Jangan dikira kritik yang dulu sering muncul di ruang ini
atas mentalitas Arab kontemporer yang hobinya berpecah,
saya lakukan dengan perasaan senang dan lega.
Jauh dari itu.
Batin saya remuk mengamati dunia Arab yang berdarah-darah.
Rakyat Palestina yang belum juga merdeka setelah menderita hampir 70 tahun
dan masih saja menjadi bulan-bulanan Zionis Israel yang didukung Amerika Serikat,
toh antara Hamas dan Fatah belum juga akur dengan sepenuh hati.
Sudah miskin, pertengkaran terus saja berlanjut.
Untunglah mata dunia sudah semakin terbuka:
Palestina harus merdeka segera.
Tidak sekali saya mengutip di ruang ini pendapat pemusik Gilad Atzmon
-baru saja datang ke Indonesia atas undangan Dwiki Darmawan-
bahwa Zionisme tidak mungkin menjadi bagian dari kemanusiaan
karena wataknya yang rasialis dan congkak.
Negara kecil Israel yang telah melumpuhkan bangsa-bangsa Arab yang melingkarinya adalah fakta telanjang betapa rapuhnya mereka,
tetapi tetap saja belum juga sadar.
Bahkan, Arab Saudi karena sama merebut hegemoni dengan Iran di kawasan panas itu dikabarkan malah main mata dengan Israel.
Alangkah hinanya, alangkah amoralnya.
Persis seperti yang dilakukan Iran di era Shah Reza Pahlevi (berkuasa 1941-1979)
dulu yang sekaligus menjadi antek Amerika
sampai gerakan Khomeini meruntuhkan rezim antirakyat itu.
Akan halnya Iran sekarang,
demi membela al-Assad yang dilawan rakyatnya sendiri
enak saja bekerja sama dengan Rusia yang tidak kurang liciknya dibandingkan Amerika.
Selanjutnya,
serangan gencar pasukan Saudi atas Yaman untuk memburu pemberontak al-Houthi
adalah bukti lain betapa suasana persaudaraan sesama Arab ini sudah sirna,
amat sulit dipertautkan kembali.
Lalu Islam di mana?
Islam sudah menghilang, entah ke mana.
Yang mengemuka adalah label Suni, label Syiah,
atau label apa lagi untuk sama membinasakan perumahan persaudaraan sesama Muslim.
Batin siapa yang tidak akan remuk membaca fenomena yang hitam dan ganas ini?
Tetapi tuan dan puan jangan salah tafsir,
Islam masih ada ketika shalat, naik haji, puasa, zakat dalam arti yang terbatas.
Di luar itu, jika sudah menyentuh kepentingan politik kekuasaan, Islam tidak berdaya.
Apakah ada bentuk krisis yang lebih dalam di dunia Arab
melebihi drama yang kini menjadi tontonan manusia sejagat ditinjau dari sisi iman?
Akar drama Arab ini menjalar sampai ratusan tahun yang silam,
semuanya selalu berkaitan dengan ranah kekuasaan.
Perang Shiffin (657) yang meledak di selatan Sungai Furat
adalah fitnah (bencana) yang paling bertanggung jawab mengapa dunia Arab,
dan bahkan dunia Islam, tidak pernah akur sampai hari ini.
Ironisnya,
perbelahan politik yang kotor ini oleh pihak-pihak yang terlibat
sama-sama dicarikan alasan teologisnya masing-masing:
pakai dalil Alquran dan sunah.
Bau buruknya juga tercium di Indonesia.
Klaim-klaim merasa paling benar adalah senjata ampuh
untuk saling menghujat dan saling meniadakan.
Amat sedikit Muslim yang benar-benar sadar bahwa
kejatuhan dunia Islam yang parah ini dapat dicari penyebab utamanya
sebagai ekor dari Perang Shiffin yang tidak lain adalah perebutan kekuasaan
sesama Arab Quraisy.
Bukankah ‘Ali dan Mu’awiyah secara geneologis adalah Quraisy belaka?
Mengapa kita tidak bersedia keluar secara berani dari kotak-kotak Quraisy
yang mewariskan perpecahan yang tak habis-habisnya itu?
Nabi Muhammad SAW memang Quraisy juga,
tetapi Quraisy yang dipimpin wahyu,
Quraisy yang bertugas menyampaikan rahmat bagi alam semesta.
Semestinya,
Alquran dan Muhammad SAW sajalah yang sah dijadikan imam dan panutan,
bukan yang lain.
Ajaibnya,
komunitas Muslim non-Arab di berbagai belahan bumi turut pula menari
mengikuti tabuhan genderang Perang Shiffin yang sepenuhnya bercorak Arab itu.
Bagi saya,
semuanya ini adalah perbuatan pandir karena kita tidak cukup jujur dan cerdas
untuk memisahkan,
seolah-olah yang bersifat serba Arab itu adalah kebenaran yang perlu diwarisi.
Semestinya,
dengan kejatuhan peradaban Arab yang meremukkan batin ini,
mengapa kita tetap saja berkiblat kepadanya dalam memahami Islam?
Terus terang saya lama memberontak terhadap sikap yang buta sejarah ini.
Akhirnya,
sekalipun kita merintih melihat kehancuran Irak, Suriah, Yaman, Libya, bahkan Mesir, memperpanjang tangis tidak ada gunanya, sia-sia belaka.
Sikap yang benar adalah agar ayat Alquran tentang persaudaraan umat
dibawa turun ke bumi kenyataan kembali,
tidak hanya dibiarkan mengalun dalam suara para qari dan qariah
saat bertanding membaca kitab suci ini.
Semoga kita cepat sadar, matahari kehidupan sudah bergerak semakin tinggi!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar