Selasa, 24 November 2015

Muhammad Iqbal: Filosof Kebangkitan Timur Dan Dunia Islam

Oleh Abdul Hadi W.M.

Muhammad Iqbal  -- Sang Allama, begitu dia disebut di negerinya – adalah seorang filosof sastrawan Timur paling terkemuka pada abad ke-20 M yang pernah dilahirkan dunia Islam. Gelar yang patut diberikan kepadanya ialah Filosof Kebangkitan Timur dan Islam. Judul buku-bukunya sendiri, yang di dalamnya gagasan-gagasan pembaharuannya dituangkan dalam ungkapan puisi yang indah dan inspiratif, selalu mengacu pada tema kebangkitan bangsa-bangsa Timur dan Islam. Misalnya Payam-i Masyriq (Pesan Dari Timur) dan Pas Chih Bayad Kard Aye Aqwam-i Syarq (Apa Yang Harus Kau Lakukan O Bangsa-bangsa Timur?”. Himpunan ceramahnya yang terkenal diberi judul Membangun Kembali Pemikiran Keagamaan Dalam Islam.
            Puisi-puisinya sering dinilai sebagai karya profetik, karena ditulis berdasar visi kerohanian yang terang dan mampu memberi petunjuk tentang arah masa depan peradaban umat manusia. Konsep kunci pemikiran falsafahnya ialah khudi(Diri) dan ‘isyq (Cinta), merupakan gagasan revolusioner pada masanya dan relevan pada masa kini.  Gagasan ini lahir dilatarbelakangi keprihatinan Iqbal terhadap kondisi buruk umat Islam pada abad ke-20 disebabkan kelemahan-kelemahannya sendiri, terutama rasa kurang percaya diri kaum Muslimin terhadap kekuatan ajaran agamanya dan khazanah budayanya yang kaya.
            Iqbal merasa prihatin menyaksikan betapa kaum Muslimin di banyak negeri tidak lagi memiliki sistem nilai dan pandangan dunia (weltanschauung)  yang islami, dan juga tidak pernah berusaha lagi membangun kebudayaan dan peradabannya berdasarkan sistem pengetahuan Islam. Bahkan mereka tidak peduli dan menyerah begitu saja kepada sistem nilai asing yang dicekokkan dan didiktekan kepada mereka, dan dengan fanatiknya pula membela sistem dan kebudayaan asing itu. Lebih daripada itu Iqbal melihat betapa kaum Muslim tidak mempunyai tujuan dan cita-cita hidup yang tinggi. Cita-cita mereka terbatas pada soal-soal kebendaan dan kedudukan. Ini semua merupakan pertanda kemunduran Islam dan hilangnya identitasnya. Falsafah Iqbal tentang khudi berkaitan dengan itu semua.
            Dalam sajaknya Iqbal menulis “Kepada Saqi, Penuang Anggur” lebih kurang:

                        Adat zaman mulai bertukar
                        Nada dan lagu baru terdengar di mana-mana
                        Dari mimpi masa silamnya Cina mulai bangkit
                        ...
                        Namun orang Islam yang berpegang pada Tauhid
                        Jiwanya masih terbelenggu tali keramat
                        Seni, hukum, falsafah dan ilmu kalamnya
                        Masih tercemar praktek penyembahan berhala

            Pada akhir bait puisinya Iqbal menyatakan, “Kini Islam tak lebih dari timbunan abu dingin dan gelap”. Keterpurukan Islam,  menurut Iqbal, disebabkan ulama dan cendekiawan Muslim tidak mampu menafsirkan kembali ajaran agamanya dengan segar dan relevan dengan zamannya yang sedang berubah. Namun untuk memahami gagasan Iqbal memang tidak mudah. Latar belakang sejarah serta kondisi sosial ekonomi,  politik dan budaya umat Islam pada masa hidup Iqbal juga mesti dpahami.

Tiga Golongan Orang Islam
            Iqbal lahir di Sialkot, sekarang masuk wilayah Pakistan, pada 22 Februari 1873 dan wafat di Lahore pada 21 April 1938. Dia memperoleh pendidikan dasar di maktab, setara dengan madrasah di negeri kita. Pendidikan menengahnya di Scottish Mission School Lahore, sedang pendidikan tingginya diperoleh di Government College, juga di Lahore. Setelah itu dia melanjutkan pendidikannya di Cambridge University, London untuk mendapat gelar MA di bidang hukum. Gelar doktor di bidang falsafah ia peroleh di Universitas Munchen, Jerman.
            Walaupun Iqbal memperoleh pendidikan di Eropah, namun pengetahuan tentang Islam juga tidak tenggelam oleh pengetahuan Baratnya. Ia  memang memiliki sikap yang kritis terhadap ulama dan pemikiran tradisionalnya, namun terhadap peradaban modern Barat dia juga sangat kritis. Kondisi buruk yang dihadapi umat Islam di bawah sistem kolonial Inggeris yang diskriminatif, merupakan sumber renungan puisi dan dasar pijak pemikiran falsafahnya.
            Pada awal abad ke-19 M Dinasti Mughal, yang lebih kurang tiga abad memegang tampuk pemerintahan di India dan membawa Islam pada puncak kejayaannya di bidang intelektual, keagamaan dan budaya; mengalami keruntuhan. Kegelapan mulai meliputi kehidupan umat Islam disebabkan semakin kuatnya cengkeraman kolonialisme Inggeris. Kebijakan pemerintah kolonial Inggeris yang diskriminatif terhadap kaum Muslimin berakibat fatal: umat Islam semakin terpuruk dalam hampir semua lapangan kehidupan. Dalam ekonomi dan politik mereka menjadi kaum paria yang tidak berdaya, begitu juga di bidang intelektual dan kebudayaan. Degradasi moral pula mulai melanda kelas menengah Muslim. Yang sangat ketara lagi semakin mundurnya pemikiran para ulama di bidang agama dan intelektual.
            Yang lebih menyedihkan lagi bagi Iqbal ialah terpecah-belahnya umat Islam ke dalam beberapa golongan, yang kian memperlemah solidaritas antar sesama Muslim. Setidak-tidaknya di India ketika itu umat Islam terpecah menjadi tiga golongan besar mengikuti kecenderungan pemikiran para pemimpin atau ulama masing-masing. Golongan pertama ialah sekelompok kelas menengah yang mendapat pendidikan Barat. Kebanyakan mereka tidak lagi mengenal ajaran agama secara mendalam, dan sangat dangkal pengetahuannya tentang kebudayaan dan peradaban Islam. Pemahaman yang dangkal dan buruk ini diperoleh dari sistem pendidikan Inggeris yang mereka ikuti.
            Mereka lebih akrab dengan kebudayaan Barat dan tumbuh menjadi pembela fanatik sekularisme. Islam di mata mereka setali tiga uang dengan keterbelakangan dan kemunduran. Mereka takjub dan silau terhadap Barat bukannya tanpa pamrih. Dengan menyerap pola hidup dan pola pikir Barat mereka mengharpkan pemerintah kolonial Inggeris bersimpati kepada mereka dan naik martabatnya. Menurut Iqbal golongan inilah yang paling nyata kehilangan khudi(diri) dan asing terhadap ajaran Islam dan kebudayaan Islam. Mereka gemar meniru pola hidup Barat yang cenderung materialistis dan hedonistis. Tentang golongan ini Iqbal menulis menulis dalam sebuah puisinya dengan nada menyindir:

                        Rahasia kekuatan Barat bukan dalam nada suling dan gitarnya
                        Pun tidak dalam tari setengah telanjang gadis-gadisnya
                        Tidak pula karena persona kemolekan wanitanya
                        Pun bukan disebabkan buah dadanya dipamerkan dan rambut dipotong
                                    pendek

                        Kekuatan Barat bukan pula karena sekularisme
                        Kemajuannya tidak disebabkan menggunakan huruf Latin
                        Kekuatan Barat terletak pada ilmu pengetahuan dan seninya
                        Lampunya menyala terang oleh karena api ini

                        Pengetahuan tidak tergantung pada mode dan corak pakaian
                        Surban tidak merintangimu memperoleh pengetahuan


Golongan kedua, yang juga dikritik habis-habisan oleh Iqbal, ialah Muslim tradisional yang berpikiran picik dan gemar bertaqlid pada ulama yang pandangan keagamaannya mandeg total. Karena golongan ini sangat benci kepada Inggeris, maka segala hal yang berasal dari Barat  mereka tolak. Mereka tumbuh menjadi golongan yang picik dan tertutup. Mereka tidak mau mempelajari ilmu pengetahun modern sebab berasal dari Barat dan tidak juga mau belajar bahasa Inggeris untuk meningkatkan pengetahuannya. Iqbal pun memandang golongan ini sebagai kelompok soaial yang telah kehilangan khudi atau dirinya yang sejati. Di tangan mereka agama jatuh menjadi sehiimpunan upacara dan bentuk peribadatan formal yang tidak membawa transformasi dan perubahan yang bermakna kepada penganutnya. Ayat-ayat kitab suci dibaca dan dihafal tanpa diikuti rasa ingin mengetahui maknanya secara mendalam. Bahkan tidak jarang yang menganggap kalimat-kalimat suci sebagai azimat untuk menangkal diri dari ancaman bahaya.
            Padahal, menurut Iqbal dan banyak cendekiawan Muslim lain, al-Qur`an mengajarkan kepada umat agar mencintai ilmu pengetahuan dan mengasah akal pikirannya. Dan yang disebut ilmu pengetahuan tidak terbatas ilmu-ilmu agama, tetapi juga termasuk ilmu pengetahuan alam dan sosial, ilmu-ilmu kemanusiaan dan kebudayaan. Bahkan peradaban dan kebudayaan Islam berkembang pesat pada zaman kejayaan Abbasiyah di Baghdad, karena orang Islam giat mempelajari bahasa-bahasa dan kebudayaan dari luar Islam seperti Yunani, Persia, India, Cina dan Byzantium. Namun dalam menyerap kebudayaan, falsafah dan ilmu pengetahuan dari luar itu para cendekiawan dan filosof Muslim bersikap kritis; dan dengan metode dan caranya yang sendiri yang didapat ajaran agamanya dapat mengembangkan corak pemikiran, ilmu pengetahuan dan kebudayaan sendiri.
            Terhadap golongan kedua ini Iqbal menulis sajak yang tidak kalah pedas kecamannya, lebih kurang seperti berikut:

                        Agama sejati tenggelam, kalah dari bukan agama
                        Bagi para mullah agama ialah kesibukan mengecam orang sebagai kafir
                        Bagi mereka yang sekuler,  agama ialah bagaimana mengatur siasat
                        Dan menimbun kekayaan walaupun merugikan agama anutannya
                        Bagi para mullah agama ialah bagaimana mendatangkan kesukaran
                        Atas nama kitab suci dan Tuhan

            Golongan masyarakat Muslim lain yang juga dikecam oleh Iqbal ialah para pengikut tarekat sufi yang dekaden. Mereka acuh tak acuh terhadap pemulihan kehidupan sosial ekonomi orang Islam. Mereka melarikan diri dari kehidupan nyata dan tenggelam dalam kehidupan spiritual yang palsu. Padahal Islam tidak memusuhi dunia meskipun meninggikan akhirat. Mengeritik golongan ketiga dan juga kedua Iqbal menulis dalam sajak “Kepada Saqi, Penuang Anggur”:

                        Kebenaran ajaran agama terkubur dalam timbunan sampah
                        Dan upacara-upacara sesat menenggelamkan kalimah syahadatnya
                        Khotbah para ulamanya memang enak didengar telinga
                        Namun kehilangan api cinta sejati
                        ...
                        Kaum sufinya dulu dikenal sebagai Kesatria Tuhan yang tak kenal rasa
 takut
                        Tidak tertandingi dalam cinta dan makrifat
                        Namun kini mereka telah berubah jadi pesilat lidah
                        Dan tukang khayal yang menyedihkan
           
            Yang ideal bagi Iqbal untuk memajukan peradaban Islam ialah bagaimana memadukan akal dan wahyu, metode rasional dan metode intuitif, pengetahuan dan cinta, ilmu dan iman. Di Barat, kata Iqbal, hanya akal yang diutamakan dan iman disingkirkan. Di Timur kaum pendeta dan terpelajarnya hanya menekankan pada intuisi dan perasaan, tetapi mengabaikan akal atau rasio. Iman dan cinta penting karena manusia adalah hamba-Nya, dan untuk berdialog dengan Tuhan memerlukakan sarana iman dan cinta. Namun sebagai khalifah-Nya di muka bumi, manusia harus mendayagunakan akalnya dan giat mencari pengetahuan agar dapat mengemban amanat Tuhan untuk memelihara dan mengembangkan kehidupan di bumi.

Khudi dan Kebangunan Islam
            Apa yang dimaksud khudi dalam pemikiran falsafah Iqbal? Apa relevansinya bagi kita dan bagaimana kaitan sebenarnya dengan gagasan kebangunan kembali Islam sebagai agama profetik? Sebagaimana telah dikemukakan, gagasan Iqbal tentang khudi pada mulanya bertolak dari keprihatinannya terhadap keadaan umat Islam di India yang telah mulai kehilangan diri dan jati dirinya. Jadi gagasan ini lebih bersifat sosiologis dibanding bersifat falsafah. Tetapi kemudian, terutama sebagai nampak dalam buku puisinya Asrar-i Khudi (Rahasia-rahasia Diri, 1905) gagasan tentang khudidiperluas dan diperdalam, dan dalam puisi-puisi Iqbal yang lebih kemudian lagi dikaitkan dengan kebangunan kembali Islam pada abad ke-20 M.
            Pusat kehidupan kemanusiaan dan sumber eksistensi kita sebagai manusia, menurut Iqbal ialah Diri. Dirilah yang bertanggungjawab memilih yang paling sesuai dan juga memilih cara untuk mempertahankan dan mengembangkan hidup. Tingkat intensitas dan kelemahan khudi  dalam diri setiap insan yang menentukan kekuatan dan kelemahan seseorang atau suatu bangsa. Semakin penuh kesadaran dirinya, semakin tinggi cita-cita dirinya, semakin kuat kehendak dan semangat bangsa tersebut mencpai cita-citanya dan tidak menyerah pada cita-cita bangsa lain yang dipaksakan kepadanya.
            Dalam bahasa yang sederhana khudi merupakan pusat kesadaran manusia dan disebabkan kenyataan ini manusia dipandang sebagai mahkluq kerohanian. Sebagai kenyataan rohani khudi merupakan kesadaran dan perasaan bawaan yang membimbng manusia menuju martabatnya. Iqbal bertolak dari ayat al-Qur`an surah Ali Imran, “Sesungguhnya Tuhan tidak akan merubah nasib suatu kaum sebelum mereka merubah dirinya (kesadaran diri, atau alam pikirannya.” Esensi khudi mengacu pada pengertian yang dikemukakan al-Qur`an tentang kedudukan manusia di alam semesta dan di tengah mahkluq lain, yaitu sebagai khalifah Tuhan dan juga sebagai hamba-Nya.
            Gagasan Iqbal ini dikembangkan dari gagasan para sufi seperti Jalaluddin Rumi dan Abdul Karim al-Jili mengenai Insan Kamil (Manusia Universal). Rujukannya dijumpai dalam al-Qur’an misalnya dalam surat al-Baqarah 30: “Alam semesta dicipta bagi manusia dan manusia ditunjuk sebagai khalifah Tuhan di muka bumi.” Juga dalam al-Qur’an 15:29, “Allah mencipta manusia menurut gambaran-Nya, meniupkan ruh ke dalam tubuhnya.” Begitu pula al-Qur’an menyebut manusia sebagai makhluq yang paling banyak menerima anugerah kemampuan intelektual. Ayat yang dirujuk Iqbal untuk memperkuat gagasan tentang realisasi diri (khudi) menuju martabat Insan Kamil, ialah al-Qur’an 51:20-21. Di situ dinyatakan bahwa ayat-ayat Tuhan terbentang di langit dan bumi, serta di dalam diri manusia. Ini menurut Iqbal merupakan pertanda pentingnya realisasi diri ke arah pribadi yang menyerupai gambaran-Nya.
            Iqbal juga mengutip Hadis riwayat Muslim dan Bukhari, “Seseorang yang merealisasikan martabatnya sebagai khalifah Tuhan di bumi, tidak akan dapat dikalahkan oleh siapa pun”. Pepatah Sufi menyatakan, “Barang siapa yang dapat merealisasikan dirinya, dia merealisasikan Tuhannya.” Menurut Iqbal khudi atau Diri dapat tumbuh dan menjadi teguh apabila diperkuat oleh Cinta (`isyq). Cinta adalah kecenderungan kuat terhadap sesuatu yang dicintai. Cinta seorang Muslim yang paling tinggi ditujukan kepada Tuhan, kemudian kepada ajaran agama dan Nabi sebagai  pembimbingnya di jalan keimanan dan tauhid.
            Cinta dalam falsafah Iqbal juga diartikan sebagai iman dan juga intuisi intelektual. Dalam pengertian yang demikian Cinta merupakan metode untuk memperoleh pengetahuan di luar jalan yang rasional dan empiris, tetapi melalui ilham profetik atau    visi kerohanian yang terang. Cinta juga merupakan prinsip kreatif kehidupan. Manusia dapat merealisasikan dirinya bukan semata-mata melalui ilmu pengetahuan, tetapi juga dengan Cinta. Pengetahuan intuitif juga disebut Cinta dan ia dibangun oleh seorang Muslim dengan jalan memperbanyak ibadah dan amal saleh.
            Adanya kesadaran mendalam mengenai khudi dan kuatnya cinta kaum Muslimin terhadap ajaran agama, beserta khazanah intelektual dan budayanya, merupakan syarat kebangunan kembali Islam pada abad ini. Tanpa kebangunan Diri, tidak mungkin umat Islam mengalami kebangkitan. Tanpa jati diri dan percaya diri, juga terhadap tauhid sebagai inti ajaran agamanya, kaum Muslimin tidak akan dapat merevitalisasi peradabannya yang pernah jaya dan cemerlang di masa lalu.

Abdul Hadi W.M. 15 November 2010

dari: https://www.facebook.com/notes/tentang-sastra-dan-budaya/muhammad-iqbal-filosof-kebangkitan-timur-dan-dunia-islam/178249592230374
Posted by Dedeh SH

Tidak ada komentar:

Posting Komentar