Selasa, 24 November 2015

Kritik Ibn Rushd Terhadap al-Ghazali Dalam Masalah Filsafat (Filsafat Islam)

Kritik Ibn Rushd Terhadap al-Ghazali Dalam Masalah Filsafat (Filsafat Islam)
Kritik Ibn Rushd Terhadap al-Ghazali Dalam Masalah Filsafat


Abstrak
Dalam bidang filsafat, terjadi perdebatan antara al-Ghazali dengan Ibnu Rushd khususnya dalam ilmu metafisika (ketuhanan). Al-Ghazali melahirkan sebuah karya tulis berjudul “Tahafut al-Falasifat” untuk menyanggah para filosof muslim sebelumnya. Sedangkan Ibnu Rushd melahirkan sebuah karya berjudul “Tahafut al-Tahafut” untuk menjawab semua sanggahan al-Ghazali. Dari dua puluh masalah kesalahan yang diperbincangkan para filosof Muslim, menurut al-Ghazali tiga di antaranya yang membuat mereka menjadi kafir, yaitu: qadimnya alam, Allah tidak mengetahui perincian yang terjadi di alam, dan kebangkitan jasmani di akhirat tidak ada. Adapun yang selain daripada itu, hanya membuat mereka tergolong ke dalam ahli bid‘ah. Namun klaim al-Ghazali tersebut dibantah oleh Ibnu Rushd dengan berargumen bahwa dalam penciptaan alam, yang mereka maksudkan adalah yang ada berubah menjadi ada dalam bentuk lain. Karena penciptaan dari tiada (al-‘adam), menurut filosof Muslim adalah suatu yang mustahil dan tidak mungkin terjadi. Dalam menjawab tuduhan Allah tidak mengetahui perincian yang terjadi di alam, Ibnu Rushd menegaskan bahwa Al-Ghazali salah paham sebab tidak ada para filosof Muslim yang mengatakan demikian. Yang dimaksudkan para filosof Muslim adalah pengetahuan Allah tentang yang parsial di alam ini tidak sama dengan pengetahuan manusia. Menurut Ibnu Rushd, sanggahan Al-Ghazali terhadap para filosof Muslim tentang kebangkitan jasmani di akhirat tidak ada, adalah tidak benar. Mereka tidak mengatakan demikian.
Kata Kunci : Tahafut al-Falasifah, Tahafut al-Tahafut, Qodim Alam, Juz’iyat, al-‘Adam.
I.             Pendahuluan
Pengaruh dominan filsafat Yunani terhadap pemikiran filsafat dalam Islam tidak terbantahkan, bahkan dominasi tersebut diakui oleh para filosof Muslim. Secara diplomasi al-Kindi mengatakan bahwa filsafat Yunani telah membantu umat Islam dengan bekal dan dasar-dasar pikiran serta membuka jalan bagi ukuran-ukuran kebenaran. Karena itu, beberapa teori filsafat Yunani, khususnya Aristo dipandang sejalan dengan ajaran Islam seperti teori ketuhanan, jiwa dan roh, penciptaan alam dan lain-lain. Al-Kindi dan juga beberapa filosof Muslim setelahnya muncul sebagai penerjemah, pen-sharah dan juga komentator “Yunani”. Ibnu Rushd memandang Aristoteles sebagai seorang pemikir terbesar yang pernah lahir, ia seorang bijaksana yang memiliki ketulusan keyakinan. Maka dalam syairnya Divine Comedy, Dante mengatakan Ibnu Rushd sebagai komentator terbesar terhadap filsafat Aristoteles dimasanya mengalahkan keterkenalannya dalam pengetahuan lain seperti fisika, kedokteran dan astronomi.[1]
Dominasi pengaruh filsafat Yunani demikian, tak pelak menimbulkan masalah dan tantangan tersendiri terhadap eksistensi filsafat Islam. Secara internal munculnya kritisisme dan bahkan tuduhan negatif oleh kalangan ulama orthodok terhadap pemikiran filsafat dalam Islam. Secara eksternal ada sanggahan bahwa sebenarnya filsafat Islam tidak ada, yang ada hanyalah umat Islam memfilsafatkan filsafat Yunani agar sesuai dengan ajaran Islam. Persoalannya adalah apakah benar filsafat telah menyelewengkan keyakinan Islam? Dengan demikian, benarkah para filosof Muslim adalah ahli bid’ah dan kufr? Seperti terlihat dalam tuduhan-tuduhan kaum orthodok.
Persoalan ini sangat urgen untuk diselesaikan karena sudah menyangkut persoalan sensitif keimanan dan karena ternyata ikhtilaf dalam metode keilmuan untuk memahami ajaran agama sampai pada klaim-klaim kebenaran tentang status agama seseorang. Karena itu persoalan ini diangkat dalam makalah ini dengan tema sentralnya Ibnu Rushd.
II.           Biografi Ibn Rushd
Abu Al-Walid Muhammad ibn Ahmad ibn Muhammad ibn Ahmad ibn Ahmad Ibn Rushd Al-Qurthubi Al-Maliki dilahirkan di Qurt}obah (Cordova), Andalus (Spanyol) pada tahun 520 H/1126 M, sekitar 15 tahun setelah wafatnya al-Ghazali. Ia lebih populer dengan sebutan Ibnu Rushd. Orang barat menyebutnya dengan nama Averroes. Sebutan ini sebenarnya lebih pantas untuk kakeknya. Keturunannya berasal dari keluarga terhormat yang terkenal sebagai tokoh keilmuan.[2] Kakek dan ayahnya mantan hakim di Andalus dan ia sendiri pada tahun 565 H/1169 M diangkat pula menjadi hakim di Seville dan Cordova. Karena prestasinya yang luar biasa dalam ilmu hukum, pada tahun 578 H/1182 M ia dipromosikan menjadi ketua Mahkamah Agung, Qadhi al-Qudhat di Cordova.[3]
Ibnu Rushd tumbuh dan hidup dalam keluarga yang besar sekali ghirah-nya pada ilmu pengetahuan. Hal ini merupakan salah satu faktor yang ikut melempangkan jalan baginya menjadi ilmuwan. Faktor lain yang lebih dominan bagi keberhasilannya adalah ketajaman berpikir dan kegeniusan otaknya. Oleh karena itu, tidaklah mengherankan jika ia dapat mewarisi sepenuhnya intelektualitas keluarganya dan berhasil menjadi seorang sarjana all round yang menguasai berbagai disiplin ilmu, seperti hukum, filsafat, kedokteran, astronomi, sastra Arab, dan lainnya.[4]
Suatu hal yang sangat mengagumkan ialah hampir seluruh hidupnya ia pergunakan untuk belajar dan membaca. Menurut Ibnu Al-Abbar, walaupun rasanya terlalu fantastis sejak mulai berakal Ibnu Rushd tidak pernah meninggalkan berpikir dan membaca, kecuali pada malam ayahnya meninggal dan malam perkawinannya.[5]
Khalifah Abu Ya‘kub Abu Muhammad ‘Abd Al-Mu`min dari Dinasti Al-Muwahhid sangat kagum atas keluasan pandangan dan kedalaman filsafat Ibnu Rushd ketika ia diundang ke istana khalifah atas prakarsa Ibnu Thufail sebagai guru dan sahabatnya. Ia juga berhasil membuat komentar terhadap filsafat Aristoteles: pendek, sedang, dan panjang. Demikian bagus dan mengesankan pemahamannya tentang filsafat Aristoteles sehingga orang tidak perlu membaca naskah aslinya. Cukup membaca komentar Ibnu Rushd, orang akan memahaminya bagaikan membaca naskah aslinya. Padahal, ia tidak menguasai bahasa Yunani, yakni bahasa yang dipakai Aristoteles dalam karyanya.[6] Untuk keahliannya ini, ia layak diberi gelar kehormatan The Famous Comentator of Aristotle. Gelar ini pertama kali diberikan oleh Dante Alagieri, pengarang buku Divine Comedy. Ini dapat dijadikan bukti tingginya kemampuan Ibnu Rushd dalam berfilsafat dan tidak ada duanya dalam mengomentari filsafat Aristoteles.
Kesibukan Ibnu Rushd sebagai pejabat Negara, Ketua Mahkamah Agung, guru besar, dan dokter istana menggantikan Ibnu Thufail yang sudah tua, tidak menghalanginya dari menulis, bahkan ia sangat produktif dengan karya-karya ilmiah dalam beberapa bidang ilmu pengetahuan. Karya-karyanya ini menjadi rujukan pada setiap bidangnya oleh para ahli. Hal ini merupakan indikasi keluasan wawasan dan kedalaman ilmunya.
Karir Ibnu Rushd tidaklah mulus dan lancar. Ia sendiri tidak lepas dari pengalaman pahit yang menimpa para pemikir kreatif dan inovatif terdahulu. Memang saat permulaan pemerintahan Khalifah Ya‘kub Ibnu Yusuf (akrab disapa dengan Al-Manshur)  yang menggantikan ayahnya, Yusuf Abu Muhammad ‘Abd Al-Mu`min, Ibnu Rushd tetap menerima kehormatan dan priviliasi yang diberikan kepadanya. Akan tetapi, pada tahun 1195 M ia dituduh kafir, diadili, dan dihukum buang ke Lucena, dekat Cordova dan dicopot dalam segala jabatannya. Lebih dari itu, semua bukunya dibakar, kecuali yang bersifat ilmu pengetahuan murni (sains), seperti kedokteran, matematika, dan astronomi. Hal itu terjadi karena faktor politis yang dimanfaatkan oleh ulama-ulama konservatif dengan kebencian dan kecemburuan yang terpendam selama ini terhadap kedudukan Ibnu Rushd yang tinggi.[7]
Untunglah masa getir yang dialami Ibnu Rushd ini tidak berlangsung lama (satu tahun). Pada tahun 1197 M, khalifah mencabut hukumannya dan posisinya direhabilitasi kembali. Namun, Ibnu Rushd tidak lama menikmati keadaan tersebut dan ia meninggal pada tanggal 10 Desember 1198 M/9 Shafar 595 H di Marakesh dalam usia 72 tahun menurut perhitungan Masehi dan 75 tahun menurut perhitungan tahun Hijrah.[8]
Seperti yang telah disebutkan, Ibnu Rushd seorang pengarang yang produktif. Salah satu kelebihan karya tulisnya ialah gaya penuturan yang mencakup komentar, koreksi, dan opini sehingga karyanya lebih hidup dan tidak sekadar deskripsi belaka. Namun, amat disayangkan karangannya sulit ditemukan dan sekiranya ada sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Latin dan Hebrew (Yahudi), bukan dalam bahasa aslinya (Arab). Ini semua akibat tragedi nista yang menimpa dirinya ketika diadili dan dibuang ke Lucena dimana buku-bukunya yang mengandung filsafat dimusnahkan. Tragedi kedua yang lebih fatal di saat jatuhnya Andalus ke tangan Ferdinand II dan Isabella. Jenderal Ximenes yang fanatik dengan kemenangan Kristen membakar habis buku-buku yang berbau Arab dan sudah barang tentu buku-buku Ibnu Rushd termasuk di dalamnya.
Kendatipun demikian, sampai hari ini karya tulis Ibnu Rushd yang masih dapat kita temukan adalah sebagai berikut:
1.      Fashl al-Maqal  fi ma bain al-Hikmat  wa al-Syari‘ah min al-Ittishal, berisikan korelasi antara agama dan filsafat.
2.      Al-Kashf ‘an Manahij al-Adillat fi ‘Aqa`id al-Millat, berisikan kritik terhadap metode para ahli ilmu kalam dan sufi.
3.      Tahafut al-Tahafut, berisikan kritikan terhadap karya Al-Ghazali yang berjudul Tahafut al-Falasifat.
4.      Bidayat al-Mujtahid wa Nihayat al-Muqtas}id, berisikan uraian-uraian di bidang fiqh.
III.         Kritik Ibn Rushd Terhadap al-Ghazali
Ibnu Rushd hidup dan melontarkan pemikirannya beberapa puluh tahun setelah al-Ghazali wafat (w. 505 H/ 1111 M). Dimasa hidupnya, Al-Ghazali mendalami ilmu filsafat dan telah menulis buku sebagai kesimpulan tentang kajiannya terhadap ajaran ilmu filsafat, yang terkenal adalah bukunya tahafut al-falasifah. Buku tersebut memang ditujukan untuk membongkar dan serangan terhadap paham filsafat dan membuktikan kekeliruan padanya dari ajaran agama, khususnya filsafat Al-Farabi dan Ibnu Sina. Dalam kesimpulannya, al-Ghazali menetapkan 20 soal sebagai bat}il dan pada akhir bukunya tiga soal diantaranya adalah kafir, sehingga dari sini ia mengkafirkan para filsuf. Tiga soal tersebut adalah:
1.      Pendapat filsuf bahwa alam itu azali atau qadim (eternal in the past)
2.      Pendapat filsuf bahwa Tuhan tidak mengetahui juz’iyat (hal-hal yang juz’i/ individual/ particular.
3.      Paham filsuf yang mengingkari adanya kebangkitan tubuh di hari akhirat.
Menurut Aziz Dahlan, itu berarti bahwa siapa saja yang menganut salah satu dari tiga paham tersebut, menurut Al-Ghazali, jatuh ke dalam kekafiran.[9] Polarisasi dan kesimpulan ini mampu mempengaruhi pemahaman umat sehingga menjadi sanggahan dan serangan tajam terhadap filsafat dan filsuf. Hal demikian berimplikasi pada sikap negatif dan penolakan umat pada ilmu ini yang akhirnya menutup pintu kajian terhadap ilmu-ilmu fisafat di dunia Islam.
Tetapi, tentu tidak mudah bagi orang memahami dialog-dialog dan bantahan-bantahan yang di tulis Al-Ghazali dalam rangka memaparkan peliknya argumen dan materi kajian para filsuf, menurut yang dipahaminya dan argumen-argumen untuk menjatuhkan argumen para filsuf. Hal senada juga pelik dan beresiko untuk memberi bantahan dan sanggahan terhadap serangan Al-Ghazali tersebut, seperti yang dilakukan oleh Ibnu Rushd.
Ibnu Rushd melakukan tiga upaya sekaligus yaitu membela para filsuf yang dikafirkan Al-Ghazali, melakukan klarifikasi paham filsafat dan menyanggah paham Al-Ghazali. Pembelaan terhadap para filsuf dilakukan dengan merumuskan harmonisasi agama dan filsafat, klarifikasi paham filsafat dilakukan dengan menguraikan maksud filsafat yang sebenarnya tentang soal-soal yang dikafirkan dan sanggahan terhadap Al-Ghazali dengan mengelaborasi “kesalahan” persepsinya. Semua itu dilakukan Ibnu Rushd dengan berpikir rasional dan menafsirkan agama pun secara rasional, namun ia tetap berpegang pada sumber agama itu sendiri, yaitu al-Quran.
1.    Harmonisasi Agama dan Filsafat
Ibnu Rushd mengajukan pertanyaan-pertanyaan apakah mempelajari filsafat dan mant}iq (logika) diperbolehkan menurut shara’, ataukah dilarang, ataukah diperintahkan baik sebagai perintah anjuran ataupun perintah wajib?. Menurut Ibnu Rushd, kegiatan filsafat tidak lain adalah mempelajari segala wujud dan merenungkannya sebagai bukti adanya pencipta. Disisi lain, shara’ menurutnya telah memerintahkan dan mendorong kita untuk mempelajari segala yang ada.[10] Disini ia ingin mengatakan bahwa menurut shara’, pengertian demikian menunjukkan bahwa mempelajari filsafat itu adalah perintah wajib atau perintah anjuran.
Tetapi karena kegiatan mempelajari segala sesuatu adalah dengan akal (lihat al-Hashr: 2; al-A’raf: 185; al-An’am: 75; al-Ghasiyah:17; Ali-Imran:191), yang berisi perintah tertulis untuk wajib dan pelakunya adalah terhormat. Disini kias (perenungan dan penyimpulan sesuatu pengertian yang tidak diketahui dari yang telah diketahui serta penarikan pengertian baru dari padanya) dilakukan, menurut kias wajib melakukan penelitian tentang segala yang ada menggunakan kias rasional. Artinya, shara’ menganjurkan dan memerintahkan mencari metode yang paling sempurna dengan menggunakan cara analogi yang paling sempurna pula, yang dinamakan burhan (demonstrasi). Sementara metode burhan adalah metode filsafat. Maka menurut shara’ mempelajari filsafat adalah perintah yang bersifat wajib.
Menurut Ibnu Rushd, karena shari’at ini benar dan ia menyeru untuk mempelajari sesuatu ke arah yang benar, maka pembahasan burhani tidak akan membawa pertentangan dengan apa yang diajarkan oleh shara’. Kebenaran tidak akan berlawanan dengan kebenaran yang lain, melainkan mencocoki dan menjadi saksi atasnya. Maka jika dari penjelasan burhani tidak disebutkan shari’at, berarti tidak ada pertentangan. Kalau shara’ menyebutkannya, jika berseuaian maka tidak ada persoalan. Tetapi jika berselisih maka harus dilakukan takwil (interpretasi) yang mungkin sehingga sesuai dengan pendapat akal.[11]
2.    ‘A<lam Qodi<m
Menurut Al-Ghazali, sesuai dengan keyakinan kaum teolog Muslim alam diciptakan Allah dari tiada menjadi ada (al-ijad min al-‘adam). Penciptaan dari tiadalah yang memastikan adanya pencipta. Yang ada tidak butuh kepada yang mengadakan. Justru itulah alam ini mesti diciptakan dari tiada menjadi ada. Sementara itu, menurut filosof Muslim, alam ini qodim, dengan arti alam ini diciptakan dari sesuatu (materi) yang sudah ada.
Menurut Ibnu Rushd, Al-Ghazali keliru menarik kesimpulan bahwa tidak ada seorang filosof Muslim pun yang berpendapat bahwa qodimnya alam sama dengan qadimnya Allah, tetapi yang mereka maksudkan adalah yang ada berubah menjadi ada dalam bentuk lain. Karena penciptaan dari tiada (al-‘adam), menurut filosof Muslim adalah suatu yang mustahil dan tidak mungkin terjadi. Dari tidak ada (nihil yang kosong) tidak bisa terjadi sesuatu. Oleh karena itulah, materi asal alam ini mesti qadim.[12]
Kelihatannya, menurut pemikiran Al-Ghazali, pada saat Allah menciptakan alam, yang ada hanyalah Allah sendiri, dan tidak ada sesuatu pun selain-Nya. Sementara itu, menurut pemikiran para filosof Muslim, di kala Allah menciptakan alam sudah ada sesuatu selain Allah. Dari sesuatu yang sudah ada itulah alam diciptakan Allah. Untuk mendukung pendapatnya, Ibnu Rushd mengemukakan sejumlah ayat Al-Qur’an: QS. Al-Anbiya : 30 (“Dan apakah orang-orang yang kafir tidak mengetahui bahwasanya langit dan bumi itu keduanya dahulu adalah suatu yang padu, kemudian Kami pisahkan antara keduanya. Dan dari air kami jadikan segala sesuatu yang hidup. Maka mengapakah mereka tiada juga beriman?”), Hud : 7 (“Dan Dia-lah yang menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, dan adalah singgasana-Nya (sebelum itu) di atas air, agar dia menguji siapakah di antara kamu yang lebih baik amalnya, dan jika kamu berkata (kepada penduduk Mekah): "Sesungguhnya kamu akan dibangkitkan sesudah mati", niscaya orang-orang yang kafir itu akan berkata: "Ini tidak lain hanyalah sihir yang nyata".), Fushshilat : 11 (“Kemudian Dia menuju kepada penciptaan langit dan langit itu masih merupakan asap, lalu Dia berkata kepadanya dan kepada bumi: "Datanglah kamu keduanya menurut perintah-Ku dengan suka hati atau terpaksa". Keduanya menjawab: "Kami datang dengan suka hati".).[13]
Dari keterangan ayat-ayat di atas dapat disimpulkan bahwa sebelum alam ini diciptakan sudah ada sesuatu yang lain, yakni ma` (air) dan dukhan (asap). Dengan demikian, kata Ibnu Rusyd, pendapat para filosof Muslimlah yang sesuai dengan bunyi ayat, sedangkan pendapat kaum teolog Muslim tidak sesuai dengan arti lahir ayat, dan dalam hal ini berarti mereka (kaum teolog Muslim) mengambil arti metaforik, yang seharusnya mengambil arti lahir ayat dan sebaliknya filosof Muslim yang mengambil arti lahir ayat.
Menurut Ibnu Rushd, terjadinya perbedaan pendapat dalam hal ini disebabkan perbedaan antara kaum teolog Muslim dengan kaum filosof Muslim dalam memberikan arti kata al-ihdath dan qodim. Bagi kaum teolog Muslim, al-ihdath berarti menciptakan dari tiada, sedangkan bagi kaum filosof Muslim, kata itu berarti mewujudkan dari ada menjadi ada dalam bentuk lain. Demikian pula dalam mengartikan arti qadim. Bagi kaum teolog Muslim, qadim berarti sesuatu yang mempunyai wujud tanpa sebab, sedangkan bagi kaum filosof Muslim, qadim berarti sesuatu yang kejadiannya dalam keadaan terus-menerus tanpa awal dan tanpa akhir.[14]
3.    Allah Tidak Mengetahui Perincian Yang Terjadi di ‘A<lam
Menurut Ibnu Rusyd, para filsuf tidak mempersoalkan apakah Tuhan mengetahui hal-hal yang bersifat juz’I yang terdapat dialam semesta ini atau tidak mengetahuinya.[15] Persoalannya adalah bagaimana Tuhan mengetahui yang juz’i tersebut. Cara Tuhan berbeda mengetahu yang juz’iyat dengan cara manusia mengetahuinya, pengetahuan manusia kepada juz’iyat merupakan efek dari objek yang telah diketahui, yang tercipta bersamaan dengan terciptanya objek tersebut serta berubah bersama perubahannya. Sedangkan pengetahuan Tuhan merupakan kebalikannya, pengetahuan-Nya merupakan sebab bagi obyek yang diketahui-Nya.[16]Artinya, karena pengetahuan Tuhan bersifat qadim yakni semenjak azali Tuhan mengetahui yang juz’I tersebut, bahkan sejak sebelum yang juz’I berwujud seperti wujud saat ini.
Lebih dari itu, sebenarnya bukan hanya yang juz’i, tetapi juga yang kulliyat Tuhan tidak mengetahuinya seperti pengetahuan manusia. Kulliyat adalah juga efek dari sifat wujud ini, sedangkan pengetahuan Tuhan adalah kebalikan dari itu. Maka secara burhani, ilmu Tuhan sesungguhnya mengatasi kualifikasi yang kulliyat dan juz’iyat tersebut, sebab Tuhan yang mengadakannya
Ibnu Rushd menegaskan bahwa Al-Ghazali salah paham sebab tidak ada para filosof Muslim yang mengatakan demikian. Yang dimaksudkan para filosof Muslim adalah pengetahuan Allah tentang yang parsial di alam ini tidak sama dengan pengetahuan manusia. Pengetahuan Allah bersifat kadim yakni azali. Allah mengetahui segala yang terjadi di alam ini, betapapun kecilnya, sedangkan pengetahuan manusia bersifat baharu. Begitu pula pengetahuan Allah berbentuk sebab, sedangkan pengetahuan manusia berbentuk akibat.[17] Demikian juga, menurut Ibnu Rushd, pengetahuan Allah tidak dapat dikatakan juz`’i (parsial) dan kully (umum). Juz`’i adalah satuan yang ada di alam yang berbentuk materi dan materi hanya bisa ditangkap dengan panca indra. Kully, mencakup berbagai jenis (nu‘). Kully bersifat abstrak, yang hanya dapat diketahui melalui akal.[18] Allah bersifat imateri (rohani), tentu saja pada zat-Nya tidak terdapat pancaindra untuk mengetahui yang parsial. Oleh karena itulah, kata Ibnu Rusyd, tidak ada para filosof Muslim yang mengatakan ilmu Allah bersifat juz`i dan kully.[19]
4.    Kebangkitan Jasmani di Akhirat
Menurut Ibnu Rushd, sanggahan Al-Ghazali terhadap para filosof Muslim tentang kebangkitan jasmani di akhirat tidak ada, adalah tidak benar. Mereka tidak mengatakan demikian.[20] Semua agama, tegas Ibnu Rushd, mengakui adanya hidup yang kedua di akhirat, tetapi mereka berbeda interpretasi mengenai bentuknya. Di antara mereka ada yang berpendapat bahwa yang akan dibangkitkan hanya rohani dan ada pula yang mengatakan rohani dan jasmani. Namun yang jelas, kehidupan di akhirat tidak sama dengan kehidupan di dunia. Hal ini sesuai dengan hadith: “Di sana akan dijumpai apa yang tidak pernah dilihat mata, tidak pernah didengar telinga dan tidak pernah terlintas dalam pikiran”, dan ucapan Ibnu Abbas: “Tidak akan dijumpai di akhirat hal-hal yang bersifat keduniaan kecuali nama saja”.[21] Hidup di akhirat tentu saja lebih tinggi daripada hidup di dunia.
Namun demikian, Ibnu Rushd menyadari bahwa bagi orang awam soal kebangkitan itu perlu digambarkan dalam bentuk jasmani dan rohani. Karena kebangkitan jasmani bagi orang awam lebih mendorong mereka untuk melakukan pekerjaan atau amalan yang baik dan menjauhkan pekerjaan atau amalan yang buruk.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa perbedaan pendapat antara Al-Ghazali dengan para filosof Muslim hanya perbedaan interpretasi tentang ajaran dasar dalam Islam, bukan perbedaan antara menerima atau menolak ajaran dasar tersebut. Dengan arti hanya perbedaan ijtihad antara Al-Ghazali dengan para filosof Muslim dalam memahami ayat-ayat tentang kebangkitan di akhirat. Hal ini lumrah terjadi di kalangan ulama Islam. Perbedaan seperti ini tidak akan membawa kepada kekafiran. Lebih lanjut Ibnu Rushd menekankan hadits Rasulullah SAW: “Siapa yang benar dalam berijtihad di bidangnya ia mendapat dua fahala dan siapa yang salah dalam ijtihadnya ia mendapat satu fahala”.[22]
IV.        Penutup
Dengan demikian, menurut Ibnu Rushd, tuduhan kafir yang dilontarkan Al-Ghazali terhadap para filosof Muslim dalam tiga butir masalah di atas tidak pada tempatnya. Kendatipun diandaikan interpretasi mereka keliru, namun kesalahan mereka termasuk kesalahan ijtihad yang bisa dimaafkan. Jika tuduhan dilontarkan kepada para filosof Muslim melanggar ijma‘, maka dalam pemikiran tidak terjadi ijma‘ ulama secara pasti.[23]
Jadi, pengkafiran Al-Ghazali tidaklah definitif. Karena dalam bukunya “At-Tafriqah” bahwa mengkafirkan orang lain karena telah melanggar ijma’ hanya mengandung sifat tentatif belaka. Tapi ijma’ tidak mungkin terjadi dalam persoalan seperti ini, persoalan demikian sangat pelik dan sepenuhnya bergantung pada kemampuan kias rasional dan kemampuan burhani seseorang yang hanya bisa dilakukan oleh kaum rashikhun fi ‘ilm. Karena demikian keadaannya, maka mustahil terjadi ijma’ yang meyeluruh dalam bidang takwil. Maka penilaian yang tepat adalah bahwa orang-orang berselisih pendapat dalam persoalan yang pelik tersebut berhak mendapat pahala jika mereka benar, tetapi bisa dimaafkan jika mereka salah.[24]
Kesalahan yang bisa dimaafkan demikian hanyalah kesalahan yang tidak disengaja yang dilakukan kaum yang dikaruniai pengetahuan khusus mengetahui takwil ketika mereka mempelajari persoalan-persoalan rumit yang diperintah shara’ untuk mempelajarinya. Adapun kesalahan oleh orang-orang selain kelompok ini, adalah dosa. Maka bagi kaum burhani ini melakukan takwil terhadap ajaran-ajaran yang memberi petunjuk untuk itu harus dilakukan, sebaliknya umat kebanyakan hanya diperintah mengambil makna lahir ayat, jika tidak akan menyebabkan kekafiran pada masing-masing mereka. Oleh sebab itu, larangan Al-Ghazali – terhadap semua orang – dalam melakukan kias rasional seperti dilakukan para filsuf dan filsafat mereka tidak tepat, karena bertentangan ajaran al-Quran.
 Perdebatan antara al-Ghazali dan Ibn Rushd merupakan kesalah pahaman yang menurut penulis karena mereka tidak sempat duduk bersama sebagaimana misalnya al-Ghazali menggunakan hukum revolusi tentang penciptaan alam dan Ibn Rushd menggunakan teori evolusi.




[1] M. Saeed Shaikh, Studies in Muslim Philosophy, cet I  (Delhi: Adam Publisher, 1994), 170.
[2] Thaha ‘Abd Ar-Rauf Sa‘ad, dalam Pengantar Ibnu Rushd, Bidayat al-Mujtahid wa Nihayat al-Muqtashid, Juz I, (Beirut : Daar Al-Jail, tt.),15-16.
[3] Ibid, 23-24.
[4] Ibid, 18-19.
[5] Ibid, 42.
[6] Ibid, 21-22.
[7] Ibid, 29-30.
[8] Ibid, 34.
[9] Abdul Aziz Dahlan, Pemikiran Falsafi dalam Islam, cet I (Padang: IAIN IB Press, 1999), 95.
[10] Nurcholish Madjid, Khazanah Intelektual Islam, cet III, (Jakarta: Bulan Bintang, 1994), 37.
[11] Tujuan takwil ialah mengangkat makna suatu lafal dari maknanya yang hakiki (riil) kemakna yang majazi (metaforik), tanpa mengabaikan kebiasaan bahasa Arab dalam membuat metafor. Shara’ mengandung makna lahiriah dan makna bathiniah ialah karena keanekaragaman kemampuan manusia dan perbedaan bakatnya untuk menerima kebenaran. Ibid, 216,
[12] Ibnu Rushd, Tahafut al-Tahafut, Tahqiq Sulaiman Dunya, (Kairo : Dar al-Ma‘arif, 1964), 361-362.
[13] Ibid, 362-363.
[14] Ibid, 364-366.
[15] Sirajuddin Zar, Filsafat Islam: Filosof dan Filsafatnya, cet I, (Jakarta: RajaGrafimdo Persada, 2004), 116.
[16] Nurcholish Madjid, Khazanah Intelektual Islam, 221.
[17] Ibid, 711.
[18] Ibid, 700.
[19] Ibid, 702-703.
[20] Ibid, 864.
[21] Ibid, 866..
[22] Ibnu Rushd, Fashl al-Maqal wa Taqrir Bayin al-Shari‘ah wa al-Hikmat min al-Ittishal, Tahqiq Muhammad Immarat, (Kairo : Dar al-Ma‘arif, 1972), 44.
[23] Ibid, 36-37.
[24] Nurcholish Madjid, Khazanah Intelektual Islam, 225.

Daftar Pustaka

Dahlan, Abdul Aziz, Pemikiran Falsafi dalam Islam, cet I (Padang: IAIN IB Press, 1999).
Madjid, Nurcholish, Khazanah Intelektual Islam, cet III, (Jakarta: Bulan Bintang, 1994).
Rushd, Ibnu, Fashl al-Maqal wa Taqrir Bayin al-Shari‘ah wa al-Hikmat min al-Ittishal, Tahqiq Muhammad Immarat, (Kairo : Dar al-Ma‘arif, 1972).
__________, Tahafut al-Tahafut, Tahqiq Sulaiman Dunya, (Kairo : Dar al-Ma‘arif, 1964).
Sa‘ad, Thaha ‘Abd Ar-Rauf, dalam Pengantar Ibnu Rushd, Bidayat al-Mujtahid wa Nihayat al-Muqtashid, Juz I, (Beirut : Daar Al-Jail, tt.).
Shaikh, M. Saeed, Studies in Muslim Philosophy, cet I  (Delhi: Adam Publisher, 1994).
Zar, Sirajuddin, Filsafat Islam: Filosof dan Filsafatnya, cet I, (Jakarta: RajaGrafimdo Persada, 2004).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar