Tarekat
(Refleksi Historis Atas Perkembangan Tarekat Dalam Dunia Islam)
Abstrak
Tarekat merupakan usaha dari pengikut sufi dalam mengembangkan tasawufnya.
Pada hakikatnya sulit memisahkan tasawuf dan tarekat.
Secara umum makna tasawuf adalah usaha mendekatkan diri kepada Tuhan
dengan sedekat mungkin melalui penyucian rohani dan memperbanyak ibadah.
Usaha mendekatkan diri kepada Tuhan dilakukan secara individual
oleh seorang ulama yang cenderung kepada kehidupan kerohanian.
Kemudian diikuti oleh murid-muridnya yang melakukan dengan hal yang sama
seperti perbuatan gurunya.
Ketika itu terjadi pengajaran dan latihan pada murid
di bawah bimbingan dan pengawasan gurunya
yang dalam dunia tarekat disebut Syeikh.
Singkat kata tasawuf merupakan ibadah individual yang dikomunalkan melalui tarekat.
Kata Kunci : Tarekat, Tasawuf, Rohani.
I. Pendahuluan
Cikal bakal tasawuf dan tarekat,
dan benih-benih serta dasar ajarannya tak dapat dipungkiri
sudah ada sejak dalam kehidupan Nabi Muhammad SAW.
Hal ini dapat dilihat dalam perilaku dan peristiwa yang terjadi dalam hidup,
dalam ibadah dan dalam pribadi Nabi Muhammad SAW.
Cikal bakal itu semuanya berdasarkan al-Qur’an dan al-Hadith.
Cikal bakal inilah yang diteruskan pengamalannya
oleh Ahlu al-Bait, Khulafau al-Rasyidin,
para sahabat yang lain,
para Ahlu al-Shufah ,
para Salafu al-Shaleh, zaman tabi’in, tabi’t al-tabi’in
sampai dengan zaman mutaakhirin sekarang ini.
Para Sufi dan Syeikh-Syeikh Mursyid dalam tarekat,
merumuskan bagaimana
sistematika, jalan, cara, dan tingkat –tingkat jalan
yang harus dilalui oleh para calon sufi atau murid tarekat
secara rohani untuk cepat bertaqarrub,
mendekatkan diri kehadirat Allah SWT.
Kenyataan dalam sejarah juga menunjukkan,
bahwa peran aktif dari para sufi dan para tuan Syeikh atau Mursyid adalah amat besar dalam dakwah islam dan dalam pembinaan umat,
tidak hanya dalam bidang ibadah ubudiyah,
tetapi meliputi seluruh aspek kehidupan perorangan,
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Pendapat yang menyatakan bahwa
tasawuf dan tarekat itu menghambat kemajuan atau
menyebabkan umat menjadi terbelakang adalah sangat keliru.
Kenyataan juga membuktikan,
sejak dahulu sampai sekarang, kemajuan pembangunan yang serba canggih
buah dari ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK),
tanpa dikendalikan oleh iman dan taqwa(IMTAQ),
tidak hanya mengancam timbulnya kehancuran umat manusia.
Dengan kata lain, kemajuan dalam bidang benda material
tanpa diimbangi degan kemajuan pembinaan mental spiritual ,
akan menjurus kepada kehancuran menyeluruh.
II. Definisi Tarekat (Pengertian Tarekat)
“Tarekat” secara etimologi berarti jalan, keadaan, aliran, atau garis pada sesuatu,
yang berasal dari bahasa Arab yaitu thoriqoh mufrod daripada thoro’iq.
[1]
Secara terminologi, “tarekat” berarti
perjalanan seorang salik (pengikut tarekat) menuju Tuhan
dengan cara mensucikan diri
atau perjalanan yang harus ditempuh secara rohani, maknawi
oleh seseorang untuk dapat mendekatkan diri
sedekat mungkin kepada Allah SWT.
Secara khusus,
pengertian ini mengacu kepada system latihan meditasi
maupun amalan (muraqabah, dzikir, wirid, dan sebagainya)
yang dihubungkan dengan sederet guru sufi dan
organisasi yang tumbuh di seputar metode sufi yang khas ini.
Dengan demikian,
tarekat merupakan sistematisasi ajaran-ajaran tasawuf.
[2]Menurut Syekh Amin al-Kurdi tarekat ialah
cara mengamalkan syariat dan menghayati inti syariat itu dan
menjauhkan diri dari hal-hal yang bisa melalaikan pelaksanaan
dan inti serta tujuan syariat.
[3]
III. Hubungan Tarekat dengan Tasawuf
Para ahli mistik dalam berbagai tradisi keagamaan
cenderung menggambarkan
langkah-langkah yang membawa kepada hadirat Tuhan sebagai “jalan”.
Menurut Annemarie Schimmel, tiga “jalan” tersebut dalam agama Kristen
dibagi menjadi
via purgative,
via contemplative, dan
via illuminative,
dalam batas-batas tertentu
mirip dengan syari’at, tarekat, dan hakikat dalam agama Islam.
[4]
Dalam dialog interaktif antara Malaikat Jibril dan Nabi Muhammad SAW ,
Malaikat Jibril bertanya kepada Nabi Muhammad SAW, “
Hai, Muhammad ceritakan kepadaku tentang Islam,
“Rasulullah SAW menjawab,
“hendaknya engkau bersaksi bahwa
tiada Tuhan selain Allah dan bahwa Muhammad adalah utusan Allah,
mendirikan shalat, mengeluarkan zakat, berpuasa pada bulan ramadhan,
dan menunaikan ibadah haji jika mampu”.
Ceritakan kepadaku tentang Iman, Rasulullah SAW menjawab,
“hendaknya engkau beriman kepada Allah, malaikat-malaikatNya, kitab-kitab suci-Nya, para rasulNya, hari akhir, dan hendaknya kamu beriman kepada ketentuan Allah
(qodho dan qodar) yang baik maupun yang buruk”.
Ceritakan kepadaku tentang Ihsan ,
Rasulullah SAW menjawab,
"beribadahlah kepada Allah seolah-olah engkau melihatNya,
apabila engkau tidak mampu melihatNya sesungguhnya Allah melihatmu.
[5] Disimpulkan bahwasanya
Islam : Syari’ah,
Iman : Thoriqoh,
Ihsan : Haqiqoh.
Thariqah
Haqiqah
The Inner Truth
Wilayah Eksotoris (The Outward Religion)
Wilayah Esotoris
Syari’ah
Kaum sufi berpendapat bahwa
terdapat empat tingkatan spiritual umum dalam Islam, yaitu
syari'at, tariqah, haqiqah, dan tingkatan keempat ma'rifat
yang merupakan tingkatan yang 'tak terlihat'.
Tingkatan keempat dianggap merupakan inti dari wilayah hakikat,
sebagai esensi dari seluruh tingkatan kedalaman spiritual beragama tersebut.
Contoh :
كما في الإسلام : الصلاة، معنى الصلاة طهارة للنفس، وتقريبا للقلب، وتحلية للإنسان بفضائل الهيبة والخشوع والمشاهدة والمراقبة والمناجاة مع الله تعالى والإنس به، وبدون هذه المعاني تكون الصلاة هيكلا فارغا من المضمون.[6]
Dari misal di atas penulis mengartikan bahwasanya sholat merupakan syari’ah
secara definitive sholat diartikan berdo’a dengan ibadah gerakan badan,
dan secara harfiah sholat merupakan keadaan seorang hamba
ketika dalam beribadah
mampu memaknai arti daripada gerakan sholat,
memusatkan pikiran dan
berkonsentrasi mentaqorubkan kehadirat Allah
dengan segala kerendahan dan kekhusyu’an,
tanpa paham ini sholat merupakan ibadah gerakan badan yang kosong,
sehingga penulis menyimpulkan yang hanya sholat berarti baru pada tingkatan syari’ah, yang sholat sesuai dengan kandungan artinya telah tiba kepada tingkatan thoriqoh
yang akan mengantarkannya kepada haqiqoh,
bahkan mencapai kepada makrifah,
dari sini dapat ditarik bahwasanya kaum sufi
menisbahkan komunitinya dengan sebutan tarekat
bahwasanya para murid mereka sudah memahami syari’ah
dan dikenalkan lebih lanjut kepada thoriqoh
yang mana mampu mengantarkannya kepada haqiqoh
bahkan puncaknya kepada makrifah.
IV. Sejarah Timbulnya Tarekat.
Transformasi tasawuf menjadi persaudaraan sufi (tarekat)
bermula ketika kaum sunni berhasil menggeser dinasti-dinasti Syi’ah
(Bayazid di Baghdad pada 1055, Fatimiyah di Mesir pada 1171) dan
berakhir sampai masa penakhlukan Mongol atas kota Baghdad pada 1258.
[7]
Peralihan tasawuf yang bersifat personal pada tarekat yang bersifat lembaga
tidak terlepas dari perkembangan dan perluasan tasawuf itu sendiri.
Semakin luas pengaruh tasawuf, semakin banyak pula orang berhasrat mempelajarinya.
Seorang guru tasawuf biasanya memformulasikan
suatu sistem pengajaran tasawuf berdasarkan pengalamannya sendiri.
Sistem pengajaran itulah yang kemudian menjadi ciri khas bagi suatu tarekat
yang membedakannya dari tarekat yang lain.
[8]Tarekat adalah organisasi dari pengikut sufi-sufi besar.
Mereka mendirikan organisasi-organisasi
untuk melestarikan ajaran-ajaran tasawuf gurunya.
Maka timbullah tarekat.
Tarekat ini memakai suatu tempat pusat kegiatan yang disebbut ribat
(disebut juga zawiyah, hangkah atau pekir).
Teori lain sejarah kemunculan tarekat dikemukakan oleh Jhon O. Voll.
Ia mejelaskan bahwa penjelasan mistis terhadap Islam muncul sejak awal sejarah islam,
dan para sufi yang mengembangkan jalan-jalan spiritual personal mereka
dengan melibatkan praktik-praktik ibadah, pembacaan kitab suci, dan kepustakaan
tentang keshalehan.
Para sufi ini kadang-kadang terlibat konflik dengan otoritas-otoritas
dalam komunitas islam dan memberikan alternatif
terhadap orientasi yang lebih bersifat legalistik,
yang disampaikan oleh kebanyakan ulama.
Namun, para sufi secara bertahap menjadi figur-figur penting
dalam kehidupan keagamaan dikalangan penduduk awam dan
mulai mengumpulkan kelompok-kelompok pengikut diidentifikasi
dan diikat bersama oleh jalan tasawuf khusus (tarekat) sang guru.
Mejelang abad ke-12 M (ke-5 H),
jalan-jalan ini mulai menyediakan basis bagi kepengikutan yang lebih permanen,
dan tarekat-tarekat sufi pun muncul sebagai organisasi sosial utama
dalam komunitas islam.
[9]
Pada awal kemunculannya, tarekat berkembang dari dua daerah,
yaitu Khurasan (Iran) dan Mesopotamia (Irak).
Pada priode ini mulai timbul beberapa,
diantaranya tarekat Yasafiah yang didirikan oleh Ahmad al-Yasafi
(w. 562 H/1169 M),
tarekat Khawajagawiyah yang disponsori oleh Abd al-Khaliq al-Ghzudawani
(w. 617 H/1220 M),
tarekat Naksabandiyah, yang didirikan oleh Muhammad Bahauddin an-Naksabandi al-Awisi al-Bukhari
(w. 1389 M) di Turkistan,
tarekat Khalwatiyah yang didirikan oleh Umar al-Khalwati
(w. 1397 M).
Karena banyaknya cabang-cabang tarekat yang timbul dari tiap-tiap tarekat induk,
sangat sulit untuk menelusuri sejarah perkembangan tarekat itu
secara sistematis dan konsepsional.
Akan tetapi yang jelas sesuai dengan penjelasan Harun Nasution,
cabang-cabang itu muncul sebagai akibat tersebarnya alumni suatu tarekat
yang mendapat ijazah tarekat dari gurunya
untuk membuka perguruan baru
sebagai perluasan dari ilmu yang diperolehnya.
Alumni tadi meninggalkan ribat gurunya dan membuka ribat baru di daerah lain.
Dengan cara ini,
dari satu ribat induk kemudian timbul ribat cabang tumbuh ribat ranting dan seterusnya, samapi tarekat itu berkembang keberbagai dunia islam.
[10] Namun, ribat-ribat tersebut tetap mempunyai
ikatan kerohanian, ketaatan, dan amalan-amalan yang sama
dengan syekhnya yang pertama.
Dalam seluruh tarekat terdapat kegiatan ritual sentral
yang melibatkan pertemuan-pertemuan kelompok secara teratur
untuk melakukan pembacaan do’a, syair dan ayat-ayat pilihan dari Al-Qur’an.
Perlu ditambahkan di sini bahwa organisasi tarekat dapat dikatakan longgar
dan tanpa anggran dasar.
Kesediaan bersama untuk menyelenggarakan ritual-ritual tertentu
dan menunaikan kewajiban-kewajiban khusus
yang bertujuan untuk menjunjung tinggi kehidupan beragama
merupakan prinsip dasar yang mengikat para anggota satu sama lain.
Ketaatan buta kepada guru merupakan suatu keharusan mutlak.
[11] Adab seorang murid terhadap gurunya dalam sebuah tarekat
digambarkan seperti mayat dan yang memandikannya.
[12] Di depan gurunya,
seorang murid harus bersikap seperti mayat
yang berada di tangan orang yang memandikannya.
Aliran-aliran Tarekat Dalam Islam
a. Tarekat Qadiriyah
Qadiriyah didirikan oleh Abd Al-Qadir Jailani (470/1077-561/1166) atau quthb al-awiya.
Ciri khas dari Tarekat Qadiriyah ini adalah sifatnya yang luwes, tidak sempit
sehingga tuan syekh atau Syekh Mursyid yang baru dapat menentukan langkahnya
menuju kehadirat Allah SWT guna mendapat keridlaan-Nya.
Keluwesan dan kemandirian inilah,
yang menyebabkan tarekat ini cepat berkembang di sebagian besar dunia Islam.
Terutama di Turki, Yaman, Mesir, India, Suria, Afrika dan termasuk ke Indonesia.
b. Syadziliyah
Tarekat Syadziliyah didirikan oleh Abu Al-Hasan Asy-Syadzili (593/1196-656/1258).
Syadziliyah menyebar luas di sebagian besar Dunia Muslim.
Ia diwakili di Afrika Utara terutama oleh cabang-cabang Fasiyah dan Darqawiyah
serta berkembang pesat di Mesir,
tempat 14 cabangnya dikenal secara resmi pada tahun 1985.
[13]
c. Tarekat Naqsabandiyah
Tarekat Naqsabandiyah didirikan oleh Muhammad Bahauddin An-Naqsabandi Al-Awisi Al-Bukhari (w. 1389M) di Turkistan.
Tarekat ini mempunyai dampak dan pengaruh sangat besar kepada masyarakat muslim
di berbagai wilayah yang berbeda-beda.
Tarekat ini pertama kali berdiri di Asia Tengah, kemudian meluas ke Turki, Suriah, Afganistan, dan India.
Cirri menonjol Tarekat Naksabandiyah adalah :
Pertama, mengikuti syariat secara ketat,
keseriusan dalam beribadah yang menyebabkan penolakan terhadap musik dan tari,
dan lebih menyukai berdzikir dalam hati.
Kedua, upaya yang serius dalam memengaruhi kehidupan dan pemikiran
golongan penguasa serta mendekati Negara pada agama.
d. Tarekat Yasafiyah dan Khawajagawiyah
Tarekat Yasafiyah didirikan oleh Ahmad Al-Yasafi (w. 562H/1169M) dan
disusul tarekat Khawajagawiyah yang disponsori oleh Abd Al-Khaliq Al-Ghuzdawani
(w. 617 H/1220 M).
kedua tarekat ini menganut paham tasawuf Abu Yazid Al-Bustami )w. 425 H/1034 M) dan dilanjutkan oleh Abu Al-Farmadhi (w. 477 H/1084 M).[14]
Tarekat Yasafiyah berkembang ke berbagai daerah, antara lain ke Turki.
e. Tarekat Khalwatiyah
Tarekat ini didirikan oleh Umar Al-Khalatawi (w. 1397 M) dan
merupakan salah satu tarekat yang berkembang di berbagai negeri, seperti Turki, Syiria, Mesir, Hijaz, dan Yaman.
Di Mesir, tarekat Khalwatiyah didirikan oleh Ibrahim Gulsheini (w. 940 H/1534 M)
yang kemudian terbagi kepada beberapa cabang,
antara lain tarekat Sammaniyah yang didirikan oleh
Muhammad bin Abd Al-Karim As-Samani (1718-1775).
f. Tarekat Syatariyah
Tarekat ini didirikan oleh Abdullah bin Syattar (w. 1485) dari India.
Tarekat ini tidak mementingkan shalat lima waktu,
tetapi mementingkan shalat permanen (shalat dhaim).
Adapun dasar tarekat ini adalah martabat tujuh yang sebenarnya
tidak begitu erat hubungannya dengan praktik ritualnya.
[15]
g. Tarekat Rifa’iyah
Tarekat ini didirikan oleh Ahmad bin Ali ar-Rifa’I (1106-1182).
Tarekat sufi Sunni ini memainkan peranan penting dalam pelembagaan sufisme.
h. Tarekat Qadiriyah wa Naqsabandiyah
Tarekat ini merupakan gabungan dari dua ajaran tarekat, yaitu Qadiriyah dan Naqsabandiyah.
Tarekat ini didirikan oleh Ahmad Khatib Sambas yang bermukim dan mengajar di Mekkah pada pertengahan abad ke-19.
Tarekat ini merupakan yang paling berpengaruh dan tersebar secara meluas
di Jawa saat ini.[16]
i. Tarekat Sammaniyah
Tarekat ini didirikan oleh Muhammad bin ‘Abd Al-Karim Al-Madani Asy-Syafi’I As- Samman (1130-1189/1718-1775).
Hal menarik dari tarekat ini yang menjadi ciri khasnya adalah
corak wahdat al-wujud yang dianut dan
syathahat yang terucap olehnya tidak bertentangan dengan syariat.
j. Tarekat Tijaniyah
Tarekat Tijaniyah didirikan oleh Syekh Ahmad bin Muhammad At-Tijani
(1150-1230 H/1737-1815 M).
Bentuk amalan tarekat Tijaniyah terdiri dari dua jenis,
yaitu wirid wajibah dan wirid ikhtiyariyah.
k. Tarekat Chistiyah
Chistiyah adalah salah satu tarekat sufi utama di Asia Selatan.
Tarekat ini meyebar ke seluruh kawasan yang kini merupakan wilayah India, Pakistan dan Banglades.
Namun, tarekat ini hanya terkenal di India.
Pendiri tarekat ini di India adalah Khwajah Mu’in Ad-Din Hasan, yang lebih populer dengan panggilan Mu’in Ad-Din Chisti.
l. Tarekat Mawlawiyah
Nama Mawlawiyah berasal dari kata “mawlana” (guru kami),
yaitu gelar yang diberikan murid-muridnya kepada Muhammad Jalal Ad-Din Ar-Rumi (w. 1273).
Oleh karena itu, Rumi adalah pendiri tarekat ini, yang didirikan sekitar 15 tahun terakhir hidup Rumi.
Salah satu mursyid sekaligus wakil yang terkenal secara internasional dari tarekat ini
adalah Syekh Al-Kabir Helminski yang bermarkas di California, Amerika Serikat.
17]
m. Tarekat Ni’matullahi
Tarekat Ni’matullahi adalah suatu mazhab sufi Persia yang segera setelah berdirinya dan mulai berjaya pada abad ke-8-14 mengalihkan loyalitasnya kepada Syi’I Islam.
Tarekat ini didirikan oleh Syekh Ni’matullahi Wal.
Tarekat ini secara khusus menekankan pengabdian dalam pondok sufi itu sendiri.
n. Tarekat Sanusiyah
Tarekat ini didirikan oleh Sayyid Muhammad bin ‘Ali As-Sanusi.
Dalam tarekat ini, dzikir bisa dilakukan bersama-sama atau sendirian.
Tujuan dzikir itu lebih dimaksudkan untuk “melihat Nabi” ketimbang “melihat Tuhan”, sehingga tidak dikenal “keadaan ekstatis”’ sebagaimana yang ada pada tarekat lain.
Di samping tarekat-tarekat diatas,
ada pula tarekat lokal yang didirikan di Indonesia diantaranya :
[18]
a. Tarekat Akmaliyah (Hakmiyah)
Didirikan oleh Kyai Nurhakim.
Ia dikenal sebagai dukun dan tukang jimat.
b. Tarekat Shiddiqiyah
Didirikan oleh Kyai Mukhtar Mukti di Losari Plodo (Jombang) pada tahun 1958.
Ia dikenal sebagai dukun yang sakti sehingga banyak pengikutnya
dari kalangan penderita penyakit kronis dan bekas pecandu minuman.
c. Tarekat Wahidiyah
Didirikan oleh Kyai Majid Ma’ruf dari Kedunglo(Kediri) pada tahun 1963.
Tarekat-tarekat yang ajaran-ajarannya sesuai dengan doktrin Islam
(Al-Qur’an dan AsSunnah) dikelompokkan ke dalam tarekat yang muktabarah.
Sebaliknya, tarekat-tarekat yang ajaran-ajarannya bertentangan dengan doktrin Islam dikelompokkan ke dalam tarekat ghair muktabarah.
Menurut Syekh Jalaluddin sebagaimana dikutip ole Aboe Bakar Atjeh,
ada 41 jenis tarekat yang masuk ke dalam tarekat muktabarah,
diantaranya Qadiriyah, Naqsabandiyah, Syadziliyah, Rifa’iyah, Qubrawiyah, Suhrawardiyah, Khalwatiyah, Alawiyah, Syatariyah, Aidrusiyah, Sammaniyah, dan Sanusiyah.
Di luar yang 41 macam tersebut dipandang sebagai tarekat ghair muktabarah
yang tidak diakui kebenarannya seperti tarekat Akmaliyah, Siddiqiyah, dan Wahidiyah.
Walaupun bermacam-macam, ternyata tarekat-tarekat yang beragam itu
memiliki kesamaan tertentu.
Dalam kaitan ini, Nicholson mengungkapkan hasil penelitiannya,
bahwa sistem hidup bersih dan bersahaja [zuhd] adalah
dasar semua tarekat yang berbeda-beda itu.
Semua pengikut dididik dalam disipin itu,
dan pada umumnya tarekat-tarekat tersebut
walaupun beragam namanya dan metodenya
ada cirri yang menyamakannya.
Dari sistem dan metode tersebut,
Nicholson menyimpulkan bahwa tarekat-tarekat sufi merupakan bentuk kelembagaan
yang terorganisasi untuk membina suatu pendidikan moral dan solidaritas social.
Sasaran akhir dari pembinaan pribadi dalam pola hidup bertasawuf adalah
hidup bersih, bersahaja, tekun beribadah kepada Allah,
membimbing masyarakat ke arah yang diridai Allah,
dengan jalan
pengamalan syariat dan penghayatan haqiqah dalam sistem/metode thariqah
untuk mencapai makrifat.
Apa yang dimaksud dengan makrifat dalam tema mereka adalah
penghayatan puncak pengenalan keesaan Allah
dalam wujud semesta dan wujud dirinya sendiri.
Pada titik pengenalan ini akan terpadu makna tawakkal dalam tauhid,
yang melahirkan sikap pasrah total kepada Allah,
dan melepaskan dirinya dari ketergantungan mutlak
kepada sesuatu selain Allah.
V. Macam – Macam Tarekat
1. Secara historis,
munculnya kehidupan sufistik pada dasarnya refleksi pemaknaan
ajaran esoteris Islam dengan tujuan makrifat kepada Allah.
Selain itu, ketika kondisi objektif social politik umat mengalami degradasi nilai dan penyimpangan dari ajaran normative Islam,
kaum shufi pun memberikan respons dan perlawanan spiritual.
Hal ini antara lain pernah dilakukan oleh Abu Dzar al-Ghiffari dan Sufyan Tsauri.
Dengan demikian, ajaran shufi yang dikesankan oleh sementara orang
sebagai sikap mengabaikan urusan keduniawian, termasuk urusan politik,
mempunyai potensi yang bersifat social politis.
Salah satu peperangan yang lalui oleh salah satu kelompok tarekat yang terekam
dalam Sya’ir Perang Menteng.
Dalam syair ini, dilukiskan bagaimana kaum putihan (haji) mempersiapkan diri
untuk berjihad fi sabilillah.
Kaum haji pejuang yang dipotret dalam syair itu adalah para pengikut Tarekat Sammaniyah. Tarekat memang telah berkembang di Palembang,
dan di bawa dari Tanah Suci oleh murid-murid Abd al-Shomal al-Palimbani
pada penghujung abad ke-18. Al-Palimbani, yang tampaknya seorang shufi militant,
tidak mengabaikan urusan dunia.
Ini tercermin dalam salah satu risalahnya Nashihat al-Muslimin wa Tadzkirat al-Mu’minin fi Fadhail al-Jihad fi Sabilillah.
Semangat jihad al-Palimbani sangat memengaruhi para muridnya yang ahli tarekat
dan juga siap untuk berjihad fisik.
[19] Tarekat merupakan wahana terbaik untuk melancarkan protes bagi para aktivis. Pemberontakan tidak diorganisasi oleh tarekat, namun kadang terbukti bahwa
tarekat merupakan alat yang sangat bermanfaat untuk sebuah pemberontakan,
suatu jaringan organisasi dan komunikasi.
Karisma seorang Syeikh tarekat dapat menjadi asset besar
dalam upaya memperoleh dukungan rakyat.
[20]
2. Kelompok tarekat yang melakukat zuhd,
atau meninggalkan kehidupan dunia sebagaimana perkembangan Negara,
ataupun social politis.
VI. Kesimpulan
Tarekat adalah perjalanan seorang salik (pengikut tarekat) menuju Tuhan
dengan cara mensucikan diri atau
perjalanan yang harus ditempuh secara rohani, maknawi oleh seseorang
untuk dapat mendekatkan diri sedekat mungkin kepada Allah SWT.
Tarekat merupakan lembaga atau kumpulan yang terkomunalkan
daripada tasawuf yang merupakan ibadah individual.
Kelompok tarekat terbagi menjadi dua,
mereka yang mau memberikan perhatian terhadap kehidupan duniawi,
dan mereka yang meninggalkan kehidupan duniawi.
* Mahasiswi Program Pasca Sarjana IAIN Sunan Ampel Surabaya Konsentrasi Pemikiran Islam, NIM F05411 061
[1] Luis Makluf, al-Munjid fi al-Lughat wa al-A’lam, Cet :, (Beirut Libanon: Dar al-Masyriq, 1986), 465.
[2] Martin van Bruinessen, Tarekat Naqsabandiyah di Indonesia: Survey Historis, Geografis, dan Sosiologis, (Bandung:Mizan, 1992), 15.
[3] Tarekat adalah “jalan” yang ditempuh para sufi dan digambarkan sebagai jalan yang berpangkal dari syari’at. Jalan utama disebut dengan syar’ dan anak jalan disebut dengan thariq. Annemarie Schimmel, Mystic Dimension of Islam, yang diterjemahkan oleh Sapardi Djoko Damono, dkk, Dimensi-Dimensi Mistik dalam Islam, (Jakarta:Pustaka Firdaus, 1986), 101.
[4] Ibid.
[5] Ummu Salamah, “Sosialisme” Tarekat: Menjajaki Tradisi dan Amaliah-Spiritual Sufisme, (Bandung: Humaniora-Anggota IKAPI, 2005), 75.
[6] Abu al-Wafa al-Ghonimi al-Taftazani, Madkhol ila Tasawuf al-Islamy, (Kairo:Dar al-Tsaqofah, 1979), 13.
[7] J.Spencer Trimingham, The Sufi Orders in Islam, (Oxford: Oxford University Press, 1971), 14
[8] Nor Huda, Islam Nusantara (Sejarah Sosial Intelektual Islam di Indonesia), Cet I, (Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2007), 284.
[9] Memperkuat Kepercaya Sendiri, Tugas Akhir (TA) AMIK, dalam http://www.google.co.id/pengertia-tarekat.html, (11 Maret 2012, 05:16 AM).
[10] Harun Nasution, “Perkembangan Ilmu Tasawuf di Dunia Islam ” Dalam Orientasi Pengembangan Ilmu Tasawuf, Proyek Pembinaan Prasarana Dan Sarana Perguruan Tinggi Agama Islam/IAIN di Jakarta Ditb. baga Depag RI, 1986, 24.
[11] Sartono Kartodirdjo, Pemberontakan Petani Banten 1888, (Jakarta: Pustaka Jaya, 1984), 226.
[12] Kiasan ini pertama kali diciptakan oleh al-Junayd al-Baghdadi. Semula, kiasan itu dipakai untuk mengacu pada kepatuhan penuh kaum Muslim (tawakkal) kepada Tuhan. Azyumardi Azra, Jaringan Ulama: Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII, (Bandung:Mizan, 1999), 129.
[13] Sri Mulyati, et al., Mengenal dan Memahami Tarekat-Tarekat Muktabarah di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2004), 57.
[14] J.Spencer Trimingham, The Sufi Orders…, 58-64; Wiwi Siti Sajaroh, “Tarekat Naqsabandiyah: Menjalani Hubungan Harmonis dengan Kalangan Penguasa’, dalam John L. Esposito, Ensiklopedi Oxford…, 91.
[15] Memperkuat Kepercaya Sendiri, Tugas Akhir (TA) AMIK, dalam http://www.google.co.id/pengertia-tarekat.html, (11 Maret 2012, 05:16 AM).
[16] Ibid.
[17] Mulyadi Kartanegara, “Tarekat Mawlawiyah : Tarekat Kelahiran Turki”, Ibid.
[18] Ibid.
[19] Martin van Bruinessen, Kitab Kuning, Pesantren dan Tarekat: Tradisi-Tradisi Islam di Indonesia, (Bandung:Mizan, 1995), 332.
[20] Martin van Bruinessen, Tarekat Naqsabandiyah di Indonesia, 31.
Daftar Pustaka
Azra, Azyumardi, Jaringan Ulama: Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII, (Bandung:Mizan, 1999)
Bruinessen, Martin van, Kitab Kuning, Pesantren dan Tarekat: Tradisi-Tradisi Islam di Indonesia, (Bandung:Mizan, 1995)
___________________, Tarekat Naqsabandiyah di Indonesia: Survey Historis, Geografis, dan Sosiologis, (Bandung:Mizan, 1992)
Huda, Nor, Islam Nusantara (Sejarah Sosial Intelektual Islam di Indonesia), Cet I, (Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2007)
Kartodirdjo, Sartono, Pemberontakan Petani Banten 1888, (Jakarta: Pustaka Jaya, 1984)
Makluf, Luis, al-Munjid fi al-Lughat wa al-A’lam, Cet :, (Beirut Libanon: Dar al-Masyriq, 1986)
Memperkuat Kepercaya Sendiri, Tugas Akhir (TA) AMIK, dalam http://www.google.co.id/pengertia-tarekat.html, (11 Maret 2012, 05:16 AM)
Mulyati, Sri, Mengenal dan Memahami Tarekat-Tarekat Muktabarah di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2004)
Nasution, Harun, “Perkembangan Ilmu Tasawuf di Dunia Islam ” Dalam Orientasi Pengembangan Ilmu Tasawuf, Proyek Pembinaan Prasarana Dan Sarana Perguruan Tinggi Agama Islam/IAIN di Jakarta Ditb. baga Depag RI, 1986
Salamah, Ummu, “Sosialisme” Tarekat: Menjajaki Tradisi dan Amaliah-Spiritual Sufisme, (Bandung: Humaniora-Anggota IKAPI, 2005)
Schimmel, Annemarie, Mystic Dimension of Islam, yang diterjemahkan oleh Sapardi Djoko Damono, dkk, Dimensi-Dimensi Mistik dalam Islam, (Jakarta:Pustaka Firdaus, 1986)
al-Taftazani, Abu Alufa al-Ghonimi, Madkhol ila Tasawuf al-Islamy, (Kairo:Dar al-Tsaqofah, 1979)
Trimingham, J.Spencer, The Sufi Orders in Islam, (Oxford: Oxford University Press, 1971)
Diposkan oleh choiriyah ahmad di 05.13
Tidak ada komentar:
Posting Komentar