Selasa, 24 November 2015

Sultan Mahmud II, Tanzimat, Usmani Muda (Islam dan Kemodernan)

Sultan Mahmud II, Tanzimat, Usmani Muda


Abstrak

Pada abad pertengahan Dunia Barat telah maju, ditandai dengan beberapa kemajuan dan penemuan teknologi modern. Islam sudah masuk ke daerah Turki mulai abad Hijriyah dan Islam berkembang dengan pesat , bangsa Turki mencapai puncak kemegahan dari tahun 1520-1566 kemudian mendapat gelar orang sakit (The Sick Men) karena bangsa Turki akhirnya juga lumpuh pada abad ke-19. Pembaharuan di Turki ini, meliputi empat fase pembaharuan yang dimulai oleh Sultan Mahmud II, yang mengubah madrasah tradisional tanpa pengetahuan umum menjadi madrasah yang berpengetahuan umum. Tanzimat yaitu usaha untuk mengatur dan memperbaiki struktur organisasi pemerintahan sementara Usmani Muda dan Turki Muda ingin mengubah sistem pemerintahan konstitusional bukan dengan kekuasaan absolut.

Kata Kunci  : Sultan Mahmud II, Tanzimat, Usmani Muda, Turki Muda

I.             Pendahuluan
Di abad pertengahan Dunia Barat telah maju, ditandai dengan beberapa kemajuan dan penemuan teknologi modern seperti kaca lensa (1250), alat percetakan (1450), dan lain-lain. Perkembangan IPTEK ini di samping menimbulkan hal-hal yang positif adapula yang negatif, sedangkan umat Islam di belahan bagian timur sedang bersimpuh di bawah penindasan dan juga terlena dibawah sisa kemegahan di masa silam yang telah sirna, namun dibelahan barat (Asia Barat) kurang lebih tahun 1300 telah berdiri pula Kerajaan Turki, namun mereka kurang berbudaya. Mereka hanya mengandalkan kemajuan militer, keberanian dan fisik mereka yang kuat, namun mereka ini merupakan ancaman bagi Eropa. Puncak kemajuan Turki tersebut berada pada zaman Sultan Muhammad al-Fatih (Sultan Mehmed II), antara lain pada tahun 1453 dapat menaklukkan Byzantium Romawi. Dari Istanbul, mereka menguasai daerah sekitar laut tengah dan berabad-abad lamanya Turki sebagai suatu negara yang perlu diperhatikan dan diperhitungkan oleh ahli-ahli politik dari Eropa.
Memasuki abad 19 Turki memasuki era pembaharuan, diawali oleh Sultan Mahmud II yang berusaha keras mempertahankan Islam tetapi mampu mengimbangi Barat, dan mengadakan pembaharuan dalam Islam dan bukan di luar Islam, tidak menolak barat tetapi tidak serta merta menerimanya. Usaha pembaharuanpun tidak terhenti di Sultan Mahmud, dikemudian hari terdapat usaha – usaha pembaharuan dengan berbagai corak sebut saja “Tanzimat, Usmani Muda, dan Turki Muda” .
Tanzimat berusaha mengatur dan menertibkan organisasi (lembaga - lembaga) pemerintah, dengan tujuan menjadikan organisasi pemerintah tersebut terstruktur. Tanzimat tidak mengadakan transformasi bentuk pemerintahan dari absolute ke konstitusional, karena pada intinya mereka ingin mengadakan perbaikan dalam system pemerintahan yang sudah ada. Menjadikan mereka yang menginginkan transformasi bentuk pemerintahan merasa bahwa pembaharuan yang dilakukan dalam tanzimat belum dapat meraih hasil seperti yang diharapkan. Lebih jauh malah mendapatkan kritikan-kritikan dari luar kaum cendikiawan. Kegagalan oleh tanzimat dalam mengganti konstitusi yang absolut merupakan cambuk untuk usaha-usaha selanjutnya. Untuk mengubah kekuasaan yang absolut maka timbullah usaha atau gerakan dari kaum cendikiawan dalam melanjutkan usaha-usaha tanzimat, Hingga pada akhirnya lahirlah Usmani Muda sebelum Turki Muda.
II.           Sultan Mahmud II
1.    Biografi Sultan Mahmud II
Mahmud lahir di Saray Juli 1785. Ia adalah putra Sultan Abd al-Hamid dan mempunyai pendidikan tradisional, antara lain pengetahuan agama, pengetahuan pemerintahan, sejarah dan sastra Arab, Turki dan Persia. Ia diangkat menjadi Sultan di tahun 1807 dan meningal di tahun 1839. Di bagian pertama dari masa kesultanannya ia disibukkan oleh peperangan dengan Rusia dan usaha menundukkan daerah-daerah yang mempunyai kekuasaan otonomi besar, peperangan dengan Rusia selesai di tahun 1812. Setelah kekuasaannya sebagai pusat pemerintahan Kerajaan Usmani bertambah kuat, Sultan Mahmud II melihat bahwa telah tiba masanya untuk memulai usaha-usaha pembaharuan yang telah lama ada dalam pemikirannya.[1]
2.    Pembaharuan Sultan Mahmud II
Setelah kekuasaannya sebagai pusat pemerintahan kerajaan Usmani bertambah kuat, Sultan Mahmud II melihat bahwa telah tiba waktunya untuk memulai usaha-usaha pembaharuan yang telah lama ada dalam pikirannya. Dan pembaharuan yang dilakukannya secara sungguh-sungguh, seperti dalam bidang militer, tradisi,pendidikan, hukum, dan ekonomi.
2.1.       Pembaruan dalam Bidang Militer
            Seperti sultan-sultan lain, hal pertama yang menarik perhatiannya ialah pembaharuan di bidang militer. Pembaharuan dalam bidang militer inipun dianggap utama karena banyak daerah – daerah kekuasaan dari Usmanipun berkurang, tidak hanya itu keadaan korps milter pada saat itu memerlukan perhatian, hingga pada akhirnya Sultan Mahmud II mengadakan pembaharuan dalam bidang militer.
            Dalam melakukan pembaharuan di bidang militer, Sultan Mahmud II terkenal sangat taktis dan strategis, karena tentaranya yang baru adalah pelatih yang dikirim oleh Muhammad Ali dari Mesir. Adapun pembaruan militernya meliputi: (1) Membentuk tentara kerajaan yang modern; (2) Melumpuhkan tantangan dari pihak Janisarry sekaligus tantangan ulama atas pembaharuannya; dan (3) Membentuk korps tentara kerajaan Usmani yang baru pada tahun 1826. Dalam hal ini ia menjauhi pemakaian pelatih-pelatih Eropa atau Kristen yang pada masa lampau mendapat tantangan dari pihak yang tidak setuju dengan pembaharuan. Sebenarnya dari pihak Janisarry menentang pembaharuan Sultan Mahmud II, akan tetapi para petingginya itu menyetujui pembentukan korps baru ini, perwira bawahanlah yang mengambil sikap menolak. Beberapa hari sebelum korps baru itu mengadakan parade, Janisarry berontak. Dengan mendapat restu dari Mufti Besar kerajaan Usmani, Sultan Mahmud II memberi perintah untuk mengepung Janisarry yang sedang berontak dan menghujani garnisun dengan tembakan meriam. Pertumpahan darah terjadi dan kira-kira seribu Janisarry mati terbunuh. Tempat-tempat mereka selalu berkumpul dihancurkan dan penyokong-penyokong mereka dari golongan sipil ditangkap. Tarekat Baktasyi, sebagai tarekat yang banyak mempunyai anggotanya dari golongan Janisarry dibubarkan. Kemudian Janisarry sendiri dibubarkan.[2] Sistem Militer lama lenyap pada tahun 1831.[3]
2.2.       Pembaharuan dalam Tradisi
Sultan Mahmud II, dikenal sebagai Sultan yang tidak mau terikat pada tradisi dan tidak segan-segan melanggar adat kebiasaan lama. Sultan-sultan sebelumnya menganggap diri mereka tinggi dan tidak pantas bergaul dengan rakyat. Oleh karena itu, mereka selalu mengasingkan diri dan meyerahkan soal mengurus rakyat kepada bawahan-bawahan. Timbullah anggapan mereka bukan manusia biasa dan pembesar-pembesar Negara pun tidak berani duduk ketika menghadap Sultan. Tradisi aristokrasi ini dilanggar oleh Mahmud II. Ia mengambil sikap demokratis dan selalu muncul di muka umum untuk berbicara atau menggunting pita pada upacara-upacara resmi. Menteri dan pembesar-pembesar negara lainnya ia biasakan duduk bersama jika datang menghadap. Pakaian kerajaan yang ditentukan untuk Sultan dan pakaian kebesaran yang biasa dipakai Menteri dan pembesar-pembesar lain ia tukar dengan pakaian yang lebih sederhana. Tanda-tanda kebesaran hilang, rakyat biasa dianjurkan pula supaya meninggalkan pakaian tradisional dan menukarnya dengan pakaian Barat. Perubahan pakaian ini menghilangkan perbedaan status dan sosial yang nyata kelihatan pada pakaian tradisional. Kekuasaan-kekuasaan luar biasa yang menurut tradisi dimiliki oleh penguasa-penguasa Usmani ia batasi. Kekuasaan Pasha atau Gubernur untuk menjatuhkan hukum mati dengan isyarat tangan ia hapuskan. Hukuman bunuh untuk masa selanjutnya hanya bisa dikeluarkan oleh hakim. Penyitaan Negara terhadap harta orang yang dibuang atau dihukum mati juga ia tiadakan.[4]
2.3.       Pembaharuan dalam Organisasi Pemerintahan
Aspek terpenting yang dilaksanakan Mahmud II dalam bidang pemerintahan adalah merombak sistem kekuasaan di tingkat penguasa puncak. Dalam tradisi kerajaan Usmani, sultan memiliki dua bentuk kekuasaan, yakni kekuasaan temporal (duniawi) dan kekuasaan spiritual (rohani). Sebagai penguasa dunia ia disebut Sultan dan sebagai penguasa rohani disebut khalifah. Dalam pelaksanaannya untuk urusan pemerintahan, sultan dibantu Sadrazam, sedangkan untuk keagamaan dibantu Shaikh al-Islam. Jabatan Sadrazam yang sering menggantikan sultan apabila sultan berhalangan dihapuskan Mahmud II. Sebagai gantinya dibentuk jabatan perdana menteri yang membawahi menteri untuk urusan dalam negeri, luar negeri, keuangan, dan pendidikan dengan departemennya masing-masing. Para menteri memiliki kekuasaan semi otonomi sebagaimana perdana menteri dan sultan. Tugas perdana menteri sangat berkurang apabila dibandingkan dengan Sadrazam sebelumnya. Selain itu Mahmud II juga memindahkan kekuasaan Yudikatif dari tangan Sadrazam ke Shaikh al-Islam. Dalam sistem baru ini Mahmud II membentuk lembaga hukum sekuler di samping hukum shariat. Kekuasaan Shaikh al-Islam menjadi sedikit karena hanya menangani masalah shariat, sedangkan hukum sekuler diserahkan kepada Dewan Perancang Hukum untuk mengaturnya. Sepanjang sejarah kerajaan Usmani, Mahmud II yang secara tegas mengadakan perbedaan antara urusan agama dan urusan dunia. Pada 1838 ia mengeluarkan hukum dan ketentuan menyangkut kewajiban para hakim dan pegawai negeri. Ditegaskan pula ketentuan yang berlaku bagi seorang hakim maupun pegawai yang korupsi dan melalaikan tugasnya.[5]
2.4.       Pembaharuan dalam Bidang Pendidikan
Perubahan penting yang diadakan oleh Sultan Mahmud II dan yang kemudian mempunyai pengaruh besar pada perkembangan pembaharuan di Kerajaan Usmani ialah perubahan dalam bidang pendidikan. Seperti halnya di Dunia Islam lain di zaman itu, Madrasah merupakan satu-satunya lembaga pendidikan umum yang ada di Kerajaan Usmani. Di Madrasah hanya diajarkan agama sedangkan pengetahuan umum tidak diajarkan. Sultan Mahmud II sadar bahwa pendidikan Madrasah tradisional tidak sesuai lagi dengan tuntutan zaman abad ke-19. Di masa pemerintahannya orang kurang giat memasukkan anak-anak mereka ke Madrasah dan mengutamakan mengirim mereka belajar keterampilan secara praktis di perusahaan industri. Oleh karena itu, ia mengadakan perubahan dalam kurikulum Madrasah dengan menambah pengetahuan-pengetahuan umum di dalamnya, seperti halnya di Dunia Islam lain pada waktu itu memang sulit. Madrasah tradisional tetap berjalan tetapi di sampingnya Sultan mendirikan dua sekolah pengetahuan umum. Mekteb-i Ma’arif (Sekolah Pengetahuan Umun) dan Mekteb-i Ulum-u Edebiye (Sekolah Sastra). Siswa untuk kedua sekolah itu dipilih dari lulusan Madrasah yang bermutu tinggi. Selain itu, Sultan Mahmud II juga mendirikan Sekolah Militer, Sekolah Teknik, Sekolah Kedokteran dan Sekolah Pembedahan. Lulusan Madrasah banyak meneruskan pelajaran di sekolah-sekolah yang baru didirikannya. Selain dari mendirikan Sekolah Sultan Mahmud II juga mengirim siswa-siswa ke Eropa yang setelah kembali ke tanah air juga mempunyai pengaruh dalam penyebaran ide-ide baru di Kerajaan Usmani.[6]
2.5.       Pembaharuan dalam Bidang Publikasi
Untuk menyebar luaskan gagasannya dan mengkomunikasikannya kepada masyarakat, Mahmud II mengupayakan bidang publikasi yang memadai. Tahun 1831 ia mengintruksikan berdirinya surat kabar resmi pemerintah Takvim-i Vekayi, tiga tahun setelah terbitnya surat kabar pemerintah Mesir al-Waqā’i’ al-Misriyyah (1828). Surat kabar ini tidak hanya memuat berita dan pengumuman resmi pemerintah, melainkan juga memuat artikel mengenai gagasan progresif di Eropa. Oleh sebab itu, Takvim-i Vekayi dinilai mempunyai pengaruh besar dalam memperkenalkan ide modern kepada masyarakat Turki.[7]
Salah satu redaktur surat kabar itu adalah Mustafa Sami yang telah pernah berkunjung ke Eropa. Kemajuan Eropa, menurut pendapatnya, didasarkan antara lain atas ilmu pengetahuan, kemerdekaan dalam agama, patriotisme dan pendidikan yang merata. Ia begitu tertarik dengan peradaban Barat sehingga ia tidak segan-segan mengkritik adat istiadat timur dan dibalik itu memuja-muja..
2.6.       Pembaharuan dalam Bidang Ekonomi
Mahmud II melakukan perbaikan sumber ekonomi melalui sektor pertanian mengingat daerah Turki terkenal daerah agraris yang cukup luas. Untuk itu Mahmud II menghapuskan semua peraturan yang dibuat Amir (pemerintah, raja, gubenur, pemimpin), tuan tanah, dan kaum feodal, kemudian menggantinya dengan peraturan tentang hak pemilikan dan penggunaan tanah yang keamanannya dilindungi. Perubahan ini melahirkan semangat rakyat untuk mengolah lahan pertanian. Pembaharuan yang dilakukan oleh Sultan Mahmud II merupakan suatu hal yang dijadikan dasar bagi pemikiran dan usaha pembaharuan selanjutnya di kerajaan Usmani abad ke-19 dan Turki abad ke-20.[8]
III.         Tanzimat
Istilah tanzimat berasal dari bahasa Arab dari kata Tanzim yang berarti pengaturan, penyusunan dan memperbaiki. Dalam pembaharuan yang diadakan pada masa tanzimat merupakan sebagai lanjutan dari usaha-usaha yang dijalankan oleh Sultan Mahmud II yang banyak mengadakan pembaharuan peraturan dan perundang-undangan. Secara terminologi tanzimat adalah suatu usaha pembaharuan yang mengatur dan menyusun serta memperbaiki struktur organisasi pemerintahan, sosial, ekonomi dan kebudayaan, antara tahun 1839-1871 M. Tokoh-tokoh penting tanzimat antara lain : Mustafa Rashid Pasha, Mustafa Sami, Mehmed Sadek Rif’at Pasha dan Ali Pasha.[9]
1.    Kondisi Obyektif Turki Pada Masa Tanzimat
Masa pemerintahan Tanzimat di Turki ditandai dua gejala umum yang penting yang sedang berlangsung di dunia Islam. Pertama, semakin gencarnya pengaruh dan gelombang ekspansi Barat ke dunia Islam. Kedua, mulai timbulnya kesadaran ummat Islam tentang ketinggalan mereka dari kekuasaan dan peradaban Barat. Gejala pertama sangat dirasakan dan berngaruh besar terhadap politik dan kebijakan pemerintah Tanzimat.
Turki Usmani mulai kehilangan daerah-daerah kekuasaannya atau berkurang kontrolnya di wilayah Balkan dan Eropa Timur. Pada tahun 1815, Serbia berhasil memperoleh hak otonomi untuk mengatur daerahnya sendiri. Tahun 1829, Yunani berhasil memperoleh kemerdekaan dari kekuasaan Turki Usmani. Seiring dengan itu, Serbia, Moldavia, dan Rumania juga mendapatkan otonomi penuh. Pada tahun 1877 Rusia dan Pan Slavia merebut Bosnia-Hezegovina dan Bulgaria dari tangan Turki Usmani diikuti dengan pernyataan kemerdekaan Serbia, Montenegro, dan Rumania. Kehilangan wilayah yang demikian luas tersebut merupakan lanjutan dari derita Turki Usmani yang pada abad sebelumnya telah pula kehilangan wilayah Cremia dan sekitar black sea. Daerah Laut Hitam tersebut telah jatuh ke tangan Rusia pada perang Rusia-Turki yang berlangsung pada tahun 1768-1774 dan 1787-1792.[10] Pada saat yang sama, Turki Usmani juga kehilangan wilayah kekuasaannya di Afrika Utara. Mesir, di bawah pimpinan Muhammad Ali, melepaskan diri pada awal abad XIX. Pada tahun 1830 Aljazair direbut oleh Perancis.[11]
Kekalahan-kekalahan yang diderita Turki Usmani ini disebabkan oleh komplesitas masalah yang sedang dihadapainya. Tentara Turki Usmani yang dahulu demikian disegani di daratan Eropa sudah mulai tertinggal dalam bidang peralatan, teknik dan organisasi dibandingkan dengan kekuatan tentara Negara-negara Eropa. Turkipun sudah tetinggal dalam bidang ekonomi, politik, ilmu pengetahuan dan teknologi dari Negara-negara Barat. Di samping kemunduran di bidang-bidang tersebut, Turki Usmani juga mengalami kemunduran dalam bidang hukum. Bahkan, sebagaimana dikemukakan Satria Effendi, pada awal abad ke-19 fiqh Islam mencapai puncak kemundurannya di Turki Usmani.[12] Suasana kemunduran Islam itu tergambar  dari karakteristik hukum Islam yang berkembang ketika itu. Ciri khas yang menonjol pada bidang hukum saat itu dapat dilihat dari beberapa segi. Pertama, dari segi pemikiran fiqh. Kedua, dari segi system pengajaran dan pengembangan fiqh. Ketiga, dari segi metode penulisan karya fiqh. Kegiatan pengembangan fiqh yang diadakan sebatas upaya-upaya takhrij, tarjih, dan tanzim terhadap karya fiqh madhhab. Sementara itu, ditinjau dari segi metode penulisan karya fiqh, terdapat kecenderungan umum untuk menulis ringkasan dan penjelasan bagi kitab-kitab fiqh yang telah ada. Al-Zarqa’ dengan nada sinis mengibaratkan metode penulisan ini dengan ungkapan “bagaikan memasukkan unta ke dalam botol”. Setelah matan fiqh dihasilkan, penulis matan atau penulis lain menulis penjelasan, komentar, dan tambahan terhadap matan tersebut. Tulisan seperti itu  disebut Sharah. Sharah ini kemudian diberi pula penjelasan yang dinamakan dengan Hashiyah. Hashiyah inipun dibuat pula penjelasannya yang dinamakan Taqrir.[13] Karakteristik tersebut di atas mewarnai hukum Islam pada masa tersebut dan membawa hukum Islam ke dalam jurang kejumudan dan kemunduran.
Menanggapi keadaan hukum Islam yang demikian, dalam bidang hukum Islam, muncul tiga aliran pemikiran dan gerakan. Ketiga aliran ini muncul sebagai respon terhadap keadaan hukum Islam yang sedang mundur dan masuknya pengaruh Barat ke dunia Islam. Aliran pertama yang diwakili kelompok Islam konservatif ingin mempertahankan status quo hukum Islam yang ada saat itu. Bagi kelompok ini hukum, hukum Islam baik yang bersifat absolute dan ijtihadi telah lengkap dan selalu mampu mengatur dan menjawab semua permasalahan hukum, tidak terkecuali yang terjadi di zaman modern. Terjadinya kemunduran, termasuk di bidang hukum bukan berasal dari kekurangan hukum Islam, melainkan karena kesalahan ummat Islam yang tidak lagi konsisten menjalankan hukum Islam. Untuk memecahkan permasalahan hukum yang terjadi di zaman modern, maka ummat Islam harus menerapkan hukum Islam yang diwarisi dari masa lalu tersebut secara murni dan konsekwen. Aliran kedua berpendapat bahwa jalan keluar dari permasalahan hukum di Turki Usmani adalah dengan melakukan reformasi dan reformulasi hukum Islam secara parsial. Hukum Islam terbagi atas hukum yang bersifat absolute dan hukum yang bersifat relative kebenarannya. Ajaran murni yang ditegaskan langsung oleh al-Qur’an dan Sunnah Nabi adalah bersifat absolute dan tidak bisa dirubah. Sedangkan hukum-hukum yang merupakan hasil ijtihad para mujtahid dapat dirubah sesuai dengan situasi dan kondisi yang berkembang. Aliran ketiga yang diwakili kelompok westernis-sekularis berpendapat bahwa hukum Islam di Turki Usmani yang sudah dipraktekkan berabad-abad lamanya sudah tidak relevan lagi dan sudah tidak mampu lagi memecahkan permasalahan-permasalahan baru yang muncul akibat kemajuan ilmu pengetahuan dan tekhnologi. Keadaan hukum yang demikian tidak bisa dibiarkan harus dicarikan jalan keluarnya. Solusi yang mereka ajukan dan perjuangkan adalah penggantian hukum Islam dengan hukum-hukum yang berasal dari Barat. Hukum-hukum Barat menurut kelompok ini telah terbukti mampu mengatur dan membawa masyarakat Barat ke arah kemajuan yang gilang gemilang. Perbaharuan hukum Islam sebagai solusi alternative mereka tolak dengan alasan pembaharuan hukum Islam sulit disepakati metodenya dan pembaharuan ini akan berjalan lamban, sementara persoalan yang dihadapi semakin mendesak untuk dipecahkan dan akan selalu berkembang.[14]
Pertarungan antara tiga aliran ini dalam mensosialisasikan dan menerapkan ide-ide mereka berlangsung sejak masuknya pengaruh Barat secara intensif ke Turki Usmani, baik sebelum, pada masa, maupun pasca Tanzimat.
2.    Politik Pembinaan Hukum Tanzimat
Tanzimat termasuk kelompok yang menginginkan penggantian perangkat hukum yang berasal dari system hukum Islam dengan perangkat hukum yang berasal dari system Barat. Hal ini terlihat jelas dalam praktek politik pembinaan hukum yang dilaksanakan Tanzimat.  Shaw  & Shaw mencatat beberapa perubahan mendasar yang dilancarkan Tanzimat ketika memegang pemerintahan Turki Usmani. Pada tahun 1843 Tanzimat menetapkan hukumpidana (Ceza Kanunnamesi) dan pada tahun 1850 ditetapkan hukum dagang (Ticaret Kanunnamesi). hukum pertanahan ditetapkan pada tahun 1858 dan hukum perdagangan laut tahun 1863. Perangkat hukum material baru tersebut berkiblat kepada hukum-hukum Barat yang sarat dengan nilai-nilai sekularisme. Sebagai sarana penerapan hukum formal dan lembaga peradilan. Peradilan campuran yang bersifat sekuler didirikan dan hukum acara pidana dan hukum acara perdata yang barupun disusun kemudian.[15]  
Pada umumnya politik dan kebijakan hukum yang dilaksanakan Tanzimat mengacu kepada master plan pengganti hukum Islam dengan hukum Barat. Akan tetapi, ada juga usaha Tanzimat yang diarahkan untuk memajukan hukum Islam. Satu karya fenomenal yang lahir dimasa Tanzimat dalam bidang hukum Islam adalah pengundangan dan kodifikasi hukum Islam yang dikenal dengan Majallah al-ahkam al-‘adliyah, biasa disingkat dengan Majallah. Majallah ini merupakan kodifikasi hukum pertama yang bermaterikan hukum Islam murni di dunia.[16]
Politik dan kebijakan pembinaan hukum yang dijalankan pemerintah Turki Usmani sejak masa Tanzimat membawa beberapa perubahan penting dalam hukum Islam. Perubahan tersebut ada yang menyangkut segi-segi yang tidak fundamental dari hukum Islam dan ada pula yang menyentuh hal-hal yang mendasar. Perubahan yang sifatnya tidak mendasar seperti tentang pengundangan (taqnin), kodifikasi hukum, serta pembuatan hukum-hukum baru yang menyangkut mu’amalah yang bersifat ijtihadiah dan pelengkap. Sedangkan perubahan yang menyentuh hal-hal yang fundamental seperti penggantian hukum Islam dengan hukum Barat dalam bidang pidana hudud.
3.    Pengaruh Realitas Soal Politik
Salah satu dinamika internal dalam masyarakat Turki Usmani menurut catatan Erik J.Zurcher adalah berhubungan dengan perubahan posisi warga Negara non-muslim dalam strata kewarganegaraan Turki Usmani. Para penguasa Tanzimat membuat materi dan institusi hukum baru untuk mengakomodasi kepentingan penganut agama non-Islam (terutama Kristen) yang telah disejajarkan kedudukannya dengan warga Negara yang beragama Islam. Dalam rangka inilah diperkenalkan hukum pidana baru yang mengakui kesamaan kedudukan muslim dan non-muslim. Pada saat yang sama diperkenalkan pula peradilan campuran dalam kasus-kasus perdagangan yang juga diberlakukan bagi warga Negara asing. Pada tahun 1884 hukuman mati bagi orang yang murtad dari agama Islam dihapuskan.[17]
Barat berkepentingan untuk mendorong Turki Usmani untuk memberlakukan hukum-hukum Barat demi kepentingan warga Negara minoritas yang dimaksudkan Kristen yang ada di Turki Usmani. Di samping itu, dengan adanya kesamaan hukum yang berlaku di Turki Usmani dengan yang berlaku di Negara-negara Barat, maka kepentingan Negara-negara Barat akan lebih terjamin. Zurcher berpendapat bahwa tidak diragukan lagi adanya tekanan eksternal secara berkesinambungan memainkan peranan yang penting dalam reformasi intern di bidang administrasi dan hukum pada masa Tanzimat. Hal ini secara khusus lebih terlihat pada kasus reformasi kedudukan warga Negara minoritas Kristen pada struktur kewarganegaraan Turki Usmani. Kekuatan-kekuatan Eropa memberikan tekanan kepada Tanzimat untuk mengangkat posisi minoritas Kristen dari warga Negara kelas dua menjadi warga Negara yang sama derajatnya dengan warga Negara mayoritas muslim.[18]
N.J Coulson lebih melihat perubahan-perubahan yang terjadi sebagai akaibat langsung persentuhan kebudayaan Barat dengan kebudayaan Islam. Perubahan-perubahan yang terjadi dimasyarakat tidak mampu lagi dijawab oleh tradisi-tradisi Islam yang ada. Pada masa abad pertengahan, struktur Negara dan masyarakat Islam memang masih statis, oleh sebab itu hukum Shara’ masih bisa dengan sukses mengakomodasi persoalan-persoalan yang berkembang. Namun, pada perkembangan selanjutnya tekanan-tekanan pengaruh kebudayaan Barat yang secara umum berbeda dengan kebudayaan Islam semakin gencar dan menyebabkan perubahan-perubahan besar dalam masyarakat. Di sini kemudian timbul konflik antara hukum shara’ yang cenderung kaku akibat ajaran taqlid-dan kebutuhan hukum masyarakat yang telah terinspirasi dan terbentuk oleh nilai-nilai dan standar Barat. Dalam situasi demikian, tidak ada alternative lain kecuali menghapus hukum-hukum Barat jika ingin beradaptasi dengan dunia modern.[19]  Jalan pikiran Coulson kelihatan sejalan dan membenarkan kebijakan dan politik hukum yang dijalankan Tanzimat.
Jalan yang hampir sama dengan di atas yang ditawarkan Coulson adalah dengan rencana strategi yang tepat. Seperti yang dilakukan dalam bidang hukum keluarga Islam di banyak Negara Islam. Hasilnya, hukum keluarga Islam relative tetap survive menghadapi tantangan kebutuhan yang berkembang. Tidak seperti hukum pidana dan hukum dagang Islam yang hancur dilanda perubahan social karena tidak segara melakukan rekontruksi dan modernisasi.[20]
IV.        Usmani Muda
Pembaharuan yang diusahakan dalam tanzimat belumlah mendapat hasil sebagaimana yang diharapkan, bahkan mendapat kritikan-kritikan dari luar kaum cendekiawan. Kegagalan oleh tanzimat dalam mengganti konstitusi yang absolut merupakan cambuk untuk usaha-usaha selanjutnya. Untuk mengubah kekuasaan yang absolut maka timbullah usaha atau gerakan dari kaum cendikiawan melanjutkan usaha-usaha tanzimat. Gerakan ini dikenal dengan Young Ottoman-Yeni Usmanilar (Gerakan Usmani Muda) yang didirikan pada tahun 1865.[21]
Usmani muda pada asalnya merupakan perkumpulan manusia yang didirikan di tahun 1865 dengan tujuan untuk mengubah pemerintahan absolut kerajaan Usmani menjadi pemerintahan konstitusional. Setelah rahasia terbuka pemuka-pemukanya lari ke Eropa di tahun 1867 dan di sanalah gerakan mereka memperoleh nama Usmani Muda. Para tokoh Usmani Muda banyak yang melakukan gerakan rahasia dalam menentang kekuasaan absolut Sultan. Namun sikap politik mereka itu akhirnya diketahui oleh Sultan. Akhirnya mereka banyak yang pergi ke Eropa dan di sana mereka menyusun kekuatan. Maka setelah situasi Turki aman kembali, mereka pun banyak yang pulang ke tanah air dan meneruskan cita-cita mereka, terutama tentang ide-ide pembaharuan.[22]
Beberapa tokoh dari gerakan itu membawa angin baru tentang demokrasi dan konstitusional pemerintahan yang menjunjung tinggi kekuasaan rakyat bukan kekuasaan absolut. Di antara tokoh itu ialah : Zia Pasha, Midhat Pasha, dan Nanik Kemal.
1.      Zia Pasha
Zia pasya lahir pada tahun 1825 di Istanbul dan meninggal dunia pada tahun 1880. Ia anak seorang pegawai kantor bea cukai di Istanbul. Pendidikannya setelah selesai sekolah di Sulaemaniye yang didirikan Sultan Mahmud II dalam usia muda dia diangkat menjadi pegawai pemerintah, kemudian atas usaha Mustafa Rashid Pasha pada tahun 1854 ia diterima menjadi salah seorang sekretaris Sultan. Di sinilah ia dapat mengetahui tentang sistem dan cara Sultan memerintah dengan otoriter. Untuk keperluan tugas barunya, ia mempelajari bahasa Perancis dan dalam waktu yang singkat ia menguasai dan dapat menerjemahkan buku-buku Perancis ke dalam bahasa Turki. Karena terjadi kesalahpahaman dengan Ali Pasha maka ia pergi ke Eropa pada tahun 1867 dan tinggal di sana selama lima tahun.[23] Ketika berada di Eropa itulah banyak pengalaman yang didapatkannya. Beberapa pemikirannya akhirnya menjurus kepada usaha pembaharuan. 
Usaha-usaha pembaharuannya antara lain, kerajaan Usmani menurut pendapatnya harus dengan sistem pemerintahan konstitusional, tidak dengan kekuasaan absolut. Menurutnya negara Eropa maju disebabkan tidak terdapat lagi pemerintahan yang absolut, semuanya dengan sistem pemerintahan konstitusional. Dalam sistem pemerintahan konstitusional harus ada Dewan Perwakilan Rakyat. Kemudian Zia mengemukakan hadis ”Perbedaan pendapat di kalangan umatku merupakan rahmat dari Tuhan”, sebagai alasan untuk perlu adanya Dewan Perwakilan Rakyat, di mana perbedaan pendapat itu ditampung dan kritik terhadap pemerintah dikemukakan untuk kepentingan umat seluruhnya. Sebagai orang yang taat menjalankan agama Islam, Zia sebenarnya tidak sepenuhnya setuju terhadap pembaharuan yang hanya mencomot ide-ide Barat tanpa sikap kritis. Itulah sebabnya dia lebih melihat kesesuaian antara kepentingan rakyat dengan ide pembaharuan yang datangnya dari Barat. Dalam hal demikian, ia juga tidak sependapat dengan orang yang mengatakan bahwa agama Islam dapat dianggap sebagai penghalang kemajuan.[24]
2.      Midhat Pasha
Nama lengkapnya Hafid Ahmad Shafik Midhat Pasha, lahir pada tahu 1822 di Istanbul. Pendidikan agamanya diperoleh dari ayahnya sendiri. Dalam usia sepuluh tahun ia telah hafal Al-Quran, oleh karena itu ia digelari Al-Hafid. Pendidikannya yang tertinggi adalah pada Universitas al-Fatih. Dia termasuk tokoh Usmani Muda yang mempunyai peranan cukup penting dalam ide pembaharuan. Ia anak seorang hakim agama yang dalam usia belasan tahun sudah menjadi pegawai di Biro Perdana Menteri. Tahun 1858 ia diberikan kesempatan untuk berkunjung ke Eropa selama enam bulan. Setelah itu beberapa saat kemudian, ia diangkat menjadi gubernur di berbagai daerah. Dengan kemampuan dan kecakapan yang luar biasa akhirnya Sultan mengangkatnya menjadi Perdana Menteri tahun 1872. Ketika Sultan Abdul Hamid berkuasa menggantikan Sultan Murad V, ia diangkat kembali menjadi Perdana Menteri. Saat itu ada perjanjian langsung bahwa Sultan akan memberikan sokongan atas gerakan-gerakannya. Sultan juga nampaknya memberi angin segar atas pembaharuan kelompok Usmani Muda. Beberapa langkah pembaharuan itu, seperti memperkecil kekuasaan kaum eksekutif dan memberikan kekuasaan lebih besar kepada kelompok legislatif. Golongan ini juga berusaha menggolkan sistem konstitusi yang sudah ditegakkan dengan memakai istilah terma-terma yang Islami, seperti musyawarah untuk perwakilan rakyat, bai’ah untuk kedaulatan rakyat dan shariah untuk konstitusi. Dengan usaha ini sistem pemerintahan Barat lambat laun dapat diterima kelompok ulama dan Shaikh al-Islami yang sebenarnya banyak menentang ide pembaharuan pada masa sebelumnya.[25]
Tanggal 23 Desember 1876 konstitusi yang bersifat semi-otokrasi di tanda tangani oleh Sultan Abdul Hamid. Isi dari konstitusi ini sebagian besar masih belum mencerminkan langkah nyata dari pembaharuan sistem pemerintahan, karena kekuasaan Sultan masih demikian besar. Salah satu contoh adalah pasal 113 dari Undang-Undang yang dibuat, berbunyi bahwa dalam keadaan darurat Sultan boleh memberikan pengumuman tertentu, dan boleh menangkap orang-orang yang dianggap membahayakan kepentingan negara. Jadi, dari bunyi pasal tersebut Sultan masih diberi wewenang besar untuk menjalankan keputusan yang bersifat mutlak. Justru pasal ini nanti digunakannya untuk menangkap orang-orang yang tidak disenangi Sultan, termasuk diantaranya tokoh Usmani Muda Midhat Pasha ini.[26]
3.      Nanik Kemal
Beliau termasuk pemikir terkemuka dari Usmani Muda, lahir pada tahun 1840 di Tekirdag. Dia berasal dari keluarga nigrat. Orang tuanya menyediakan pendidikan di rumah di samping pelajaran bahasa Arab, Persia, juga diberikan bahasa Perancis. Oleh karena itu, dalam usia yang sangat muda ia sudah menguasai berbagai bahasa. Dalam usia belasan tahun dia diangkat menjadi pegawai kantor penerjemah dan kemudian dipindahkan menjadi pegawai di istana Sultan.
Nanik Kemal banyak dipengaruhi oleh pemikiran Ibrahim Sinasih (1826-1871) yang berpendidikan Barat dan banyak mempunyai pandangan modernisme. Nanik mempunyai jiwa Islami yang tinggi, sehingga walaupun ia terpengaruh pemikiran Barat namun masih menjunjung tinggi moral Islam dalam ide-ide pembaharuannya,[27] menurutnya Turki saat ini mundur karena lemahnya politik dan ekonomi. Untuk bisa memajukan ekonomi dan politik Turki harus ada perubahan dalam sistem pemerintahan. Untuk mewujudkan sistem pemerintahan yang ideal, penguasa harus menjunjung tinggi kepentingan rakyat. Karena kepentingan rakyat menjadi asas Negara, maka Negara mesti demokratis, yaitu pemerintahan yang didasarkan atas dukungan dan kepentingan. Yang dikehendaki oleh Nanik Kemal adalah pemerintahan demokrasi dan pemerintahan serupa ini menurut pendapatnya tidak bertentangan dengan ajaran Islam. Negara Islam yang dibentuk dan dipimpin oleh empat khalifah besar, sebenarnya mempunyai corak demokrasi. Sistem bai’ah yang terdapat dalam pemerintahan Khilafah pada hakikatnya merupakan kedaulatan rakyat. Melalui bai’ah rakyat menyatakan persetujuan mereka atas pengangkatan khalifah yang baru. Dengan demikian bai’ah merupakan kontrak sosial dan kontrak yang terjadi antara rakyat dan khalifah itu dapat dibatalkan jika khalifah mengabaikan kewajiban-kewajibannya sebagai Kepala Negara. Di dalam Islam ada ajaran yang disebut al-maslahah al-’ammah dan ini sebenarnya adalah maslahat umum. Khalifah tidak boleh mengambil sikap atau tindakan yang bertentangan dengan maslahat umum. Maslahat umum oleh karena itu merupakan suatu bentuk dari pendapat umum. Khalifah harus selalu memperhatikan dan menghormati pendapat umum. Lebih lanjut lagi, mushawarah dasar penting dalam soal pemerintahan dalam Islam. Sistem mushawarah ini memperkuat corak demokrasi pemerintah Islam. Pembuat hukum dalam Islam ialah kaum ulama yang melaksanakan hukum adalah pemerintah. Dengan membawa argumen-argumen seperti diatas, Nanik Kemal berpendapat bahwa sistem pemerintahan konstitusional tidaklah merupakan bid’ah dalam Islam. Di antara ide-ide lain yang dibawa Nanik terdapat cinta tanah air Turki, tetapi seluruh daerah kerajaan Usmani. Konsep tanah airnya tidak sempit. Sebagai orang yang dijiwai ajaran Islam, ia melihat perlunya diadakan persatuan seluruh umat Islam di bawah pimpinan Kerajaan Usmani, sebagai negara Islam yang terbesar dan terkuat di waktu itu.
V.          Kesimpulan
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa pemabaharuan-pembaharuan yang dilakukan oleh Sultan Mahmud II merupakan landasan atau dasar bagi pemikiran dan usaha pembaharuan selanjutnya, antara lain : pembaharuan tanzimat, pembaharuan di kerajaan usmani abad ke-19 dan Turki abad ke-20. Di mana tanzimat yang dimaksudkan adalah suatu usaha pembaharuan yang mengatur dan menyusun serta memperbaiki struktur organisasi pemerintahan tetapi tanzimat ini belum berhasil seperti yang diharapkan oleh tokoh-tokoh penting tanzimat, yaitu Mustafa Rashid Pasha, Mustafa Sami, Mehmed Sadek, Rif’at Pasha dan Ali Pasha. Kemudian dilanjutkan dengan pembaharuan Usmani Muda, di mana usaha-usaha pembaharuannya adalah untuk mengubah pemerintahan dengan sistem konstitusional tidak dengan kekuasaan absolut setelah dibubarkannya parlemen.




* Mahasiswi Program Pasca Sarjana IAIN Sunan Ampel Surabaya Konsentrasi Pemikiran Islam, NIM F05411 061.
[1] Syafiq A.Mughni, Sejarah Kebudayaan Islam di Turki, Cet I, (Jakarta : Logos, 1997 ), 122.
[2] M.Amin Kutbi,Desakralisasi Simbol Kekuasaan : Pembaharuan Sultan Mahmud II di Turki, dalam http://www.google.co.id, (14 Mei  2012, 08:34 PM).
[3] Syafiq A.Mughni, Sejarah Kebudayaan Islam di Turki,123.
[4] Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam Sejarah Pemikiran dan Gerakan, (Jakarta : PT. Bulan Bintang. 1996), 93.
[5] M.Amin Kutbi,Desakralisasi Simbol Kekuasaan : Pembaharuan Sultan Mahmud II di Turki, dalam http://www.google.co.id, (14 Mei  2012, 08:34 PM).
[6] Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam Sejarah Pemikiran dan Gerakan, 95.
[7] M.Amin Kutbi,Desakralisasi Simbol Kekuasaan : Pembaharuan Sultan Mahmud II di Turki, dalam http://www.google.co.id, (14 Mei  2012, 08:34 PM).
[8] M.Amin Kutbi,Desakralisasi Simbol Kekuasaan : Pembaharuan Sultan Mahmud II di Turki, dalam http://www.google.co.id, (14 Mei  2012, 08:34 PM).
[9] Muhtarom,Pembaharuan di Turki : Sultan Mahmud II, Tanzimat, Usmani Muda dan Turki Muda, dalam http://www.google.co.id, (14 Mei  2012, 07:07 PM).
[10] Erik J.Zurcher, Turkey A Modern History, (London-New York: I.B. Taris & Co.Ltd, 1994),21-35 dan 78-79.
[11] Philip K.Hitti, History of the Arab, Cet 10, (New York: Mac Milan, 1976), 717-722.
[12] Satria Effendi M zein, Munawir Sjadzali dan Reaktualisasi Hukum Islam di Indonesia, dalam Muhammad Wahyu Nafis, dkk, Konstektualisasi Ajaran Islam : 70 Tahun Prof.Dr.H.Munawir Sjadzali, M.A, (Jakarta : IPHI-Paramadina, 1995), 287.
[13] Must}afa Ahmad al-Zarqa’, Madkhal al-Fiqhi> al-‘A<mi>, Jilid I, (Damaskus : Dar al-Fikr, 1968), 186-187.
[14] Satria Effendi M zein, Munawir Sjadzali dan Reaktualisasi Hukum Islam di Indonesia,288-289.
[15] Stanford J.Shaw dan Ezel Karol Shaw, History of the Ottoman Empire and Modern Turkey, (London : Cambridge University Press, 1992), 114-119.
[16] Manna’ al-Qat}t}an, al-Tashri’ wa al-Fiqh al-Islam: Tarikhan wa Manhajan, (Mesir : Dar al-Ma’rifah,tt), 259
[17] Erik J.Zurcher, Turkey A Modern History, 64
[18] Ibid, 58-59.
[19] N.J. Coulson, A history of Islamic Law, Cet IV, (Edinburg: Edinburg University Press,1994),149-150
[20] N.J. Coulson, Conflict and Tentions in Islamic Jurisprudence, (Chicago: The Univesity of Chicago Press, 1969), 115-116
[21] Yusran Asmuni, Pengantar Studi Pemikiran dan Gerakan Pembaharuan dalam Dunia Islam, (Jakarta:PT.Raja Grafindo Persada.1998) , 21.
[22] Muhammad al-Bahy, Pemikiran Islam Modern, (Jakarta : Pustaka Panjimas. 1986),  97.
[23] Yusran Asmuni, Pengantar Studi Pemikiran dan Gerakan Pembaharuan dalam Dunia Islam,22.
[24] Muhtarom,Pembaharuan di Turki : Sultan Mahmud II, Tanzimat, Usmani Muda dan Turki Muda, dalam http://www.google.co.id, (14 Mei  2012, 07:07 PM).
[25] Muhammad al-Bahy, Pemikiran Islam Modern,  99.
[26] Muhtarom,Pembaharuan di Turki : Sultan Mahmud II, Tanzimat, Usmani Muda dan Turki Muda, dalam http://www.google.co.id, (14 Mei  2012, 07:07 PM).
[27] Muhammad al-Bahy, Pemikiran Islam Modern,  100.

Daftar Pustaka
Asmuni, Yusran, Pengantar Studi Pemikiran dan Gerakan Pembaharuan dalam Dunia Islam, (Jakarta:PT.Raja Grafindo Persada.1998).
Al-Bahy, Muhammad, Pemikiran Islam Modern, (Jakarta : Pustaka Panjimas. 1986).
Coulson, N.J., A history of Islamic Law, Cet IV, (Edinburg: Edinburg University Press,1994).
Coulson, N.J., Conflict and Tentions in Islamic Jurisprudence, (Chicago: The Univesity of Chicago Press, 1969).
Hitti, Philip K. History of the Arab, Cet 10, (New York: Mac Milan, 1976).
Kutbi, M.Amin, Desakralisasi Simbol Kekuasaan : Pembaharuan Sultan Mahmud II di Turki, dalam http://www.google.co.id, (14 Mei  2012, 08:34 PM).
Mughni, Syafiq A., Sejarah Kebudayaan Islam di Turki, Cet I, (Jakarta : Logos, 1997 ).
Muhtarom,Pembaharuan di Turki : Sultan Mahmud II, Tanzimat, Usmani Muda dan Turki Muda, dalam http://www.google.co.id, (14 Mei  2012, 07:07 PM).
Nasution, Harun, Pembaharuan dalam Islam Sejarah Pemikiran dan Gerakan, (Jakarta : PT. Bulan Bintang. 1996).
Al-Qat}t}an, Manna’, al-Tashri’ wa al-Fiqh al-Islam: Tarikhan wa Manhajan, (Mesir : Dar al-Ma’rifah,tt).
Shaw, Stanford J. dan Ezel Karol Shaw, History of the Ottoman Empire and Modern Turkey, (London : Cambridge University Press, 1992).
Al-Zarqa’, Must}afa Ahmad, Madkhal al-Fiqhi> al-‘A<mi>, Jilid I, (Damaskus : Dar al-Fikr, 1968).
Zein, Satria Effendi M, Munawir Sjadzali dan Reaktualisasi Hukum Islam di Indonesia, dalam Muhammad Wahyu Nafis, dkk, Konstektualisasi Ajaran Islam : 70 Tahun Prof.Dr.H.Munawir Sjadzali, M.A, (Jakarta : IPHI-Paramadina, 1995).

Zurcher, Erik J., Turkey A Modern History, (London-New York: I.B. Taris & Co.Ltd, 1994).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar