Selasa, 24 November 2015

Rashid Rid{a dan Konsep Pemikiran Politiknya (Politik Islam Kontemporer)

Rashid Rid{a dan Konsep Pemikiran Politiknya


Abstrak
Muhammad Rashid Rid{a dikenal sebagai seorang figur reformis yang secara konsisten berdedikasi untuk membangun teori Islam mengenai kekhalifahan, demi membuka jalan untuk mengembalikan kejayaan kekhalifahan Arab yang dapat menggantikan Dinasti Ottoman yang buruk. Bukti-bukti dengan kuat menunjukan bahwa pemikiran Rid{a lebih pragmatis dari yang kita duga, dan ide-idenya dalam suatu permasalahan jauh dari konsisten. Bagaimanapun, ada suatu persamaan yang membuat ide-idenya bersatu, yaitu kebutuhan akan kemerdekaan politik di tanah Islam, khususnya di wilayah Arab dan juga tempat-tempat suci agama Islam sebagai tempat lahirnya Islam.

Kata Kunci : Reformis, Kekhalifahan, Ottoman.
I.             Pendahuluan
Muhammad Rashid Rid{a dikenal sebagai tokoh intelektual modernis gerakalan Salafi yang memperoleh pengaruh cukup besar di akhir abad 19 dan awal abad 20.[1]
Seperti pendahulunya, Jamaluddin Al-Afghani, Ia juga peduli akan reformasi Islam dan memperkuat dunia Islam untuk berperang melawan imperialisme barat di tanah Islam. Ia juga dianggap sebagai tokoh nasionalis Arab yang terlibat secara intelektual dengan dinasti Ottoman Turki selama fase terakhir dari kerajaan Uthmani.[2]
Berdasarkan konteks sosio-historis yang terjadi dalam kehidupannya, munculah sebuah pemikiran beliau tentang kekhalifahan dalam rangka mengembalikan kejayaan Islam. Dalam makalah ini, kami akan memaparkan dan menganalisis penyebab munculnya pemikiran Rashid Rid{a tentang kekhalifahan serta mengulas lebih dalam mengenai konsep pemikiran Rashid Rid{a tentang kekhalifahan.


II.           Sekilas Tentang Rashid Rid{a
Tokoh Modernis Islam yang bernama lengkap Muhammad Rashid bin Ali Rid{a bin Shamsuddin bin Baha'uddin Al-Qalamuni Al-Husaini ini lahir di Qalamun (Lebanon) padatahun 1865. Rashid Rid{a yang masih memiliki pertalian darah dengan Husain bin Ali bin Abi Thalib, cucu Nabi Muhammad SAW ini sejak kecil memang telah memiliki kecerdasan yang tinggi dan kecintaan terhadap ilmu pengetahuan. Beliau hidup pada masa dimana Islam mengalami kemunduran yang sangat drastis. Turki Uthmani mendapat serangan-serangan dari bangsa Eropa, hal inilah yang membuat kekhalifahan Turki Uthmani limbung. Pada saat itu Turki Uthmani dikenal dengan istilah The Sick Man of Europe.[3]
Puncaknya ketika Turki Uthmani yang bersekutu dengan Jerman kalah dalam perang dunia pertama pada tahun 1918, hal itulah yang menandai kejatuhan Turki Uthmani hingga akhirnya berubah menjadi negara sekuler pada tahun 1924 dan dikenal dengan negara Turki hingga saat ini. Rashid Rid{a mengatakan bahwa umat Islam lemah karena mereka tidak lagi mengamalkan ajaran-ajaran Islam yang murni seperti yang dipraktekkan pada masa Rasulullah SAW dan para sahabat. Melainkan ajaran-ajaran yang menyimpang dan lebih banyak bercampur dengan bid'ah dan khurafat. Ia menegaskan jika umat Islam ingin maju mereka harus kembali berpegang kepada al-Qur’an dan al-Sunah.[4]
Atas dasar kejatuhan dan kemunduran Islam, serta perpecahan yang terjadi diantara kaum Muslim inilah maka Rashid Rid{a menelurkan pemikirannya bahwa umat Islam harus bersatu kembali di bawah satu keyakinan, satu sistem moral, satu sistem pendidikan, dan tunduk dalam satu sistem hukum dalam satu kekuasaan yang berbentuk negara. Negara yang diinginkan Beliau bukanlah seperti konsep negara Barat, melainkan dalam bentuk khilafah (kekhalifahan) seperti pada masa Khulafaur Rashidin.

III.         Konsep Pemikiran Politiknya.
Dalam segi politik, keadaan umat Islam pada masa Rashid Rid{a yaitu sekitar akhir abad 19 dan awal abad ke-20 sangatlah memprihatinkan, umat Islam saat itu sedang menghadapi penjajahan-penjajahan dari negara-negara imperialis barat. Penjajahan tersebut membuat umat Islam terpecah-belah karena para penjajah telah membagi-bagi wilayah-wilayah jajahan mereka yang kelak menjadi negara-negara tersendiri.[5]
Kondisi umat Islam begitu hancur, pemerintahan sudah runtuh, begitu juga dengan bangsa. Selaku umat Islam sendiri, mereka tidak bisa lagi dan tidak sanggup lagi untuk mengetahui hakikat-hakikat keagamaan Islam dan mereka tidak tahu lagi bahwa ajaran agama Islamlah yang nantinya akan membawa mereka menuju gerbang peradaban yang baru, yang maju dan sejahtera. Islam hanya menjadi simbol-simbol dan tidak lagi menjadi nilai-nilai utama kehidupan umat Islam di masa itu. Kebudayaan barat, yang meresap melalui kolonialisasi dan imperialisasi pun mulai mendominasi kehidupan umat Islam terutama dikalangan masyarakat yang berpendidikan tinggi dan mendapatkan pendidikan ala barat. Dalam keprihatinannya dengan keadaan umat Islam saat itu, Rashid Rid{a membagi kategori-kategori umat Islam menjadi tiga golongan. Golongan-golongan itu terbagi menjadi golongan umat Islam yang berpikiran Jumud atau golongan-golongan yang menganggap bahwa ilmu agama adalah apa yang sudah tertulis di dalam kitab-kitab yang telah disusun oleh para pemuka madhab-madhab. Menurut mereka apabila seorang umat Islam sudah tidak mengikuti madhhab-madhhab yang ada maka mereka sudah tidak lagi dianggap sebagai seorang Muslim, golongan kedua menurut Rid{a ialah golongan yang berkiblat kepada kebudayaan modern mereka yang berkiblat kepada kebudayaan modern ini menganggap bahwa shariat Islam sudah tidak cocok lagi dengan kehidupan zaman modern karena hanya mengakibatkan keterbelakangan mereka yakin bahwa untuk mencapai kemajuan maka umat Islam haruslah mengikuti kebudayaan barat secara keseluruhan, ketiga yakni golongan yang menginginkan pembaharuan Islam, golongan ini menginginkan agar umat Islam kembali kepada al-Quran dan al-Sunnah dengan penafsiran baru yang mengikuti kemajuan zaman. Menurut golongan ini pula  Islam dengan kebudayaan modern tidak terdapat pertentangan.
Rashid Rid{a mengakui dirinya sebagai bagian dari golongan yang terakhir ini. Golongan inilah yang dinamakan dengan mujaddid , para reformis Islam yang memiliki penafsiran rasional terhadap al-Qur’an. Rid{a mengatakan bahwa Ijtihad adalah pintu yang akan membawa umat Islam kembali pada kejayaan dan kegemilangannya serta mampu mengusir penjajah dari tanah air mereka.[6]
Sebagai seorang pemikir politik Islam, Rashid Rid{a memiliki pandangan tersendiri mengenai konsep negara dan masyarakat Islam. Rashid Rid{a pada awalnya memberikan kepercayaan terhadap keberhasilan reformasi agama dalam masa generasi muda Turki kemudian karena kekecewaannya beliau kembali kepada Pan Arabianisme. Dalam beberapa bukunya, ia membahas tentang pemikirannya mengenai persoalan struktur institusional Islam. Pemikirannya selalu dilandasi kepada al-Qur’an dan al-Hadith, dengan penafsiran rasional dan teknikal. Al-Qur’an harus menjadi sumber dari segala sumber semua madhhab, bukan pada kondisi al-Qur’an yang melegitimasi madhhab tersebut. Rid{a selalu berupaya agar pintu ijtihad senantiasa terbuka, bahwa kita umat Islam harus kembali ke sumber-sumber yaitu al-Qur’an dan al-Sunnah, tetapi tentu saja tidak dengan tafsiran yang literalis. Kalangan pemikir Islamis dan Modernis mengatakan bahwa Islam dan negara atau agama dan politik adalah dua hal yang mustahil untuk dipisahkan. Pandangan ini jelas berbeda dengan pandangan liberal sekularis yang mengatakan bahwa agama dan negara adalah dua hal yang berbeda dua hal yang tidak bisa disatukan karena sifatnya yang bertolak belakang. Negara adalah ruang publik sedangkan agama adalah ruang privat. Dalam pandangan politiknya Rid{a mengatakan bahwa kemunduran umat Islam dibidang politik adalah karena perpecahan yang terjadi didalam tubuh umat Islam itu sendiri. Jika mereka ingin maju hal yang mendasar yang harus mereka lakukan adalah bersatu dan membentuk kesatuan diantara mereka. Apa yang dimaksudkan dengan persatuan dan kesatuan adalah persatuan dan kesatuan yang didasarkan kepada keyakinan, bukan persatuan dan kesatuan yang didasarkan kepada etnis dan bahasa. Umat Islam harus bersatu dibawah satu keyakinan, satu sistem moral, pendidikan dan tunduk pada satu undang-undang serta sistem hukum yang sama. Undang-undang dan hukum tidak akan pernah sama jika tidak diorganisir melalui elemen pemerintahan dalam sebuah negara, oleh karena itu umat Islam harus bersatu dan menguasai pemerintahan, sehingga mereka bisa menciptakan seperangkat aturan hukum demi kemaslatan umat. Kemudian, Rid{a mengemukakan pandangannya mengenai konsepsi sebuah negara dalam perspektif pemikiran modernismenya. Konsep tersebut dikenal dengan nama Konfederasi Islam,  Konfederasi Islam diajukan sebagai sebuah model negara Islam oleh Rashid Rid{a pasca runtuhnya Kekhalifahan Turki Uthmani dan berdirinya Republik Sekular Turki. Konfederasi Islam dipilih untuk menjadi alternatif model kekhalifahan di dunia. Konsep konfederasi Islam adalah pengembangan dari pemikiran dua orang guru Rashid Rid{a, yaitu al-Afghani dan Abduh tentang Pan Islamisme. Konsep yang ia cetuskan ini juga merupakan jawabannya terhadap kekecewaannya akan jatuhnya Kekhalifahan Islam Turki Uthmani. Menurut Rid{a, kelemahan umat Islam di bidang politik ialah perpecahan yang terjadidi antara umat Islam itu sendiri. Menurutnya umat Islam haruslah bersatu yang didasari oleh keyakinan dan bukannya etnis, suku, atau ras. Pada awalnya umat Islam, menurut Rid{a, haruslah hidup dibawah satu keyakinan, satu sistem moral, satu sistem pendidikan, dan mematuhi satu sistem perundang-undangan.[7]
Konfederasi ini kemudian akan tetap dipimpin oleh seorang Khalifah. Rashid Rid{a memaparkan pendapatnya bahwa umat Muslim tetap membutuhkan seorang khalifah yang mengerti dengan jelas bagaimana peran agama dalam kehidupan duniawi, namun di zaman yang modern ini dalam kenyataannya begitu sulit untuk melibatkan seorang khalifah dalam penentuan keputusan yang berhubungan erat dengan kepentingan masyarakat apalagi setelah Turki Uthmani jatuh dan wilayahnya terpecah menjadi negara-negara dan pusat kekuasaannya berubah menjadi negara sekuler. Hal ini menjadi pertimbangan bagi Rid{a untuk kemudian dia memberikan sebuah argumen bahwa institusi kekhalifahan di zaman modern memang tidak bisa untuk menggantikan peran negara secara komprehensif akan tetapi institusi kekhalifahan bisa menjadi pemimpin bagi semua umat Islam di seluruh penjuru dunia. Argumen Rid{a tentang perubahan fungsi kekhalifahan, akan membentuk umat Islam untuk sedikit sama dengan kaum Kristiani. Kekhalifahan menurut Rid{a tidak jauh berbeda dengan konsepsi Kepausan dalam Gereja Katolik Roma. Kemudian Rid{a menjelaskan konsep khalifah yang merujuk pada konsep Kepausan tersebut. Menurut Rid{a, kekhalifahan memiliki tugas untuk memelihara berbagai hal yang berhubungan dengan agama dan hal-hal tidak dilakukan atau diatur oleh pemerintahan yang ada. Contohnya adalah mengenai masalah organisasi pendidikan agama, dan peraturan tentang status sosial.[8] Dalam hal ini seorang khalifah paling tidak memiliki suara untuk memberikan pendapat atau masukan kepada pemerintah yang berhubungan dengan persoalan politik dan hukum. Khalifah memiliki ranah sendiri yaitu mengurusi masalah agama, setidaknya dari hal tersebut dapat kita simpulkan bahwa terjadi ‘pemisahan’ urusan agama dan negara. Kepemimpinan Khalifah dalam konfederasi Islam, menurut Rashid Rid{a tidak akan bersifat absolut. Hal ini dikarenakan dikenal lembaga yang disebut ahl al-halli wa al-‘aqd, yakni sebuah lembaga pemilih khalifah, yang menurut Rid{a lembaga seperti ini perlu dibentuk untuk mendapatkan seorang khalifah yang benar-benar dapat menjalankan tugasnya.Walaupun untuk khalifah menurutnya mesti seorang ahli fiqh (faqih) yang karenanya untuk mempersiapkannya perlu didirikan lembaga pendidikan tinggi keagamaan, tetapi untuk ahl al-halli wa al-‘aqd anggotanya bukan hanya ahli agama yang sudah mencapai tingkat mujtahid (seorang yang mampu melahirkan keputusan hukum dari elaborasinya terhadap al-Qu’an dan al-Hadith), melainkan juga pemuka masyarakat dari berbagai bidang. Ahl al-halli wa al-‘aqd tidak hanya bertugas untuk memilih khalifah, lembaga ini juga memiliki peran dalam mengawasi jalannya pemerintahan, mencegah penyelewengan khalifah, dan menurunkannya jika perlu, sekalipun harus dengan perang atau kekerasan demi kepentingan umum.[9]
Peran dan fungsi lembaga tersebut mirip dengan fungsi legislatif menurut trias politika Montesquieu. Khalifah ideal menurutnya, adalah sosok yang dapat memenuhi beberapa persyaratan, antara lain dari segi keadilan, kemampuan, sifat mengutamakan kepentingan masyarakat di atas kepentingan pribadi. Lebih lanjut Rashid Rid{a menyebutkan dalam bukunya al-khilafah bahwa fungsi khalifah adalah menyebarkan kebenaran, menegakkan keadilan, memelihara agama, dan bermusyawarah mengenai masalah yang tidak dijelaskan nash. Kedudukan khalifah bertanggung jawab atas segala tindakannya di bawah pengawasan sebuah dewan pengawas yang anggotanya terdiri atas para ulama dan pemuka masyarakat. Tugas dewan pengawas selain mengawasi roda pemerintahan juga mencegah terjadinya penyelewengan oleh khalifah dan lembaga ini berhak menindak khalifah yang berbuat zalim. Khalifah merupakan kepala atau pemimpin umat Islam sedunia dan harus ditaati sepanjang pemerintahannya dijalankan sesuai dengan ajaran agama. Menurut Rashid Rid{a seorang khalifah hendaknya juga seorang mujtahid besar yang dihormati. Di bawah khalifah seperti inilah kesatuan dan kemajuan umat Islam dapat terwujud.[10]
Dalam menjelaskan pemikirannya tentang lembaga ahl al-halli wa al-‘aqd  ini, Rashid Rid{a memang sudah sejak lama mendukung keberadaan sistem legislatif di dalam konstitusi Islam. Ulama menurutnya alih-alih mendukung otokrasi yang tiran, seharusnya sejak lama menerima konstitusionalisme parlementer.[11]
Rid{a menyadari bahwa kedinamisan dalam diri bangsa Eropa dan kemauan mereka untuk berikhtiar menjadikan peradaban mereka menjadi maju sehingga dia tertarik untuk mengaplikasikannya dalam Islam. Karena itulah Rid{a sangat meyakini bahwa umat Islam tidak boleh menutup mata terhadap ilmu-ilmu yang datang dari kebudayaan barat. Umat Islam sudah seharusnya siap untuk mempelajari ilmu-ilmu tersebut. Akan tetapi Rashid Rid{a juga sangat sadar bahwa umat Islam tidak boleh berkiblat secara buta atau bertaqlid kepada budaya barat. Rid{a adalah seorang yang sangat rasional. Ia sangat menyetujui adanya modernisasi dalam umat Islam akan tetapi Rid{a sangat menentang adanya westernisasi umat Islam pemikiran yang cerdas ketika dia mendukung adanya modernisasi dan pembaharuan didalam tubuh Islam dengan mengambil nilai-nilai barat tapi disisi lain Rid{a tidak mau nilai-nilai Islam yang telah ada menjadi luntur, hilang dan melebur kedalam nilai-nilai barat yang muncul belakangan, Rid{a memakai prinsip yang oleh Mohammad Hatta disebut dengan prinsip take the core and throw the peel. Kritik tentang pemikiran Rid{a datang dari Rosenthal. Dia menganggap bahwa Rid{a terlalu pragmatis, bahkan dia menyebut konsep kekhalifahan Rid{a adalah sesuatu yang berada diantara utopis dan romantis.[12]
 Kekhalifahan Rid{a disebut utopis karena model kekhalifahan sudah sangat sulit untuk diterima di tengah zaman yang penuh demokrasi. Disebut romantis karena Rid{a selalu terjebak pada romantisme kejayaan khalifah pada masa Rasulullah, sehingga khalifah selalu menjadi tujuan utama karena sistem ini dipakai oleh Rasulullah dulunya. Hal-hal seperti inilah yang kemudian juga menjadi salah satu sebab bahwa kenapa umat Islam belum maju dan berkembang mereka selalu terpaku kepada kejayaan masa lalu, terjebak dalam romantisme masa lalu. Walaupun demikian Rashid Rid{a berhasil merancang gagasan bagi penganjur dibentuknya negara Islam generasi berikutnya. Rashid Rid{a merupakan jembatan penghubung antara teori klasik tentang kekhalifahan dengan gagasan negara Islam Sayyid Qutb dan Abu A’la Al-Maududi.
IV.        Penutup
Rashid Rid{a menyerukan agar umat Islam kembali ke dua hal yang diwasiatkan olehNabi Muhammad SAW sebelum beliau meninggal yaitu al- Quran dan al-Hadith. Ia menyerukan hal seperti ini karena ia melihat kehancuran Turki Uthmani bukan hanya faktor penjajahan dari bangsa barat, melainkan juga perpecahan di dalam umat Islam itu sendiri. Umat Islam terpecah menjadi tiga golongan. Dimana ada yang mengikuti al- Quran dan al-Hadith secara kontekstual ada yang sama sekali tidak mau mengikuti al- Quran dan al-Hadith, dan ada yang mengikuti al-Quran dan al-Hadith namun tidak secara kontekstual melainkan dengan pemikiran-pemikiran kritis. Rashid Rid{a menggagas sebuah teori yang bernama Konfederasi Islam. Dalam negara-negara konfederasi Islam ini dipimpin oleh seorang pemimpin yang diberi sebutan Khalifah. Khalifah disini sedikit banyak mirip dengan konsepsi Paus dalam agama Kristen dimana tidak hanya membawahi umat Islam di suatu Negara melainkan memerintah umat Islam ke seluruh penjuru dunia. Namun di zaman modern ini sulit untuk mencari sesosok orang yang dapat memenuhi kriteria ideal untuk menjadi seorang khalifah. Hal ini dikarenakan dunia Islam telah terkontaminasi oleh nilai imperialisme dan kolonialisme bangsa barat.



* Mahasiswi Program Pasca Sarjana IAIN Sunan Ampel Surabaya Konsentrasi Pemikiran Islam, NIM F05411 061.
[1] Albert Hourani, Pemikiran Liberal di Dunia Arab, terj., Suparno dkk.,(Bandung: PT Mizan Pustaka, 2004), 103
[2] Ibid, 107

[3] Ali Mufrodi, Islam di Kawasan Kebudayaan Arab, Cet: (Surabaya:Logos, 2010), 167.
[4] Albert Hourani, Pemikiran Liberal di Dunia Arab, 110
[5] http://suaramedia.com/ rasyid-ridha-tokoh-reformis-dunia-islam (27 Mei 2012 2012:  20:22 BBWI.)

[6] Ibid.
[7] Poetraboemi, Rasyid Rida, dalam http://www.google.co.id, ( 27 Mei 2012  2012, 10:56 BBWI).
[8] Antony Black, Pemikiran Politik Islam (Dari Masa Nabi Hingga Masa Kini), terj, Abdullah Ali, Mariana Ariestyawati, (Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2006), 567.

[9] Sukron Kamil,Peta Pemikiran Politik Islam Modern dan Kontemporer, Dalam http:// www.paramadina.ac.id (27 27 Mei 2012 2012:16:55 BBWI)
[10] http://suaramedia.com/ rasyid-ridha-tokoh-reformis-dunia-islam (27 27 Mei 2012 2012:  20.22 BBWI.)
[11] Antony Black,Pemikiran Politik Islam (Dari Masa Nabi Hingga Masa Kini),566.
[12] Sukron Kamil,Peta Pemikiran Politik Islam Modern dan Kontemporer, Dalam http:// www.paramadina.ac.id (27 27 Mei 2012 2012:16:55 BBWI)

Black,Antony, Pemikiran Politik Islam (Dari Masa Nabi Hingga Masa Kini), terj, Abdullah Ali, Mariana Ariestyawati, (Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2006).
Hourani, Albert, Pemikiran Liberal di Dunia Arab, terj., Suparno dkk.,(Bandung: PT Mizan Pustaka, 2004).
http://suaramedia.com/ rasyid-ridha-tokoh-reformis-dunia-islam (27 Mei 2012 2012:  20:22 BBWI.)
Kamil,Sukron, Peta Pemikiran Politik Islam Modern dan Kontemporer, Dalam http:// www.paramadina.ac.id  (27 Mei 2012 2012, 16:55 BBWI)
Mufrodi, Ali, Islam di Kawasan Kebudayaan Arab, Cet: (Surabaya:Logos, 2010).
Poetraboemi, Rasyid Rida, dalam http://www.google.co.id, ( 27 Mei 2012  2012, 10:56 BBWI).
Diposkan oleh choiriyah ahmad di 05.09

Tidak ada komentar:

Posting Komentar