Jumat, 06 November 2015

Kajian Makrifat Shalawat Jauharat al-Kamal Hakekat Nur Muhammad

© Kajian Makrifat Shalawat Jauharat al-Kamal Hakekat Nur Muhammad


Asal Usul Haqiqat Al-Muhammadiyah Nur Muhammad adalah 
salah satu teori dan tema pokok (kalau bukan satu-satunya tema pokok) 
dari profetologi tasawuf yang dikenal sejak masa awal Islam hingga abad modern ini.

[1] Nur Muhammad telah dikenal sejak Nabi masih hidup. 
Ketika itu, Jabir bin Abdullah bertanya kepada Nabi Muhammad saw. 
Tentang apakah yang paling awal diciptakan oleh Allah Swt. 
Nabi menjawab: ياجابر ان الله اتعالى خلق قبل الاشياء نور نبيك مِنْ نُوْرِهِ. 
Artinya: 
“Ya jabir, 
sesungguhnya Allah swt; sebelum menciptakan segala sesuatu 
lebih dahulu diciptakan cahaya Nabimu (Nur Muhammad) dari Nur Allah.” 
( HR. Abd al-Razzaq al-San’any)”.

[2] Belakangan Nur Muhammad sebagai konsep dilontarkan oleh al Hallaj. 
Sebelumya, Nur Muhammad juga pernah di ungkapkan oleh Dzun Nun Al-Mishri 
(w. 283 H /860 M), seorang sufi penggagas teori al-Ma’rifah.

Ia berpendapat bahwa :
 “… asal mula ciptaan Allah (makhluk) adalah Nur Muhammad.” 
Pemikiran semacam ini juga dapat di jumpai pada pendapat Abu Muhammad Sahl Ibn Abdullah al-Tusturi, salah seorang sufi yang wafat pada tahun 283 H.

[3] Dari rentetan uraian tersebut secara sejarah, teori Nur Muhammad ini nampaknya sudah muncul akhir abad kedua Hijriyah, meskipun masih dalam bentuk peristilahan harfiah semata. 
Namun demikian, pemikiran awal yang dapat dipertimbangkan adalah bahwa 
esensi kata Nur Muhammad dijadikan pijakan dasar bagi asal mula kejadian alam semesta ini. 
Tatanan pemikiran itu walaupun belum merupakan suatu konsep yang lengkap dan utuh, tetapi pada dasarnya memiliki kesesuaian dengan sebuah teori yang kemudian ditampilkan oleh al-Hallaj. 
Al-Tusturi merupakan orang pertama yang mengajari al-Hallaj mengenai 
dasar-dasar suluk (jalan menuju kesempurnaan batin). 

Oleh karenanya, tidaklah mustahil jika teori yang dikembangkan al-Hallaj merupakan tindakan lanjut dari pendapat al-Tusturi. 
Di sisi lain, meskipun istilah Nur Muhammad tidak ditemukan dalam Al-Qur’an, 
namun di duga keras para ahli sufi mengambil pijakan argumentasi dari firman Allah swt. 

Allah (pemberi) Nur (cahaya) kepada langit dan bumi. 
Perumpamaan cahaya Allah adalah laksana Misykat (lubang yang tak tembus), 
di dalamnya berada pelita besar (mishbah). 

Menurut al-Tusturi, maksud kata matsalu Nuri-hi, 
perumpamaan cahaya (Nur)-Nya, adalah perumpaan Nur Muhammad saw.

[4] Sedang Ibn ‘Arabi menginterprestasikan dengan ruh al-alam, 
suatu padanan makna dari term Nur Muhammad. 

Menurut Ibnu Arabi yang pertama-tama diwujudkan Allah adalah Nur Muhammad atau Haqiqat Muhammad. 
Ia memberikan nama tidak kurang dari sepuluh yang identik dengan 
Haqiqat Muhammad ( al-haqiqah al-Muhammadiyyah ), ( The Reality of Muhammad ) yaitu : 

Haqiqah al-Haqaiq ( The Reality of Reality ), 
Ruh Muhammad ( The Spirit of Muhammad ), 
al-Aql al-Awwal = Plotinus Nous ( The First Intelectual ), 
al-Arash ( The Throne ), 
al-Ruh al-‘Azam ( The Most Might Spirit ), 
al-Qalam al-A’la ( The Most Exalted ), 
al-Khalifah ( The Vicegerent ), 
al-Insan al-Kamil ( The Perfect Man ), 
Azl al-‘Alam ( The Origin of Universe ), 
Adam al-Haqiqi ( The Real Adam ), 
al-Barzakh ( The Intermediary ), 
Falaq al-Hayah ( The Spere of Life ), 
al-Haq al-Makhluq bih ( The Real Who Is The Instrument of Creation ),
al-Hayula ( The Prima Matter ), 
al-Ruh ( The Spirit ), 
Al-Qutb ( The Pole ), 
Abd al-Jami’ ( The Servant of The Embracing )dan sebagainya. 

Nur Muhammad bertajalli dari Nur Zat-Nya. 
Nur Muhammad merupakan wadah tajalli yang paling sempurna dan 
karena itu ia dipandang sebagai Khalifah Allah atau Insan Kamil yang paling khas.

[5] Selain Hallaj dan Ibn ‘Arabi, muncul tokoh lainnya, 
yaitu Abd al-Karim al-Jilli, pengarang kitab termasyhur, yaitu Insan al-Kamil. 
Ia dikenal sebagai seorang sufi dari kota al-Jilan, yang masih keturunan Syekh Abd. Qadir al-Jailani. 

Ia memajukan konsep insan kamil yang pada prinsipnya tidak bertentangan dengan pendahulunya, Ibn Arabi, dalam memandang Nur Muhammad. 

Kemudian yang sangat menarik untuk disimak ialah dalam perkembangan selanjutnya Syekh Yusuf Ibn Ismail al-Nabhani tampil menggagas Nur Muhammad yang berbeda dengan pandangan ulama sufi sebelumnya. 

Gagasan-gagasan segar yang dilontarkan itu, selanjutnya dituangkan dalam karya-karyanya, antara lain:
 • Jawahir al-Bihar fi fadha’il al-Nabiy al-Mukhtar. 
• al-anwar al-Muhammadiyah min al-mawahib al-Laduniyah 
• Hujjat Allah ‘ala al-alamin fi mu’jizat Sayyid al-muasalim. 

Syekh Yusuf al-Nabhani adalah seorang tokoh Ulama yang masyhur dan berpengaruh 
serta dihormati pada zamannya, terutama di Libanon, negara-negara Arab pada khususnya dan negara Islam pada umumnya. 
Sebagai ulama yang berpengaruh dan disegani oleh pemerintah masyarakat Libanon, 
dia pun diangkat untuk menjabat sebagai hakim tinggi (Qadhi al-Qudhat) pada abad ketiga belas Hijriyah atau delapan belas masehi.

[6] Di era modern ini, studi tentang Nur Muhammad juga dilakukan oleh Annemarie Schimmel -seorang peneliti barat yang sangat otoritatif dalam kajian tasawuf dan 
sangat simpatik terhadap Islam dan Nabi Muhammad saw;- 

Secara khusus, ia menyebutkan bahwa Nabi Muhammad itu menempati kedudukan 
sebagai manusia sempurna. 
Allah mencipta mikrokosmos manusia sempurna atau Insan Al-Kamil. 

A.Schmmel mengkaji Nur Muhammad secara khusus dalam karyanya, 
And Muhammad is his messenger,1993. 

Peneliti kawakan yang sudah pernah berkunjung ke Indonesia ini, 
menelusuri berbagai pandangan para sufi tentang Nur Muhammad. 

Ia lebih lanjut menjelaskan bahwa dalam tradisi dan khazanah tasawuf sangat kaya 
dengan informasi Nur Muhammad. 

Kajian Nur Muhammad telah mengalami perkembangan dan pemaknaan 
yang demikian pesatnya.

[7] Braginsky lebih tegas lagi menyatakan hubungan Nur Muhammad 
dengan Nabi Muhammad saw, sendiri sebagai berikut: 
Nabi Muhammad sebagai haqiqat Muhammad atau Nur Muhammad 
(Muhammad sebagai logos) menjadi perantara dalam proses Penciptaan itu. 

Dia menghubungkan al-Khalik, yang tidak mungkin terjangkau dengan manusia.
Seperti batang yang menjadi penyangga dahan-dahannya. 
Nur Muhammad, yang melaluinya segenap ilmu ilahi dinyatakan untuk pertama kali, menjadi landasan bagi segala yang diciptakan sesudahnya.

[8] Syekh Yusuf al-Nabhani mengemukakan bahwa Nur Muhammad adalah 
makhluk pertama yang diciptakan Allah dan beredar sedemikian rupa 
sesuai dengan kehendakNya. 

Pendapat ini mengacu kepada hadits yang diriwayatkan oleh Abd al-Rozak sebagai berikut : Abd al-Rozak telah meriwayatkan dengan sanadnya 
yang berasal dari Jabir bin Abdullah ra. Berkata :

 Saya telah mengatakan : Hai Rasulullah, Demi Bapak ku, Engkau dan Ibu, 
beritahukanlah kepada ku tentang sesuatu yang pertama diciptakan oleh Allah swt. 
Sebelum terciptanya segala sesuatu yang lainnya. 

Ia menjawab : 
Hai Jabir, sesungguhnya Allah swt; telah menciptakan sebelum terciptanya segala sesuatu itu Nur Nabi mu yang berasal dari Nur Nya ( Nur Allah ) maka jadilah cahaya itu beredar dengan ketentuan menurut kehendak Allah, sementara pada waktu itu belum ada batu tulis, pena, surga, neraka, malaikat, langit, bumi, matahari, bulan, bangsa jin, dan bangsa manusia. 
Maka ketika Allah ingin menciptakan makhluk Dia (Allah) membagi Nur itu 
menjadi empat bagian,lalu Dia menciptakan 
dari bagian yang pertama itu pena dan 
dari bagian yang kedua batu tulis, 
dari bagian yang ketiga Arasy, kemudian 
Dia membagi bagian yang keempat itu menjadi empat bagian lagi, 
lalu Dia menciptakan dari bagian yang pertama itu penyangga Arasy, 
dari bagian yang kedua itu kursi dan 
dari bagian yang ketiga para malaikat yang tersisa (tertinggal), 
kemudian Dia membagi lagi bagian yang keempat itu menjadi empat bagian lagi, lalu 
dari bagian yang pertama Dia menciptakan langit, dan 
dari bagian yang kedua Dia menciptakan bumi, dan 
bagian yang ketiga Dia menciptakan surge dan neraka, 
kemudian bagian yang keempat dibagi lagi menjadi empat bagian, lalu dia menciptakan 
dari bagian yang pertama itu cahaya penglihatan orang-orang mukmin,dan 
dari bagian yang kedua Dia menciptakan cahaya hati mereka yaitu berupa pengenalan 
( Ma’rifat ) kepada Allah swt. Dan 
dari bagian yang ketiga Dia menciptakan cahaya kebahagiaan ( kesenangan ) mereka 
yaitu berupa hikmah tauhid ; lailaahaillallaah Muhammadurrasuulullah.

[9] Pendapat Syekh Yusuf An-Nabhani yang mengatakan bahwa Nur Muhammad adalah ciptaan Allah yang beredar dan kemudian terciptalah makhluk lainnya. 

Selengkapnya dapat disimak pada kutipan berikut:
 Kalau saudaranya bertanya,
 apa makna perkataan mereka bahwa sesungguhnya Nur Muhammad saw. 

Itu adalah ciptaan Allah yang pertama, 
apakah yang dimaksud penciptaan secara khusus atau maksudnya adalah 
penciptaan secara mutlak, maka 
jawabannya adalah sebagaimana yang telah dikatakan oleh al- Syekh pada bab ke enam bahwa sesungguhnya maksudnya adalah ciptaan(kejadian) yang bersifat khusus. 
Dan yang demikian itu adalah bahwa yang pertama diciptakan oleh Allah adalah 
debu halus (haba) yang pertama kali muncul di dalamnya adalah haqiqat Muhammad saw. 
Sebelum munculnya seluruh wujud haqiqat yang lain

[10] Tentang awal penciptaan, Syekh Yusuf al-Nabhani juga mengutip beberapa hadits

[11] yang olehnya dikategorikan sebagai hadits yang masyhur dikalangan sufi. 
Hadits yang dimaksud ialah : 
Yang pertama di ciptakan oleh Allah adalah ruh-Ku, 
termasuk hadits masyhur; 
yang pertama diciptakan oleh Allah adalah Nur-Ku
 termasuk hadits Hasan; 
yang pertama diciptakan olehAllah adalah akal termasuk hadits masyhur. 

Pada bagian lain Al-Nabhani juga mengatakan: 
Sesungguhnya yang pertama diciptakan olehAllah adalah al-Haba’ 
dan yang pertama tampak padanya adalah haqiqat Muhammad. 

Kemudian al-Nabahni menjelaskan bahwa 
proses awal terciptanya sesuatu di muka bumi, melalui Nur Muhammad, 
komentarnya: 
Dan ini adalah awal maujud di alam ini, 
kemudian Allah menampakan diri-Nya melalui Nur-Nya pada al-Haba. 

Selain kedua istilah yang digunakan tersebut, al-Nabhani juga menggunakan istilah bahwa Muhammad saw; itu adalah Nur dzat semata.
 Yaitu, bahwa Muhammad adalah citra Tuhan. 
Ia mengacu kepada sabda Nabi: وَقَدْ قَالَ صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمْ الْمُؤْ مِنُ مِرْ اَةُ الْمُؤْمِنُ اَى هُوَ صَلَى الله عَلَيْهِ وَسلَّم مِرْاَةُ رَبِّهِ. 
Artinya :
 Rasulullah telah bersabda orang mukmin itu merupakan cermin bagi orang mukmin, artinya dia (Muhammad saw itu merupakan cerminan Tuhannya yang tampak di dalamnya. 

Sehubungan dengan hadits tersebut di atas, 
dijelaskan bahwa penampakan dzat yang hakiki hanya khusus bagi Nabi Muhammad saw; : وَاَنْ تَجَلَّى الذِاتِى الْحَقِيْقَةِ مُخْتَصٌ بِهِ صَلَى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم لَيْسَ لِغَيْرِهِ فِيْهِ ...
 Artinya: 
Dan bahwa tajalli (penampakan) dzat itu secara esensial (haqiqi) itu di khususkan 
kepada Muhammad saw., bukan untuk selainnya. 

Dalam pandangan tersebut di atas bahwa mula pertama nampak dalam alam ini adalah haqiqat al-Muhammadiyyah dan al-Haba’. 

Tentang awal proses dari Nur Muhamamd itu, dapat diperhatikan kutipan berikut: 
Sebagai penghormatan kepada Muhammad saw., karena sesungguhnya nur-nya
(Nur Muhamamd) telah berpindah dari Adam kepada Syiz, 
dan sebelum wafatnya dia telah menjadikannya sebagai wasiat terhadap putranya, kemudian Syiz juga telah mewasiatkan wasiat Adam tersebut kepada putranya 
untuk tidak Meletakan Nur ini kecuali pada wanita-wanita yang di sucikan. 

Dan wasiat ini senantiasa berlangsung dalam keadaan yang di pindahkan 
dari suatu abad ke abad yang lain sampai Allah menyerahkan (memberikan) nur itu 
kepada Abdul Muthalib dan putranya yaitu Abdullah.

[12] Dari uraian di atas menujukan bahwa untuk peristilahan Nur Muhammad, 
digunakan pula istilah lain sebagai penegas keberadaanya, yaitu ruh Muhammad, 
Nur-Ku, al–Aql al-Awwal, al-Haba’ istilah-istilah ini pada dasarnya disandarkan 
kepada Nabi Muhammad saw., yang kemudian menggunakan istilah Nur Dzat 
atau citra Tuhan. 

Apabila pandangan Al-Nabhani ditelusuri, maka dapat diketahui bahwa 
bahasa dan istilah yang digunakannya berbeda-beda meskipun tetap menunjukan 
kepada makna dan pengertian yang sama, yaitu Nur Muhammad atau Nabi Muhammad saw., 
Bahasa atau istilah yang dimaksud adalah bersumber dari redaksi hadits 
yang telah disebutkan. 

Dari keterangan tersebut di atas, maka dapat dipahami bahwa 
pengertian Nur Muhammad itu adalah ciptaan Allah yang pertama dari Nur 
yaitu Dzat-Nya.
Nur Muhammad itulah yang menjadi sumber makhluk (al-Maujud) 
dan beredar atas kehendak Allah. 
Nur itu di sebut juga ruh Muhammad, al-Aql al-Awwal, ruh, dan al-Haba’ 
semuanya di dasarkan kepada Nabi Muhammad saw., sebagai washitah (penghubung) antara Allah dan hamba-Nya. 

Sejalan dengan pemikiran para sufi di atas, menurut Syekh Ahmad al-Tijani 
pada dasarnya ruhSayyidina Muhammad adalah awal segala sesuatu yang diciptakan Allah, dan melalui perantara ruh inilah terjadi seluruh Alam. 

Pada bagian lain Syekh Ahmad al-Tijani mengatakan bahwa Nur Nabi Muhammad saw., telahwujud sebelum makhluk lain ada, bahkan Nur ini merupakan sumber 
semua Nabi sebelum Nabi Muhammad saw. 

Selanjutnya dikatakan bahwa yang dimaksud dengan Nur Nabi Muhammad saw., menurut Syekh Ahmad al-Tijani adalah al-Haqiqat al-Muhammadiyah. 
Selanjutnya dikatakan, bahwa pada dasarnya tidak seorangpun 
dalam martabat al-Haqiqat al-Muhammadiyah bisa mengetahuinya secara utuh. 

Pengetahuan orang shalih (Wali, Sufi) terhadap al-Haqiqat al-Muhammadiyah ini 
berbeda-beda sesuai dengan maqamnya masing-masing. 

Dalam hal iniSyekh Ahmad al-Tijani mengatakan : ...طائفة غاية ادراكهم نفسه صلى الله عليه وسلم وطائفة غايةادراكهم قلبه صلى الله عليه وسلم وطائفة غاية اداكهم عقله صلى اللهعليه وسلم وطائفة وهم الاعلون بلغوا الغاية القصوى فى الادراكفادركوا مقام روحه صلى الله عليه وسلم. 
“Diantara wali Allah ada yang hanya mengetahui jiwanya (al-Nafs) saja, 
ada juga yang sampai pada tingkat hatinya (al-Qalb), 
ada juga yang sampai pada tingkat akalnya (al-Aql), dan
maqam yang tertinggi adalah wali yang bisa sampai mengetahui tingkat ruhnya; 
tingkat ini merupakan tingkat penghabisan (al-Ghayat al-Quswa).”

[13] Rumusan mengenai Ruh Muhammah, NurMuhammad, (haqiqat al-Muhammadiyyah) ditegaskanSyekh Ahmad al-Tijani melalui dua jenis shalawat 
yang dikembangkan dalam ajaran thariqatnya yakni 
shalawat Fatih dan shalawat Jauharat al-Kamal :
 • Pertama, tentang Shalawat Fatih :

Berikut teks bacaan shalawat fatih :

اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدِنِ الْفَاتِحِ لِمَااُغْلِقَ وَالْخَاتِمِ لِمَاسَبَقَنَاصِرِالْحَقِّ بِالْحَقِّ وَالْهَادِى اِلَى صِرَاطِك َالْمُسْتَقِيْم وَعَلَى اَلِهِ حَقَّ قَدْرِهِوَمِقْدَارِهِ الْعَظِيْمِ.


Artinya :
 “Yaa Allah limpahkanlah rahmat-Mu kepada Nabi Muhammad saw., 
dia yang telah membukakan sesuatu yang terkunci (tertutup), 
dia yang menjadi penutup para Nabi dan Rasul yang terdahulu, 
dia yang membela agama Allah sesuai dengan petunjuk-Nya dan 
dia yang memberi petunjuk kepada jalan agama-Mu. 
Semoga rahmat-Mu dilimpahkan kepada keluarganya 
yaitu rahmat yang sesuai dengan kepangkatan Nabi Muhammad saw”. 

Syarah kandungan shalawat Fatih, walaupun shalawatnya diakui 
dari Nabi Muhammad saw; mencerminkan pemikiran faham tasawuf 
Syekh Ahmad al-Tijani serta pengaruh tasawuf filsafat terhadap pemikiran 
Syekh Ahmad al-Tijani.

 Makna al-Fatih li ma Ughliq pada intinya adalah :
 • Nabi Muhammad adalah sebagai pembuka belenggu ketertutupan 
   segala yang maujud  di alam. 
• Nabi muhammad sebagai pembuka keterbelengguan al-Rahmah al-Ilahiyyah 
  bagi para makhluk di alam.
• Hadirnya Nabi Muhammad menjadi pembuka hati yang terbelenggu oleh Syirik. 

Sedangkan makna al-Khatimi li ma Sabaq pada intinya adalah : 
• Nabi Muhammad sebagai penutup kenabian dan kerasulan. 
• Nabi Muhammad menjadi kunci kenabian dan kerasulan. 
• Tidak ada harapan kenabian dan kerasulan lagi bagi yang lainnya.[

14] Pemikiran-pemikiran (faham) tasawuf SyekhAhmad al-Tijani 
terkandung dalam penafsirannya tentang makna al-Fatih li ma Ughliq dan al-Khatimlima Sabaq. 

Syekh Ahmad al-Tijani mengatakan bahwaal-Fatih lima Ughliq mempunyai makna bahwa Nabi Muhammad merupakan pembuka segala ketertutupan al-Maujud yang ada di alam. 

Alam pada mulanya terkunci (mughallaq) oleh ketertutupan batin (hujbaniyat al-Buthun). Wujud Muhammad menjadi “sebab” atas terbukanya seluruh belenggu ketertutupan alam dan menjadi “sebab” atas terwujudnya alam dari “tiada” menjadi “ada”. 
Karena wujud Muhammad alam keluar dari “tiada” menjadi “ada”, 
dari ketertutupan sifat-sifat batin menuju terbukanya eksistensi diri alam (nafs al-Akwan) 
di alam nyata (lahir). 

Jika tanpa wujud Muhammad, 
Alah tidak akan mencipta segala sesuatu yang wujud, 
tidak mengeluarkan alam ini dari “tiada” menjadi “ada”. 

Syekh Ahmad al-Tijani juga mengatakan bahwa awal segala yang maujud (awal maujud) yang diciptakan oleh Allah dari eksistensi al-Ghaib adalah Ruh Muhammad 
(Nur Muhammad). 
Selanjutnya dikatakan, bahwa dari ruh Muhammad ini kemudian Allah mengalirkan ruh kepada ruh-ruh alam. 
Ruh alam berasal dari ruh Muhammad,  ruh berarti kaifiyah. 

Melalui kaifiyah ini terwujudlah materi kehidupan. 
Al-Haqiqat al-Muhammadiyyah adalah awal dari segala yang maujud yang diciptakan Allah dari ¬hadarah al-Ghaib (eksistensi keGhaiban). 
Di sisi Allah, tidak ada sesuatu yang maujud yang diciptakan dari makhluk Allah 
sebelum al-Haqiqat al-Muhammadiyyah ini tidak diketahui oleh siapapun dan apa pun. 

Di samping sebagai pembuka, Nabi Muhammad juga sekaligus 
sebagai penutup kenabian dan risalah. 
Oleh karena itu, tidak ada lagi risalah bagi orang sesudah Nabi Muhammad. 
Nabi Muhammad juga sebagai penutup bentuk-bentuk panampakan sifat-sifat Ilahiyyah 
(al-Tajaliyyah al-Ilahiyyah), yang menampakan sifa-sifat Tuhan di alam nyata ini.

[15] Kandungan shalawat fatih mengenai pemikiranSyekh Ahmad Al-Tijani 
tentang al-Haqiqat Muhammadiyyah lebih tampak lagi dalam Shalawat Jauharat al-kamal.

 • Kedua Tentang Shalawat Jauharat al-Kamal :


Berikut teks Shalawat Jauharat al-Kamal :

بِسْمِ اللّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ

اَللَّهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ عَلَى عَيْنِ الرَّحْمَةِ الرَّبَّانِيَّةِ وَالْيَقُوْتَةِ الْمُتَحَقِّقَةِ الْحَائِطَةِبِمَرْكَزِالْفُهُوْمِ وَالْمَعَانِى وَنُوْرِاْلاَكْوَانِ الْمُتَكَوَّنَةِ اْلأدَمِيِّ صَاحِبِ اْلحَقِّاْلرَّبَّانِى اْلبَرْقِ اْلأَسْطَعِ بِمُزُوَنِ اْلأَرْبَاحِ اْلمَالِئَةِ لِكُلِّ مُتَعَرِّضٍ مِنَ اْلبُحُوْرِوَاْلأَوَانِى وَنُوْرِكَ اللاَّمِعِ الَّذِيْ مَلأْتَ بِه كَوْنَكَ اْلحَائِطَ بِأَمْكِنَةِ اْلمَكاَنِىاَللّهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ عَلى عَيْنِ اْلحَقِّ الَّتِى تَتَجَلّى مِنْهَا عُرُوْشُ اْلحَقَائِقِ عَيْنِاْلمَعَارْفِ اْلأَقْوَمِ صِرَاطِكَ التَّآمِّ اْلاَسْقَمِ اللّهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ عَلى طَلْعَةِاْلحَقِّ بِاالْحَقِّ اْلكَنْزِ اْلأَعْظَمِ إِفَاضَتِكَ مِنْكَ اِلَيْكَ إِحَاطَةِ النُّوْرِ اْلمُطَلْسَمِصَلَّى الله عَلَيْهِ وَعَلى آلِهِ صَلاَةًتُعَرِّفُنَا بِهَا إِيَّاهُ


Bacaan Shalawat Jauharat al-Kamal ini tampaknya lebih menjelaskan atau menafsirkan kalimat yang terdapat dalam shalawat fatih yakni 
kalimat Dan lebih tampak berkait dengan konsep al-Haqiqah al-Muhammadiyyah, sebagaimana terihat dalam penafsiran kalimat-kalimat penting 
dari shalawat Jauharah al-Kamal, yaitu bermakna yang menjadi Haqiqat rahmat 
dari sifat-sifat Tuhan. bermakna Yaitu permata; 
Nabi Muhammad adalah permata dalam Nur dan Ma’rifahnya. 
bermakna bahwa permata rahmat Nabi Muhammad menjadi pusat pengetahuan; 
permata Nabi Muhammad adalah rahmat bermakan bahwa rahmat Nabi Muhammad seperti Nur bagi seluruh makhluk alam, termasuk manusia. 
Bermakna sebagai al-Haqq atau al-Haqiqat yang memiliki sifat-sifat Tuhan.
 Bermakna sama dengan al-haqiqat al-Muhammadiyyah. 
Bermakna bahwa al-Haqiqah al-Muhammadiyyah mengaliri nurnya keseluruh lautan dan alam yang terbentang. 
Bermakna bahwa nur Muhammad menyinari (memancarkan sinarnya) 
ketempat seluruh alam bermakna bahwa Nabi Muhammad sebagai pemilik al-haqq 
(al-haqiqah) yang memancarkan Haqiqat-Haqiqat yang tinggi. 
Bermakna bahwa al-Haqiqat al-Muhammadiyyah memancarkan al-Haqq 
dari zat al-Haqq, Allah . bermakna bahwa Nabi Muhammad memiliki Haqiqat ma’rifah 
yang paling sempurna.

Bermakna Nabi Muhammad sebagai yang paling sempurna. : 
Bermakna bahwa Nabi Muhammad merupakan wujud yang sempurna. 
Misalnya, shalawat tersebut mengungkapkan sifat-sifat Nabi Muhammad saw., 
sebagai Hakekat rahmat dari sifat-sifat Tuhan, yang merupakan pusat pengetahuan. 

Kemudian dikatakan bahwa Nabi Muhammad saw., 
sebagai al-Haqiqat al-Muhammadiyyah yang memiliki sifat Tuhan, 
yang mengalir dan menyinari keseluruh alam. 

Selanjutnya dikatakan bahwa Nabi Muhammad saw., 
sebagai wujud yang paling sempurna

[16]. Hal ini, menunjukan bahwa dari aspek pemikiran,Syekh Ahmad al-Tijani 
menganut tasawuf falsafi sedangkan konsep-konsep dasar tasawufnya : 
nur Muhammad, Ruh Muhammad, al-Haqiqat al-Muhammadiyyah. 

Dengan demikian, bahwa corak pemikiran tasawuf yang dianut oleh Syekh Ahmad al-Tijani adalah corak pemikiran tasawuf yang besumber dari hadits nabi yang diriwayatkan 
oleh Jabir -sebagaimana telah disebutkan- kemudian dikembangkan 
oleh ‘Abd al-Karim al-Jili dengan konsep dasar al-Insan al-Kamil, 
yang berasal dari Ibn Arabi dengan konsep Haqiqat al-Muhammadiyah-. 

Dalam memposisikan Haqiqat al-Muhammadiyyah, 
lebih lanjut Ibn Arabi menjelaskan bahwa semua Nabi as., 
semenjak Nabi Adam as., sampai Nabi Isa ibn Maryam as., 
semuanya mengambil al-Nubuwwah (ke-Nabian) dari tempat cahaya Khatm al-Nabiyyin yakni Nabi Muhammad saw., sekalipun wujud jasmaninya di akhir. 

Sebab pada HakekatnyaKhatm al-Nabiyyin telah wujud. 
Hal ini sebagaimana sabda Nabi Muhammad saw. : كُنْتُ نَبِيًا وَآدَمَ بَيْنَ المَاءِ وَالطِِّيْنِ. 
Artinya : 
“Aku telah menjadi Nabi Ketika Adam as., masih berada antara air dan tanah”.

[17] Dalam memahami sabda Nabi saw., ini, Ibn Arabi menegaskan bahwa 
Nabi Muhammad saw., telah diangkat jadi Nabi sebelum lahirnya jasad Beliau di dunia ini, dan Beliau mengetahui ke-Nabiannya, dengan demikian secara Hakekat bahwa 
Nabi Muhammad saw., sejak di Alam arwah telah berfungsi sebagai Rasul 
kepada ummat manusia sejak awal manusia melalui para nabi dan Rasul-rasul-Nya.

[18] Dengan demikian bisa dikatakan bahwa kenabian para nabi dan kerasulan para rasul merupakan pelaku yang dipilih Allah untuk menjalankan roda kenabian dan kerasulan Nabi Muhammad saw.,
Karena Nabi Muhammad saw., telah diangkat menjadi Nabi dan berfungsi sebagai 
Nabi sejak di alam arwah. 
Semua nabi sejak Nabi Adam as., sampai terakhir Nabi Isa Ibnu Mariyam as., 
memperoleh anugerah, martabat, ilmu dari masyrab Nabi Muhammad saw., 
( Al-Masyrabunnabawi, sumber kenabian), sekalipun Beliau lahir secara jasmani di akhir. 

Dalam menggambarkan posisi Nabi Muhammad,Syekh Umar Ibn Faridl 
yang bergelar Sulthanul ‘Usysyaq ketika fana’’ dan istighraq dalam diri Nabi 
(fi Dzatin Nabi saw.,) bersyair sebagai alih bahasa tentang kedudukan Nabi Muhammad saw., sebagai berikut : وانى وان كنت ابن ادم صو رة * فلى فيه لعنى نا هو بابوتى 
Artinya:
 “Dan aku ini sekalipun rupa jasad anak nabi Adam, 
namun di dalam mengandung ma’na yang menjelaskan, bahwa ’aku adalah ayahnya’’.

[19] Peran ruhani nabi Muhammad dalam kapasitasnya sebagai Haqiqat al-Muhammadiyah tersirat dalam firman Allah swt ; berikut : وفا ا رسلنا ك ا لا كا فة للنا س بسيرا ولكن ا كرا لنا س لا يعلمون Artinya : 
Dan kami tidak mengutus kamu, 
melainkan kepada manusia seluruhnya sebagai pembawa berita gembira 
dan sebagai pembawa peringatan, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahuinya. 
(QS. Saba’/34 :84 ) 

Secara fisik Nabi Muhammad Saw., lahir diakhir. 
Oleh karena itu, secara syari’at, Nabi Muhammad diangkat menjadi nabi 
ketika turunnya Lima Ayat darisurat al-‘Alaq di Gua Hira yakni 
pada hari Senin 17 Ramadhan atau tanggal 6 Agustus tahun 600 M., 
ketika itu Beliau berumur 40 tahun Komariyah 6 Bulan 8 Hari kemudian 3 tahun 
kemudian diangkat menjadi Rasul terakhir melalui turunnya Surat al-Mudatstsir. 

Disinilah keunggulan Syekh Ahmad Al-Tijani, dan hal ini, lebih mengukuhkan dirinya tentang kepemilikannya terhadap maqam wali khatm sebagai mana pembahasan tadi. 

[1] Sahabuddin : Menyibak Tabir Nur Muhammad (Jakarta : Renaisance, 2004) hlm.5 
[2] Muhyiddin Ibn Arabi’, Fusus .op.cit. hlm. 80. Lihat juga : An-Nabhani,loc.cit. 
[3] Sahabuddin, op.cit.hlm.6
 [4] Ibid, hlm.9 [5] Ibid, hlm.29 
[6] Ibid, hlm.10 
[7] Annemarie Schimel, op.cithlm.80 
[8] Sahabuddin, op.cit, hlm 19 
[9] Syekh Yusuf An-Nabhani : Al-Anwar Al-Muhammadiyah.( Indonesia : Maktabah Daar Ihiya al-Kutub al-‘Arabiyah, t.th.).hlm. 13. 
[10] Sahabuddin, op.cit, hlm 19 
[11] Ibid,hlm.20-21 Sahabuddin, op.cit, hlm 19 
[12] [13] Ali Harazim, op.cit. 123. 
[14] Muhammad Ibn Abdillah :Fathul Rabbania (Surabaya : Maktabah Sa’id al-Ibn Nabhan,t.th.), hlm. 45. 
[15] Ibin 46. 
[16] Ibid.hlm.78 
[17] Lihat : al-Gazali, al-Haqiqat fi Nazr al-Gazali, (Beirut : Dar al-Ma’arif , 1971), hlm.305. Lihat juga : Ibn Arabi, Fusus.hlm.49. 
[18] Ibn Arabi, Fusus.hlm.49. [19] Fauzan,op.cit.hlm.81 sumber: http://kelanasanghamba.blogspot.com

Ditulis oleh: Ahmad Nayar - Sabtu, 23 Februari 2013

Tidak ada komentar:

Posting Komentar