Senin, 16 November 2015

MENATAP WAJAH KEKASIH

Lihatlah wajah kekasihmu dengan penghayatan,
maka engkau akan menemukan telaga kesadaran
bahwa Yang Ilahi telah memberkati
dengan mengutusmu untuk menyebarkan sifat kasih-Nya 
di hadapan sang kekasih

Kalau dalam mencintai kita merasakan kebesaran dan kehadiran Allah, 
pertemuan yang tulus, pernikahan suci, anak-anak yang lucu dan manis, 
surau-surau kesadaran, dan berharap dapat menyumbangkan apa yang kita miliki 
untuk masyarakat dan kebudayaan, 
maka kita telah miliki untuk masyarakat dan kebudayaan,
 maka kita telah miliki kesadaran akan cinta. 

Dan kalau kita dengan sungguh-sungguh menghadirkan semua itu dalam kehidupan nyata, maka kita telah hamil dan pada saatnya nanti kita akan menikmati apa yang dikandung 
oleh harapan, keyakinan, dan ketabahan kita di jalan cinta. 

Sungguh, kita tidak hanya sekadar jatuh cinta, akan tetapi telah mencintai: 
kita telah dilahirkan oleh cinta dengan sebenar-benarnya: 
mencintai Allah, 
mencintai cinta yang lahir dari orang yang kita cintai yang mendekatkan diri kita 
kepada Allah, dan 
mencintai kehidupan dengan harapan-harapan mulia: 
memberikan sesuatu yang kita anggap berharga untuk sesama atas dasar kemanusiaan. 

Di sini, 
ada hubungan vertikal antara kita dan Allah, 
ada hubungan personal yang hangat antara dua hamba Allah, dan 
ada hubungan kasih horisontal antara sesama manusia. 

Semua kezuhudan cinta, 
baik itu dalam kasih sayang, ketulusan, keharuan, kepercayaan, rasa hormat, perhatian, dan kerinduan, kita letakkan dalam kerangka kesadaran terhadap realitas kebesaran Ilahi. 

Oleh karena kita melihat, merasakan, dan berpikir dalam kerangka kebesaran Allah, 
maka setiap keberadaan, setiap kejadian, dan 
semua hal yang kita alami selalu kita serap 
sebagai suatu tanda dari kebesaran Allah. 
Ada makna, ada pesan, dan ada realitas tertinggi 
di balik kenyataan-kenyataan inderawi kita.

Kita itu seperti orang di dalam kamar yang dimabuk cinta. 
Dalam kamar kita mencintai ranjang-ranjang empuk, 
begitu kita membuka pintu kamar, 
kita menaruh cinta pada seperangkat perabot di ruang tamu, 
ketika kita melangkah dan membuka pintu rumah, 
kita jatuh hati pada bunga-bunga di halaman , dan 
ketika membuka pintu pagar, 
kita memupuk cinta terhadap banyak hal. 

Mencintai ranjang empuk, perabot, bunga-bunga di halaman, dan 
apa yang ada di bumi ini adalah dahaga dan kehausan bagi kita semua. 

Adalah ketidakasadaran dalam dahaga dan kehausan, 
kalau kita memandang semua itu sebagai puncak dari cinta. 
Mencintai dan mengagumi suatu keindahan merupakan 
kelebihan sekaligus keterbatasan manusia. 

Ia disebut kelebihan karena menjadi suatu tanda bagi kelembutan dan kepekaan hati, 
dan disebut keterbatasan oleh karena sesuatu yang kita cintai dan kita kagumi 
bisa membawa kita pada pemberhalaan. 

Kita dan orang yang kita cintai adalah ayat-ayat Tuhan, 
kita diperintahkan untuk menyelam dan menembus ayat-ayat itu 
agar dapat menemukan realitas tanda-tanda kebesaran Allah.

Mahasuci Allah. 
Inilah kata-kata yang akan memancar 
dari telaga kebeningan hati, kecerahan pemikiran, dan kebermaknaan hidup kita, 
manakala kita mencintai dengan kezuhudan cinta: 
kasih sayang, ketulusan, keharuan, kepercayaan, dan rasa hormat. 

Citra dan kehadiran seorang kekasih membuat kita tertunduk: 
betapa Allah Yang Maharahman mempertemukan kita dengan seseorang 
yang memancarkan damai, ketentraman, ketenangan, harapan, makna, dan membangkitkan hidup. 

Pencerahan hati ini akan diikuti dengan pencerahan-pencerahan baru 
dalam bentuk yang lebih nyata: 
yakni menjaganya yang menempatkan seseorang di hati dan dipikirkan kita 
dalam tempat yang bersih. 

Kita tidak mengotorinya atau memperkosanya dalam khayalan dan mimpi sekalipun:

Oh jiwa, 
yang aku haramkan lamunan sejenakku akan bayang-bayang penabur debu 
dalam relung kalbu, 
kuyakini ada pancaran nur dalam langkahmu. 

Oh jiwa, 
yang sentuhanku kuanggap sebagai pencurian atas kesucian yang meredupkan kilauan terang lautan jilbab, 
kuyakini yang engkau tuju adalah cahaya, 
yang engkau reguk adalah udara segar pencerahan. 

Oh jiwa, 
yang menentramkan relung-relung kalbu, 
kudengarkan suaramu denga hati yang lapang, selapang hamparan bumi dan tetumbuhan. 

Oh jiwa, 
yang tangisnya adalah air mataku, 
kumengerti dan kupahami engkau sebagaimana engkau dan 
bukan sebagaimana diriku apalagi aku. 

Oh jiwa, 
yang ada dirinya memancarkan kedamaian di diriku ,
dengarlah tetes-tetes air di hamparan gua , 
simaklah gemericik air pancuran di kala subuh, 
rasakanlah hembusan angin di tengah kegelapan malam, 
lihatlah embun dan dedaunan di waktu pagi, dan 
pandangilah rona surya di pintu magrib: 
engkau akan menemukan diriku. 
Ya menemukan diriku dengan menemukan dirimu.

Inilah jalan keadilan sejak dalam pikiran dan perasaan. 
Di sini bukan lagi kita yang menjaga kesadaran, 
hati dan pikiranlah yang menjaga kita, 
sebab kesadaran, hati, pikiran dan cinta kita telah mengkristal menjadi nilai spiritual: 
apa yang ada dalam cinta telah beranjak 
dari kebutuhan akan bentuk menjadi makna, 
dari kulit menjadi inti, dan 
dari kepuasan fisikal menjadi kepuasan spiritual.

 ” Jika kau tetap terpaku pada bentuk-bentuk,” kata Rumi,
 ” kau adalah pemuja berhala. 
   Lampaui bentuk dan lihatlah makna!”



PENGADUAN HATI.

Hanya Allah-lah tempat mengadu dan 
hanya Allah-lah yang tahu apa yang terjadi pada diri kita. 
Tidak ada derita yang menghentikan jalan hidup, 
tidak ada kesedihan yang menghilangkan harapan, dan 
tidak ada masalah seberat apa pun yang membuat kita 
menghentikan senyum, tawa, dan syukur 
selama kita melihat-nya sebagai tanda cinta Allah kepada kita. 

Namun,
 seperti Adam, kita tidak bisa hidup tanpa kehadiran manusia lain, 
sebagaimana kita tidak bisa hidup tanpa kehadiran Allah dalam hati dan kehidupan kita. 

Dalam konteks inilah, 
cinta yang bersemayam dalam hati anak-anak manusia 
menjadi penghibur, penyembuh, dan pembangkit dari kejatuhan, kesedihan, dan 
duka lara kehidupan. 
Mereka percaya bahwa Allah bersama mereka dan terbuka satu sama lain 
untuk memikul masalah, merasakan derita, dan bersama-sama dalam ketabahan 
di jalan cinta.

Mencintai adalah kecerdasan, 
kasih sayang adalah kepekaan, 
ketulusan adalah kesiapan, dan 
keharuan adalah puncak dari suara hati yang mengakui kebenaran. 

Perasaan-perasaan halus semacam inilah yang membuat kita 
sanggup menangkap sisi-sisi terdalam dari hati dan kehidupan orang lain, 
dan karenanya pula kita merasa hidup bersama dan dengan orang lain, 
sehingga suatu isyarat sudah lebih dari cukup untuk menandai 
bahwa seseorang menanggung suatu beban dan 
menghendaki agar kita melakukan sesuatu untuknya. 

Dalam setiap kesedihan ada pengharapan batiniah 
bahwa sang kekasih akan hadir membawa pengertian, pemahaman, dan keajaiban. 

Ada kehendak untuk mendengarkan dengan dan 
ada kesungguhan untuk memberi nasihat dengan kesadaran: 

Atau yang seperti yang dituturkan Kahlil Gibran:
 ”Aku melihatmu, saudaraku, 
bercinta kasih bersama cinta seorang perempuan nan jelita. 
Aku melihatmu meminyaki mahkota kepalanya dengan sari cairan dari hatimu, 
mengisi telapak tangannya dengan ciuman. 
Ketika dia menatapmu, 
kasih sayang berkilauan dalam matanya, dan 
bibirnya menyimpan kemanisan keibuan”. 

Aku membatin, 
”Cinta telah menghancurkan kesunyian lelaki ini 
dan menyeka pengasingannya. 
Sekali lagi dia berhubungan dengan jiwa 
yang saling berpelukan dan universal itu, 
kepada jiwa itu yang menarik dirinya 
dengan cinta yang menceraikannya 
melalui kehampaan dan kelupaannya.”3

KEMESRAAN

Kemesraan adalah keterhubungan 
antara diri, akal, hati,dan jiwa dalam kehidupan anak manusia 
dimana di dalamnya terkandung pemahaman, kedamaian, harapan, dan keabadian. 

Kita seringkali menggambarkan kemesraan sebagai kemanjaan, sentuhan, pelukan, ciuman, atau segala aktivitas yang berbau seksual. 

Penggambaran demikian barangkali tidaklah terlalu keliru, 
namun kita semua mengetahui bahwa pelukan, ciuman, dan hubungan seksual 
bisa dilakukan tanpa cinta, ketulusan, keharuan, 
apalagi perasaan akan suatu keabadian. 

Dengan demikian, 
kita tidak bisa mengadopsi gambaran atau katakanlah definisi kemesraan 
dari kehendak di luar kesadaran akan cinta, ketulusan, dan keharuan. 

Di dalam kemesraan terkandung kemanjaan: 
kemanjaan diri karena merasa terpenuhi. 
Di dalam akal kemesraan terdapat sentuhan: 
sentuhan akal yang membuat orang merasa dipahami. 
Di dalam hati kemesraan terlahir pelukan: 
pelukan hati yang membuat seseorang merasa aman. 
Dan di dalam jiwa kemesraan muncul kemesraan jiwa: 
kemesraan jiwa yang melahirkan rasa penyatuan dan keabadian. 

Kita tidak akan mengatakan bahwa ada kemesraan dalam kehidupan, 
jika kita tidak merasa dipenuhi, dipahami, aman, menyatu, dan abadi, dan 
bahwa kita harus mengucapkan selamat tinggal kepada kemesraan 
jika kita tidak memiliki kecerdasan batiniah 
untuk memenuhi, memahami, menciptakan rasa aman, menumbuhkan perasaan bersatu, dan merawat perasaan abadi dalam diri dan kehidupan orang yang kita cintai.

Agaknya, tidak ada yang lebih diharapkan dan dicita-citakan 
dalam hubungan antarmanusia selain kemesraan. 
Ia bisa dikatakan sebagai puncak yang ingin diraih oleh cinta. 

Di sinilah kita mengetahui bahwa pada akhirnya 
bukan lagi cinta yang menjadi penentu 
bagi kemesraan, penguatan, keselarasan, dan penyatuan hubungan, 
akan tetapi keseluruhan dari kesadaran diri , akal, hati, dan jiwa. 

Cinta adalah instrumen yang berfungsi sebagai pendekat 
dari sesuatu yang hakikatnya jauh. 
Ketika yang jauh sudah mendekat, 
kita tidak hanya sekadar membutuhkan cinta, 
tapi lebih dari itu: 
kita membutuhkan kecerdasan spiritual yang berakar dari totalitas diri kita 
untuk memahami diri kita sendiri dan orang lain. 

Pengalaman memberikan satu pengetahuan pada diri kita 
dimana banyak orang menyadari bahwa mereka masih saling mencintai, 
namun pada akhirnya mereka mengakui bahwa 
diri mereka tidak lagi bisa disatukan. 

Hal ini menandakan sekaligus menjadi suatu bukti bahwa  
cinta tidak cukup diletakkan di dalam cinta. 
Mereka tidak merasakan apa yang kita sebut sebagai kemesraan.

Adalah benar bahwa hanya cinta yang bisa mendekatkan sesuatu yang jauh, 
hanya cinta yang bisa menyatukan sesuatu yang terpisah, 
hanya cinta yang mampu memahami apa yang tak terpahami, 
hanya cinta yang bisa melakukan apa yang tidak bisa dilakukan, 
hanya cinta yang bisa menyembuhkan rasa sakit, 
hanya cinta yang bisa mengangkat kejatuhan, dan 
hanya cinta yang mampu mengubah apa yang tidak bisa di rubah. 

Namun, 
cinta yang bisa melakukan semua itu 
bukan cinta yang berdiri diatas ke-aku-an cinta. Sungguh, 
cinta yang memiliki kekuatan 
hanya bisa diraih melalui totalitas kesadaran diri, akal, hati, dan jiwa, 
atau dengan kata lain, 
untuk memahami manusia kita harus menjadi manusia, dan 
untuk menjadi manusia kita harus memiliki kesanggupan 
memfungsikan diri secara total.

KEINDAHAN.

Satu dari sekian banyak bahasa yang dituturkan oleh cinta kepada kita adalah bahwa 
ia sama sekali tidak menginginkan keterpisahan, 
baik merasa terpisah dalam keadaan bersama maupun terpisah dalam kesendirian. 
Ia menginginkan penyatuan, dan bahwa penyatuan itu tidak lagi menjadi keinginan 
akan tetapi telah benar-benar menjadi suatu bagian dalam diri orang lain. 

Perasaan akan penyatuan ini, sungguh-sungguh ada, hidup, hadir, dan 
memberikan ruh di mana pun dan dalam keadaan apa pun 
kita dan orang yang kita cintai berada. 
Sehingga, 
keterpisahan dengan orang yang dicintai dirasakan sebagai 
keterpisahan dengan diri sendiri, dan dalam keadaan bersama-sama dirasakan 
sebagai keutuhan atau keberartiran kualitas hidup. 

Hal ini tidak hanya karena secara psikologis kita memang membutuhkan kedekatan 
dengan orang lain., 
akan tetapi lebih dari itu, 
orang yang dicintai sungguh-sungguh menjadi bagian eksistensial, 
dalam arti keberadaannya ikut menjadi penentu bagi perasaan akan arti dan makna 
dalam kehidupan kita.
Karena orang lain dipandang sebagai bagian dari diri sendiri, 
maka dalam banyak hal sekat-sekat pribadi menjadi runtuh, 
baik sekat fisik maupun psikologis: 
ada semacam hak orang lain dalam diri seseorang dan 
ada hak seseorang dalam diri orang lain. 

Ini adalah kehendak di dalam cinta, 
yang biasanya sangat sulit untuk ditolak, 
sehingga kemudian duduk berdekatan, berjalan bergandengan, memberikan bingkisan, mengusap kening tanpa suatu alasan yang jelas, sentuhan, balaian, pelukan, ciuman atau tarian-tarian seksual kita sebut sebagai kewajaran: 
kewajaran yang kemudian kita nilai sebagai keindahan di dalam cinta. 

Mungkin benar, 
bahwa itulah satu-satunya kenyataan dari kewajaran dan keindahan di dalam cinta. 
Namun, 
keindahan pada hakikatnya adalah rahasia batiniah di luar rencana dan kehendak kita. 
Ia sungguh-sungguh hadir dengan tiba-tiba dan masuk dalam relung kesadaran kita, menimbulkan ketakjuban, kedamaian, dan kebahagiaan yang mendalam. 

Meski menakjubkan, 
apa yang kita sebut keindahan lahir dari rahim-rahim kesederhanaan 
yang tanpa kita rencanakan, dan karenanya ia teramat mahal untuk dialami. 
Ia tak terbeli oleh kehendak di dalam cinta, suasana yang coba diciptakan, atau menghabiskan malam. 
Segala sesuatu yang kita ciptakan tidak akan pernah menciptakan keindahan, 
dan apa yang kita sebut sebagai keindahan di dalam cinta 
seringkali hanyalah sebatas perasaan senang kita terhadap suatu keadaan. 

Keindahan akan kita tangkap ketika kita mampu 
membersihkan kaki, mata, tangan, pendengaran, dan hati kita 
demi kebersihan itu sendiri dalam suatu aktivitas cinta. 
Atau dengan kata lain 
keindahan tidak bisa dipisahkan dari kebaikan dan kebenaran.

BERDUA MENJEMPUT HARAPAN.

Apakah yang diharapkan di dalam cinta ?
Kebebasan, kesenangan batin sesaat, kenikmatan fisik yang tiada akhir, 
mendapatkan sesuatu lebih banyak dari orang lain, atau 
hanya sekadar mengikuti keserakahan? 

Kalau demikian akan menempatkan diri di dalam cinta, 
maka kita telah membuang-buang waktu untuk sesuatu yang sama sekali tidak penting, meskipun kita menganggapnya demikian. 

Membangun hubungan cinta bukanlah memandang satu sama lain sebagai objek, 
akan tetapi membangun, menciptakan, dan melahirkan harapan-harapan batiniah 
yang realistis untuk dijadikan objek bersama, 
ia bisa berujud penyelesaian tugas-tugas kehidupan, atau 
beragam aktivitas yang mendorong terbangkitnya 
kecerdasan akal, hati, dan seni kehidupan. 

Sehingga kebersamaan di dalam cinta benar-benar dirasakan 
sebagai keindahan, manfaat, kebaikan, dan kebenaran oleh satu sama lain. 
Kalau cinta bisa mendekatkan sesuatu yang jauh, 
bisa memahami apa yang tak terpahami, 
sanggup melakukan apa yang tidak bisa dilakukan, 
mampu menyembuhkan dari rasa sakit, 
mengangkat dari kejatuhan, dan 
mampu mengubah apa yang tidak bisa di rubah , 
maka dalam aktivitas yang konkret, indah, bermanfaat, baik, dan benar itulah 
cinta yang menemukan kehidupan dan bentuknya. 

Kita sungguh-sungguh menyaksikan 
suatu proses kemuliaan tujuan dan keabadian di penghujung jauh, 
dan bukan khayalan, kesenangan, keserakahan, dan keindahan kosong 
yang coba kita ciptakan.

Sungguh, kita tidak memiliki cukup alasan untuk mengatakan bahwa 
apa yang dilakukan oleh seorang sebagai kebersamaan cinta dan 
tindakan-tindakan mencintai, 
sementara di saat yang sama kita melihat mereka sibuk 
dengan pikiran, perasaan, dan egoisme diri mereka sendiri. 

Mereka bertindak kekanak-kanakan di saat mereka dewasa. 
Bagaimana tidak, 
bertahun-tahun mereka bergumul dengan cinta, 
namun tidak kunjung sanggup memahami bahwa 
mereka hidup bukan hanya untuk diri mereka sendiri, 
akan tetapi yang lebih penting adalah untuk sesama manusia, 
bahwa mereka hidup bukan hanya untuk memetik, 
akan tetapi yang lebih penting adalah untuk menanam, dan 
bahwa hidup bukan hanya untuk mengadakan penyatuan dalam kesenangan, 
akan tetapi yang lebih penting dari itu adalah melahirkan 
apa yang mungkin dan bisa dilahirkan dari penyatuan tersebut.

Akhirnya, 
sekiranya Allah menghendaki, 
kita akan menemukan dunia kebebasan diri, akal, hati, dan jiwa: 
yakni pernikahan. 
Bukan keindahan, bukan sajak, dan bukan pula akhir dari kehendak untuk mencintai. 

Pernikahan adalah kesadaran spiritual 
untuk membangun kebersamaan hidup sampai di penghujung jauh kehidupan. 
Di sana, ada rumah dan tempat tinggal cahaya, ada tangis dan tawa anak-anak, 
ada kesusahan hidup, pendidikan hati, dan kebergunaan kita 
di tengah-tengah masyarakat dan kebudayaan. 

Dalam realitas itu, 
pantaslah kita bertanya pada diri kita sendiri dan orang yang kita cintai, 
sanggupkah kita mempertahankan keindahan cinta hingga titik-titik akhir kehidupan? 

Masih bisakah kita tersenyum pada kekasih kita dalam suatu derita hidup 
yang kita sadar benar bukanlah jalan lurus tanpa rintangan? 

Pada tempat-tempat inilah, 
cinta akan menemukan bentuknya yang paling nyata. 
Dan kata terakhir dari saya, 
semoga perjalanan kita 
dari ruang eksistensi, fitrah, religiua, dimensi-dimensi kejiwaan, kesadaran, 
nilai spiritualitas sampai pertemuan-pertemuan cinta ini adalah 
wujud dari cinta kita kepada Allah, 
kesadaran kita pada diri sendiri, 
pemahaman cinta yang mendalam terhadap orang yang kita cintai, dan 
usaha pemaknaan terhadap totalitas kehidupan umat manusia. 

Sehingga 
kita akan lebih bisa menyakinkan diri kita sendiri, 
bahwa cinta kita kepada seseorang atau apa pun, 
bukanlah merupakan kekeliruan dan 
bentuk ketidakpahaman dan 
ketidaksadaran kita terhadap diri kita sendiri, 
manusia lain, dan 
terlebih lagi ketidaksadaran akan Allah.


CATATAN
1 .Juwandi Ahmad, dalam Sajakkan Aku Syahadat Cinta di Bawah Matamu.
2 . Dalam William C. Chittick, Jalan Cinta Sang Sufi: 
     Ajaran-ajaran Spritual Jalaluddin Rumi, Yogyakarta: Qalam, 2001.
3 . Kahlil Ghibran, Bagi Sahabatku Yang Tertindas, Yogyakarta: Bentang, 2001.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar