Dalam Kajian Filsafat Etika Ibnu Miskawaih
3.1         Kebahagiaan (السعادة)
Ibnu Miskawaih memulai pembahasan etikanya dengan menganalisa kebahagiaan dan mendefinisikan kebaikan tertinggi guna menyimpulkan kebahagiaan manusia selaku manusia. Kebahagiaan dimaksud harus menjadi tujuan tertinggi dengan sendirinya, kerana berhubungan dengan akal, suatu hal yang paling mulia pada manusia.
Beliau membedakan antara al-khair (kebaikan) dan al-sa’adah (kebahagiaan). Kebaikan menjadi tujuan semua orang; kebaikan umum bagi seluruh manusia dalam kedudukan sebagai manusia. Sedang kebahagiaan adalah kebaikan bagi seseorang, tidak bersifat umum, tetapi relatif bergantung kepada orang per-orang. Dengan demikian, kebaikan mempunyai identitas tertentu, sedangkan kebahagiaan berbeda-beda bergantung kepada orang-orang yang berusaha memperolehnya.
Pengertian kebahagiaan telah dibicarakan oleh pemikir-pemikir Yunani yang pokoknya terdapat dua versi, yaitu: Pandangan pertama yang diwakili oleh Plato, mengatakan bahwa hanya jiwalah yang dapat mengalami kebahagiaan. Karena itu, selama manusia masih hidup atau selama jiwa masih terkait dengan badan, maka selama itu pula tidak akan diperoleh kebahagiaan itu. Sedangkan pandangan kedua diwakili oleh Aristoteles, mengatakan bahwa kebahagiaan itu dapat dinikmati oleh manusia di Dunia, kendatipun jiwanya masih terkait dengan badan. Hanya saja kebahagiaan itu berbeda menurut masing-masing orang. Seperti orang miskin memandang kebahagiaan itu pada kekayaan, dan orang sakit pada kesehatan, dan seterusnya.[12]
Ibnu Miskawaih menengahi kedua pendapat yang tidak selaras tersebut. Menurutnya, karena pada diri manusia ada dua unsur, yaitu jiwa dan badan, maka kebahagiaan itu meliputi keduanya. Kebahagiaan itu ada dua tingkat. Pertama, ada manusia yang terkait dengan hal-hal yang bersifat benda dan mendapat kebahagiaan dengannya, namun ia tetap rindu akan kebahagiaan jiwa, lalu berusaha memperolehnya. Kedua, manusia yang melepaskan diri dari keterikatannya kepada benda dan memperoleh kebahagiaan lewat jiwa. Kebahagiaan yang bersifat benda tidak diingkarinya, tetapi dipandangnya sebagai tanda-tanda kekuasaan Allah.
Sebagaimana Aristoteles, beliau mengelompokkan kebahagiaan, tetapi menambahnya secara lebih terperinci, yang mungkin diambil dari komentar Porphyry. Pengelompokan ini terdiri atas Kesehatan, Kekayaan, Kemasyhuran dan kehormatan, Keberhasilan, dan Pemikiran yang baik.
Menurut Ibnu Miskawaih, kebahagiaan tertinggi itu tidak lain adalah kebijaksanaan yang menghimpun dua aspek yaitu aspek teoritis yang bersumber kepada kontinuitas pikir akan hak-hak wujud, dan aspek praktis yang berupa keutamaan jiwa yang mampu melahirkan perbuatan yang baik.[13]
Disini, beliau menekankan bahwa hakikat manusia adalah makhluk sosial.  Pendiriannya tentang etika pun menekankan bahwa manusia jangan hanya memperhatikan dirinya sendiri, memperbaiki akhlaknya sendiri saja, tetapi juga harus memperhatikan orang lain. Akhlak masyarakat hendaknya diusahakan juga agar menjadi baik. Cinta kepada keutamaan hendaknya diusahakan juga bisa tersosialisasikan dalam masyarakat.
3.2         Keutamaan (الفضيلة)
Tentang keutamaan (al-fad}ilah), Ibnu Miskawaih berpendapat bahwa asas semua keutamaan adalah cinta kepada semua manusia (mahabbah al-insan li al-nas kaffah). Tanpa cinta yang demikian, suatu masyarakat tidak mungkin ditegakkan. Manusia tidak akan sampai kepada tingkat kesempurnaannya kecuali dengan memelihara jenisnya serta menunjukkan pengertiannya terhadap sesama jenisnya.[14]
Berdasarkan klasifikasi jiwa sebagaimana dipaparkan di atas, maka keutamaan-keutamaan jiwa itu ada empat macam, yaitu hikmah (wisdom), ‘iffah (kesucian), shaja’ah (keberanian), dan ‘adalah (keadilan). Kebijaksanaan adalah keutamaan  jiwa cerdas. Kesucian adalah keutamaan nafsu syahwat, keutamaan lahir jika manusia dapat menyalurkan syahwatnya sejalan dengan pertimbangan akal yang sehat, hingga ia bebas dari perbudakan syahwatnya. Keberanian adalah keutamaan jiwa ghadhabiyah (sabu’iyah), keutamaan ini timbul jika manusia dapat menundukkannya kepada jiwa, nat}iqah dan menggunakannya sesuai dengan tuntutan akal sehat dalam mengahadapi perkara-perkara yang besar. Keadilan adalah keutamaan jiwa yang terjadi dari kumpulan tiga macam keutamaan tersebut di atas di saat terjadi keselarasan antara keutamaan-keutamaan itu.
Akan tetapi, keutamaan bukanlah suatu yang bersifat alami dalam diri manusia, tetapi harus diusahakan. Karenanya, adalah suatu kewajiban untuk mengajarkan dasar-dasar pengetahuan dan pergaulan. Pengetahuan yang paling tepat bagi anak kecil (awam) adalah syariat. Sebab hal itu adalah kewajiban guna menerima kebijaksanaan dan mencari keutamaan dan kebahagiaan.[15]

3.3         Kebaikan (الخير)
Kebaikan adalah suatu keadaan di mana kita sampai kepada batas akhir dan kesempurnaan wujud. Kebaikan adakalanya umum, dan adakalanya khusus. Di atas semua kebaikan itu terdapat kebaikan mutlak yang identik dengan Wujud Tertinggi. Semua bentuk kebaikan secara bersama-sama berusaha mencapai Kebaikan Mutlak tersebut. Kebaikan umum adalah berusaha mencapai kebaikan bagi seluruh manusia dalam kedudukannya sebagai manusia. Sedangkan kebaikan khusus adalah kebaikan bagi seseorang secara pribadi. Kebaikan dalam bentuk yang disebut terakhir inilah yang dinamakan kebahagiaan.[16] Dengan demikian, antara kebaikan dan kebahagiaan dapat dibedakan. Kebaikan mempunyai identitas tertentu yang berlaku umum bagi manusia, sedangkan kebahagiaan berbeda-beda bergantung pada orang-orang yang berusaha memperolehnya.
4.            Makna Filosofis Manusia
Diantara kontribusi pemikiran Ibnu Miskawaih terhadap konsep keislaman adalah penjelasannya tentang makna filosofis kata al-insân (hal ini ia paparkan dengan sangat mendetail dalam kitabnya “Tahdhibul Akhlaq“). Ia berpendapat bahwa kata al-insân (yang berarti manusia dalam bahasa Indonesia) berasal dari kata al-Uns yang berarti Intimacy (keintiman), atau dalam kamus kontemporer Hans Wehr, kata al-uns berarti sociability, dan familiarity. Dengan kata lain, manusia adalah makhluk sosial yang secara alami memiliki hubungan keintiman dan kekeluargaan antara satu sama lain.[17]
Begitu banyak dari para ilmuwan di dunia yang berpendapat bahwa manusia adalah makhluk sosial. Tapi, yang menarik dari penjelasan Ibn Miskawaih adalah, ia mampu memberikan pemahaman konsep manusia kepada kita dengan pendekatan filosofis melalui perbendaharaan kata yang ada. Sehingga pada akhirnya, kita termotivasi untuk berbuat baik serta melakukan hal-hal yang bermanfaat untuk diri kita sendiri maupun orang lain.
5.            Konsep Jalan Tengah (النظر الوسط)
Filsafat etika yang dipopulerkan Ibnu Miskawaih adalah filsafat etika yang berdasarkan pada doktrin jalan tengah. Doktrin jalan tengah (al-wasat}) dalam Bahasa Inggris dikenal dengan istilah The Doctrin of The Mean atau The Golden. Ibnu Miskawaih secara umum memberi pengertian pertengahan (jalan tengah) tersebut antara lain dengan keseimbangan, moderat, harmoni, utama, mulia, atau posisi tengah antara ekstrem kelebihan dan ekstrim kekurangan masing-masing jiwa manusia.
Ibnu Miskawaih menegaskan bahwa setiap keutamaan akhlak memiliki dua sisi yang ekstrim. Yang tengah bersifat terpuji yang ekstrim bersifat tercela. Dalam menguraikan sikap tengah tentang akhlak, Ibnu Miskawaih tidak membawa satu ayat pun dari al-Qur‘an atau satu dalil dari al-Hadith. Namun demikian menurut penilaian al-Ghazali, bahwa spirit doktrin jalan tengah ini sejalan dengan ajaran Islam. Hal ini senada dengan kandungan ayat-ayat al-Qur‘an yang memberi isyarat tentang hal itu, seperti tidak boleh kikir tetapi juga tidak boleh boros, melainkan harus bersifat di antara kikir dan boros, seperti dalam ayat al-Qur‘an surat al-Isra : 29 dan al-Furqon : 67.
Ÿwur ö@yèøgrB x8y‰tƒ »'s!qè=øótB 4’n<Î) y7É)ãZãã Ÿwur $ygôÜÝ¡ö6s? ¨@ä. ÅÝó¡t6ø9$# y‰ãèø)tFsù $YBqè=tB #·‘qÝ¡øt¤C ÇËÒÈ  
Dan janganlah kamu jadikan tanganmu terbelenggu pada lehermu dan janganlah kamu terlalu mengulurkannya karena itu kamu menjadi tercela dan menyesal.
tûïÏ%©!$#ur !#sŒÎ) (#qà)xÿRr& öNs9 (#qèù̍ó¡ç„ öNs9ur (#rçŽäIø)tƒ tb%Ÿ2ur šú÷üt/ šÏ9ºsŒ $YB#uqs% ÇÏÐÈ  
Dan orang-orang yang apabila membelanjakan (harta), mereka tidak berlebihan, dan tidak (pula) kikir, dan adalah (pembelanjaan itu) di tengah-tengah antara yang demikian.
Doktrin jalan tengah ini juga dapat dipahami sebagai doktrin yang mengandung arti dan nuansa dinamika. Letak dinamikanya paling tidak pada tarik-menarik antara kebutuhan, peluang, kemampuan dan aktivitas. Sebagai makhluk sosial, selalu berada dalam gerak (dinamis), mengikuti perkembangan zaman. Perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, pendidikan, ekonomi dan lainnya merupakan pemicu bagi gerak zaman. Ukuran akhlak tengah selalu mengalami perubahan menurut perubahan ekstrim kekurangan maupun kelebihannya. Ukuran tingkat kesederhanaan di bidang materi untuk masyarakat kalangan mahasiswa misalnya tidak dapat disamakan dengan ukuran kesederhanaan pada masyarakat dosen. Demikian pula ukuran tingkat kesederhanaan pada masyarakat negara maju akan berbeda dengan tingkat kesederhanaan pada masyarakat negara berkembang. Hal tersebut akan berbeda lagi dengan tingkat kesederhanaan pada masyarakat miskin.
Dari uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa doktrin jalan tengah ternyata tidak hanya memiliki nuansa dinamis tetapi juga fleksibel. Oleh karena itu, doktrin tersebut dapat terus-menerus berlaku sesuai dengan tantangan zamannya tanpa menghilangkan nilai-nilai esensial dari pokok keutamaan akhlak. Jadi dengan doktrin jalan tengah manusia tidak akan kehilangan arah dalam kondisi apapun.
6.            Pengaruh Filosof Yunani Terhadap Pemikiran Filsafat Ibnu Miskawaih
Ibnu Miskwaih terkenal dengan teori filsafat etika yang bersumber pada fislafat Yunani, peradaban Persia, ajaran Shari’at Islam, dan pengalaman pribadi. Pengaruh Socrates, Plato, Aristoteles, dan para filosof lain sebelum beliau, amat jelas mempengaruhi dalam teori etikanya, untuk itu beliau disebut pula sebagai penganut aliran Eklektik, yaitu aliran yang menggabungkan doktrin Islam dengan pendapat filsuf Yunani. Maka oleh Ahmad Mahmud Shubhi[18], Filsafat etika Ibnu Miskawaih disejajarkan dengan Filsafat Etika Ikhwan al-Shafa yang sama-sama bermadzhab Eklektik, yakni mengabungkan beberapa pendapat tentang etika baik itu Plato, Aristoteles, dan para filosof lainnya tak kecuali para filosof Muslim.
Dalam hal jiwa manusia, yang memiliki tiga daya Ibnu Miskawaih memiliki pendapat yang sama dengan Plato dan Aristoteles. Demikian pula mengenai teori Jalan Tengah, Ibnu Miskawaih berpendapat sama dengan Plato dan Aristoteles. Hanya saja dalam pemaparan keempat pokok keutamaan itu Ibnu Miskawaih lebih banyak dipengaruhi oleh Aristoteles. Perbedaan mencolok antara Ibnu Miskawaih dengan Aristoteles terletak ketika membicarakan landasan untuk memperoleh posisi tengah. Aristoteles hanya menyebut akal sedangkan Ibnu Miskawaih menyertakan syariat di dalamnya.
V.          Kesimpulan
Pemikiran akhlak Ibnu Miskawaih ternyata banyak dipengaruhi oleh pemikiran etika Sokrates, Plato, dan Aristoteles. Selanjutnya pemikiran akhlak Ibnu Miskawaih mempengaruhi filsafat akhlak Al-Ghazali dan Tusi.
Sokrates mempengaruhi Ibnu Miskawaih tentang jiwa sebagai intisari akhlak. Plato mempengaruhi Ibnu Miskawaih dalam konsep jiwa manusia yang terbagi ke dalam tiga daya. Dan Aristoteles mempengaruhi Ibnu Miskawaih dalam konsep Jalan Tengah dan penjelasan empat pokok keutamaan akhlak.
Perbedaan yang mendasar antara Ibnu Miskawaih dengan ketiga filosof Yunani itu adalah dalam hal penggunaan landasan teori jalan tengah. Sehingga bisa disimpulkan bahwa secara filosofis pemikiran akhlak Ibnu Miskawaih dipengaruhi oleh pemikiran Sokrates, Plato, dan Aristoteles. Sedangkan pendekatan gabungan antara filasafat dan wahyu adalah murni tesis Ibnu Miskawaih.
Selanjutnya pemikiran akhlak Ibnu Miskawaih mempengaruhi pemikiran akhlak al-Ghazali dalam hal konsep jiwa manusia, konsep jalan tengah, dan landasan untuk meraih jalan tengah. Adapun pengaruhnya terhadap Tusi terletak pada konsep kebahagiaan utama. Dengan demikian dapat dipahami bahwa keterpengaruhan pemikiran akhlak Tusi oleh pemikiran Ibn Miskawaih secara tidak langsung terletak dalam konsep jiwa dan jalan tengah.






[1] Hasyimsah Nasution, Filsafat Islam, Cet IV, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 1999), 56.
[2] Ibid.
[3] Abdurrahman Badawi, Miskawaih, dalam M.M Syarif, Para Filosof Muslim, Cet : VIII (Bandung: Mizan, 1996), 83.
[4] Hasyimsah Nasution, Filsafat Islam, 57.
[5]  H.A Mustfofa, Filsafat Islam, (Bandung: CV. Pustaka Setia, 1997), 175.
[6] Ibid, 178.
[7] Hasyimsah Nasution, Filsafat Islam, 62.
[8] Ibid, 62 – 63.
[9] Abdurrahman Badawi, Miskawaih,dalam M.M Syarif, Para Filosof Muslim,  92.
[10] Muhammad Yusuf Musa, Baina al-Din wa al-Falsafah, (Kairo : Dar al-Ma’arif, 1971), 70.
[11] Ibid, 81.
[12] H.A Mustfofa, Filsafat Islam, 177.
[13] Ibid, 180.
[14] Hasyimsah Nasution, Filsafat Islam, 65.
[15] Ibid.
[16] Ibid,64.
[17] Dida Sobat, Filsafat Ibn Miskawaih dan al-Ghazali, dalam http://www.google.co.id, (19 Maret  2012, 10:28 AM).

[18] Ahmad Mahmud Shubhi, Filsafat Etika: Tanggapan Kaum Rasionalis dan Intuisionalis Islam, (Jakarta: PT. Serambi Ilmu Semesta, 2001).

Daftar Pustaka

Badawi, Abdurrahman, Miskawaih, dalam M.M Syarif, Para Filosof Muslim, Cet : VIII (Bandung: Mizan, 1996).
Dida Sobat, Filsafat Ibn Miskawaih dan al-Ghazali, dalam http://www.google.co.id, (19 Maret  2012, 10:28 AM).
Mustfofa, H.A, Filsafat Islam, (Bandung: CV. Pustaka Setia, 1997).
Nasution,  Hasyimsah, Filsafat Islam, Cet IV, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 1999).
Shubhi, Ahmad Mahmud, Filsafat Etika: Tanggapan Kaum Rasionalis dan Intuisionalis Islam, (Jakarta: PT. Serambi Ilmu Semesta, 2001).
Yusuf Musa, Muhammad, Baina al-Din wa al-Falsafah, (Kairo : Dar al-Ma’arif, 1971).
Diposkan oleh choiriyah ahmad di 05.37Konsep Pemikiran Filsafatnya “ Jiwa dan Etika” (Filsafat Islam)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar