Syukur yang begitu mendalam kepada Allah SWT atas kesehatan dan karunia yang begitu melimpah diberikan di bulan suci ini, diberi kekuatan untuk beribadah baik wajib maupun sunat.
Salam takzim yang se khalis-khalisnya kita haturkan kepada baginda Rasulullah SAW, kepada para Sahabat, kepada sekalian Guru Mursyid yang dengan ikhlas membimbing dan menuntun para murid tidak terkecuali saya pribadi sehingga bisa merasakan nikmatnya beribadah di bulan penuh rahmat ini.
Walaupun telah berlalu satu minggu,
saya mengucapkan selamat memasuki bulan Ramadhan kepada para sahabat sekalian,
memasuki bulan latihan menuju kesempurnaan.
Tulisan “…Gurumu itu adalah Guruku juga..”
terilham dari pengalaman pribadi saya bertemu secara rohani dengan seorang Syekh
yang telah lama wafat,
artinya Beliau secara zahir sudah tidak ada tapi secara rohani
Beliau memberikan nasehat berharga kepada saya walaupun Beliau bukan Guru saya.
Tulisan ini setelah saya tulis ternyata cukup panjang,
membahas tentang Guru Mursyid dan perdebatan seputarnya.
Tulisan ini untuk menjawab pertanyaan-pertanyan di komentar tentang,
“Siapa Guru Mursyid yang Paling benar”,
“Siapa Penerus Guru”,
Setelah Guru saya tidak ada lagi penerus”,
“Kenapa Si A berani menyatakan diri sebagai penerus Guru?”
dan lain-lain sehingga dengan membaca tulisan ini nanti
tidak ada lagi pertanyaan atau pernyataan seperti dalam tanda kutip di atas
dan kita bisa menyudahi membahas hal yang sebenarrnya tidak harus di bahas
lebar oleh orang yang menyatakan diri sebagai murid .
Karena panjang (dan saya masih melanjutkan menulis untuk bagian akhir tulisan ini setelah dhuhur), maka tulisan ini saya bagi menjadi 3 bagian…
Tahun 2003 saya pernah berkunjung ke sebuah pasantren
sekaligus tempat suluk di daerah pantai barat Aceh, namanya Babussalam.
Nama itu mengingatkan saya akan kampung tarekat di daerah Langkat Sumatera Utara yang didirikan oleh seorang Ulama Sufi terkenal, Syekh Abdul Wahab Rokan
atau dikenal juga dengan nama Tuan Guru Basilam atau Syekh Basilam.
Kata “Babussalam” karena pengaruh ucapan orang medan yang cepat menjadi “Basilam” dan sampai sekarang orang menyebut perkampungan itu dengan Basilam.
Saya juga pernah berziarah ke makam Syekh Abdul Wahab Rokan,
nanti akan saya ceritakan dalam tulisan terpisah.
Kembali ke Babussalam, saya sebenarnya bukan bertujuan untuk khusus mengunjungi tempat tersebut, kebetulan tiba waktu Jum’at, saya shalat Jum’at di mesjid dalam komplek pasantren Babussalam.
Yang membedakan mesjid itu dengan mesjid pada umumnya adalah di mimbar nya.
Mesjid itu memiliki 2 buah mimbar tempat khatib berkhutbah,
satu mimbar dipakai untuk khatib umum,
sedangkan mimbar satu lagi khusus untuk Tuan Guru disitu
yang memimpin suluk sekaligus pasantren.
Tuan Guru di Babussalam di Kota Meulaboh Aceh Barat akrab di sapa dengan Abu Mursyid, kalau “Abu” panggilan untuk ulama di sumatera khususnya di Aceh,
terkadang juga di panggil “Abuya” yang artinya sama yaitu Ayah.
Di dalam tarekat sudah menjadi tradisi secara turun temurun
hubungan antara Guru dan murid adalah hubungan bapak dengan anak,
karenanya menyebut Guru biasa dengan Ayah, Bapak, Abu, Abi, Abuya dan lain-lain.
Sama halnya dengan Kampung tarekat Babussalam di Langkat,
pasantren Babussalam ini juga fokus kepada Tarekat dan suluk.
Babussalam artinya pintu keselamatan.
Mungkin nama itu bermakna lewat pintu ini
orang akan memperoleh keselamatan dunia dan akhirat.
Lewat pintu ini juga orang bisa menggapai Ridha Allah SWT.
Selesai shalat Jum’at, saya tidak langsung pulang
tapi menunggu orang-orang meninggalkan Mesjid dengan harapan saya bisa berjumpa dan berkenalan dengan pimpinan suluk disitu yang akrab di sapa dengan Abu Mursyid,
saya sampai sekarang tidak tahu nama lengkap Beliau.
Dari informasi dari sahabat saya yang Ayahnya teman seperguruan dari Abu Mursyid, bahwa Abu Mursyid adalah murid dari Abuya Syekh Muhammad Waly Al-Khalidi,
seorang Ulama yang menyebarkan tarekat Naqsyabandi di Aceh di awal kemerdekaan.
Abu Mursyid saya tidak kenal karena belum pernah berjumpa,
tapi kalau Abuya Syekh Muhammad Wali al-Khalidy atau dikenal dengan Syekh Muda Wali sudah sering saya dengar dan saya pernah melihat photo-photo Beliau di rumah sahabat saya yang Ayahnya pernah menjadi khadam beliau selama 8 tahun
dan saya juga sudah membaca karya Beliau sekaligus riwayat hidupnya.
Mesjid sudah sepi,
tapi saya belum punya kesempatan untuk berjumpa dengan Abu Mursyid
karena disitu tidak ada orang yang saya kenal untuk bisa membawa saya kepada Beliau. Akhirnya saya dekati tempat suluk yang berada di sebelah mesjid.
Saya kembali ke Mesjid kemudian shalat dua rakaat, dalam hati lewat Guru saya,
saya menyampaikan salam kepada Abu Mursyid,
salam perkenalan sebagai sesama pengamal tarekat.
Kemudian tiba-tiba di depan saya berdiri seorang yang gagah memakai jubah coklat tua. Beliau tersenyum kepada saya.
Saya memandang wajah Beliau dengan seksama.
Ini sosok yang tidak asing bagi saya,
Beliau adalah Syekh Muhammad Wali al-Khalidi atau Syekh Muda Wali Guru Mursyid
dari Abu Mursyid.
Saya masih bertanya dalam hati,
saya ingin berjumpa dengan Abu Mursyid, lalu kenapa Guru Beliau yang datang?
Dengan senyum yang indah di pandang dan dengan suara lembut Beliau berkata,
“Gurumu itu adalah Guruku juga”,
setelah mengucapkan kata tersebut saya tertegun sejenak meresapi makna ucapan Beliau dan Beliau kemudian berjalan ke arah Qubah Mesjid dan menghilang.
Saya masih bertanya bagaimana mungkin Guru saya adalah Guru Beliau
karena setahu saya Guru Beliau adalah Syekh Abdul Gani Batu Basurat di Riau,
murid dari Syekh Sulaiman Zuhdi di Jabal Qubis Mekkah.
Syekh Muda Wali sudah lama berlindung kehadirat Allah (meninggal dunia) tahun 1961, sudah lama sekali.
Kata-kata “Gurumu itu adalah Guruku juga”
sangat berkesan bagi saya dan beberapa tahun kemudian
baru saya memahami maknanya.
Dulu, salah seorang khalifah Syekh Muda Wali mengalami sakit berat sampai akhirnya lumpuh di hari Jum’at.
Menurut pendapat beberapa orang, orang yang lumpuh di hari Jum’at biasanya tidak akan sembuh, kecuali Tuhan berkehendak.
Sudah banyak tempat di datangi, tidak ada kemajuan sama sekali,
padahal Beliau tahun depan ingin menunaikan ibadah haji.
Kebetulan saya meminta doa kepada Guru saya untuk kesembuhan Khalifah dari Syekh Muda Wali yang sudah berumur 82 tahun,
akhirnya bisa sembuh dengan normal dan bisa menunaikan ibadah Haji.
Sebagai rasa terima kasih, Beliau datang berziarah ke tempat Guru saya
dan saya memperkenalkan Guru saya kepada Beliau.
Dalam pertemuan itu Guru saya duduk di atas kursi dan Beliau duduk di bawah,
pada saat berjumpa Beliau mencium tangan Guru saya dengan hormat.
Kebetulan saat itu banyak orang yang hadir, berziarah kepada Guru saya.
Kebetulan juga ada sekitar 20 orang ingin menjadi murid Guru saya.
Dalam hati saya ingin sekali Khalifah ini juga menjadi murid Guru saya
karena Guru Beliau kan sudah lama meninggal dunia.
Suatu kegembiraan yang luar bisa bagi saya kalau khalifah itu
bisa masuk terekat kembali menjadi murid dari Guru saya.
Tapi hal yang diluar perkiraan saya,
Guru saya berkata,
“Yang 20 orang silahkan nanti malam masuk tarekat,
sedangkan Beliau ini (sambil menunjuk ke arah Khalifah)
tidak perlu lagi masuk tarekat karena dia sudah jadi dengan Gurunya”.
Kata “jadi” berarti dia telah sempurna berguru dengan Gurunya.
Begitulah akhlak dari Guru Sufi, tidak bernafsu untuk merebut murid orang lain
dan tidak memaksa orang menjadi muridnya.
Seperti halnya juga Syekh Muda Wali yang sudah lama meninggal dunia,
secara rohani Beliau menunjukkan akhlak luar biasa
mengakui Guru saya sebagai Guru Beliau,
bisa jadi untuk menambah semangat saya berguru.
Tapi secara hakikat memang Guru itu SATU,
secara zahir ada banyak sekali pembimbing rohani di dunia ini.
Bersambung Jam 16.00 wib…
Tidak ada komentar:
Posting Komentar