Selasa, 24 November 2015

Tasawuf Falsafi Shekh Hamzah Fansuri dan Konsep Pemikirannya tentang Wujudiyah (Tasawuf)

Tasawuf Falsafi
Shekh Hamzah Fansuri dan Konsep Pemikirannya tentang Wujudiyah


Abstrak
Islam masuk ke Nusantara diyakini berawal di abad XIII, proses Islamisasi Nusantara lebih kental diwarnai dengan corak tasawuf sebagaimana disebarkan oleh para Sembilan Wali di tanah Jawa atau yang lebih mashhur dengan sebutan Wali Songo, tidak hanya di pulau jawa nun jauh di ujung timur dari Nusantara pada abad ke XVI telah ada sosok tokoh sufi yang berasal dari Barus yang dikenal dengan sebutan Shekh Hamzah Fansuri mengembangkan pemahaman tasawufnya yang cukup unik yakni paham Wujudiyah dengan konsep Martabat Lima, teori Wujudiyah yang dikembangkannya ini sama halnya dengan teori emanasi,  paham tasawufnya yang bercorak falsafi mampu ia kemas dan kembangkan walaupun pada akhirnya dia dianggap Murtad. tetapi harus diakui bahwasanya ia merupakan peletak dasar dalam dunia tasawuf Nusantara yang dikemudian hari dikembangkan oleh tokoh-tokoh sufi setelahnya seperti Shamsuddin al-Samatrani.

Kata Kunci : Hamzah Fansuri, Wujudiyah, Emanasi, Martabat Lima.

I.             Pendahuluan
Tasawuf merupakan corak yang mewarnai proses Islamisasi Nusantara sebut saja nama sederet tokoh sufi Nusantara diantaranya, Hamzah Fansuri, Shamsuddin al-Samatrani, Nuruddin al-Raniri, Abdurrouf al-Singkeli, Siti Jenar, dan lain sebagainya.
Ajaran yang disebarkan oleh para tokoh di atas yang unik adalah tentang Wujudiyah yang dipopulerkan oleh Hamzah Fansuri, Hamzah langsung mengaitkan dirinya dengan ajaran sufi Arab dan Persia sebelum abad ke XVI terutama tokoh-tokoh seperti Bayazid Bust{ami, al-Hallaj, Fariduddin ‘Attar, Junaid al-Baghdadi, Ibnu Arabi, dan Jalaluddin Rumi. Hamzah mengenalkan paham wujudiyah melalui konsep Martabat Lima, pemahaman Martabat Empat, Martabat Lima, ataupun Martabat Tujuh memerlukan teori emanasi (pancaran atau tajalli).
Tajjaliyat al-Dhat Allah merupakan asas-asas filosofis kaum Wujudiyah. Hamzah menerjemahkan tajalli sebagai kenyataan dan pertunjukkan. Artinya, penampakan Tuhan melalui penciptaan alam semesta seisinya. Proses penciptaannya tersusun secara menurun dalam lima martabat, yaitu martabat yang teratas ke martabat yang terbawah atau dari martabat yang tertinggi ke martabat yang terendah sesuai dengan peringkat kerohanian dan luas sempit sifatnya dari yang umum kepada yang khusus.
Kiranya cukup menarik untuk mengulas dan membahas tasawuf ala Hamzah Fansuri dengan paham Wujudiyah melalui konsep martabat lima, yang serupa dengan teori emanasi sehingga corak daripada tasawuf Hamzah Fansuri berwarna falsafi “ Tasawuf Falsafi”.
II.           Biografi Singkat
Ia berasal dari Barus, dan kemunculannya dikenal pada masa kekuasaan Sultan Alauddin Ri’ayat Shah di Aceh pada penghujung abad ke XVI (1588 - 1604).[1] Ada pendapat berbeda tentang kelahirannya Beberapa bukti yang ada menerangkan bahwa ia hidup pertengahan abad ke XVI sampai awal abad ke XVII sebagaimana dipaparkan Sangidu.[2] Selain itu, ia juga sebagai guru Shekh Shamsuddin al-Samatra’I (al-Samatrani), yaitu seorang sufi dan penasehat Sultan Iskandar Muda (w.1603 M). Diperkirakan selisih usia antara Hamzah dan Shamsuddin kurang lebih 10 tahun. Salah satu sebab beberapa perbedaan tentang kelahiran dan tidak diketahuinya hari, tanggal, bulan, dan tahun kelahiran Hamzah secara pasti adalah pelarangan dan pembakaran kitab-kitab karangannya, baik atas perintah Sultan Iskandar Thani yang memerintah tahun 1637 – 1641 M maupun atas fatwa Shekh Nur al-Din al-Raniri yang menduduki jabatan penasihat Sultan Iskandar Thani pada waktu itu.[3]
Nama Fansur yang dinisbatkan kepadanya dilansir berasal dari kota asalnya tempat di mana ia dilahirkan yakni kota Fansur atau Barus, sebuah kota kecil di pantai barat Sumatra yang terletak di antara Sibolga dan Singkel. Kota Fansur atau Barus terkenal sebagai penghasil kapur barus yang bermutu tinggi dan pelabuhannya sangat ramai serta banyak menarik para pedagang Arab, Persi dan India. Fansur atau Barus juga terkenal sebagai kota pusat pengajaran agama Islam. Di Fansur atau Barus inilah Hamzah belajar bahasa Arab dan Persi Sebelum ia berangkat merantau.[4]
Hamzah adalah seorang cendikiawan, sastrawan, budayawan, dan ahli tasawuf terkemuka. Telah dimaklumi bahwa Hamzah lama mengembara ke Baghdad, yakni kota yang menjadi pusat tarekat Qodiriyah. Ia kemudian melanjutkan pengembaraannya ke kota-kota lain, yaitu Mekah dan Madinah serta Kudus di Jawa. Pengembaraannya itu dimaksudkan untuk mencapai tingkatan penyatuan dirinya dengan Khaliq yang telah lama ia cita-citakan. Sepulang dari Kudus, ia menetap di Shahru Nawi, yaitu sebuah kampung kecil kira-kira sehari perjalanan dengan berjalan kaki dari ibu kota Aceh. Di kampung kecil dan terpencil inilah, ia merasa telah bersatu dengan Khaliq.[5] Sebagaimana yang diungkapkan dalam shair:
Hamzah nur asalnya Fansuri,
Mendapat wujud di tanah Shahru Nawi,
Beroleh khilafat ilmu yang ‘ali,
Daripada Abdul Qadir Sayid Jailani.
Pada masa Sultan Alauddin Ri’ayat Syah dan Sultan Iskandar Muda, yaitu ketika Hamzah banyak menulis kitab-kitab tasawuf, masyarakat gemar sekali terhadap ajaran tasawuf sehingga tasawuf dijadikan “gaya hidup” oleh masyarakat Aceh. Hamzah sendiri berpendidikan tinggi dan telah dapat mencapai tingkatan rasa bersatu dengan Khaliq. Ia telah melihat masyarakat Aceh yang menjadikan ajaran tasawuf sebagai “gaya hidup” tetapi pengetahuan mereka tentang tasawuf masih dangkal sekali. Anak-anak muda dan orang tua tiba-tiba menjadi sufi dan mereka beramai-ramai pergi ke hutan belantara untuk mencari Tuhan. Balai yang menghadap ke istana dinamakan Dar al-Kamal (rumah yang sempurna), sungai yang mengelilingi istana dinamakan Dar al-‘Ishqi (rumah untuk mabuk cinta), benteng istana disebut kota khalwat, dan kapal pesiar sultan sultan dinamakan Mir’at al-S{afa (cermin kesucian). Melihat pengetahuan tasawuf masyarakat Aceh yang masih dangkal itulah, Hamzah menyindir dan mengatakan bahwa Tuhan lebih dekat pada hambanya-Nya daripada urat leher. Pengetahuan tasawuf Hamzah yang telah mencapai pada tingkatan ma’rifat itu, tentu tidak dapat dipahami dan dimengerti oleh masyarakat Aceh pada umumnya. Oleh karena itu, masyarakat Aceh yang masih kolot dan orang-orang yang mempunyai pengaruh besar di istana memandang orang sufi setingkat Hamzah sebagai orang yang telah murtad. Dengan demikian, setelah Hamzah wafat, para pengikutnya dikejar-kejar dan dibunuh. Kitab-kitab karangannya dinyatakan terlarang dan dikumpulkan untuk dibakar. Namun, sebagian murid-muridnya berhasil menyelamatkan daripada sebagian kitab-kitab karangan Hamzah itu dan sampai sekarang masih dapat dibaca oleh masyarakat masa kini.[6]
Sebagian kitab karangan Hamzah yang dimaksud adalah kitab-kitab yang berjudul
1.      Asrar al-‘Arifin
2.      Sharab al-‘Ashiqin
3.      Al-Muntahi
4.      Ruba’i Hamzah Fansuri
5.      Bah{ru al-Nisa’
6.      Shair Ikan Tunggal[7]
7.      Shair Perahu
8.      Shair Burung Pingai
9.      Shair Ikan Tongkol
10.  Shair Pungguk
11.  Shair Sidang Fakir
12.  Shair Dagang
13.  Shair Jawi[8]      
III.         Konsep Pemikiran Hamzah Fansuri “ Wujudiyah”
Untuk membicarakan sekilas tentang Hamzah Fansuri dan sejarah pemikirannya, terlebih dahulu perlu dikemukakan sejarah pemikiran sufistik dari pemikiran Plato, ada perbedaan pemikiran antara Plato dan Aristoles tentang jiwa (forma) dan badan (materia). Plato meyakini tentang adanya keabadian jiwa, sedangkan Aristoteles mengingkarinya.[9]
Pemikiran Plato di atas, selanjutnya dikembangkan oleh pemikiran Neo-Platonisme yang dipelopori Plotinus. Ia berpendapat bahwa kejadian alam semesta seisinya itu tidak diciptakan, tetapi dipancarkan oleh Dhat Yang Maha Kuasa. Semua ciptaan ada dari sesuatu yang sudah ada (pre eksis) yang disebut ide. Jadi, dari tataran Tuhan sampai dengan tataran Tuhan sampai dengan tataran alam semesta seisinya, kejadiannya melalui pemancaran atau faid{  (emanasi), yaitu dari tataran Tuhan memancar ke sifat, dari sifat memancar ke ide, dan dari dari ide memancar kea lam semesta.[10]
Perlu dikemukakan bahwa pemancaran yang semakin jauh dari sumbernya, yaitu Tuhan, dapat mengakibatkan semakin lemah sehingga tinggal materinya saja. Pemikiran Plotinus di atas selanjutnya dikembangkan oleh Ibn ‘Arabi. Ia berpendapat bahwa alam semesta seisinya merupakan penampakan (manifestasi) diri al-H{aq (tajalli). Dalam penampakannnya, dari tataran Tuhan (a’yan thabitah) ke tataran alam semesta seisinya (a’yan khorijiyah) telah diakomodir di rumah Islam dengan diselingi kalimat kun fayakun (jadilah! Maka menjadilah), yaitu dari tataran Tuhan menampakkan diri ke sifat, dari sifat menampakkan diri ke ide, dari tataran ide diselingi kalimat kun fayakun, dan akhirnya menampakkan diri ke  alam semesta seisinya.[11]
Selain pemikiran Ibnu ‘Arabi di depan, ada juga pemikiran sufistik Fad{lullah al-Burhanpuri. Ia mengemukakan pendapatnya bahwa Wujud (Tuhan) dipandang dari segi hakikatnya tidak dapat diungkap oleh siapapun dan tidak dapat dijangkau oleh akal, angan-angan, dan perasaan. Keberadaannya tanpa bentuk, ukuran, batas, bahkan lebih lembut dari itu. Maujud (alam semesta seisinya) merupakan pertunjukan dan yang dipertujukkan adalah Wujud, yaitu Tuhan. Dengan pertujukkan itulah, Wujud dapat dilihat, diungkap, dikenal, dan didekati terutama melalui diri manusia yang pusatnya di hati.[12]
Sementara itu pemikiran sufistik Hamzah Fansuri sendiri dipandang telah terpengaruh oleh pemikiran Neo-Platonisme. Hamzah adalah seorang zahid yang mencari penyatuan dirinya dengan Khaliq. Pemikiran sufistik Hamzah Fansuri berpijak kepada hadith yang berbunyi : “ man ‘arafa nafsahu fa qad ‘arafa rabbahu,”  Barang siapa telah mengenal dirinya, maka pasti ia mengetahui Tuhannya”. Ia berpendapat bahwa Dhat dan hakikat Tuhan itu sama dengan dhat dan hakikat alam semesta seisinya (Wah{dat al-Wujud).[13]
Metode dan tekhnik penyampaian daripada pemikiran Hamzah dapat dikemukakan sebagai berikut :
1.      Tuhan pertama-tama didudukkan pada tempat yang nyata, tetapi sebenarnya Ia tidak nyata (la ta’ayyun). Tuhan dengan segala kebulatannya masih gelundhang-gelundhung. Artinya, Tuhan itu abadi (tidak berakhir) dan azali (tidak berawal).
2.      Tuhan pertama-tama memanifestasikan dirinya melalui sifat, lalu keluar dan membentangkan diri-Nya dengan sifat-Nya, seperti al-Rah{man, al-Rah{im, dan lain sebagainya sehingga Ia dapat dimengerti.
3.      Tempat lembaga (yakni asma’Nya) yang akan mendapat sasaran sifat-sifat Tuhan, yaitu yang disebut a’yan thabitah ataupun ta’ayyun thani (kenyataan yang tetap) yang masih dalam wujud, dhat, dan hakikatNya serta masih belum berpisah (masih dalam kandungan Tuhan).
4.      Tuhan keluar dari kandunganNya, yaitu dari a’yan thabitah ke a’yan kharijiyah (kenyataan yang ada di luar, yaitu alam semesta seisinya). Proses keluarnya tidak melalui penciptaan, tetapi melalui penampakan diri (tajalli).[14]
Dari metode dan tekhnik penyampaiannya itu, lahirlah konsep Martabat Empat dan Martabat Lima yang kemudian dikembangkan oleh Shamsuddin menjadi Martabat Tujuh setelah ia mendapat pelajaran dari Fad{lullah al-Barhanpuri dan Hamzah.
1.    Definisi Wujudiah
Wujud adalah Dhat Allah yang ada dan keberadaanNya itu tanpa bentuk, ukuran, dan batasan, bahkan lebih lembut dari itu. Karena itu, Wujud  dipandang dari segi hakikatnya tidak dapat diungkap oleh siapapun dan tidak dapat dijangkau oleh akal, angan-angan, dan perasaan. Selain itu, Wujud juga tidak dapat dianalogikan karena akal, angan-angan, dan perasaan merupakan ciptaan baru. Sebagai ciptaan baru, ia tidak dapat dijangkau atau diungkap oleh hakikat dirinya kecuali Yang Maha Pembaharu. Siapapun yang ingin berusaha sekuat tenaga untuk mengetahui dan mengungkap hakikat Wujud, maka hal itu hanya merupakan perbuatan sia-sia dan hanya menghabiskan umurnya saja.[15]
Al-Khalq adalah ciptaan atau alam jasmani. Al-Khalq mengacu pada ciptaan yang merupakan hasil dari perintah Pencipta, “Jadilah!” (“Kun”). Istilah al-Khalq (ciptaan) sering kali digunakan sebagai lawan kata al-H{aq (Yang Maha Benar). Yang pertama kali diciptakan Allah adalah cahaya Muhammad dan dari cahayanya segenap eksistensipun menjadi maujud. Nabi Muhammad SAW bersabda, “ Aku berasal dari Cahaya Allah dan seluruh dunia berasal dari cahayaku”. Ciptaan itu sendiri hanya bisa maujud melalui diriya.[16]
Al-Ka’in (yang ada, yang jadi) menunjukkan bahwa sesuatu sudah “mempunyai eksistensi atau Wujud”  karena Allah telah mengucapkan perintah “Jadilah!” (“Kun!”) kepada sesuatu itu. Artinya, seluruh makhluk diciptakan dengan kata perintah “Kun!”  dan akan meninggalkan dunia ini manakala waktunya sudah habis.[17] Sementara itu, mumkinul wujud merupakan sesuatu yang mungkin tidak ada (mumtani’) alam imajinasi adalah tempat segala sesuatu yang tidak mungkin ada di dalam kosmos, tetapi mungkin ada di alam pikiran manusia. Eksistensi mumkinul wujud dan mumtani’ di dunia ini bergantung sepenuhnya pada kehendak Allah yang mengeluarkannnya dari pengetahuan batiniah dalam esensi pada manifestasi lahiriah dalam dunia. Adapun wajibul wujud  (keharusan wujud) adalah realitas yang tidak dapat tidak harus ada. Allah menemukan diriNya sendiri dan mustahil menemukan selain diriNya. “Penemuan” itu bergantung sepenuhnya pada kemurahan Allah kepada suatu entitas untuk menemukan Allah.[18]
Al-Makhluq (ciptaan) merupakan ciptaan Allah yang meliputi segala sesuatu yang ada di alam semesta ini. Allah sendiri disebut Khaliq yang memerlukan adanya ciptaan (al-makhluq) dan ciptaan membutuhkan Penciptanya (al-Khaliq). Karena itu, kosmos haruslah ada karena hakikat-hakikat ketuhanan (Ilahi) membutuhkannya.[19]
Selain itu kata maujud dan kata wujud merupakan dua hal yang berbeda. Maujud  adalah alam semesta isinya, termasuk manusia, merupakan pertunjukan dan yang dipertunjukkan adalah Wujud (Allah Ta’ala). Dengan pertunjukkan itulah, Wujud (Allah Ta’ala) dapat dilihat, diungkap, dikenal, dan didekati, terutama melalui diri manusia.[20]
Hubungan manusia dengan Allah atau hubungan maujud dengan Wujud  sebagaimana yang dikemukakan di depan merupakan hubungan Tuhannya untuk mencapai kesatuan Wujud (Wah{dat al-Wujud). Untuk memahami dan mengungkapkan hubungan tersebut diperlukan pendekatan tasawuf, baik secara epistimologis (melalui empat tingkatan yaitu shari’at, tarekat, hakikat, dan ma’rifat) maupun secara filosofis (melalui Martabat tujuh dan melalui pemahaman Dhat, sifat-sifat, nama-nama, dan perbuatan-perbuatan).[21]
2.    Definisi Wah{dat al-Wujud
Pengertian Wahdat al-Wujud terdiri atas tiga tingkatan. Pertama, Wahdat al-Wujud berarti sang hamba mengetahui bahwa Allah Ta’ala adalah hakikat seluruh makhluq. Akan tapi. Ia tidak menyaksikan Allah Ta’ala dalam ciptaanNya. Kedua, Wahdat al-Wujud  berarti sang hamba dapat menyaksikan Allah Ta’ala melalui makhluqNya dengan kesaksian hati. Tingkatan ini lebih tinggi daipada yang pertama. Ketiga, Wahdat al-Wujud berarti sang hamba menyaksikan Allah Ta’ala pada makhluqNya dan menyaksikan makhluq pada Allah Ta’ala. Dengan demikian, keduanya tidak mempunyai perbedaan. Tingkatan ini lebih utama dan lebih tinggi daripada tingkatan yang pertama dan kedua. Selain itu, tingkatan ini merupakan tingkatan pada Nabi, pada wali, dan orang-orang yang mengikuti ajaran mereka. Dalam tingkatan yang ketiga ini dikemukakan bahwa semua makhluq dilihat dari segi ta’ayyunnya bukan Allah Ta’ala. Sebagaimana firman Q.S. Qaf  16 : wa nahnu aqrobu ilaihi min h{abli al-warid, “ Kami lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya”, Q.S. Hijr 28 – 29 : wa  idh qo<la robbuka li a<dama inni> kho<liqun basharan min s{ols{olin min hamain masnun. Faidha sawaituhu wa nafakhtu fi>hi min ruhi> faqo’u lahu sajidi>n, ” dan (ingatlah), ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: “sesungguhnya Aku akan menciptakan seorang manusia dari tanah liat kering (yang berasal) dari lumpur hitam yang diberi bentuk. Maka apabila Aku telah menyempurnakan kejadiannya, dan telah meniupkan ke dalamnya ruh-Ku (ruh ciptaanKu), maka tunduklah kamu kepadanya dengan bersujud, hadith Nabi: Kholaqo Allahu a<dama ‘ala s{urotihi, dan hadith Nabi : idha qama ila al-s{olati fa innama yunaji rabbahu, fa inna rabbahu bainahu wa baina qalbihi, “Apabila seseorang salat, maka sesungguhnya ia sedang menghadap kepada Allah. Jarak antara ia dengan Allah seperti ia dengan hatinya sendiri”.[22]
Dari tiga tingkatan Wahdat al-Wujud itu, dapat dikemukakan bahwa apabila seseorang ingin sampai dan bertemu dengan Allah Ta’ala hendaknya mengikuti Nabi Muhammad SAW, baik perkataan maupun perbuatan lahir dan batin, kemudian berusaha sekuat tenaga untuk memahami Wahdat al-Wujud. Cara untuk mendekatkan diri pada Allah Ta’ala adalah dengan menghilangkan ego yang ada pada diri masing-masing. Selain itu, ada beberapa tahapan yang harus dipahami dan diamalkan oleh para Salik agar dapat mendekatkan diri kepada AllahTa’ala dan dapat bersatu denganNya. Beberapa tahapan yang dimaksud terdiri atas tiga kelompok yang dapat dipahami dan diamalkan, baik pemahaman dan pengamalan secara epistimologis maupun secara filosofis. Ketiga kelompok yang dimaksud adalah pertama, tahapan yang terdiri dari shari’at, tarekat, hakikat, ma’rifat; kedua, tahapan Martabat Tujuh; dan ketiga, tahapan yang terdiri dari atas Dhat, sifat-sifat, asma’ (nama-nama), dan af’al (perbuatan-perbuatan).[23]
3.    Konsep Martabat Lima
Dhat Allah Ta’ala bernama kunhu al-dhati al-h{aqqi atau asal muasal Dhat Yang Maha Benar. Ahlu al-Suluk menamai kunhu al-dhati al-h{aqqi dinamakan la ta’ayyun (tidak nyata) disebabkan oleh ilmu dan ma’rifat para manusia, para Ahlu al-Suluk, para Wali, bahkan para Nabi, tidak akan pernah dapat menembusNya ataupun sampai kepadaNya. Walaupun kedudukan Dhat Allah pada tataran la ta’ayyun (tidak nyata) atau kunhu al-dhati al-h{aqqi tidak dapat ditembus oleh ilmu dan makrifat manusia, Dia cinta untuk dikenal. Karena itu, Dia menciptakan alam semesta seisinya dengan maksud agar diriNya dikenal. Sebagaimana hadith berikut : kuntu kanzan makhfiyan fa ah{babtu an u’rafa fa khalaqtu al-h{aqqa fabi ‘arafuni, Aku pada mulanya merupakan perbendaharaan yang tersembunyi, kemudian Aku ingin dikenal, maka Kuciptakan makhluk dan melalui Aku mereka dapat mengenal-Ku.[24] Cinta untuk dikenal inilah yang didalam ilmu tasawuf disebut permulaan tajalli (penampakan) Tuhan. Sesudah tajalli  dilakukan, Diapun dinamakan ta’ayyun (nyata). Keadaan Tuhan di dalam ta’ayyun atau nyata ini dapat dicapai dan ditembus oleh pikiran, pengetahuan, dan makrifat manusia karena Tuhan telah menampakkan diri (tashbih) atau imanen. Ta’ayyun (nyata) dibagi ke dalam empat martabat atau sering disebut Martabat Empat.[25]




















Ta’ayyun Awwal (kenyataan yang pertama) ada empat macam, yaitu pengetahuan, Wujud, Shuhud, dan Nur. Dengan adanya Pengetahuan, dengan sendirinya Tuhan Yang Mengetahui dan yang diketahui menjadi nyata. Dengan adanya Wujud, dengan sendiri Nya Dia itu adalah Yang Mengada, Yang Mengadakan atau Yang Ada dan yang diadakan menjadi nyata. Dengan adanya Shuhud dengan sendiriNya Dia itu adalah Shahid (Yang Menyaksikan) dan Mashhud (Yang Dilihat) menjadi nyata. Dengan adanya Nur  dengan sendiriNya Dia itu adalah Yang Menerangkan dan Yang Diterangkan menjadi nyata. Kedua, Ta’ayyun Thani, adalah Yang Diketahui, Yang Diadakan, Yang Dilihat, dan Yang Diterangkan masih dalam kandungan Allah dan disebut ‘a’yan thabitah (kenyataan yang tetap), yakni esensi segala sesuatu. ‘A’yan Thabitah atau ta’ayyun thani  disebut juga s{uwar al-‘ilmiyah (bentuk yang dikenal), h{aqiqot al-ashya<’ (hakikat segala sesuatu di alam semesta), ruh{u al-id{afi (ruh yang terpaut). Ta’ayyun Thalith berupa r}uh al-insani  (ruh manusia), r}uh al-h}ayawani (ruh hewan), dan ruh al-nabati< (ruh tumbuh-tumbuhan), keempat ta’ayyun rabi’ dan khamis berupa penciptaan jasmani alam semesta seisinya, termasuk manusia. Penciptaan tiada berkesudahan (ila ma la nihayatan lahu) karena apabila tidak melakukan penciptaan, Tuhan tidak dapat dikenal sebagai Pencipta. Dengan demikian, terdapat lima tataran dari tajalli Tuhan, yaitu la ta’ayyun, ta’ayyun awwal, ta’ayyun thani, ta’ayyun thalith, ta’ayyun rabi’ dan khamis ila  mala nihayata lahu. Karena itu, ajaran ini dapat dikatakan sebagai ajaran Martabat Lima.[26]
IV.        Penutup
Paham Wujudiyah yang dikembangkan oleh Hamzah Fansuri melalui konsep martabat limanya bahwa ta’ayyun awwal dinamai ah{ad, yakni Yang Esa apabila DhatNya yang la ta’ayyun (yang tidak nyata) diasingkan daripadaNya. Apabila disertakan sifat dan ibaratNya, maka dinamakan Wah{id, yakni Yang Satu, Yang Pertama. Ahlu al-Suluk mengibaratkan ta’ayyun awwal sebagai lautan yang luas dan tidak bertepi. Apabila laut itu menampakkan diri atau tajalli (sebagai yang dikenal, yang ada, yang dilihat, yang disaksikan, dan yang diterangkan) maka ia disebut ombak, yakni ‘Alim (Yang Mengetahui) memandang dirinya Ma’lum (Yang Diketahui, Yang Dikenal). Apabila laut melepas nyawanya dinamakan asap, yakni ruh{ al-id{afi (ruh yang terpat) dan merupakan a’yan thabitah (kenyataan tetap yang merupakan esensi segala sesuatu) dan disebut ta’ayyun thani. Selanjutnya, asap yang berkumpul di udara disebut awan dan beristi’dad (bersiap-siap menerima apa yang hendak dianugerahkan Allah) untuk keluar dengan perkataan kun fayakun (jadilah!, maka menjadilah), maka muncullah a’yan kharijiyah (kenyataan yang ada diluar) yang berupa air hujan. Air hujan yang mengalir di bumi disebut sungai. Sungai akan mengalir semuanya ke induknya yang disebut laut. Hamzah juga menjelaskan bahwa alam semesta seisinya, termasuk manusia (Wujud) dianalogikan dengan laut yang luas dan tidak bertepi. Artinya, buih kecil atau ombak pada ta’ayyun atau kenyataannya berbeda dengan air laut, tetapi pada hakikatnya ombak dan air laut merupakan hal yang sama karena ombak berasal dar laut juga sehingga keduanya merupakan satu kesatuan (Wah{dat al-Wujud).





* Mahasiswi Program Pasca Sarjana IAIN Sunan Ampel Surabaya Konsentrasi Pemikiran Islam, NIM F05411 061.
[1] Sri Mulyati, Tasawuf Nusantara : Rangkaian Mutiara Sufi Terkemuka, Cet I, (Jakarta : Kencana Prenada Media Group, 2006), 73.
[2]Sangidu, Wachdatul Wujud “Polemik Pemikiran Sufistik Antara Hamzah Fansuri dan Syamsuddin al-Samatrani dengan Nuruddin al-Raniri, (Yogyakarta : Gama Media, 2003),  30.
[3] Ibid, 29-30.
[4] Ibid, 30.
[5] Ibid, 30-31.
[6] Ibid, 31.
[7]Ibid.
[8] Sri Mulyati, Tasawuf Nusantara : Rangkaian Mutiara Sufi Terkemuka, 73-74.
[9] Bertrand Russell, History of Western Philosophy and its Connection with Political and Social Circumstances from the Earliest Times to the Present Day, terj; Sigit Jatmiko dkk, Cet II, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2004), 190 dan 229.
[10] Ibid, 399-400
[11]Sangidu, Wachdatul Wujud “Polemik Pemikiran Sufistik Antara Hamzah Fansuri dan Syamsuddin al-Samatrani dengan Nuruddin al-Raniri, 29.
[12] Ibid.
[13] Ibid, 30.
[14] Ibid.
[15]Sangidu, Wachdatul Wujud “Polemik Pemikiran Sufistik Antara Hamzah Fansuri dan Syamsuddin al-Samatrani dengan Nuruddin al-Raniri, 40.
[16] Amatullah Amstrong, Terminology al-Qamus al-sufi The Mystical Language of Islam, terj M.S Nahrullah dan ahmad Baiquni, Cet I, (Bandung : Mizan, 1996), 141.
[17] Ibid, 136.
[18] Ibid, 314.
[19] Ibid, 170.
[20]Sangidu, Wachdatul Wujud “Polemik Pemikiran Sufistik Antara Hamzah Fansuri dan Syamsuddin al-Samatrani dengan Nuruddin al-Raniri, 40.
[21] Ibid, 45.
[22] Ibid, 46-47.
[23] Ibid.
[24] Harun Nasution, Filsafat dan Mistisme dalam Islam, (Jakarta : Bulan Bintang, 1983), 51.
[25]Sangidu, Wachdatul Wujud “Polemik Pemikiran Sufistik Antara Hamzah Fansuri dan Syamsuddin al-Samatrani dengan Nuruddin al-Raniri, 61-62.
[26] Ibid, 62-64.

Daftar Pustaka
Amstrong, Amatullah, Terminology al-Qamus al-sufi The Mystical Language of Islam, terj M.S Nahrullah dan ahmad Baiquni, Cet I, (Bandung : Mizan, 1996).
Mulyati, Sri, Tasawuf Nusantara : Rangkaian Mutiara Sufi Terkemuka, Cet I, (Jakarta : Kencana Prenada Media Group, 2006).
Nasution, Harun, Filsafat dan Mistisme dalam Islam, (Jakarta : Bulan Bintang, 1983).
Russell, Bertrand, History of Western Philosophy and its Connection with Political and Social Circumstances from the Earliest Times to the Present Day, terj; Sigit Jatmiko dkk, Cet II, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2004).
Sangidu, Wachdatul Wujud “Polemik Pemikiran Sufistik Antara Hamzah Fansuri dan Syamsuddin al-Samatrani dengan Nuruddin al-Raniri, (Yogyakarta : Gama Media, 2003).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar