LALU SIAPAKAH KITA ?
Saat kita melangkah di jalan pengetahuan diri ini dengan bantuan
sarana yang diberikan oleh tradisi - sarana yang tanpanya perjalanan
semacam itu sesungguhnya mustahil - kita mendapatkan perspektif
baru tentang setiap jenis kenyataan yang telah kita identifikasi kan
pada awal perjalanan kita.
Kita mulai menyadari bahwa meskipun kita adalah laki-laki atau
perempuan ,atribut itu tidak benar-benar mendefenisikan kita.
Ada realitas yang lebih mendalam , sebutlah sebuah realitas androgynic,
yang mentransendensi dikotomi laki-laki dan perempuan
sehingga identitas kita tidak ditentukan oleh jenis kelamin kita semata.
Dan kita bukan pula hanya tubuh dan panca indera kita walaupun
kita sering mengidentifikasikan diri dengannya.
Saat kita menempuh Jalan Sufi ,
akan menjadi semakin jelas bahwa apa yang kita sebut "Aku"
memiliki eksistensi yang terlepas dari persepsi indera dan tubuh
secara keseluruhan meskipun jiwa terus memiliki kesadaran
tentang tubuh sambil juga menyadari melalui pelatihan spiritual
kemungkinan untuk meninggalkannya demi menuju rumah
yang lebih tinggi.
Demikian juga,meskipun kita memiliki emosi dan keadaan psikologis,
yang dengannya kita sering mengidentifikasikan diri , jalan spiritual
mengajarkan kepada kita bahwa mereka tidak mendefinisikan dan
menentukan identitas kita dalam pengertian terdalamnya.
Bahkan sering kita berkata,
"Aku harus mengendalikan perangaiku",
yang menunjukkan dengan jelas bahwa terdapat lebih dari satu
agen psikologis di dalam diri manusia.
Seperti yang dikatakan oleh St. Thomas , yang sejalan dengan ajaran Sufi,
"Duo Sunt di homine" (Ada dua di dalam diri manusia") .
Bagian dari diri kita yang berusaha mengendalikan perangai kita
pastinya berbeda dan tidak ditentukan oleh bagian dari jiwa kita
yang sedang marah dan harus dikendalikan itu.
Ya, kita memang mengalami emosi , tetapi kita tidak lantas
didefenisikan olehnya.
Dengan cara yang sama , kita memiliki fakultas imajinatif
yang mampu mencipta berbagai gambaran, dan orang biasa ,
seringnya hidup dalam tataran rendah dari dunia bentuk-bentuk
imajinal itu.
Sekali lagi, kita tidak ditentukan bentuk-bentuk imajinal itu,
dan menapaki jalan spiritual sangat efektif
dalam mentransformasi lanskap imajinal batin kita.
Adapun kekuatan memori, itu sebagian besar merupakan
tempat penyimpanan gambar-gambar dan bentuk-bentuk
yang berkaitan dengan pengalaman yang terdahulu.
Akan tetapi secara metafisik , itu juga terkait dengan relasi atemporal
kita dengan Sumber Wujud kita dan dunia yang dapat dipahami akal
tempat kita berada sebelum kita turun ke bumi ini.
Itulah mengapa , pengetahuan yang benar menurut Plato adalah ingatan,
dan dalam Tasawuf langkah-langkah di jalan itu diidentifikasikan
dengan tahapan pengingatan tentang sang Sahabat.
Akan tetapi sebagian besar orang , menganggap pengalaman-pengalaman
yang teringat setiap hari sebagai bagian utama dari identitas mereka.
Namun demikian , pusat dari kesadaran kita , Aku kita,
tidak dapat disamakan dengan memori kita yang biasa.
Kita bisa lupa banyak hal dan masih tetap sebagai manusia yang sama.
Kehidupan spiritual pada kenyataannya bisa didefenisikan
sebagai pengamalan teknik-teknik yang memungkinkan kita
untuk melupakan semua yang kita ingat tentang dunia kemajemukan
serta untuk mengingat hal yang paling penting, yang dunia ini,
telah menyebabkan kita melupakannya, yaitu satu-satunya
"Kebenaran yang menyelamatkan", yang juga merupakan
realitas batin kita.
@SHN..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar