LALU SIAPAKAH KITA ?
Banyak yang akan mengatakan bahwa jika kita tidak ditentukan
oleh jenis kelamin , tubuh, emosi, fakultas imajinatif atau memori kita
maka tentunya kita adalah apa yang kita pikirkan, dan
ditentukan oleh pikiran kita.
Di sini kita akan mencapai ranah yang lebih halus .
Orang bisa saja mengatakan yang sejalan dengan Aristoteles yaitu
manusia adalah hewan rasional , yang berarti bahwa
sudah watak manusia untuk berpikir.
Bahkan seorang tokoh Sufi Persia besar abad ketiga belas
seperti Rumi pun mengatakan ,
"Wahai Saudara, engkau adalah pikiran itu sendiri,
Diri mu selebihnya bukan apa-apa , kecuali otot dan tulang."
Mastnawi , 1;178.
Tetapi yang dimaksud Rumi dengan pikiran
bukan hanya pemikiran diskursif se hari-hari ,
yang melompat dari satu konsep ke konsep lain,
sementara tiada keseluruhan wujud dari orang yang memegang
pemikiran itu berpartisipasi di dalam konsep tersebut
(meskipun itu benar), sebuah pemikiran yang tidak melampaui
level permainan mental.
Selain itu, pengetahuan konseptual bisa salah dan
mengantarkan pada kekeliruan, dan aktivitas otak yang berlebihan
bisa mengalihkan kesadaran dari pusat wujud kita.
Itulah sebabnya para mistikus juga berbicara tentang
"tidak mengetahui", dan secara lebih khusus ,
kaum Sufi telah menyatakan secara eksplisit bahwa
untuk mencapai Kebenaran ,
orang harus "mencabik tabir pikiran".
Singkatnya , sementara kita memiliki pikiran ,
identitas kita yang sebenarnya terdapat pada
tingkatan yang lebih mendalam dari pada wujud kita.
Tingkatan yang lebih dalam ini adalah hati/ akal,
hati sebagai pusat dari mikrokosmos manusia dan
juga organ pengetahuan pemersatu yang terkait dengan akal
(dalam pengertian abad pertengahan tentang intelectus, atau
nous dalam bahasa Yunani, bukan dalam pengertian rasio saat ini ).
Hati juga merupakan tempat Realitas Ilahi bersemayam di dalam
laki-laki dan perempuan , seperti yang ditegaskan oleh hadis qudsi,
"Langit dan bumi tidak mampu meliputiku ,
tetapi hati hambaku yang beriman mampu meliputi-Ku.".
Di sinilah , tepat di pusat hati tempat beradanya sang Ilahi,
ditemukan akar dari "Aku" dan jawaban terakhir bagi pertanyaan
"siapakah aku?".
Tasawuf berusaha membawa sang murid ke dalam hati,
tempat mereka menemukan diri mereka yang sejati
sekaligus Kekasih mereka, dan untuk alasan itu kaum Sufi
terkadang disebut "ahli-hati" (ahl-i-dil, dalam bahasa Persia).
Tentu saja, frase "diri mereka yang sejati dan sekaligus Kekasih mereka"
sama sekali bukan berarti ada dualisme ; sebab sebagaimana yang juga
dikatakan oleh Rumi, di dalam hati hanya ada ruang bagi satu Aku,
yang merupakan akar dari diri kita yang sejati dan sekaligus
Diri itu sendiri.
Siapakah Aku ?
Aku adalah Aku yang setelah melintasi semua tahapan eksistensi terbatas
dari fisik ke mental ke noumenal , lalu menyadari "non-eksistensi"
dirinya sendiri dan melalui peniadaan diri yang palsu ini ,
telah kembali ke akarnya di dalam Realitas Ilahi dan
menjadi sebuah bintang terdekat dengan Matahari Supernatural ,
yang pada akhirnya adalah satu-satunya Aku.
Setelah melalui pintu ketiadaan dan anihilisasi,
Aku tiba pada kesadaran bahwa pada akar kesadaranku ,
dari apa yang aku sebut sebagai Aku ,
bersemayam satu-satunya Aku yang bisa berkata Aku
dan yang hanya Dia sendirilah yang ada.
@SHN..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar