Pertanyaan paling menggoda bagi seluruh ummat manusia adalah
apakah Allah bisa di lihat di dunia?
Atau adakah kemungkinan Allah bisa dilihat di dunia?.
Seperti yang pernah saya tulis 7 tahun lalu
dalam tulisan Seputaran Masalah Melihat Allah bahwa
dalam hal melihat Allah ada 3 pendapat yaitu :
Allah bisa di lihat di dunia dan akhirat,
Allah Tidak bisa di dunia tapi bisa disaksikan di akhirat dan
Allah Tidak bisa di lihat di dunia dan akhirat,
ke 3 pendapat itu sama-sama mempunyai mempunyai dalil yang kuat.
Kalau keyakinan bahwa Allah tidak bisa dilihat sama sekali di dunia ini
maka tidak ada pertanyaan lebih lanjut,
Allah pun akan menguatkan keyakinan tersebut.
Tapi orang yang meyakini bahwa
Allah ada kemungkinan bisa di lihat akan muncul pertanyaan berikut,
“Bagaimana cara melihat Allah?”
atau “Apa rukun dan syarat yang harus dipenuhi agar saya bisa melihat Allah?”
atau “Kemana saya berguru agar saya bisa menyaksikan wajah Allah yang Maha Agung?”.
Berikut ada sebuah pendapat yang perlu kita telaah bersama,
pendapat yang memberikan keyakinan akan Melihat Allah di dunia dan
alasan kenapa manusia pada umumnya tidak bisa melihat Allah:
Prof. Dr. Muhammad Tahir al-Qadri,
ulama Pakistan pendiri Idarah Minhajul Qur’an di Lahore,
memiliki kiat untuk bisa “melihat” Allah di dunia.
Ia menguraikan makna ihsan secara berbeda
dalam bukunya Islamic Philosophy of Human Life.
Ketika malaikat Jibril bertanya tentang Iman dan Islam kepada Rasulullah saw.
lalu dijelaskan oleh beliau,
Jibril berkata, “Kamu benar.”
Lalu Jibril bertanya lagi, “Apakah ihsan itu?”
Rasul menjawab, “Ihsan adalah kamu beribadah kepada Allah
seolah-olah kamu melihat Dia,
maka bila kamu tidak bisa melihat-Nya,
sesungguhnya Dia melihat kamu.”
Jadi, ihsan adalah beribadah dengan merefleksikan sifat Allah,
al Bashir, Yang Maha Melihat.
Tetapi bagaimana kita bisa beribadah seolah-olah melihat Dia?
Menurut Prof. Tahir al-Qadri,
kalimat hadis tadi harusnya dipenggal secara berbeda,
bukannya fa in lam takun tarohu,
tetapi fa in lam takun, tarohu.
Terjemahnya ialah,
“Maka bila kamu tidak ada, kamu akan melihat Dia”.
Allahu Akbar.
Rupanya penghalang untuk bisa melihat Dia adalah sikap mendewakan diri.
Ketika seseorang masih mempertahankan keberadaannya,
masih mementingkan eksistensinya,
masih mendahulukan kepentingannya, ia tidak akan bisa “melihat” Allah.
Ia tidak akan bisa menghayati kebesaran-Nya.
Ia tidak akan bisa mengerti keadilan-Nya.
Ia tidak akan bisa menyaksikan keindahan-Nya.
Ia tidak akan bisa merasakan kehangatan kasih sayang-Nya.
Maka untuk bisa khusyu’ seolah-olah melihat Dia,
kita harus meleburkan diri,
menghancurkan diri,
bagaikan gunung yang sirna mencair oleh tajalli, cahaya Allah.
Semakin larut kita menghampakan diri dalam fana,
semakin jelas wajah Allah bagi mata hati kita.
Ihsan adalah Zero Mind Process.
Lenyapkan dirimu, kamu akan “melihat” Allah.
Wallahu A’lam. (Percikan Iman)
Pendapat Prof. Dr. Muhammad Tahir al-Qadri ada benarnya,
karena alasan utama Musa AS terhalang melihat Allah adalah karena keakuannya,
lihatlah cara Musa meminta,
“Ya Rabbku, nampakkanlah (diri Engkau) kepadaku,
agar aku dapat melihat kepada Engkau”.
Rabb berfirman:
”Kamu sekali-kali tak sanggup untuk melihat-Ku,
tapi lihatlah ke bukit itu,
maka jika ia tetap ditempatnya (sebagai sediakala)
niscaya kamu dapat melihat-Ku”.
Tatkala Rabbnya menampakkan diri kepada gunung itu,
dijadikannya gunung itu hancur luluh dan
Musapun jatuh pingsan.
Maka setelah Musa sadar kembali, dia berkata:
”Maha Suci Engkau,
aku bertaubat kepada Engkau dan
aku orang pertama-tama beriman”.
[Al A’raf :143]
Kebanyakan orang yang meyakini bahwa Allah tidak bisa dilihat di dunia
mengambil ayat di atas dengan cara memotong
“Kamu sekali-kali tak sanggup untuk melihat-Ku”,
kemudian menguraikan panjang lebar,
bahwa sekelas Nabi Musa saja tidak sanggup melihat Allah konon lagi kita,
padahal kalau Ayat tersebut di pahami secara utuh
disana sangat jelas bahwa Nabi Musa dapat melihat Allah,
sehingga spontan Beliau berkata, :
”Maha Suci Engkau,
aku bertaubat kepada Engkau dan aku orang pertama-tama beriman”.
Allah tidak memiliki penghalang sedikitpun,
penghalang (hijab) itu ada pada diri manusia,
ketika penghalang itu terangkat
maka manusia akan bisa menyaksikan wajah-Nya,
wajah yang wajib di ingat dalam shalat dan ibadah lain.
Ketika penghalang tersebut terangkat barulah manusia benar bersyahadat,
menyaksikan keagungan Allah tanpa ada keraguan di hati.
Penghalang itu hanya bisa terangkat dengan cara Dzikrullah (mengingat Allah)
dengan metode yang telah diajarkan Rasulullah SAW.
sMoga Bermanfaat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar