PENGALAMAN DI SEBERANG PEMIKIRAN
Tidaklah mudah mendefinisikan kehadiran seorang dalam hidup kita
lewat sepotong atau sederet kata-kata, sementara kehadirannya sendiri,
entah bagaimana membawa begitu banyak perbendaharaan pengalaman.
Ada hasrat untuk dekat dalam penyatuan kasih dan sayang yang teramat kuat,
bahkan dalam keadaan yang sebenarnya tidak kita inginkan.
Ada pemberian yang tak tertakar dan permintaan tak terbatas.
Ada semangat, kesadaran, dan pencerahan yang membuat kita
seakan kita terlahir kembali sebagai pribadi yang baru.
Ada makna yang bisa diambil di belakang peristiwa.
Ada pengaduan di serambi rumah Tuhan.
Ada air mata, kebahagiaan, sakit, dan segalanya menjadi mungkin.
Hanya gambaran, barangkali inilah yang kita temukan manakala kita bermaksud mendefinisikan cinta, dan yang namanya penggambaran,
sudah barang tentu memiliki perbedaan.
Karena gambaran ini terkait erat dengan masalah
kesadaran, pengetahuan, pengalaman, dan pemahaman masing-masing orang.
Tapi baiklah, mari kita lihat sekelumit gagasan Rumi mengenai gambaran tentang cinta.
Meskipun gagasan Rumi tentang cinta terinspirasi bukan dari cinta terhadap makhluk, melainkan cinya kepada Yang Ilahi,
namun apa yang dikemukakan Rumi memberikan suatu gambaran puncak
dari keajaiban dan kemistisan cinta, baik kepada Yang Ilahi maupun antar makhluk.
Cinta dalam pandangan Rumi, merujuk pada peniadaan diri.
Cinta yang sesungguhnya adalah jika kita menempatkan Sang Cinta
pada sebuah wilayah dimana kita meniadakan apapun selain Sang Kekasih,
bahkan diri kita sendiri.
Suatu jalan demi menuju dan meraih cinta, sesusah dan semenderita apapun,
harus dijalani.
Bahkan kemudian, jalan penderitaan itu dianggap sebagai jalan cinta oleh sang pencipta.
Sungguh, begitu dalam subjektivitas dari penarikan akan makna ini,
seolah-olah tak tertampung oleh hati, tak tumpah dalam bait-bait syair,
dan tak kunjung usai meski seribu kebangkitan berlalu.
Sehingga yang ada, hadir, dan hidup dalam diri sang pencipta adalah
ekstase kemabukan cinta yang menggila, namun bukan berasal dari suatu kegilaan
tanpa alasan yang bermakna.
Mari kita dengar, apa yang dituturkan Rumi tentang cinta :
Tiada salahnya aku berbicara tentang Cinta dan menerangkannya,
tapi malu melingkupiku manakala aku sampai pada cinta itu sendiri.
Cinta tak terjangkau oleh kata-kata dan pendengaran kita:
Cinta adalah lautan yang tak terukur dalamannya.
Coba kau hitung berapa banyak air di sungai?
Di hadapan lautan tujuh sungai tiada arti.
Cukup!
Sampai kapan kau akan terpancang pada lidah dan kata-kata?
Cinta memiliki begitu banyak tamsilan yang berada di seberang kata-kata.
Diam!
Diamlah!
Karena apa yang dikatakan orang tentang Cinta tak dapat diterima:
Tersembunyilah makna-makna karena begitu banyak kata.
Seseorang bertanya,
“Apakah Cinta?”
jawabku, “Betanyalah tentang makna-maknanya.
Manakala kau menjadi sepertiku, kau akan tau.
Ketika Dia memanggilmu, kau akan membaca kisahnya.”
Oh,kau yang telah mendengar perbincangan tentang Cinta,
tetaplah Cinta!? 3)
Meskipun cinta benar-benar tak terungkapkan oleh kata-kata,
namun Rumi tetap memberikan gambaran-gambaran tentang cinta
sebagai pengalaman rohani dan untuk disadari demi membangkitkan cinta manusia
kepada Sang Khalik.
Sehingga, diapun seolah meminta untuk juga berbicara tentang Cinta
yang disebutnya sebagai “Air Kehidupan.”
Namun, pada akhirnya,
Rumi pun mengatakan bahwa kata-kata tidaklah sanggup mewadahi
gelora dimabuk cinta pada Sang Kekasih.
Cinta benar-benar tak terungkapkan.
Dalam pandangan Rumi,
mengutip penjelasan William C. Chittick,
cinta tidak dapat diterangkan dengan kata-kata,
tapi hanya dapat dipahami melalui pengalaman.
Sebagaimana halnya orang yang ingin mengungkapkan cinta kepada kekasihnya,
kata-kata tak dapat mewakili apa yang ada di hati melalui selembar kertas.
Meskipun demikian, dalam sebagian syair-syairnya,
dia memberikan gambaran:
Orang dapat membicarakannya kapan saja dan tiada habis-habisnya.
Tapi, tetap pada satu kesimpulan:
Cinta benar-benar tak terungkapkan lewat kata-kata.
Ia adalah pengalaman yang berada di seberang pemikiran,
bahkan sebuah pengalaman yang lebih nyata daripada dunia dan
segala yang ada didalamnya.
Dari sudut penggambaran cinta dari Rumi ini,
kita bisa saja menuliskan sebanyak mungkin pendapat orang tentang cinta,
membanding pendapat-pendapat itu, atau memperdebatkannya,
namun kita tidak akan beroleh apapun,
kecuali gambaran dari pengalaman masing-masing orang.
Karena cinta adalah tempat tersembunyi yang hanya akan menjadi kata-kata aneh
bagi yang belum pernah melewatinya.
Lihat,
betapa pada suatu waktu seseorang menuturkan cerita-cerita
tentang orang yang dicintainya tanpa habis-habisnya.
Sungguh,
dia tidak sedang bercerita dan berbicara dengan kita,
tetapi bercerita dan berbicara dengan dirinya sendiri.
Ia sangat ingin kita mendengarkan gelora hatinya yang mengucur deras dengan seksama.
Imajinasinya, khayalannya, dan impiannya dipandang sebagai sesuatu yang nyata,
meski sesungguhnya secara diam-diam barangkali kita tengah menertawainya.
Kadang-kadang dia mengajukan pertanyaan kepada kita bukan karena ia tidak tahu, melainkan hanya ingin mencari semacam pemuasan akan perasaan
pada kekasih yang tak tertangguhkan.
Dan pada waktu yang berbeda,
dengan berbagai macam sebab
dia dirundung kesusahan hati, sedih, menangis, kehilangan, putus asa, sakit,
bahkan mengambil keputusan-keputusan yang gila.
Mendefinisikan cinta,
seperti hendak mengurai tumpukan benang.
Setiap kali kita menemukan benang yang bertalian,
kita akan dihadapkan pada talian-talian baru.
Setiap kali ingin merangkai kata yang baru,
yang lama juga akhirnya yang jadi, dan begitu seterusnya.
Jika didalam cinta ada perasaan
bahagia, bermakna, sedih, khawatir, pedih, derita, kematian, benci, mabuk, binasa, gila dan kehadiran Tuhan,
bagaimana kita akan merangkum semua itu dalam sederet kata-kata
yang bisa kita sebut sebagai definisi cinta.
Karenanyalah,
apa yang kita sebut sebagai definisi cinta tidak lebih dari penggambaran
dan ungkapan-ungkapan dari pengalaman subjektif:
subjektivitas yang membuat seseorang bernaung dalam ketidaksadarannya sendiri, berjalan-jalan di atas kesadaran, dan melayang di luar pikirannya.
Namun,
dengan apalagi sang pecinta mengungkapkan cinta beserta akar, pohon, ranting, dan dedaunannya itu jika tidak dengan kata, isyarat, atau gerak.
Karena alasan inilah,
manusia tetap berusaha mencari suatu gambaran dalam bentuk kata, isyarat, dan gerak yang diharapkan bisa mewadahi atau setidaknya menjadi bagian dari maksud
persinggahan psikologis.
Mari kita simak sajak berikut ini:
Jika senja ini engkau mengetuk pintu bilikku dan menanyakan definisi cinta,
maka akan kujawab:
“Definisi cinta adalah ketika engkau tak mampu lagi mendefinisikannya.
Ia seperti jalan yang berapa pun jauhnya bisa engkau tempuh,
tapi kau takkan pernah bisa menemukan lagi dari titik mana
engkau awali perjalanan demi manujunya.”
Jika malam ini engkau beranjak dari bilikku dan
menanyakan arti dari kasih sayang, maka akan kujawab:
“Kasih sayang adalah ketika engkau berusaha tetap memberi
meskipun sesungguhnya tak ada lagi yang bisa engkau berikan,
dan untuk itu mungkin engkau akan menghela nafas panjang
dari hati yang hening dan jiwamu yang perih.”
Dan bila sang fajar esok datang engkau bertanya padaku
dengan kesungguh-sungguhan makna dari cinta dan kasih sayang,
maka akan kujawab:
“Doakan aku agar bisa mencapai puncak dua kata yang engkau tanyakan itu,
duhai perempuan yang menyelami lautan jilbab. 4)
Ketika kita menanyakan perihal cinta kepada banyak orang
maka sebanyak itu pulalah ekspresi yang akan kita lihat dan
jawaban yang akan kita dengar.
Ada yang terdiam dalam kebingungan,
ada yang berusaha mengenang kembali pengalamannya,
ada yang balik bertanya kepada kita, dan
ada pula yang mengutarakan penggalan-penggalan kata dan kalimat
yang teramat susah untuk kita rumuskan menjadi suatu definisi,
atau katakanlah semacam gambaran yang cukup mewakili,
tidak hanya pengalamannya sendiri
akan tetapi juga pengalaman banyak orang.
Kehadiran cinta yang demikian kompleks,
rasanya sudah lebih dari cukup menjadi semacam alasan
bagi kebanyakan orang untuk terdiam atau bertutur tanpa akhir,
manakala diminta mendefinisikan cinta.
Bagaimana tidak,
kita diminta memberikan definisi terhadap suatu dinamika
dikedalaman diri kita sebagai hasil dari penyerapan realitas
yang entah bagaimana kemudian menyusun konsep tentang dirinya sendiri.
Ia berbicara, ia menghendaki sesuatu, dan kita mengetahuinya.
Ia begitu mendesak kita untuk melakukan apa yang dia inginkan,
bahkan sering kali ia tidak memiliki pemahaman sedikitpun
hingga kita dibuat tidak paham dengan diri kita sendiri,
sehingga kita berada dalam ruang tanpa definisi.
Kita tercerabut dari akar kedirian kita.
Kahlil Gibran menuturkannya:
Sebab sebagaimana cinta memahkotaimu,
Demikianlah pula dia akan menyalibmu.
Demi pertumbuhanmu,
begitu pula demi pemangkasanmu.
Sebagaimana dia membumbung,
mengecup puncak-puncak ketinggianmu,
membelai mesra ranting-ranting terlembut yang bergetar
dalam cahaya matahari,
demikian pula dia menghujam ke dasar akarmu,
mengguncang-guncangkannya dari ikatanmu dengan tanah. 6)
Kisah pergulatan manusia dan cinta identik dengan pengalaman keaagamaan.
Sebagian besar dari kita beragama.
Kita sama-sama shalat, puasa, zikir, dan
melakukan banyak hal yang kita anggap sebagai bentuk dari pencapaian rasa ke-Ilahi-an, namun kita semua hampir tidak pernah merasakan hal yang sama
dalam pengalaman keagamaan itu.
Sebagian tidak merasakan apa-apa atau biasa-biasa saja:
tidak ada pengalaman unik dalam ritual keagamaan.
Sebagian yang lain merasakan adanya perubahan-perubahan dalam diri mereka,
dan selebihnya merasa tenteram, damai, dan bermakna bersama Allah dan agama:
mereka mengalami transformasi ibadah,
dari aktivitas keagamaan menjadi kecerdasan spiritual.
Rasa cinta, seperti agama, ia bersifat universal,
tapi kualitas dan ketinggian nilai dalam keuniversalannya itulah yang berbeda-beda,
dan bahwa tidak setiap kita mampu mengungkapkan apa yang kita rasakan lewat kata-kata adalah wujud dari kekayaan pengalaman psikologis kita.
Kekayaan yang tak terbeli oleh kata-kata.
Tidak ada bahasa yang tidak memiliki keterbatasan,
semua mereduksi alam psikologis.
Tubuh memenjarakannya, kata-kata mereduksinya, juga gerak dan sorot mata, mengandung multitafsir dari perasaan, pikiran, dan kehendak.
Cukup beralasan ketika Erich Fromm mengatakan bahwa
kata-kata tidaklah cukup untuk mendeskripsikan pengalaman manusiawi.
Dalam kenyataannya,
sering kata-kata mengungkapkan keadaan sebaliknya:
kata-kata menggelapkan, memotong, dan membunuh pengalaman itu.
Terlalu sering dalam proses pembicaraan tentang cinta, benci, atau harapan,
seseorang kehilangan kontak dengan apa yang diandaikannya untuk menjadi pembicaraan.
Puisi, musik, dan bentuk-bentuk seni yang lain, kata Fromm,
lebih tepat sebagai alat untuk mengungkapkan pengalaman manusia.7)
Barangkali puncak bahasa atau pernyataan psikologis terletak pada air mata.
Sebab hanya air mata yang mengandung makna ganda.
Ia membahasakan kesedihan yang paling mendalam,
dan kebahagiaan yang paling puncak.
Bahkan kemudian apa yang kita sebut sebagai tertawa atau bahagia
seringkali merupakan wujud dari keguncangan jiwa yang tak terperikan.
Dari sisi ini, kedudukan imajinasi psikologis,
kita bisa menyusup kedalam kebahagiaan, kesedihan dan duka lara manusia lain,
sehingga kita bisa merasakan kesedihan, duka lara, dan kebahagiaannya.
Puncaknya,
jika tubuhmu memuncratkan darah, maka aku ikut merasakan sakitnya.
Saya pikir dan saya rasa
untuk bisa menangkap dan menyelami pengalaman-pengalaman lembut semacam cinta, kita membutuhkan kecerdasan yang lembut pula.
Pengalaman personal adalah rahasia kosa kata batiniah,
yang secara diam-diam maupun terang-terangan membutuhkan
lebih banyak pembahasan oleh dunia luar,
dan saya tidak merasa berkeberatan kalau pembaca menyebut uraian-uraian saya ini
adalah sebentuk musik, puisi, cerita, atau sebuah dongengan tentang cinta.
Sebagaimana di ungkapkan psikolog Swiss yang juga pendiri aliran psikoanalitis,
Carl Gustav Jung:
“ Dongeng akan lebih bersifat individual dan mengungkapakan kehidupan
dengan lebih tepat dibanding ilmu pengetahuan ilmiah.
Ilmu pengetahuan ilmiah bekerja melalui konsep-konsep kesamarataan
yang terlalu umum untuk berlaku adil terhadap keberagaman subjektif
kehidupan individual. “
Dengan perkataan lain, Jung ingin mengatakan bahwa
realitas , rasionalitas , dan kebenaran pengalaman manusia
menempati ruang yang teramat luas dan seringkali tidak terjangkau
oleh kerangka yang di bangun, bahkan oleh ilmu psikologi sekalipun.
Karena satu-satunya kebenaran dari apa yang kita sebut sebagai metode ilmiah
yang jarang sekali diakui sebagai kebenaran adalah bahwa
ia mereduksi manusia dan pengalamannya.
Akhirnya,
cinta adalah cinta,
bahasa niversal yang kita semua mengalaminya
dengan kualitas ruh, hati, diri, dan jiwa kita sendiri-sendiri.
Dari keuniversalannya itu,
kita bisa menduga dengan dugaan yang mendekati kebenaran bahwa
cinta kita kepada Allah barangkali tidaklah sedahsyat cinta Jalaluddin Rumi
atau Rabiah al-adawiyah, namun kebanyakan dari kita memiliki hasrat
untuk mendekatkan diri kepada apa yang kita sebut sebagai Tuhan,
atau apapun yang kita anggap sebagai Sang Pencipta.
Dan banyak orang kemudian mendapati diri mereka tidak memiliki kekuatan
untuk menolak kehadiran-Nya.
Sebagai orang tua, mungkin cinta kita kepada anak tidaklah seagung
cinta keluarga Imran atau Lukman al-Hakim dalam kitab suci,
meski demikian kita tetap ingin,
memberikan segala sesuatu yang mungkin bisa kita berikan,
atau sekurang-kurangnya kita berharap agar anak-anak kita berada dalam perahu kebenaran dan keselamatan.
Sebagai sesama manusia,
cinta kita mungkin tidak sejauh Mahatma Ghandi, Bunda Theresa,
atau orang-orang yang mengabadikan hidup mereka untuk kemanusiaan,
tapi belakangan kita mengetahui bahwa dengan mencintai sesama manusia
kita tidak hanya menemukan kemanusiaan manusia lain,
akan tetapi juga menemukan kemanusiaan dalam diri kita sendiri.
Dan kisah cinta, pemahaman, rasa sayang serta penghormatan kita
kepada seorang istri atau kekasih barangkali tidak sedramatis cinta Majnun pada Laila, namun kita merasakan cinta dan membaca sepotong kisah,
yang kemudian membuat kita yakin bahwa disetiap jengkal kehidupan dipenuhi oleh cinta.
Sampai sejauh ini kita baru sebatas bergulat dengan kemiskinan kata-kata dan bahasa ditengah-tengah kekayaan pengalaman psikologis,
dan kita telah melewatinya tanpa mengetengahkan satu definisipun,
sementara kita tetap tergoda untuk tidak hanya sekedar mengetahui
pengalaman-pengalaman manusia di dalam cinta,
akan tetapi juga tergerak untuk mengetahui apa itu cinta.
Pada hasrat yang terakhir itulah kita berusaha memahami cinta,
bukan dalam hal definisi, melainkan keberadaan (eksistensi) manusia itu sendiri.
Untuk menuju kearah itu pertama-tama kita akan memandang,
kondisi manusia dalam dua pengertian yang masih sangat luas:
yakni dari sisi psikologis atau eksistensi dan Teologis (fitrah).
Selanjutnya, kedua bentuk pendekatan ini akan kita gabungkan
menjadi konsep Eksistensialisme Religius
sebagai prinsip dasar dalam praktek mencintai.
Bagaimanapun juga kita harus terlebih dahulu
membahas Eksistensi dan fitrah manusia sebelum masuk
kedalam inti pembahasan kita.
Saya menyadari bahwa kita membutuhkan penjelasan dan uraian
yang lebih panjang menyangkut masalah eksistensi dan fitrah manusia ini,
namun kalau penjelasan mengenai hal itu kita kira sudah mencukupi
untuk melanjutkan bahasan, maka akan kita cukupkan.
CATATAN :
Jalaluddin Rakhmat, Psikologi Agama: Sebuah Pengantar, Bandung : Mizan, 2003.
Karen Amstrong, Sejarah Tuhan, Bandung : Mizan, 2001.
Dirangkum dari puisi-puisi Rumi: William C. Chittick, Jalan Cinta Sang Sufi:
Ajaran-ajaran Spiritual Jalaluddin Rumi, Yogyakarta: Qalam 2001.
Juwandi Ahmad, Sajakkan Aku Syahadat Cinta di bawah Matamu.
Dalam Muhammad A. R: Indahnya Bahasa hati, Yaogyakarta: Titian Ilahi Press, 2004
Kahlil Gibran. Nabi: Kahlil Gibran: diterjemahkan dalam Bahasa Puitik oleh antonette Calista dan John MeCyll, Jakarta: INOVASI, 2002.
Sang nabi adalah Karya Gibran yang paling monumental.
Nilai-nilai dalam sang nabi merupakan persetubuhan antara
kitab Injil Kristen dan Sufi Islam,
dari persetubuhan suci ini lahirlah Romantisme Ketuhanan, Religius, dan Kehidupan.
Erich Fromm. Revolusi Harapan.
Diterjemahkan dari judul asli: The Revolution of Hope. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003.
C. G. Jung. Memories, Dreams, Reflection. Terjemahan, Yogyakarta: Jendela, 2003.
Sumber : THE YOUNG SUFI Karya JUWANDI AHMAD
Tidak ada komentar:
Posting Komentar