Senin, 16 November 2015

Jejak-Jejak Cinta Sang Sufi Muda (Bag 3)

MENCINTAIMU


Datanglah! 
Aku ingin memberikannya padamu sebelum pamit. 
Aku sekarang memiliki pondokan disana, tunjukku ke langit. 
Benarkah?
Ya! 
Di sana aku punya kebun bunga yang tak mengenal musim, 
namun entah untuk siapa.
Lalu kita saling membuka album kenangan dan
tersenyum tiba-tiba : 
kita telah menjadi dua

”R. Timur Budi Raja”

 Setiap kita mengetahui bahwa tidak sedikit orang yang kesulitan atau 
tidak memiliki cukup keberanian untuk menyatakan cintanya, 
selain disebabkan oleh faktor perbedaan 
tentang bagaimana seseorang memandang hubungan cinta, 
kesulitan itu disebabkan juga oleh konsep bagaimana seseorang melihat dirinya sendiri. 

Disini kita menemukan sifat egois dari perasaan cinta. 
Misalnya, perasan takut terhadap penolakan, 
ia adalah tanda bahwa cinta dalam diri sesorang 
terpusat pada kehendaknya sendiri dan bukan pada orang yang dicintainya. 

Ketidakberanian mengatakan cinta adalah gambaran 
bahwa seseorang tidak percaya dengan cintanya sendiri. 
Kalau orang percaya dengan cintanya, 
ia akan menjalankan perasaannya dengan kedewasaan, keberanian, dan kecerdasan. 

Kepercayaan terhadap cinta ini juga menjadi suatu gambaran kepercayaan orang 
pada dirinya sendiri, dan hal ini akan menumbuhkan sikap positif dan 
keyakinan bahwa seseorang layak untuk dia percayai. 

Kepercayaan terhadap orang lain inilah yang akan membuat kita 
menerima dan memahami apa yang akan dilakukan orang 
sehubungan dengan apa yang kita kehendaki. 

Dengan sikap semacam ini, 
suatu penolakan yang mungkin saja terjadi akan dipandang sebagai kebebasan dan keputusan terbaik bagi orang lain, dan bahkan terbaik bagi dirinya. 
Meskipun mungkin cinta pada mulanya bergerak untuk kebutuhan diri sendiri 
dengan pemahaman semacam ini kita akan melihat, memahami, dan 
menerima apa yang dikehendaki dan dibutuhkan orang lain. 

Pendek kata, 
kita datang tidak hanya sekedar hendak meminta, 
tetapi lebih dari itu, untuk memberi suatu pemahaman. 

Hal ini akan membuat jiwa-jiwa yang terlibat di dalamnya menyakini bahwa 
manusia dan kehidupan masih sanggup memberikan cinta dan pemahaman. 
Mereka tidak kehilangan apapun, 
bahkan mendapatkan pemahaman-pemahaman baru yang mencerahkan.

Cinta adalah berkah. 
Kita dipercaya oleh Allah untuk mengemban sebuah misi kehidupan 
dengan cinta yang bisa membuat segalanya menjadi berubah. 

Kita tengah dididik bagaimana memahami diri kita sendiri, perjalanan psikologis, dan 
terlebih lagi kita dididik bagaimana 
memandang dan memperlakukan kehadiran manusia lain dalam hidup kita. 

Sebagaimana yang telah saya kemukakan pada bagian terdahulu, 
bahwa pada akhirnya cinta tidak begitu mudah kita diamkan dalam dunianya sendiri, 
hal ini tidak hanya sekedar akan menjadi semacam belenggu perasaan 
tetapi juga pada hakikatnya setiap cinta menghendaki pengungkapan. 

Ada banyak alasan mengapa orang merasa perlu menyembunyikan perasaan. 
Sebagian orang memendam cinta karena secara diam-diam dan 
tanpa sadar tidak percaya dengan cinta yang ada di dalam dirinya. 

Ketidak percayaan ini akan memenggal keberanian : 
ada semacam ketakutan dan ketidaksanggupan menerima kemungkinan 
yang tidak menyenangkan. 
Namun, 
ketakutan terhadap penolakan, sebab seseorang tidak hanya sekadar takut 
dan tidak menaruh kepercayaan yang cukup baik kepada orang lain, 
tetapi menaruh ketakutan terhadap ketidakpercayaan dengan diri dan cintanya sendiri. 

Ketika seseorang tidak percaya dengan diri mereka dan tidak memiliki keyakinan 
bahwa cintanya akan berkembang melampaui apa yang dia kehendaki, 
sudah bisa dipastikan dia akan kehilangan banyak hal dari pada yang semestinya 
bisa ia berikan kepada orang lain. 

Percaya kepada diri sendiri, 
percaya kepada cinta, dan 
percaya kepada orang yang dicintai 
adalah syarat dalam mencintai yang tidak bisa dipisah-pisahkan. 

Anda bisa saja menyakini bahwa Anda sungguh-sungguh mencintai, 
tetapi ketika Anda gagal mempercayai diri Anda sendiri, 
Anda akan gagal pula dalam mencintai orang lain. 

Anda barangkali percaya dengan diri Anda, namun Anda akan gagal dalam praktik mencintai kalau Anda tidak percaya dengan orang yang Anda cinta. 
Dan Anda mungkin menaruh kepercayaan kepada orang yang Anda cintai dan 
kepada diri Anda sendiri, namun cinta tidak akan memberi apa-apa 
kalau Anda tidak percaya dengan cinta itu sendiri.

Percaya kepada cinta itu artinya, 
Anda yakin bahwa dengan cinta Anda akan merasa ada dan menjadi, 
jauh melampaui potensi dalam diri Anda yang selama ini Anda pahami, 
dan bahwa cinta tidak diukur dari sejauh mana Anda mendapatkan sesuatu 
dari luar diri Anda membutuhkan lebih banyak kontemplasi 
untuk memperluas kesadaran bahwa manusia 
harus memperdalam nilai dan fungsi ke-manusia-annya. 

Dan mencintai adalah dalam rangka untuk itu.
Sebagian lagi menyembunyikan perasaan cinta 
karena mereka tidak siap untuk mencintai. 

Ia sebenarnya merasakan dan membutuhkan cinta, kasih sayang, 
dan juga perhatian hidup dari orang lain, namun 
ia belum bersedia untuk berbagi kehidupan dan memberikan sesuatu yang ia miliki 
untuk orang yang dicintainya. 
Ia tahu mengenai apa yang harus ia lakukan dalam mencintai dan 
ia pun tahu bahwa ia tidak ingin melakukan hal itu. 

Ada alasan yang lebih mendalam daripada itu, yakni kebebasan. 

Baginya, 
cinta, mencintai, kasih sayang, dan berbagi dengan orang lain adalah 
bentuk-bentuk keterikatan, sekurang-kurangnya keterikatan psikologis. 
Barangkali hal itu adalah benar, 
namun kalau kita mengkaji kebebasan sedikit lebih dalam, 
kita akan menemukan bahwa kebebasan tidaklah dari tiadanya keterikatan 
atau sedikitnya tanggung jawab kita terhadap sesuatu, 
dan bahkan keterikatan dan rasa tanggung jawab itu sendiri adalah 
bentuk kebebasan eksistensial. 

Jadi, dalam konteks bahasa kita, 
orang-orang yang tidak memiliki keterikatan dan rasa tanggung jawab 
kepada dirinya sendiri, sesama manusia, dan kehidupan. 

Ketiadaan rasa ini pada hidup seseorang 
akan membuatnya terasing, sepi, hampa dan jauh dari makna.

Adalah sebuah paradoks ketika manusia ingin meraih kebebasan secara tanpa sadar 
justru terjerumus ke dalam ketidakbebasan. 
Barangkali benar juga bahwa cinta, mencintai, keterikatan, dan tanggung jawab 
telah benar-benar dirasakan oleh seseorang sebagai kenyataan dan pengalaman buruk 
yang tidak membebaskan, namun lari atau menarik diri dari kenyataan tanpa kesadaran 
dan menciptakan kebebasan baru tanpa pemikiran dan hati yang benar-benar ikhlas, 
alih-alih seseorang akan menemukan kenyataan-kenyataan baru yang tidak membebaskan. 

Saya kira banyak dari kita yang sepakat, 
bahwa apa yang dikatakan orang sebagai keputusan atau jalan keluar bagi suatu persoalan sering kali hanyalah pelarian dari kenyataan yang sulit di terima, 
oleh karena kenyataan tersebut begitu menyakitkan. 

Pengalaman semacam ini kerapkali membuat seseorang enggan berbagi, mencintai, dan takut terhadap apa yang kita sebut sebagai keterkaitan dan rasa tanggung jawab. 
Satu hal yang harus kita pahami bahwa rasa ketidakbebasan dari keterikatan
tidak hanya ditentukan oleh kenyataan-kenyataan objektif 
akan tetapi kenyataan subjektif diri sendiri. 

Pikiran, perasaan, dan ruang psikologis kita adalah penjara yang paling abadi, 
dan tanpa sadar kita membangunnya terus menerus.

Selebihnya, 
kita menjumpai di mana seseorang  tidak hanya sekedar menyembunyikan perasaan cinta akan tetapi menekan dan berusaha membunuh cintanya sendiri oleh karena 
cinta dianggap sebagai aktifitas yang merusak dan mengandung banyak hal 
yang menyakitkan. 
Paling sedikit hal semacam ini terjadi karena di dorong oleh konsep-konsep keagamaan yang dogmatif dan kaku, dan sebagai besar disebabkan oleh pengalaman 
yang tidak menyenangkan dalam mencintai, 
kedua alasan ini terkadang berdiri sendiri dan sering pula merupakan gabungan 
dari keduanya.

Cinta adalah anugerah atau kita rasakan lebih pada pemberian ketimbang suatu pencarian. 

Ia ada dan hadir dalam diri kita baik secara pelan-pelan maupun dengan tiba-tiba 
hingga pada akhirnya kita menyaksikan bahwa diri kita tengah mencintai. 

Di antara cinta dan mencintai itulah terkandung 
nilai keputusan, pilihan, kematangan pribadi, kedewasaan, kesiapan, keberanian, 
tanggung jawab, dan kecerdasan yang bersifat personal. 

Dari sini kita melihat bahwa cinta 
bukanlah persoalan kesenangan dan kenikmatan subjektif, akan tetapi kualitas pribadi. 

Banyak orang mengatakan bahwa mereka tidak punya pilihan lain selain mencintai 
sebab perasaan cinta telah ada dalam diri mereka. 
Ini bukanlah keputusan dan bukan pula pilihan, 
tapi sebatas penerimaan psikologis diri sendiri. 

Apakah cinta dan mencintai kemudian bisa mencintai ruang penerimaan 
bagi kehidupan orang lain, merupakan pertanyaan yang tidak cukup hanya dijawab 
dengan apa yang kita rasakan, apa yang kita inginkan, dan 
kategori-kategori sifat dari orang lain yang bisa kita terima.

Paling sedikit cinta diungkapkan lewat ekspresi dan tindakan-tindakan 
yang menandakan perhatian, dan agaknya kita menyepakati bahwa 
pada umumnya hati dan pikiran kita memiliki kepekaan yang cukup baik 
untuk membedakan antara perhatian yang bersifat manusiawi atau umum 
dan perhatian yang menandakan perhatian yang bersifat personal 
di balik sikap, ekspresi, dan tindakan. 

Meskipun kita sering keliru dalam menafsirkan tindakan seseorang, 
namun asumsi bahwa kita memiliki kepekaan hati dan pikiran 
dalam menilai apakah suatu tindakan bersifat personal 
merupakan buah pikiran yang relatif dekat dengan kenyataan. 

Perhatian di luar keumuman dari ruang pengalaman, 
biasanya akan memperoleh perhatian lebih, 
sekurang-kurangnya dalam pernyataan, 
dan kita pun ingin menunjukkan perasaan yang bersifat personel itu 
lewat tindakan-tindakan. 

Betapapun perhatian orang lain 
akan melahirkan perasaan dan pikiran yang berbeda dalam diri kita. 

Pada tahap inilah kita mengalami apa yang disebut mencintai dengan diam-diam.
Mengungkapkan cinta akan menjadi penting sejauh hal itu diletakkan
 dalam konteks kesadaran untuk membangun keterbukaan. 

Cinta demikian kompleks, dan kompleksitas itu membutuhkan ruang, 
dimana antar pribadi bisa menyaksikan niat, perasaan, pikiran, dan tujuan masing-masing. 

Ada semacam kejelasan dan komitmen untuk membangun banyak hal dalam konteks ”kita”. Dan hal ini mensyaratkan keterusterangan, keterbukaan, dan ruang. 

Mengungkapkan cinta adalah pintu dimana di balik pintu itu 
kita hendak membangun ruang yang akan mengarahkan 
bagaimana sebaiknya kita bersikap, berkata, dan bertindak untuk satu sama lain. 

Mengungkapkan cinta adalah dialog dan bukan monolog. 
Bukan apa yang kita inginkan, 
tapi apa arti kebebasan, 
bukan seberapa besar perasaan kita, 
tapi seberapa jauh kita paham dengan perasaan itu sendiri. 
Bukan bermain dadu, 
tapi kesungguhan 
untuk mendengarkan, memahami, menghargai, dan mencintai kehidupan orang lain.

Sebagaimana telah kita uraikan di muka bahwa 
cinta berada jauh di seberang perasaan dan pemikiran 
tapi lebih nyata dari dunia serta isinya. 

Artinya, 
untuk sampai pada tujuan mencintai kita harus menyeberangi 
alam perasaan, pikiran, dan harapan-harapan subjektif di dalam cinta. 
Kita harus melampaui dan tidak boleh tenggelam dalam lautan cinta
 agar cinta benar-benar mewujud dalam kenyataan dan tidak menjadi ritus kegilaan. 

Mengatakan cinta adalah hal yang mudah 
tapi menyatakan cinta itu yang sering menjadi persoalan. 
Sebab menyatakan cinta memerlukan totalitas kesadaran diri. 

Anda mungkin akan bertanya bagaimanakah cara mengatakan cinta, 
dan saya percaya bahwa Anda memilki punya banyak cara untuk mengatakannya. 
Cara mengungkapkan cinta, 
sejauh kita menggunakan kaidah-kaidah kesopanan dan penghormatan kepada orang lain, tidak ada lagi yang perlu dipersoalkan dalam hal cara. 
Namun yang lebih penting dari hanya sebatas cara adalah 
apa yang akan kita lakukan dalam pengungkapan cinta itu.




Sumber : THE YOUNG SUFI Karya Juwandi Ahmad

Tidak ada komentar:

Posting Komentar