Senin, 30 November 2015

Kembalinya Wajah Peradaban Islam di Aceh

Oleh Teuku Zulkhairi

Sepuluh tahun pasca perdamaian Aceh – Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), rakyat Aceh kini telah berada di jalur yang tepat dalam mengembalikan kembali peradaban Islam yang pernah berjaya. 

Buktinya, di samping proses penerapan syari’at Islam yang kini telah masuk dalam berbagai sendi hidupan dan menunjukkan keberhasilan secara menggembirakan, kini sudah cukup banyak komponen masyarakat Aceh yang bergerak membangun kembali tradisi “berlomba-lomba dalam kebaikan” yang pernah hilang.

Majelis-majelis ilmu di luar institusi pendidikan resmi kini muncul bak cendawa di musim hujan. 
Prestasi-prestasi anak Aceh pun kian mendunia. 
Bahkan, seruan-seruan untuk kembali dalam sistem Islam dalam berbagai tatanan kehidupan kian bergema setiap saat. 
Dari bidang ekonomi, pelayanan publik, sosial budaya dan pariwisata, pendidikan, kesehatan, hingga ke berbagai persoalan prinsipil lainnya.
Seruan-seruan ini memang belum memberikan hasil maksimal seperti diharapkan, namun harus diakui bahwa sedikit demi sedikit nilai-nilai Islam telah semakin menguat dalam berbagai sisi kehidupan masyarakat Aceh sebagai bukti bahwa seruan menuju kehidupan Islam akan senantiasa membuahkan hasil meskipun secara bertahap.
 Sudah sangat jauh lebih baik jika kita membandingkan Aceh kini dengan Aceh masa lalu di era konflik berkepanjangan yang merusak segala sendi dan fondasi peradaban bangsa Aceh.

Syariat Islam maju secara bertahap

Dalam bidang ekonomi setelah melewati berbagai tantangan, akhirnya pemerintah Aceh sepakat untuk mengubah Bank Aceh Aceh yang konvensional menjadi Bank Aceh Syari’ah. Sebagai pemegang saham mayoritas Bank Aceh, pemerintah Aceh dibawah kepemimpinan Zaini Abdullah-Muzakkir Manaf akhirnya sepakat untuk konversi bank Aceh menjadi bank Syari’ah. 

“Alhamdulillah, semua mendukung perubahan sistem Bank Aceh dari bentuk konvensional dikonversikan menjadi sistem syariah,” kata Zaini Abdullah seperti dilansir kantor berita Antara.com, (25 Mei 2015). 
Kita patut gembira atas keputusan ini menngingat pelaksanaan ekonomi Islam yang non ribawi merupakan visi besar dari ajaran Islam. 
Apalagi, dalam pandangan Islam, terdapat dosa yang sangat besar atas setiap praktek ekonomi ribawi.
Dalam bidang pendidikan, Qanun Pendidikan Aceh hasil revisi pun kini secara jelas memuat visi pendidikan kurikulum Islami meskpun dalam implementasinya para stakeholder masih ‘meraba-meraba’ teknis mewujudkan pendidikan Islami di Aceh. 
Tentu kita berharap pendidikan Islami di Aceh mampu diwujudkan meskipun agaknya membutuhkan waktu lama dalam mewujudkannya. 
Proses menuju pendidikan Islam telah dimulai secara regulatif.

Sementara itu, dalam bidang pariwisata, data Badan Pusat Statistik (BPS) Aceh menunjukkan kunjungan wisatawan mancanegara ke provinsi Aceh meningkat. 

Yang menarik, kedatangan wisatawan salah satunya adalah pelaksanaan syari’at Islam. Menurut kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Aceh, Hermanto, hingga bulan September 2014 telah mencapai angka 18.633 orang atau mengalami peningkatan hingga 94,26 persen bila dibandingkan dengan periode yang sama pada tahun 2013 yang lalu.

Hermanto menjelaskan sejumlah alasan semakin meningkatnya kunjungan wisatawan ke provinsi Aceh salah satunya adalah pelaksanaan syariat Islam. 
Menurutnya banyak masyarakat internasional yang tertarik dengan berita pelaksanaan syariat Islam di Aceh. 
“Jadi pelaksanaan syariat Islam ini membuat orang penasaran ingin melihat seperti apa, jadi tidak benar kalau ada yang bilang syariat Islam menghambat wisatawan datang ke Aceh, disamping juga terkait dengan kondisi keamanan Aceh yang semakin baik, dan berita tentang Aceh di luar sana tidak lagi negative, ” kata Hermanto sebagaimana dilansir hidayatullah.com, (17 Dsember 2014).

Sementara dalam bidang kesehatan, sedikit demi sedikit pelayanan sudah mulai dilakukan secara Islami, meskipun upaya ini nampaknya sedikit terlambat. 
Rumah Sakit Umum Zainal Abidin (RSUZA) kini adalah salah satu contoh RSU yang terus mencoba melakukan inovasi dan memberikan pelayanan Islami kepada pasien. Di banding dulu, kini RSUZA sudah jauh lebih baik. 
Ruang Instalasi Gawat Darurat (IGD) kini telah memiliki dokter-dokter khusus yang melayani pasien yang menderita penyakit apapun secara cepat.

Ruang farmasi pun telah tersedia di ruang IGD sehingga memudahkan keluarga pasien gawat darurat untuk memperoleh obat secepat mungkin. 

Bahkan, di RSUZA kini juga juga sudah ada rohaniwan-rohaniwan (Ustaz) yang senantiasa muncul untuk memotivasi para pasien dengan nasehat-nasehat agama. 

Kita berharap agar inovasi RSUZA ini ke depan bisa ‘menular’ ke RSU lainnya di berbagai kabupaten/kota di Aceh. Tentu ini tidak mustahil.

Tahun lalu, menuju keperawatan yang Islami, Lembaga Pengabdian Kepada Masyarakat (LPKM) berserta tim dosen Fakultas Keperawatan (FKep) Universitas Syiah Kuala (Unsyiah) bekerja sama dengan Rumah Sakit Zainoel Abidin menggelar seminar tentang keperawatan berbasis Islami, di Gedung Auditorium RSUZA, (Serambi Indonesia, 31 Oktober 2014). 

Ini sebagai pertanda bahwa upaya-upaya menuju kehidupan Islam dalam berbagai tatanan kehidupan masyarakat Aceh terus bergerak maju di semua lini.

Lebih dari itu, merespon sisi keberhasilan penerapan syari’at Islam di Aceh dewasa ini, Guru besar UIN Ar-Raniry, Prof Dr M. Hasbi Amiruddin menyebut beberapa indikator capaian keberhasilan penerapan syari’at Islam di Aceh hasil dari penelitian akhir-akhir ini (Suara Darussalam: 2013). 

Di antara sisi positif pasca penerapan syari’at Islam, menurut beliau, kini pelacuran sudah berkurang atau tidak dilakukan secara terang-terangan. 
Padahal dulu pelacur muncul dimana-mana. 
Kini tidak ada lagi penjualan dan minum-minuman keras secara terang-terangan, padahal dulu kita begitu menjumpai warung-warung yang menjual minuman keras secara transparan. 
Begitu mudah kita temukan orang yang mabuk-mabukan. 
Kini sudah tinggi kesadaran kaum perempuan untuk memakai jelbab, padahal dulu tidak.

Bahkan, kini tidak ada lagi perjudian secara terang-terangan, sementara dulu banyak warung yang menyediakan tempat berjudi, apalagi semacam judi buntut yang melibatkan hampir semua strata masyarakat. 
Demikianlah sekilas geliat masyarakat Aceh dan upaya pemerintahnya dalam mewujudkan kehidupan Islam di bumi endatu warisan para aulia. 
Tentu, wajah Aceh seperti ini sangat berbeda dengan wajah Aceh di masa konflik.

Bergeliatnya Majelis Ilmu

Sepuluh tahun pasca perdamaian, di berbagai belahan bumi Aceh kini telah hadir majelis-majelis ilmu yang diselenggarakan oleh berbagai komunitas masyarakat Aceh. 
Ada sekumpulan pengusaha yang tergabung dalam Indonesia Islamic Bussines Forum (IIBF) Aceh secara rutin mengadakan pengajian dengan bahasan seputar ekonomi Islam dan konsepsi Islam dalam membangun pasar dan bisnis. 
Mereka terlihat konsen terus memperjuangkan ekonomi Syari’ah sesuai harapan Islam dan kaum Muslimin, khususnya dalam perkara perdagangan. 
Bahkan, terakhir mereka mulai eksis mengkampanyekan kepada masyarakat Aceh untuk membeli produk lokal di hadapan tantangan ekonomi yang menerpa dunia Islam.


Begitu juga, yang paling dahsyat adalah hadirnya komunitas wartawan yang tergabung dalam Kaukus Wartawan Peduli Syari’at Islam (KWPSI) yang selenggarakan pengajian Islam setiap pekan dengan berbagai tema aktual sehingga dengan demikian mereka telah mengambil satu posisi penting dalam agenda besar menuju kebangkitan peradaban Islam di Aceh. 

Intensitas keikutsertaan para wartawan dalam pengajian-pengajian seperti ini pada akhirnya turut mempengaruhi hadirnya berita-berita yang mendukung visi syari’at Islam di Aceh sejak beberapa tahun belakangan ini.

Banyak media di Aceh yang akhir-akhir ini kian semangat dalam memberikan porsi maksimal untuk berita yang memiliki muatan syi’ar Islam. 
Bahkan, radio-radio yang membawa misi dakwah dan syi’ar Islam kini juga terus bermunculan. 

Dari radio ‘Seulaweut’ yang si gelombangnya menjangkau Banda Aceh dan Aceh Besar, Radio Yadara di Jeunieb yang mampu menjangkau kawasan Bireuen dan Pidie, hingga Radio Bujang Salim di Lhokseumawe yang mampu menjangkau Aceh Utara dan sekitarnya.

Selain itu, juga ada pengajian-pengajian yang diisi para ulama seperti pengajian Tauhid, Tasawuf dan Fikih (Tastafi) Abu Mudi (Tgk. Hasanoel Basry) di berbagai wilayah yang dihadiri ribuan jamaah. 

Pengajian ‘Asy-Syifa’ yang diasuh Tgk Abubakar Usman (Abon Buni) di berbagai tempat yang meskipun kini telah berlangsung selama 13 tahun namun jama’ahnya tetap selalu tumpah ruah pada setiap kali pengajian diselenggarakan. 

Bahkan fantastisnya, bukan hanya jamaah tidak berkurang, namun yang sangat menggembirakan dalam penelusuran penulis saat pengajian diselenggarakan di Kecamatan Matangkuli Aceh Utara, ternyata jamaahnya justru semakin bertambah.

Begitu juga pengajian ‘Tauhid Tasawuf’ Abu Amran Waly di Pantai Barat Selatan yang tidak pernah henti diselenggarakan dan dengan jamaah yang selalu membludak serta berasal dari berbagai negara. 

Bukankah menggeliatnya majelis ilmu merupakan pra-syarat utama kembalinya peradaban Islam dalam kehidupan suatu masyarakat Muslim?

Dan tentu saja, di samping yang penulis sebutkan di atas, juga cukup banyak majelis-majelis ilmu lainnya yang semakin bergeliat pasca 10 tahun damai Aceh. Sesuatu yang tidak mungkin dicapai dalam kondisi Aceh yang didera konflik.

Geliat Majelis Zikir dan Shubuh Berjamaah

Bahkan, sepuluh tahun pasca damai, kini kita juga bisa menyaksikan munculnya berbagai Majelis Zikir meskipun tidak di seluruh wilayah di Aceh. 

Berbagai majelis Zikir ini dihadiri ribuan jama’ah setiap kali diselenggarakan. 

Majelis-majelis Zikir ini, senantiasa konsen menyeru umat untuk berzikir dan memenuhi mesjid-mesjid dan tempat-tempat dipelajarinya ilmu. 

Mengingat peranan Zikir sebagai media untuk “berkomunikasi” dengan Allah Swt, 
dimana Allah menjanjikan dengan berzikir hati menjadi tenang, 
maka bukankah hati-hati yang tenang ini akan sangat bisa mempengaruhi struktur sosial masyarakat Aceh menuju kehidupan Islam, 
bahkan juga dalam menyambut seruan kebangkitan peradaban Islam?

Dan yang lebih dahsyat adalah program ‘Subuh Keliling’ disingkat dengan ‘Suling’ yang diselenggarakan oleh berbagai komunitas masyarakat Aceh terus konsen berjuang untuk memperbanyak jamaah shalat Shubuh di Mesjid. 

Hasilnya pun praktis terasa dengan semakin membludaknya jamaah shalat shubuh dewasa ini. Bahkan, fenomena yang paling spektakuler, jamaah shalat Tahajjud di bulan Ramadhan kini hampir mencapai jumlah jamaah Shalat Jum’at, sepeti terlihat di Mesjid Al-Makmur Lamprit.

Meskipun tidak semua mesjid selenggarakan, namun ini adalah bukti bahwa masyarakat Aceh telah kembali dalam jalur kehidupan Islam. 

Bukankah membludaknya jamaah Shalat Shubuh dan apalagi Shalat Tahajjud, 
adalah pra-syarat kembalinya kekuatan umat Islam dalam menuju kebangkitan sebagaimana disinggung dalam ayat-ayat Allah Swt hadis-hadis Nabi Muhammad Saw? 

Bahkan, banyak ayat-ayat dalam Alquran yang menyebut bahwa Shalat Tahajjud merupakan kriteria ketakwaan umat Islam dimana takwa itu sendiri merupakan pilar utama ‘bangunan ‘peradaban Islam.

Mengharumnya nama Aceh

Puncaknya, aksi sosial masyarakat Aceh yang berkali-kali membantu pengungsi Rohingya yang sebelumnya diterlantarkan berbagai negara di Asia Tenggara telah ikut mengharumkan Aceh dalam pentas peradaban dunia. 

Apresiasi untuk Aceh yang telah membantu Rohingya ini antara lain datang dari badan dunia Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) sebagaimana dikutip republika.co.id, (19 Mei 2015). 
Mantan Presiden RI, SBY juga mengaku terharu dengan respon masyarakat Aceh terhadap Rohingya.

Sesungguhnya ini merupakan bukti kecil untuk membenarkan penilaian harumnya nama Aceh di pentas dunia. 
Aksi sosial masyarakat Aceh ini sebagai pembuktian bahwa keislaman masyarakat Aceh juga tentu saja mengandung misi sosial dan kemanusiaan universal. 

Dan hal ini, adalah lombatan besar masyarakat Aceh dalam mengembalikan peradaban Islam di Aceh. 
Dan yang sungguh fantastis dan menggembirkan, hampir tidak ada media massa di Aceh yang kontra dengan sikap masyarakat Aceh yang bantu Rohingya.

Perkembangan lainnya, ketika Musyawarah Besar (Mubes) Himpunan Ulama Dayah Aceh (HUDA) diselenggarakan tahun 2013 yang lalu, para ulama dari kawasan Aceh Tenggara yang diundang dalam serangkaian kegiatan HUDA menyebut Aceh sangat pantas memimpin kebangkitan ulama Melayu karena berbagai faktor dan landasan historis, 
seperti posisi Aceh sebagai pintu masuknya Islam ke kawasan Asia Tenggara. 

Bahkan, ketika awal 2015 yang lalu ulama-ulama Aceh melakukan kunjungan balasan ke Thailand dan Malaysia, menurut informasi dari sekjend HUDA, Tgk Bulqaini Tanjungan yang disampaikan kepada penulis seusai tiba di Aceh, ulama di kedua Negara tersebut juga kembali meminta Aceh memimpin kebangkitan umat Islam di Asia Tenggara. 

Bahkan, salah satu ulama Aceh saat berkunjung ke Malaysia diminta menyampaikan Tausyiah di hadapan para pembesar kerajaan di Kelantan.
Oleh sebab itu, maka pantaslah jika kini kita menyebut masyarakat Aceh sebagai ‘aktor’ penting dalam membangun fondasi peradaban di kawasan Melayu. 

Setidaknya ini merupakan perkembangan siginifikan jika dibandingkan dengan nihilnya kiprah Aceh di kawasan Melayu di masa konflik. 

Keyakinan kita ini tentu sangat berasalasan mengingat landasan sejarah. 
Sampai saat ini, para pakar sejarah Melayu-Islam masih sepakat menunjukkan Aceh 
sebagai tanah leluhur Melayu Islam kawasan Asia Tenggara.

Ditambah dengan dukungan pemerintah meskipun tidak secara ekstra, 
gerakan masyarakat Aceh menuju kehidupan Islam nampaknya akan terus melaju dan sulit dibendung. 

Kesadaran historis pernah menjadi bangsa besar di masa lalu menjadi alasan paling fundamental yang senantiasa mendorong masyarakat Aceh dan kaum intelektualnya untuk terus bekerja dalam skala peradaban demi membangun masyarakat Aceh yang Islami. 

Apalagi, perkembangan teknologi informasi 
telah membuat Aceh semakin mudah menyaksikan geliat peradaban lain di dunia 
yang berbeda sehingga pada akhirnya tidak sedikit kaum muda Aceh yang sadar 
akan masa lalunya sehingga mereka semakin menghadirkan kerinduan akan kembalinya peradaban masa lalu Aceh yang dibangun dengan nilai-nilai Islam.

Penutup
Perdamaian yang dirasakan masyarakat telah memungkinkan diselenggarakannya berbagai agenda pembangunan khususnya dalam rangka mengeluarkan masyarakat dari kebodohan, himpitan kemiskinan dan kenestapaan menuju kehidupan berperadaban, sesuatu yang sama sekali tidak mungkin dilakukan dalam kondisi Aceh yang didera konflik. 

Di hadapan segudang lompatan-lompatan Aceh menuju kehidupan Islam dan kembalinya peradaban mulia ini, harapan terbesar kita adalah lestarinya perdamaian Aceh sehingga ke depan lompatan-lompatan Aceh akan semakin meningkat secara bertahap.

Di balik itu, kita berharap seluruh elit politik Aceh dan jajaran birokrasi mampu mengisi era perdamaian ini dengan agenda-agenda pembangunan yang lebih substansial sesuai hajat hidup masyarakat Aceh. 

Begitu juga bagi masyarakat Aceh, selain geliat-geliat peradaban yang dilakukan, masyarakat kita harapkan terus mengawasi agenda Aceh untuk kembali dalam kehidupan Islam di berbagai tatanan kehidupan. Wallahu a’lam bishshwab.

Note:
Tulisan ini memenangkan juara lomba menulis 10 Tahun Perdamaian Aceh yang diselenggarakan PWI Aceh- Sekolah Jurnalisme Indonesia. Link: http://fokusaceh.com/index.php/2015/08/25/juara-iv-lomba-karya-tulis-10-tahun-damai-aceh-sji-pwi-aceh/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar