Selasa, 24 November 2015

Muhammad Iqbal dan Filsafatnya “Eksistensialisme” (Filsafat Islam)

Muhammad Iqbal dan Filsafatnya “Eksistensialisme”

Abstrak
Religisiutas sebagai sarana mencapai eksistensi menurut filsafat Muhammad Iqbal. 

Sebuah kajian eksistensialisme kritik Iqbal 
tentang fatalisme Islam dan Materialisme Barat Modern. 
Manusia sebagai makhluk eksistensial 
dituntut untuk memenuhi eksistensi dirinya, 
bersifat aktif, dinamis, dan kuat. 

Manusia tidak seharusnya pasif, statis, 
bahkan menarik diri dari kepentingan duniawi dan 
tunduk secara buta pada ajaran tertentu. 

Materialisme Barat Modern telah menghilangkan metafisika 
dan mengakibatkan timbulnya krisis eksistensial manusia, alienasi, dan dehumanisasi.

Kata Kunci : Eksistensialisme, Fatalisme, Materialisme, Alienasi, Dehumanisasi

I.             Pendahuluan

Hancurkan dunia sampai berkeping-keping
bila tidak sesuai denganmu
Dan ciptakan dunia yang lain dari kedalaman wujudmu
Betapa pedihnya manusia merdeka yang hidup
di dunia yang diciptakan oleh manusia lain
(Muhammad Iqbal)[1]

Shair Iqbal di atas merupakan ekspresi kegeramannya menyaksikan umat Islam 
yang kehilangan kemerdekaan untuk menjadi diri sendiri dan 
larut dalam dunia yang diciptakan orang lain. 

Shair itu harus dimaknai secara filosofis dalam arti bahwa 
Iqbal menyuarakan pesan universal bagaimana seharusnya 
cara berada seorang individu dan sekaligus komunitas Muslim.  

Sebagai filsuf eksistensialis, 
Iqbal menghendaki kaum Muslimin untuk memiliki 
kepribadian dan karakter yang terhormat dan agung 
karena Islam telah memuliakan mereka sebagai umat terbaik (khairu ummah).  

Dia berseru kepada umat Islam,
Bangkitlah, ciptakan dunia baru
Bungkus dirimu dalam api, dan jadilah seorang Ibrahim
Jangan mau tunduk kepada apapun kecuali Kebenaran
Ia akan menjadikanmu seekor singa jantan

Seruan kebangkitan Islam yang disuarakan oleh Muhammad Iqbal (1873-1938) 
melalui puisi-puisnya adalah upayanya membangunkan kesadaran kaum Muslimin 
untuk memiliki jati diri dan identitas keislaman 
agar potensi-potensi kemanusiaan mereka berkembang.  

Puisi Iqbal merupakan manifestasi pemikiran filosofisnya 
yang mendesak individu-individu Muslim untuk merekonstruksi diri 
agar sejalan dengan amanah Tuhan sebagai khalifahNya di muka bumi. 

Murtadha Muthahhari (1919-1979) menyebutkan bahwa 
inti pemikiran Iqbal adalah ‘penyadaran diri’. 

Tetapi konsep ‘diri’ yang disasar Iqbal tak terbatas hanya pada level individu 
tetapi juga meliputi diri umat 
karena sebuah komunitas serupa dengan individu yang memiliki ruh dan kepribadian. 

 Menurut Iqbal, 
kaum Muslimin terlarang untuk menjadi umat pembeo, pengekor, peniru yang tak kreatif, dan lemah tak berdaya menghadapi gempuran sistem nilai-nilai asing 
yang menggerogoti keIslaman dan kemanusiaan mereka. 

Dengan lantang Iqbal berseru,
Jangan hinakan pribadimu dengan imitasi
Bangunlah, hai kau yang asing terhadap rahasia kehidupan
Nyalakan api yang tersembunyi dalam debumu sendiri
Wujudkan dalam dirimu sifat-sifat Tuhan

Maka di dalam makalah yang sederhana ini, 
akan mencoba memberikan gambaran pendapat Mohammad Iqbal 
tentang Filsafatnya yang berkaitan dengan eksistensiliasme.


II.           Biografi Muhammad Iqbal
Iqbal dilahirkan di Sialkot-India (suatu kota tua bersejarah di perbatasan Punjab Barat dan Kashmir) pada tanggal 22 Februari 1873/ 2 Dhulhijjah 1289[2] dan wafat ketika fajar 21 April 1938, dalam usia 60 tahun menurut kalender Masehi, atau 63 tahun menurut kalender Hijri. 
Ia terlahir dari keluarga miskin, tetapi berkat bantuan beasiswa yang diperlolehnya 
dari sekolah menengah dan perguruan tinggi, ia mendapatkan pendidikan yang bagus. Setelah pendidikan dasarnya selesai di Sialkot ia masuk Government College 
(sekolah tinggi pemerintah) Lahore. 
Iqbal menjadi murid kesayangan dari Sir Thomas Arnold.  
Iqbal lulus  pada tahun 1897 dan memperoleh beasiswa serta dua medali emas 
karena baiknya bahasa inggris dan arab, 
dan pada tahun 1909 ia mendapatkan gelar M.A dalam bidang filsafat.[3]
Ia lahir dari kalangan keluarga yang taat beribadah sehingga sejak masa kecilnya 
telah mendapatkan bimbingan langsung dari sang ayah Syekh Mohammad Noor dan Muhammad Rafiq kakeknya.[4] 
Dan Iqbal dimasukkan oleh ayahnya ke Scotch Mission College di Sialkot 
agar ia mendapatkan bimbingan dari Maulawi Mir Hasan teman ayahnya 
yang ahli bahasa Persia dan Arab. 
Pendidikan dasar sampai tingkat menengah ia selesaikan di Sialkot 
untuk kemudian melanjutkan ke Perguruan Tinggi di Lahore 
(salah satu kota di India yang menjadi pusat kebudayaan , pengetahuan, dan seni) 
di tahun 1895 di Lahore inila dia bertemu dengan Sir Thomas Arnold, 
pada tahun 1905 ia studi di Cambridge-Inggris, ia berguru pada R.A Nicholson, 
seorang spesialis dalam sufisme, dan seorang Neo-Hegelian, yaitu John M.E. Mc Taggart, dan terakhir di Munich-Jerman ia menyelesaikan doktornya pada tahun 1908 
dengan mengajukan tesis dengan judul The Development Of Metaphysics in Persia disertasi ini ia persembahkan kepada gurunya Sir Thomas Arnold. 
Sekembalinya dari Eropa tahun 1909 ia diangkat menjadi Guru Besar di Lahore 
dan sempat menjadi pengacara.[5]
Pada tahun 1922 seorang wartawan Inggris mengusulkan kepada pemerintahnya 
untuk member gelar Sir kepada Iqbal. 
Iqbalpun mendapat undangan penguasa Inggris untuk pertama kalinya. 
Mula-mula ia menolak undangan itu, tetapi atas dorongan sahabatnya, Mirza Jalaluddin, akhirnya ia memenuhi. 
Gelar Sir  ia terima dengan syarat gurunya, Mir Hasan, 
yang ahli tentang sastra Arab dan sastra Persia juga mendapat gelar Shams al-Ulama. Sebetulnya gurunya gurunya itu tidak begitu terkenal dan patut diberi gelar demikian, namun Iqbal tetap bersikeras dengan syarat yang ia ajukan. 
Akhirnya syaratnya itu diterima oleh penguasa Inggris.[6]
Saat-saat Pakistan masih memerlukan karya-karyanya, 
pada tahun 1935 istrinya meninggal dunia. 
Musibah ini membekas sangat mendalam dan membawa kesedihan yang berlarut-larut kepada Iqbal. 
Dan berbagai penyakitpupun menimpa Iqbal sehingga fisiknya semakin lemah. 
Sungguhpun demikian, pikiran dan semangat Iqbal tidak pernah mengenal lelah. 
Ia tiada henti-hentinya mengubah sajak-sajak dan terus menuliskan pemikiran-pemikirannya. 
Pada tahun 1938 sakitnya bertambah parah, ia merasa ajalnya telah dekat, 
namun Iqbal masih menyempatkan diri berpesan kepada sahabat-sahabatnya.[7]

Kukatakan kepadamu tanda seorang Mu’min
Bila maut datang, akan merekah senyum di bibir.

Akhirnya Sebagai seorang pemikir, 
tentu tidak dapat sepenuhnya dikatakan bahwa gagasan-gagasannya atau pemikirannya tanpa dipengaruhi oleh pemikir-pemikir sebelumnya. 
Iqbal hidup pada masa kekuasaan kolonial Inggris. 
Pada masa ini pemikiran kaum muslimin di anak benua India sangat dipengaruhi 
oleh seorang tokoh religius yaitu Syah Waliyullah Ad-Dahlawi[8] dan Sayyid Ahmad Khan.

[9] Keduanya adalah sebagai para pemikir muslim pertama yang menyadari bahwa 
kaum muslimin tengah menghadapi zaman modern yang didalamnya pemahaman Islam mendapat tantangan serius dari Inggris. 
Terlebih ketika Dinasti Mughal terakhir di India ini mengalami kekalahan 
saat melawan Inggris pada tahun 1857, juga sangat mempengaruhi 41 tahun kekuasaan Imperium Inggris[10] dan bahkan pada tahun 1858 British East India Company dihapus dan Raja Inggris bertanggungjawab atas pemerintah imperium India.[11]

Adapun karya-karya Iqbal diantaranya adalah:
‘Ilm al-Iqtis{a>d (1903), Devlopment of Metaphyiscs in Persia (1908), 
Islam as Moral and Political Ideal (1909), 
Asrar-i-Khudi (Rahasia-rahasia Diri/ Rahasia Pribadi) ; (1915), 
Rumuz-i-Bekhudi (Rahasia-rahasia Peniadaan Diri ) ; (1918), 
Payam-i-Mashriq (Pesan Dari Timur) ; (1923),
 Bang-i-dara (Genta Lonceng/ Seruan dari Perjalanan) ; (1924), 
Self in the Light of Relativy Speeches and Statements of Iqbal (1925), 
Zaboor-i-'Ajam (Taman Rahasia Baru/ Kidung Persia) ; (1927), 
Khusal Khan Khattak (1928), 
A Plea Deeper Study of Muslim Scientist (1929), 
Presidential Address to the All-India Muslim Leaque (1930), 
Javid Nama (Kitab Keabadian) ; (1932), 
Lectures on the Reconstruction of Religius Thought in Islam (1934), 
Letter of Iqbal to Jinnah (1934), 
Bal-i-Jibril (Sayap Jibril) ; (1935), 
Pas Cheh Bayad Kard Aye Aqwam-i-Sharq 
(Apakah Yang Akan Kau Lakukan Wahai Rakyat Timur?) ; (1936), 
Musafir Nama/ Mathnawi Musafir (1936),
 Zarb-i-Kalim (Pukulan Tongkat Nabi Musa) ; (1936),  
Armughan-i-Hejaz (Hadiah Dari Hijaz) ; (1938), dan 
A Contibution to the History of Muslim Philosopy.[12]

III.         Filsafat Iqbal

Menurut Dr. Syed Zafrullah Hasan dalam pengantar buku Metafisika Iqbal
 yang ditulis oleh Dr. Ishrat Hasan Enver, 
Iqbal memiliki beberapa pemikiran yang fundamental yaitu 
intuisi, diri, dunia dan Tuhan. 

Baginya Iqbal sangat berpengaruh di India bahkan pemikiran Muslim India dewasa ini 
tidak akan dapat dicapai tanpa mengkaji ide-idenya secara mendalam.[13]

Namun dalam tataran praktek, Iqbal secara konkrit, 
yang diketahui dan difahami oleh masyarakat dunia dengan bukti 
berupa literature-literatur yang beredar luas, 
justru dia adalah sebagai negarawan, filosof dan sastrawan. 

Hal ini tidak sepenuhnya keliru karena memang gerakan-gerakan dan karya-karyanya mencerminkan hal itu. 
Dan jika dikaji, pemikiran-pemikirannya yang fundamental (intuisi, diri, dunia dan Tuhan) itulah yang menggerakkan dirinya untuk berperan di India pada khususnya dan dibelahan dunia timur ataupun barat pada umumnya baik sebagai negarawan maupun 
sebagai agamawan. 

Karena itulah ia disebut sebagai Tokoh Multidimensional.[14]
Dengan latar belakang yang cukup unik di atas penulis dalam makalah ini 
akan memaparkan gagasan-gagasan Iqbal yang berkaitan dengan pemikiran filsafatnya
 sub bahasan eksistensialisme dalam tiga hal yaitu: 
Ego dan Khudi, Ketuhanan, Insan Kamil.

3.1.  Ego dan Khudi

Khudi dalam bahasa Parsi berarti pribadi.[15] 
Yaitu pribadi-pribadi yang sempurna. 

Sedangkan yang dimaksud Iqbal di sini adalah usaha menjadikan diri Individu 
yang selalu di liputi sifat-sifat Tuhan yang sempurna. 

Ini terlihat ketika Iqbal melukiskan kejayaan pribadi dan jalan hidup nabi Muhammad. 

Yang mana dalam tafsir sajaknya bahwa untuk perkembangan sewajarnya 
dari setiap muslim dirindukannya suatui masyarakat menurut acuan Islam, 
dan setiap muslim yang berusaha akan menjadikan dirinya Individu yang sempurna 
turut membina kerajaan Islam dibumi ini.

Syarat-syarat untuk masyarakat Islam itu dilukiskan Iqbal dalam kumpulan syairnya 
yang kedua, yakni: Rumuz -i-bekhudi, yang diterbitkan sesudah Asrar –i-khudi. 

Dalam buku kumpulan syair Rumuz –i-bekhudi itu Iqbal melukiskan bahwa 
orang yang dapat menafikan dirinya sendiri dalam masyarakat, 
membayangkan yang silam dan yang akan datang sebagai suatu satuan di dalam cermin, dapatlah dia mengatasi sang ajal dan masuk kedalam hidup ke Islaman 
yang bersifat abadi dan tidak terbatas. 

Diantara acara-acara terpenting yang abadi dan tak terbatas. 
Diantara acara-acara terpenting yang didendangkan Iqbal ialah: 
asal-usul masyarakat, kepemimpinan Tuhan pada manusia dengan perantaraan para nabi. Pembentukan pusat –pusat hidup kolektif dan nilai sejarah 
sebagai faktor penting untuk menetapkan tanda tersendiri dalam sesuatu bangsa.
[16]
Khudi yakni ego yang hendak menangkap Ego yang besar 
oleh kian membulatnya dirinya sendiri. 
Pribadi bukanlah lagi ada dalam waktu, 
tetapi waktu sendiri sudah menjadi dinamisme pribadi. 
Pribadi atau khudi itu ialah action ialah hidup dan hidup ialah pribadi.[17]

Tuhan menjelmakan sifat-sifatnya bukanlah di alam ini dengan sempurna 
tetapi pada para pribadi sehingga mendekati Tuhan berarti 
menumbuhkan sifat-sifatNya dalam diri, 
yang sebenarnya sesuai dengan hadist rasullah s.a.w: 
Takhallaqu bi akhlaqi’llah, tumbuhkanlah dalam dirimu sifat-sifat Allah. 

Jadi mencari Tuhan bukanlah dengan jalan merendah-rendahkan diri atau meminta-minta, tetapi dengan himmah tenaga yang berkobar-kobar mejelmakan sifat-sifat uluhiyyah (ketuhanan) dalam diri kita dan kepada masyarakat ramai. 

Tegasnya mendekati Tuhan ialah menyempurnakan diri pribadi insan, 
memperkuat iradah atau kemauannya.

[18]
Maka menurut Iqbal pribadi sejati adalah bukan yang menguasai alam benda 
tetapi pribadi yang dilingkupi Tuhan kedalam khuduinya sendiri. 

Maka sifat dan pikiran pribadi atau khudi ialah:

1.      Tidak terikat oleh ruang sebagaimana halnya dengan tubuh.
2.      Hanyalah lanjutan masa mengenai kepribadian
3.      Kepribadian pada asasnya tersendiri dan Unik.

[19]
Sedangkan cita tentang pribadi itu memberikan kepada kita ukuran yang sebenarnya, diselesaikannya soal buruk dan baik. 

Hal-hal yang memperkuat pribadi bagi Iqbal Ialah:
1.      ‘Isyq-o-muhabbat, yakni cinta kasih.
2.      Faqr yang artinya sikap tak peduli terhadap apa yang disediakan oleh dunia ini, 
          sebab bercita-cita yang lebih agung lagi.
3.      Keberanian
4.      Sikap tenggang rasa (tolerance)
5.      Kasb-i-halal yang sebaik-baiknya terjalin dengan hidup 
         dengan usaha dan nafkah yang sah.
6.      Mengerjakan kerja kreatif dan asli. 

[20]
3.2.  Ketuhanan

Filsafat Iqbal tentang tuhan dapat dibagi dalam tiga fase. 
Adapun dasar yang dipakai dalam pengelompokan tersebut adalah 
keaslian dan keterpengaruhan pemikiran Iqbal tersebut mengenai konsepsi Tuhan. 

Fase pertama berlangsung mulai dari tahun 1901M hingga kira-kira tahun 1908M, 
pada tahap ini Iqbal cenderung sebagai mistikus-panteistik. 
Hal itu terlihat pada kekagumannya pada konsepsi mistik yang berkembang 
di wilayah Persia, lewat tokoh-tokoh tasawuf falsafi, seperti Ibnu ‘Arabi. 
Puncak kekagumannya itu tergambar dalam disertasi doktornya, 
berjudul Development of Metaphysics in Persia: 
a Constribution to the History of Muslim Philosophy.

 Pada fase ini Iqbal meyakini Tuhan sebagai suatu Keindahan yang abadi, 
keberadaan-Nya tanpa tergantung pada sesuatu dan mendahului segala sesuatu 
bahkan menampakkan diri dalam semuanya itu. 
Ia menyatakan dirinya di langit dan di bumi, di matahari dan di bulan, 
pada kerlap kerlip bintang –bintang dan jatuhnya embun di tanah dan di laut, 
di api dan nyalanya, di batu-batu dan pepohonan, pada burung-burung dan binatang buas, di wewangian dan nyanyian, di semua tempat dan keadaan.

Demikianlah, Tuhan sebagai keindahan Abadi adalah penyebab gerak segala sesuatu. Kekuatan pada benda-benda, daya tumbuh pada tanaman, naluri pada binatang buas dan kemauan pada manusia hanyalah sekedar bentuk daya tarik ini, cinta untuk Tuhan ini. 

Karena itu, Keindahan Abadi adalah sumber, essensi dan ideal segala sesuatu. 
Tuhan bersifat universal dan melingkupi segalanya seperti lautan, dan 
individu adalah seperti halnya setetes air. 

Demikianlah, Tuhan adalah seperti matahari dan individu adalah seperti lilin, 
dan nyala lilin hilang di tengah cahaya. 
Seperti balon atau bunga api, kehidupan ini bersifat sementara 
tidak hanya itu bahkan keseluruhan wujud atau eksistensi adalah suatu yang fana.

[21]
Secara umum telah dikemukakan tentang kosepsi Iqbal tentang Tuhan pada fase pertama seperti termuat diatas. 
Pemikiran seperti itu tidak sulit dicari sumbernya, pada dasarnya pemikiran seperti itu bersifat platonis. 
Plato juga menganggap Tuhan sebagai Keindahan yang Abadi, 
sebagai alam universal yang mendahului segala sesuatu serta 
terwujud pada kesemuanya itu sebagai bentuk. 
Plato juga menganggap, Tuhan sebagai ideal tujuan manusia. 
Ia juga memisahkan cinta dari pengertian seks dan memberinya makna universal, 
konsep platonis ini sebagaimana yang diungkapkan oleh Platonis 
diambil alih oleh kaum skolastik Muslim awal dan dicangkokkan ke dalam pantheisme 
oleh para mistiukus patheistis,  
menurut Iqbal suatu tradisi lama dalam puisi, parsi dan urdu ditambah lagi lewat studinya atas puisi-puisi romantis Inggris. 
Sehingga dapat dikatakan konsepsi Iqbal mengenai Tuhan pada fase pertama ini tidak asli. 

Secara sederhana ia menunjukkan kepada kita apa yang ia terima sebagai warisan sejarah lewat kata-kata yang Indah. 
Ia menjadikan ide keTuhanan ini sebagai bahan puisi-puisinya dengan berbagai cara baru.

Masa kedua perkembangan pemikiran Iqbal bermula kira-kira tahun 1908-1920 M. 
kunci untuk memahami masa ini adalah perubahan sikap Iqbal 
kearah perbedaan yang ia tarik 
antara keindahan sebagaimana tampak pada segala sesuatu,
[22] disatu pihak dan cinta kepada keindahan dipihak lain. 

Sebagaimana telah dicatat bahwa Iqbal menyebut keindahan 
sebagai sesuatu yang kekal dan efisien serta kausalitas akhir 
dari segala cinta, gerakan dan keinginan. 
Tetapi pada masa kedua, sikap ini mengalami perubahan.

Pertama, 
suatu kesangsian dan kemudian berubah menjadi semacam pesimisme yang menyelinap 
ke dalam dirinya mengenai sikap kekal dari keindahan dan efisiensinya serta kausalitas. 

Pada fase ini pemikirannya dibimbing oleh konsep tentang pribadi(self) 
yang dianggap sebagai pusat dinamis 
dari hasrat, upaya, aspirasi, usaha ,keputusan ,kekuatan dan aksi. 

Pribadi tidak maujud dalam waktu, 
melainkan waktulah yang merupakan dinamisme dari pribadi. 
Pribadi adalah aksi yang seperti pedang merambah jalannya 
dengan menaklukkan kesulitan, halangan dan rintangan. 

Waktu sebagai aksi adalah hidup dan hidup adalah pribadi 
karena itu waktu hidup dan pribadi ketiganya dibandingkan dengan pedang.

[23]
Yang disebut dengan dunia luar dengan segala macam kekayaannya yang menggairahkan termasuk ruang dan waktu serial dan 
apa yang disebut dengan dunia perasaan, ide-ide dan ideal-ideal keduanya 
adalah ciptaan pribadi mengikuti fichte dan ward, 
Iqbal menyatakan kepada kita bahwa pribadi menuntut dari dirinya sendiri 
sesuatu yang bukan pribadi demi kesempurnaannya sendiri. 

Dunia yang terindera adalah ciptaan pribadi. 
Karena itu segala keindahan alam merupakan bentukan hasrat-hasrat kita sendiri. 
Hasrat menciptakan mereka,bukannya mereka yang mempunyai hasrat.

[24]
Tuhan sang hahekat terakhir adalah pribadi mutlak, ego tertinggi. 
Ia tidak lagi dianggap sebagai keindahan luar. 
Tuhan kini dianggap sebagai kemauan abadi dan 
keindahan disusutkan menjadi suatu sifat Tuhan, 
menjadi sebutan yang sekarang mencakup 
nilai-nilai estetis dan nilai-nilai moral sekaligus. 

Disamping keindahan Tuhan, 
pada tahap ini keesaan tampak menunjukkan nilai pragmatis yang tinggi 
karena ia memberi kesatuan tujuan dan kekuatan 
pada individu, bangsa-bangsa dan 
manusia sebagai keseluruhan kekuatan yang mengikat, 
menciptakan hasrat yang tak kunjung padam, 
harapan dan aspirasi dan 
menghilangkan semua rasa gentar dan takut kepada yang bukan Tuhan.

[25]
Tuhan menyatakan dirinya 
bukan dalam dunia yang indera melainkan dalam pribadi terbatas, 
dan karenanya itu usaha mendekatkan diri padanya 
hanya akan dimungkinkan lewat pribadi. 

Dengan demikian mencari tuhan bersifat kondisional terhadap pencarian diri sendiri. 

Demikian pula tuhan tidak bisa diperoleh 
dengan meminta-minta dan memohon semata-mata 
karena hal seperti itu menunjukkan kelemahan dan ketidak berdayaan. 

Mendekati tuhan menurutnya harus konsisten dengan kekuatan dan kemauan sendiri. 

Ia harus menangkap Dia dengan cara sama 
seperti seorang pemburu menangkap buruannya. 
Tetapi Tuhan juga menginginkan diriNya tertangkap. 
Ia mencari manusia seperti manusia mencari Dia. 

Dengan menemukan Tuhan 
seseorang tidak boleh membiarkan dirinya terserap ke dalam Tuhan dan menjadi tiada. 

Sebaliknya manusia harus menyerap Tuhan ke dalam dirinya, 
menyerap sebanyak mungkin sifat-sifatNya dan kemungkinan ini tidak terbatas. 
Dengan menyerap tuhan kedalam diri maka tumbuhlah ego. 
Ketika ego tumbuh menjadi super ego, 
ia naik ketingkat wakil Tuhan.

[26] 
Singkat kata pada fase ini Iqbal mulai menyangsikan tentang sifat kekal dari keindahan 
dan efisiensinya, serta kausalitasnya akhirnya. 
Sebaliknya tumbuh keyakinan akan keabadian cinta, hasrat, dan upaya atau gerak. 
Kondisi ini tergambar dalam karyanya, Haqiqat-i Husna (Hakikat Keindahan). 
Pada tahap ini Iqbal tertarik kepada Rumi 
yang dijadikannya sebagai pembimbing rohaninya. 

Pada tahap ini, Tuhan bukan lagi dianggap sebagai Keindahan Luar, 
tetapi sebagai Kemauan Abadi, 
sementara keindahan hanyalah sebagai sifat Tuhan di samping ke Esaan Tuhan. 

Karena itu, Tuhan menjadi asas rohaniah tertinggi dari segala kehidupan 
(the ultimate spiritual basis of all life). 
Tuhan menyatakan diriNya bukan dalam dunia yang terindera, 
tetapi dalam pribadi terbatas. 
Karena itu usaha mendekatkan diri kepada-Nya hanya dimungkinkan lewat pribadi. 
Dengan menemukan Tuhan, seseorang tidak boleh membiarkan dirinya terserap 
ke dalam Tuhan dan menjadi tiada. 
Sebaliknya, 
manusia harus menyerap Tuhan ke dalam dirinya, 
menyerap sebanyak mungkin sifat-sifatNya, 
dan kemungkinan ini tidak terbatas. 

Dengan menyerap Tuhan ke dalam diri, tumbuhlah ego. 
Ketika ego tumbuh menjadi super ego, ia naik ke tingkat wakil Tuhan.

Masa ketiga perkembangan mental dan pemikiran Iqbal 
dimulai sejak tahun 1920 hingga tahun 1938 dimana tahun wafatnya Iqbal. 
Masa ketiga ini dianggap sebagai masa kedewasaan dari pemikiran Iqbal itu sendiri. 

Ia mengumpulkan unsur-unsur dari sintesisnya dan 
kini menghimpunnya dalam suatu sistem yang menyeluruh. 

Menurutnya Tuhan adalah hakikat sebagai suatu keseluruhan 
dan hakikat sebagai suatu keseluruhan pada dasarnya bersifat spiritual 
dalam artian suatu Individu dan suatu ego. 

Ia dianggap sebagai ego karena seperti manusia, 
Dia adalah suatu prinsip kesatuan yang mengorganisasi, 
suatu paduan yang terikat satu sama lain yang berpangkal 
pada fitrah kehidupan organisme-Nya untuk suatu tujuan konstruktif. 

Ia adalah ego karena menanggapi refleksi kita. 
Karena ujian yang paling nyata pada suatu pribadi adalah 
apakah ia memberi tanggapan kepada panggilan pribadi yang lain.

[27] 
Tepatnya, 
Dia bersifat mutlak karena Dia meliputi segalanya, dan tidak ada sesuatu pun diluar Dia.

Ego mutlak tidaklah statis seperti alam semesta sebagaimana dalam pandangan Aristoteles. 

Dia adalah jiwa kreatif, 
kemauan dinamis atau 
tenaga hidup dan 
karena tidak ada sesuatu pun selain Dia yang bisa membatasiNya, 
maka sepenuhnya Dia merupakan jiwa kreatif yang bebas. 
Dia juga tidak terbatas. 
Tetapi sifat tidak terbatasNya bukanlah dalam arti keruangan, 
karena ketidak terbatasan ruang tidak bersifat mutlak. 

Ketidak terbatasan Nya bersifat intensif bukan ekstensif 
dan mengandung kemungkinan aktivitas kreatif yang tidak terbatas. 
Tenaga hidup yang bebas dengan kemungkinan tak terbatas mempunyai arti bahwa 
Dia Maha Kuasa.
Dengan demikian Ego terakhir adalah tenaga yang maha kuasa, 
gerak kedepan yang merdeka,suatu gerak kreatif.

[28]
3.3.  Insan Kamil.

Manusia adalah misteri terbesar yang diciptakan Tuhan di dunia, 
padanya Tuhan tidak hanya membentuk sesuai dengan citra-Nya, 
akan tetapi sudah menjadi kehendak-Nya bahwa 
manusia akan menjadi mitra kerja-Nya di dunia. 

Pengertian manusia adalah pemahaman secara menyeluruh 
menyangkut aspek ruhani dan jasmani 
serta tidak dapat dipisah-pisah antara satu dan lainnya, 
karena keduanya bersama-sama ada 
dan merupakan suatu keutuhan dan keseluruhan baru, 
yang merupakan diri yang selalu hidup, 
serba lain dari pada hidup raga saja 
atau jiwa saja dalam dirinya sendiri, 
dan penyatuan antara keduanya merupakan kekuasaan Tuhan. 

Allah, dalam al-Qur’an secara sederhana menggambarkan 
keunikan serta kelebihan manusia daripada ciptaan Tuhan yang lain. 

Hubungan antara pikiran dan tindakan 
yang membentuk kesatuan kesadaran manusia 
yang menjadi pusat kepribadiannya 
merupakan ciri khas individualitas manusia. 

Hal inilah yang menjadi ukuran kesempurnaan manusia sebagai khalifah Allah di bumi.

[29]
Dalam sejarah pemikiran, 
baik dalam kajian filsafat manusia maupun tasawuf manusia 
merupakan kajian yang selalu menarik untuk di kaji, 
dari hal ini kajian manusia ideal dalam pandangan Iqbal 
merupakan hal yang tidak dapat di hindari dalam memandang manusia 
baik dari perspektif filsafat, tasawuf, dan agama. 

Manusia ideal dalam pandangan Iqbal 
merupakan manusia yang mempunyai kesucian ruhani 
yang mampu menyerap sifat-sifat Tuhan ke dalam dirinya (ego kecil), 
sehingga dengan menyerap sifat-sifat Tuhan ke dalam dirinya, 
di harapkan mampu mengantarkan dirinya 
pada kualitas manusia sempurna (insan kamil). 

Disamping itu pula manusia harus mampu mewujudkan 
dan mengaplikasikan sifat-sifat Tuhan ke dalam kehidupannya. 
Di sinilah Iqbal memandang manusia ideal 
merupakan puncak dari segala kehidupan yang di inginkan oleh Tuhan. 

Dengan mengemban sebuah amanah 
sehingga pantas manusia mendapatkan gelar sebagai khalifah Allah di bumi.

[30]
Manusia sebagai individualitas yang unik 
yang memungkinkan seseorang untuk memikul beban orang lain, 
dan menamainya hanya berkenaan dengan apa yang telah diusahakan, 
karena Qur’an diarahkan untuk menolak ide tentang penebusan. 

Apapun pandangan kita 
tentang diri perasaan, identitas diri, jiwa, kemauan 
hanya dapat diuji dengan peraturan-peraturan pikiran 
yang di dalam cirinya bersifat hubungan, 
dan “semua hubungan melibatkan pertentangan”.

[31]
Dengan mudah kita dapat mengakui bahwa ego, 
dalam keterbatasannya, 
tidak sempurna sebagai kesatuan kehidupan. 

Ego mengungkap ego itu sendiri sebagai kesatuan 
dari apa yang kita namakan keadaan mental. 
Keadaan mental tidak berada dalam tempat yang saling terpisah. 
Keadaan-keadaan mental saling berarti dan saling berkaitan, 
atau katakanlah peristiwa-peristiwa merupakan jenis kesatuan yang khusus. 

Secara mendasar hal ini berbeda dengan kesatuan material; 
karena kesatuan material dapat berada pada tempat yang saling terpisah. 
Kesatuan mental benar-benar unik. 
Kita tidak dapat mengatakan bahwa 
salah satu kepercayaan diletakkan di sebelah kanan 
atau sebelah kiri kepercayaan saya yang lain. 

Oleh karena itu ego tidak terbatas pada ruang, 
sedang tubuh terbatas oleh ruang. 

Peristiwa fisik dan mental berada dalam waktu, 
tetapi waktu ego secara mendasar berbeda dengan waktu peristiwa fisik. 
Durasi waktu fisik dibentangkan dalam ruang sebagai fakta sekarang; 
durasi ego dikonsentrasikan di dalamnya dan dicakup dengan masa sekarang 
dan masa depannya dengan cara yang unik.

[32]
Ciri penting yang lain dari kesatuan ego merupakan privasinya yang mendasar 
yang mengungkap keunikan setiap ego. 

Untuk mencapai kesimpulan yang pasti, 
semua premis silogisme harus diyakini oleh seseorang dan akal yang sama. 
Jika saya percaya kata-kata “ semua laki-laki adalah makhluk hidup” 
dan akal yang lain percaya kata-kata “Socrates adalah seorang laki-laki”, 
tidak ada kesimpulan yang mungkin. 

Hanya memungkinkan jika saya percaya kedua dalil tesebut. 
Lagi, hasrat saya terhadap sesuatu yang pasti pada dasarnya milik saya.

[33]
Bentuk lain pembuatan manusia sebelumnya
“ mengembangkan dasar organisme fisik – kumpulan sub ego yang lebih mendalam 
yang bertindak dalam diri saya, 
dan membiarkan saya untuk membangun kesatuan pengalaman yang sistematis. 

Sesuatu yang lain di luar saya dikira memiliki sifat-sifat tertentu yang dinamakan  dasar, mengacu pada sensasi tertentu dalam diri saya, 
dan saya membenarkan kepercayaan saya tentang sifat-sifat tersebut 
dengan dasar penyebab harus memiliki kemiripan dengan pengaruhnya. 
Tetapi tidak perlu ada kemiripan antara sebab dan pengaruhnya.

[34]
Manusia punya aspek ruang tetapi ini bukan aspek manusia saja. 
Ada aspek lain selain aspek manusia, 
yaitu penilaian, karakter kesatuan dari pengalaman yang bertujuan, 
dan pencarian kebenaran yang dihasilkan oleh ilmu pengetahuan dari studinya, 
serta pengertian yang memerlukan kategori-kategori lain 
yang disiratkan oleh ilmu pengetahuan.

[35]
Manusia Asamu hidupku! 
Seluruh kehidupanmu, 
seperti jam waktu, 
akan selalu baru, 
dan akan terus berlalu. 
Di dalam lingkaran ini, 
engkau hanyalah sebutir pasir, 
akan terus bersinar tanpa kesudahan!”

IV.        Penutup

Iqbal adalah seorang intelektualis asal Pakistan 
telah melahirkan pemikiran dan peradaban besar bagi generasi setelahnya . 
Iqbal merupakan sosok pemikir multi disiplin. 
Ia adalah seorang sastrawan, negarawan, ahli hukum, filosof, pendidik dan kritikus seni. 

Menilai kepiawaiannya yang multidisiplin itu, 
pak Natsir mengatakan 
"tentulah sukar bagi kita untuk melukiskan tiap-tiap aspek kepribadian Iqbal. 
Jiwanya yang piawai tidak saja menakjubkan tetapi juga jarang ditemui".

[36]
Islam sebagai way of life yang lengkap mengatur kehidupan manusia, 
ditantang untuk bisa 
mengantisipasi dan mengarahkan gerak perubahan tersebut 
agar sesuai dengan kehendak-Nya. 

Oleh sebab itu hukum Islam dihadapkan kepada masalah signifikan, 
yaitu sanggupkah hukum islam memberi jawaban yang cermat dan akurat 
dalam mengantisipasi gerak perubahan ini? 

Dengan tepat Iqbal menjawab 
“bisa kalau umat Islam memahami hukum Islam seperti cara berfikir Umar bin Khattab”.

Akhirnya, 
tidaklah lengkap rasanya menulis tentang Iqbal 
tanpa menutupnya dengan salah satu syair[37]nya berikut ini:

Apakah kamu berada 
dalam tingkat "kehidupan", "kematian", atau "kematian dalam kehidupan"?

Memanggil tiga saksi untuk memberitahu dimana tempat "perhentianmu".

Saksi pertama adalah kesadaran batinmu sendiri-
Lihat dirimu sendiri dengan cahayamu sendiri.

Saksi kedua adalah kesadaran ego yang lain-
Lihat dirimu, 
lalu sinar ego yang lain daripada milikmu

Saksi ketiga adalah kesadaran Tuhan-
Lihat dirimu, lalu dengan cahaya Tuhan,

Jika kamu berdiri tidak bergerak di depan cahaya ini,
Anggaplah dirimu sendiri seperti hidup dan abadi layaknya Tuhan!

Bahwa manusia sendiri adalah sejati yang berani-
Berani untuk melihat Tuhan berhadapan muka!

Apakah "Mi'raj"? 
Hanya pencarian seorang saksi
Yang akhirnya dapat menegaskan realitasmu
Seorang saksi yang dengan kesaksiannya membuatmu abadi.

Tak seorangpun dapat berdiri tanpa bergerak oleh keberadaannya;
Dan dia yang dapat, sesungguhnya, dia emas murni.
Apakah engkau hanya butiran debu semata?

Ketatkan simpul egomu;
Dan pegang cepat makhlukmu yang kecil!
Betapa cemerlangnya memancarkan ego kita
Dan menguji kilauan ini dari keberadaan Matahari!

Bersihkan ragamu yang lama;
Dan membangun makhluk baru.
Suatu makhluk yang sesungguhnya;
Atau egomu hanyalah gumpalan asap semata!
[38]




[1] Miss Luce-Claude Maitre, Introduction to the Thought of Iqbal, terj. Djohan Effendi,  (Bandung : Mizan, 1981), 13.
[2] Herry Mohammad (dkk), Tokoh-Tokoh Islam Yang Berpengaruh Abad 20, cet I, (Jakarta : Gema Insani, 2006), 237.
[3] A Mukti Ali, Alam Pikiran Islam Modern di India dan Pakistan, , Cet III,  (Bandung: Mizan, 1998) 174. Lihat juga: Azzumardi Azra dan Syafi’i Ma’arif, Ensiklopedi Tokoh Islam dari Abu Bakr sampai Natsir dan Qardhawi (Bandung: Mizan, 2003), 256. Lihat juga: A.G. Pringgodigdo, Ensiklopedi Umum, (Yogyakarya: Kanisius, 1977),  473.
[4] Herry Mohammad (dkk), Tokoh-Tokoh Islam Yang Berpengaruh Abad 20, 237.
[5] A.G. Pringgodigdo, Ensiklopedi Umum, 4.
[6] Hasyimsyah Nasution, Filsafat Islam, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 1999), 183-184.
[7] ‘Abdul Wahhab ‘Azzam, Iqbal: Siratuh wa Falsafatuh wa Shi’ruh, terj. Ahmad Rofi’ Usman, (Bandung : Pustaka, 1985), 40.
[8] Ia adalah Ahmad bin Abdurrahim bin Wajiduddin bin Mu'azzam bin Ahmad bin Muhammad bin Qawanuddin al-Dahlan. Ia lahir di Kota dekat Delhi pada tanggal 21 Pebruari 1703 M/ 4 Syawal 1114 H dan wafat pada tanggal 29 Muharram 1176 H/ 10 gustus 1762 dalam usia 61 tahun. Karya tulisnya yang monumental adalah Hujjatullah al-Balighah. Cyril Glase,  Ensiklopedi Islam, cet III (Jakarta:  Raja Grafindo Persada, 2002), 185.
[9] Ia adalah seorang penulis, pemikir dan aktivis politik modernis Islam India. Lahir di Delhi tahun 1817 M. Dimasa pemberontakan tahun 1857 ia berusaha mencegah kekerasan yang karenanya banyak orang-orang Inggris tertolong dari pembunuhan. Karena jasanya itu Inggris memberikan gelar kepadanya dengan sebutan Sir. Selanjutnya ia menggunakan kesempatan itu untuk menjalin hubungan baik dengan Inggris tapi semata-mata untuk kepentingan umat Islam India, karena baginya dengan jalan itulah umat Islam dapat tertolong. Dan akhirnya setelah kejadian tahun 1857 itu ia menjalankan tiga proyek besar yaitu: memprakarsai dialog untuk menciptakan saling pegertian antara kaum muslim dan Kristen, mendirikan organisasi ilmiah yang membantu kaum muslim untuk memahami kunci keberhasilan Barat dan menganalisis secara objektif penyebab pemberontakan 1857. (Didin Saefuddin, Pemikiran Modern Dan Postmodern Islam, Jakarta, Grasindo, 2003, 367). Ia mewujudkan cita-citanya meninggikan kaum Muslimin India dengan mendirikan perguruan Islam dengan nama Anglo Oriental College yang selanjutnya berkembang menjadi Universitas Muslim Aligarh di Aligarh tempat kaum terpelajar Islam di India pada tahun 1920. A.G. Pringgodigdo, Ensiklopedi Umum, 25.
[10] Imperium Inggris (British Empire) pada puncak kejayaannya akhir abad ke-19 dan awal abad 20 merupakan kerajaan yang terbesar diseluruh dunia. Koloni yang pertama adalah New-Foundland (1583). Dasar-dasar kerajaan diletakkan pada permulaan abad  ke-17 dengan mendirikan British East India Company. Ibid, 446.
[11] Didin Saefuddin, Pemikiran Modern Dan Postmodern Islam,  51.
[12]Hawasi, Eksistensialisme Mohammad Iqbal, (Jakarta: Wedatama Widya Sastra, 2003), 8-9. Lihat juga Hasyimsyah Nasution, Filsafat Islam, 184-185.
[13] Ishrat Hasan Enver, Metafisika Iqbal, cet. I, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), 5.
[14] Didin Saefuddin, Pemikiran Modern Dan Postmodern Islam, 44.
[15]Mohammad Iqbal, The Reconstruction of Religious Thought in Islam, (New Delhi: Kitab Bhavan, 1981), 60-61.
[16] Muhammad Iqbal, Tajdiid al-Tafkiir al-Di<ni< Fi< al-Isla<m, (Kairo: al-Hai’ah al-Mis{riyah al-‘A<mmah li al-Kitab, 2010),  20-21.
[17] Mohammad Iqbal, The Reconstruction of Religious Thought in Islam, 51.
[18] Hasyimsyah Nasution, Filsafat Islam, 210-211.
[19]Mohammad Iqbal , Asrar-i Khudi , Terj. Bahrum Rangkuti, (Jakarta: Bulan Bintang, 1976), 25.
[20] Saiyidan K.G., Iqbal’s Educational Philosopy, terj. M.I. Soelaeman, (Bandung: Diponegoro, 1981), 125.
[21] Hasyimsyah Nasution, Filsafat Islam, 190.
[22] Ibid, 190-191.
[23] Ibid, 194-196.
[24] Ibid.
[25] Ibid.
[26] Ibid, 191.
[27] M.M Sharif, About Iqbal and His Thought, (Lahore: Institute of Islamic Culture, 1996), 147.
[28] Mohammad Iqbal, The Reconstruction of Religious Thought in Islam, 80.
[29] Hasyimsyah Nasution, Filsafat Islam, 208.
[30] Ibid.
[31] Mohammad Iqbal, The Reconstruction of Religious Thought in Islam, 11-12.
[32] Saiyidan K.G., Iqbal’s Educational Philosopy, 62-63.
[33] Ibid.
[34] Mohammad Iqbal , Asrar-i Khudi, 25.
[35] Abdul Wahhab ‘Azzam, Iqbal: Siratuh wa Falsafatuh wa Shi’ruh, 52.
[36] Mohammad Natsir, Capita Selekta 2, Cet II ( Jakarta: PT Abadi dan Yayasan Kapita Selekta, 2008), 146.
[37] Syair ialah bentuk puisi lama Indonesia: satu bait biasanya terdiri atas empat baris seperti pantun, tetapi keempat barisnya bersajak sama. Perbedaan lain daripada pantun ialah: pantun terdiri atas empat baris dan sudah merupakan kesatuan pikiran, sedangkan syair belum. Syair bias berisikan kisah, ceritera, soal agama, sejarah atau ceritera suatu peristiwa. A.G. Pringgodigdo, Ensiklopedi Umum, 1068.
[38]Allama Muhammad Iqbal, The Reconstruction of Religious Thought in Islam, (Lahore: Iqbal Academy Pakistan dan Institute of Islamic Culture, 1989), 157.

Daftar Pustaka
‘Azzam, ‘Abdul Wahhab, Iqbal: Siratuh wa Falsafatuh wa Shi’ruh, terj. Ahmad Rofi’ Usman, (Bandung : Pustaka, 1985).
Ali, A Mukti, Alam Pikiran Islam Modern di India dan Pakistan, , Cet III,  (Bandung: Mizan, 1998).
 Azra, Azyumardi dan Syafi’i Ma’arif, Ensiklopedi Tokoh Islam dari Abu Bakr sampai Natsir dan Qardhawi (Bandung: Mizan, 2003).
Enver,  Ishrat Hasan, Metafisika Iqbal, cet. I, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004).
Glase, Cyril,  Ensiklopedi Islam, cet III (Jakarta:  Raja Grafindo Persada, 2002).
Hawasi, Eksistensialisme Mohammad Iqbal, (Jakarta: Wedatama Widya Sastra, 2003).
Iqbal, Allama Muhammad, The Reconstruction of Religious Thought in Islam, (Lahore: Iqbal Academy Pakistan dan Institute of Islamic Culture, 1989).
Iqbal, Mohammad, Asrar-i Khudi , Terj. Bahrum Rangkuti, (Jakarta: Bulan Bintang, 1976).
_______________, The Reconstruction of Religious Thought in Islam, (New Delhi: Kitab Bhavan, 1981).
_______________, Tajdiid al-Tafkiir al-Di<ni< Fi< al-Isla<m, (Kairo: al-Hai’ah al-Mis{riyah al-‘A<mmah li al-Kitab, 2010).
K.G., Saiyidan, Iqbal’s Educational Philosopy, terj. M.I. Soelaeman, (Bandung: Diponegoro, 1981).
Maitre, Miss Luce-Claude, Introduction to the Thought of Iqbal, terj. Djohan Effendi,  (Bandung : Mizan, 1981).
Mohammad, Herry (dkk), Tokoh-Tokoh Islam Yang Berpengaruh Abad 20, cet I, (Jakarta : Gema Insani, 2006).
Nasution, Hasyimsyah, Filsafat Islam, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 1999).
Natsir, Mohammad, Kapita Selekta 2, Cet II ( Jakarta: PT Abadi dan Yayasan Kapita Selekta, 2008).
Pringgodigdo,A.G., Ensiklopedi Umum, (Yogyakarya: Kanisius, 1977).
 Saefuddin, Didin, Pemikiran Modern Dan Postmodern Islam, (Jakarta, Grasindo, 2003).
 Sharif, M.M, About Iqbal and His Thought, (Lahore: Institute of Islamic Culture, 1996).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar