Rabu, 18 November 2015

Kekuatan Tasbih dan Aayaat asy-Syifaa`

Bismillahirahmannirahiim
Kekuatan Tasbih dan Aayaat asy-Syifaa`
Mawlana Syekh Hisyam Kabbani

Wahai Muslim dan Mukmin! Allah (swt) menciptakan segala sesuatu dan memerintahkan mereka untuk bertasbih, artinya mengucapkan, 
SubhaanAllah wa ‘l-hamdulillah wa laa ilaaha illa-Llah Allahu Akbar,” 
atau pujian apapun kepada Allah (swt) melalui Asmaul Husna wal Sifat-Nya.
Allah (swt) berfirman, 
أَنَا جَلِيْسُ مَنْ ذَكَرَنِي
Anaa jaliisu man dzakaranii.

Aku duduk bersama orang yang mengingat-Ku. (Ahmad, Bayhaqi)

Jadi, mengingat Allah (swt) secara terus-menerus merupakan suatu keharusan 
setiap saat dalam kehidupan kita! 
Allah (swt) membuat segala sesuatu bertasbih dan keberadaan setiap elemen 
atau unsur adalah melalui tasbihnya, dan tidak ada yang mengetahui (tasbihnya) 
kecuali unsur itu sendiri. 

Demikian pula, Allah (swt) menciptakan kita dari berbagai unsur di dalam tubuh kita, masing-masing melakukan tasbihnya sendiri dan melakukan fungsinya di dalam tubuh melalui tasbih itu. 
Tetapi kita berjuang melawan kejahatan, berjuang untuk melalukan yang baik dan menghindari yang buruk, dan karena kita berada di tempat transisi itu, 
kita tidak dapat mendengar tasbih dari tubuh kita (yang secara konstan mengingat Allah). 

Ketika salah satu bagian tubuh sedang sakit, itu disebabkan adanya perubahan di dalam tasbihnya yang membuatnya sakit, dan untuk menyembuhkannya, 
kalian harus mengubah tasbihnya, untuk menghilangkan penyakit itu dari tubuh. 

Nabi (s) menyebutkan tentang ruqya, tawiiz, hijab, atau 
apapun kalian ingin menyebutkannya, yaitu untuk dibaca dan Aayaat asy-Syifaa’, 
enam ayat di dalam kitab suci al-Qur’an untuk menyembuhkan penyakit.

[1]
Nabi (s) bersabda bahwa Surat al-Fatihah limaa quriyat lah, 
“Surat al-Fatihah dibaca untuk apa saja, ia akan menyembuhkan yang sakit,” 
dan membuat panjang umur melalui tasbih itu, 
yang kita lakukan (tanpa sengaja) dan kita tidak merasakannya. 
Kita katakan bahwa tubuh kita bertasbih karena 
segala sesuatu di alam semesta ini bertasbih dan 
kita adalah bagian dari alam semesta ini, 
sebagaimana firman Allah (swt) di dalam kitab suci al-Qur’an:
وَإِن مِّن شَيْءٍ إِلاَّ يُسَبِّحُ بِحَمْدَهِ
Wa in min syay'in illa yusabihu bihamdih.

Dan tidak ada apapun melainkan bertasbih dengan memuji-Nya! (Surat al-'Israa, 17:44)

Segala sesuatu bertasbih, 
tetapi kita tidak bisa memahami atau mendengarnya karena nafsu fisik kita, 
nafs/ego menguasai kita di dunia dan kekuasaannya mengalahkan sisi baik kita. 
Allah (swt) ingin agar kita keluar dari kekuasaan ego yang buruk 
dan mengubahnya menjadi penguasaan oleh sisi baik kita.

Bukti bagi hal ini ada di dalam hadits dari Abu Dzarr al-Ghifar (r):
في حديث أبي ذر قال تناول رسول الله صلى الله عليه وسلم سبع حصيات فسبحن في يده حتى سمعت لهن حنينا ثم وضعهن في يد أبي بكر فسبحن ثم وضعهن في يد عمر فسبحن ثم وضعهن في يد عثمان فسبحن أخرجه البزار والطبراني في الأوسط وفي رواية الطبراني فسمع تسبيحهن من في الحلقة وفيه ثم دفعهن إلينا فلم يسبحن مع أحد منا
Tanawala an-Nabi (s) saba` hashaayaat, fa sabahna fi yaddih, hatta sami`ta lahu haniinan, tsumma wadha`hunna fii yad Abi Bakrin fasabihna tsumma wadh`ahunna fii yad `Umar fasabahna tsumma wadha`ahunna fii yadi `Utsmaan fa sabahna fasama`a tasbiihihinna man fi’l-halaqata wa fiihi tsumma dafa`hunna ilaynaa falam yusabihna ma` ahadun minnaa.

Nabi (s) mengambil tujuh butir batu, 
hasaayaat dengan tangan sucinya, 
dan mereka (batu-batu itu) bertasbih, 
mengagungkan Allah (swt) di tangannya, dan 
kami dapat mendengar tasbih mereka. 
Aku mendengar suaranya yang merdu dengan kerinduan
 (dengan kecintaan pada Nabi [s] dan kerinduan dengan kecintaan pada Allah [swt]).

Kalian lihat bagaimana mereka dulu hidup? 
Tidak seperti sekarang, 
kita duduk dan salat di atas karpet lalu kalian melangkah keluar dan 
melihat rumput yang dipangkas rapi dan jalan yang bagus aspalnya. 

Dulu hanya ada jalan kecil dan gang di antara rumah-rumah, 
dan semuanya dipenuhi kerikil kecil.
 Nabi (s) duduk bersama para Sahabat dan beliau (s) mengambil tujuh butir batu dari lantai, yang artinya beliau (s) sedang duduk di suatu tempat, mungkin di sebuah rumah, 
dan tidak ada apa-apa (di bawah mereka) kecuali kerikil. 

Apakah kalian duduk di atas kerikil sekarang? 
Kaki kalian akan terasa nyeri, tetapi mereka duduk di atas kerikil!

Dan Allah (swt) berfirman bahwa segala sesuatu bertasbih, 
tetapi kalian tidak dapat mendengarnya, 
tetapi ketika batu-batu itu berada di dalam tangan yang suci (dari Nabi (s)), 
para Sahabat (r) dapat mendengarnya!

Batu-batu itu bukan hanya memuji Allah (swt) dan bertasbih, 
tetapi mereka juga merindukan Nabi (s), untuk berada di tangannya, bukan di lantai. 

Dan setiap sel dari tubuh kita juga bertasbih, 
tetapi kita terhalang untuk mendengar tasbih mereka dan 
oleh sebab itu kita perlu bekerja untuk membersihkan diri kita dari segala gangguan 
yang membuat kita tidak bisa mendengar tasbih batu-batuan atau tubuh kita.

Dan hadits itu berlanjut:
Kemudian beliau (s) meletakkan ketujuh batu itu ke tangan Sayyidina Abu Bakr ash-Shiddiq (r) dan mereka memuji Allah (swt) di tangan Sayyidina Abu Bakr ash-Shiddiq (r).

Ia mengetahui karena ia mendengar tasbih di tangan Sayyidina Abu Bakr ash-Shiddiq (r), tetapi ia tidak mengatakan bahwa mereka ‘rindu’. 

Kerinduan itu adalah adab, 
artinya batu-batu itu juga mempunyai adab! 

Kita harus belajar tentang adab, 
artinya ketika Nabi (s) hadir, 
pandangan kalian hanya tertuju pada Nabi (s), 
bukan yang lain di dalam masjid atau majelis itu. 

Jadi adab di dalam sebuah masjid adalah ketika guru telah hadir, 
kalian tidak berhak untuk memandang orang lain, 
kalau tidak kalian akan mengganggu pelajaran 
bila kalian melihat seseorang yang datang ke pintu. 

Oleh sebab itu, ketika guru kalian sedang memberi pelajaran, 
kalian tidak boleh memandang yang lain, bahkan ke arah pintu. 
Batu-batu tadi memperlihatkan kerinduannya ketika mereka berada di tangan Nabi (s), tetapi ketika berada di tangan Sayyidina Abu Bakr ash-Shiddiq (r) mereka bertasbih, 
tetapi tidak mempunyai kerinduan.
“Kemudian beliau (s) meletakkannya ke tangan Sayyidina `Umar (r), dan serupa halnya, mereka juga bertasbih dan beliau (s) meletakkannya ke tangan `Utsmaan (r), dan 
serupa juga mereka bertasbih memuji Allah (swt).” (Bazzaar dan at-Tabarani).

Ia tidak mengatakan jenis tasbihnya, 
barangkali ‘subhaanAllah’ atau ‘alhamdulillah’ atau ‘laa ilaaha illa-Llah’ atau ‘Allahu Akbar.’

Dan dalam riwayat yang lain, hadits itu berlanjut:
Pada saat itu semua orang yang berada di sekeliling itu dapat mendengar tasbih 
(batu-batu itu). 
Lalu Nabi (s) mengambilnya dari tangan Sayyidina `Utsmaan dan 
memberikannya ke tangan seorang Sahaabah, 
tetapi tidak ada yang dapat mendengar tasbih mereka saat itu dan 
mereka tidak bertasbih dengan suara keras ketika diletakkan di tangan Sahabat yang lain.

Jadi batu-batu kerikil itu melakukan tasbih dengan suara keras 
ketika berada di tangan Nabi (s), Sayyidina Abu Bakr ash-Shiddiq (r), Sayyidina `Umar (r) dan Sayyidina `Utsmaan (r), kemudian ketika Nabi (s) meletakannya ke tangan Sahabat yang lain, mereka tidak bersuara. 

Sayyidina `Ali (r) tidak hadir pada saat itu. 
Karena kita bukan Sahabat dan mereka pun tidak bisa mendengar lagi suara tasbihnya, bagaimana kita bisa mendengar tasbih dari tubuh kita? 

Ada masalah di sini: 
kita tidak bisa mendengar. 
Jadi untuk mengatasi masalah itu, 
kita harus melakukan tasbih dalam hati (diam) dan dengan lidah (suara keras) 
karena dengan demikian Allah akan mengaruniai tubuh kalian untuk lebih banyak bertasbih dan secara perlahan Allah akan membukakan bagi kita untuk dapat mendengarnya! 

Itulah sebabnya Nabi (s) bersabda bahwa Allah (swt) berfirman, 
من عادا لي وليا فقد آذنته بالحرب
Man `adaa lii waliyyan faqad aadzantahu bi ’l-harb.

Barang siapa yang menentang wali-Ku, 
Aku nyatakan perang terhadapnya.
 (Hadits Qudsi; Bukhari dari Abu Hurayrah)
Dan Allah (swt) berfirman:
عن أبي هريرة قال قال رسول الله صلى الله عليه وسلم إن الله قال من عادى لي وليا فقد آذنته بالحرب وما تقرب إلي عبدي بشيء أحب إلي مما افترضت عليه وما يزال عبدي يتقرب إلي بالنوافل حتى أحبه فإذا أحببته كنت سمعه الذي يسمع به وبصره الذي يبصر به ويده التي يبطش بها ورجله التي يمشي بها وإن سألني لأعطينه ولئن استعاذني لأعيذنه وما ترددت عن شيء أنا فاعله ترددي عن نفس المؤمن يكره الموت وأنا أكره مساءته 
ولا يزال عبدي يتقرب إلي بالنوافل حتى أحبه، فإذا أحببته كنت سمعه الذي يسمع به وبصره
الذي يبصر به، ويده التي يبطش بها ورجله التي يمشي بها،
Man `adaa lii waliyan faqad aadzantahu bi ’l-harb wa maa taqarraba ilayya `abdii bi-syayy’in ahabba ilayya mimmaa ’ftaradhtu `alayhi wa maa yazaalu `abdii yataqarabu ilayya bi’ n-nawaafil hatta uhibbah. Fa idzaa ahbaabtahu kuntu sama`uhulladzii yasma`u bihi wa basharahulladzii yubshiru bihi, wa yadahulladzii yabthisyu bihaa wa rijlahullatii yamsyii bihaa.

Barang siapa menentang seorang Wali-Ku, 
sesungguhnya Aku menyatakan perang terhadapnya. 
Dan hamba-Ku tidak akan berhenti mendekati-Ku 
dengan sesuatu yang lebih Aku cintai dari apa yang telah Kuwajibkan atas mereka, 
dan hamba-Ku tidak akan berhenti mendekati-Ku melalui ibadah sunnah (nawafil)
sampai Aku mencintainya.
Ketika Aku mencintainya, 
Aku menjadi pendengarannya yang dengannya ia mendengar, 
penglihatannya yang dengannya ia melihat, 
tangannya yang dengannya ia melakukan sesuatu, dan 
kakinya yang dengannya ia berjalan 
(dan dalam versi lain termasuk juga, “dan lidahnya yang dengannya ia berbicara”). 
(Hadits Qudsi, Bukhari)
Jadi, jika kita melakukan tasbih lebih banyak secara sukarela, kita akan mencapai level itu.
Dan di dalam hadits lain dari Imam Bukhari sebagaimana diriwayatkan oleh Ibn Mas`uud:
كنا نأكل مع النبي صلى الله عليه وسلم الطعام ونحن نسمع تسبيح الطعام
Kunna naakul ma` an-Nabi (s) ath-tha`am, wa nahnu nasma` tasbiih ath-tha`m.
Kami duduk dengan Nabi (s) untuk makan dan kami mendengar makanan itu bertasbih dan bershalawat atas Nabi (s).

Meskipun ia dimasak dalam api, makanan itu tetap bertasbih! 
Jika dipanaskan dengan api, ia terbakar, dan jika dididihkan seluruh rasanya akan berubah, tetapi ia tetap bertasbih. 

Jadi bagaimana dengan tubuh kita? 
Apakah mereka bertasbih? 
Ya, tetapi kita tidak mendengarnya. 
Jadi semoga Allah (swt) mengampuni kita dan 
memberkati semua Mukmin dan Muslim di seluruh dunia, 
apapun latar belakang mereka.
(Du`a.)
(Salaat al-Jumu`ah.)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar