Selasa, 24 November 2015

MEMAHAMI ILUSITAS KEAKUAN

Pembicara: Abi

Kisah pembuka: 
Kisah tentang raja yang diminta melepas mahkotanya sebentar untuk dititipkan, 
dan tidak mau.

Kata yang pantang diucapkan: aku. 
Kata yang harus disosialisasikan: kami, terima kasih.

Keakuan sebenarnya adalah ilusi.

Untuk hidup, 'aku' itu dititipkan kepada kita dan 
suatu saat akan diminta kembali. 
So, tidak orisinil, melainkan 'titipan'.

Untuk apa Tuhan menitipkan keakuan pada kita?
Untuk menghadirkan satu pemahaman yang utuh 
akan ilusitas keberadaan kita tanpa 'aku'.
Untuk memperkenalkan (menyadarkan) adanya penitip keakuan itu 
dan bahwa sesuatu yang dititip itu akan diambil kembali.

Contoh, 
seseorang berkarir di suatu perusahaan, jadi manajer, karirnya berkembang. 
Lalu, keakuannya muncul, aku bisa ngatur orang, bikin aturan dll. 
Dia pikir kekuasaan itu punya dia.

Orang yang keakuannya merajai adalah orang yang kehilangan hubungan 
dengan penghulu alam, lupa pada penghulu alam yang menitipkannya.

Aku yang dititipkan sebenarnya adalah sifat-sifat (asmaa'ul husna). 
Dan pusat diri adalah ruh.

Cobalah bernafas dan konsentrasi. 
Rasakan keluar masuknya napas di bawah lubang hidung, di atas bibir atas.

Mengapa napas..? 
karena jembatan yang menghubungkan pusat diri (ruh) dengan pikiran adalah napas.

Ilustrasi.. 
Ketika marah, benci, jengkel, cobalah tarik napas dalam-dalam. 
Ternyata kemarahan untuk melepaskan keakuan kita itu hanya ilusi saja, 
dan berlalu dengan cepat.

Memahami ilusitas keakuan, akan memunculkan kesadaran.
Yang harus diungkap itu bukan keakuan, tapi 'kami', unity.

Siapapun kita, 
kita adalah satu kesatuan dengan siapapun 
dan apapun dan dengan alam semesta ini. 
Ketika kesadaran ini telah muncul, 
hilanglah benci, dendam, marah dll.[]

Posted by Dedeh SH No comments:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar