Sabtu, 28 November 2015

MAQAM SABAR MENURUT SUFI Sabar (Ash-Shabru)

MAQAM SABAR MENURUT SUFI Sabar (Ash-Shabru) dalam tasawuf 
adalam maqam yang harus ditempuh bagi tiap salik.

 Hal ini karena dalam laku tasuwuf (orang sufi) 
akan mengalami banyak hambatan, cobaan dan ujian, 
maka laku sabar adalah tahapan yang harus ditempuh dengan baik.

Sabar adalah pilar kebahagiaan seorang hamba. 
Sabar adalah upaya menahan diri dari sifat kegundahan dan rasa emosi, 
kemudian menahan lisan dari keluh kesah, 
serta menahan anggota tubuh dari perbuatan yang tidak terarah. 

Dengan kesabaran itulah seorang hamba akan terjaga dari kemaksiatan, 
lalu berusaha untuk konsisten menjalankan ketaatan, 
dan tabah dalam menghadapi berbagai macam cobaan.

Amru bin Usman mengatakan, 
bahwa sabar adalah keteguhan bersama Allah, 
menerima ujian dari-Nya dengan lapang dan tenang.

Hal senada juga dikemukakan oleh Imam al-Khowas, 
bahwa sabar adalah refleksi keteguhan untuk merealisasikan al-Qur'an dan sunnah. 

Sehingga sesungguhnya sabar tidak identik dengan kepasrahan dan ketidak mampuan. 

Justru orang yang seperti ini memiliki indikasi adanya 
ketidak sabaran untuk merubah kondisi yang ada, 
ketidaksabaran untuk berusaha, 
ketidaksabaran untuk berjuang dan lain sebagainya. 

Sabar bukanlah sesuatu yang harus diterima seadanya, 
bahkan sabr adalah usaha kesungguhan yang juga merupakan sifat Allah 
yang sangat mulia dan tinggi. 

Sabar ialah menahan diri dalam memikul sesuatu penderitaan 
baik dalam sesuatu perkara yang tidak diingini mahupun dalam kehilangan
sesuatu yang disenangi.

Abu Hurairah meriwayatkan bahwa A’isyah menuturkan Rasulullah SAW bersabda, 

“Sabar (yang sebenarnya) itu adalah pada saat menghadapi cobaan yang pertama.”

Karena itu sabar dibagi menjadi beberapa macam: 

sabar terhadap apa yang diperoleh si hambah (melalui amalan-amalanya), 
misalnya sabar menjalankan perintah Allah dan menjauhi larangan-larangan Allah. 
Dan sabar terhadap apa yang diperoleh tanpa upaya,
misalnya kesabaran dalam menjalankan ketentuan Allah 
yang menimbulkan kesukaran baginya.

Al-Junayd menegaskan, “perjalanan dari dunia ke akhirat 
adalah mudah bagi orang yang beriman, 
tetapi menghindari makhluk demi allah adalah sulit. 

Dan perjalanan dari diri sendiri menuju Allah SWT adalah sangat sulit, 
tetapi yang lebih sulit lagi adalah bersabar terhadap Allah.” 

Ketika ditanya tentang sabar, Al-Junaid menjawab,
 ”sabar adalah meminum kepahitan tanpa wajah cemberut.” 
Dan Ali bin Abi Thalib ra, menyatakan,
”hubungan antara sabar dengan iman seperti hubungan antara kepala dengan badan.”

Al-Jurairi menjelaskan,
“sabar tidaklah membedakan keadaan bahagia atau menderita, 
disertai dengan ketentraman pikiran dalam keduanya. 
Ketabahan yang sabar adalah mengalami kedamaian ketika menerima cobaan, 
meskipun dengan adanya kesadaran akan beban penderitaan.”

Syaikh Abu Ali ad-Daqqaq menegaskan,
”kebenaran hakiki tentang sabar adalah
 jika si hamba keluar dari cobaan dalam keadaan seperti ketika ia memasukinya, sebagaimana yang dikatakan oleh Ayub as pada Akhir cobaan yang menimpanya, ‘sesungguhnya aku telah ditimpa penyakit dan
 Engkau adalah tuhan yang maha penyayang diantara semua yang penyayang’
(QS.Al-Anbiya’:83). 

Nabi Ayyub memperlihatkan sikap berbicara yang layak dengan ucapanya,’
Dan Engkau adalah Tuhan yang maha penyayang diantara semua yang menyayangi’ 
tetapi dia tidak bicara secara eksplesit [seperti yang dikatakanya], 
‘Limpahkanlah kasih saying-Mu kepadaku’.”

Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin rahimahullah berkata, 

“Sabar itu terbagi menjadi tiga macam:

1. Bersabar dalam menjalankan ketaatan kepada Allah
2. Bersabar untuk tidak melakukan hal-hal yang diharamkan Allah
3. Bersabar dalam menghadapi takdir-takdir Allah yang dialaminya, 
berupa berbagai hal yang menyakitkan dan 
gangguan yang timbul di luar kekuasaan manusia ataupun yang berasal dari orang lain.

Syekh Ibn ‘Atha’illah membagi sabar menjadi 3 macam sabar 
terhadap perkara haram, 
sabar terhadap kewajiban, dan 
sabar terhadap segala perencanaan (angan-angan) dan usaha.
Sabar terhadap perkara haram adalah sabar terhadap hak-hak manusia. 
Sedangkan sabar terhadap kewajiban adalah sabar terhadap kewajiban dan 
keharusan untuk menyembah kepada Allah.

Segala sesuatu yang menjadi kewajiban ibadah kepada Allah 
akan melahirkan bentuk sabar yang ketiga yaitu 
sabar yang menuntut sufi untuk meninggalkan segala bentuk angan-angan kepada-Nya. 

“Sabar atas keharaman adalah sabar atas hak-hak kemanusiaan. 
Dan sabar atas kewajiban adalah sabar atas kewajiban ibadah. 
Dan semua hal yang termasuk dalam kewajiban ibadah kepada Allah 
mewajibkan pula atas sufi untuk meniadakan segala angan-angannya bersama Allah”.
Semoga bermanfaat

Tidak ada komentar:

Posting Komentar