Senin, 16 November 2015

IQBAL.

PERANAN INTELEK DAN INTUISI.

Kepada angkatannya yang dirasuk kekuasaan yang bertuhan itu,
Iqbal ingin menyadarkan akan perlunya menempatkan intelek
di bawah Cinta .
Dengan demikian diharapkan mendapatkan jaminan bahwa kekuasaan
yang dibawakan ilmu pengetahuan itu berada dalam jangkauan manusia
yang kemudian benar-benar memanfaatkannya dalam rangka 
meningkatkan martabat umat manusia.

Seperti halnya Goethe , Iqbal menganggap Syeitan sebagai 
penjelmaan intelek yang memang mempunyai nilai yang tinggi,
namun bila tidak dipimpin oleh Cinta , ia dapat berubah menjadi
alat penghancur yang dahsyat.

Kepada intelek dalam kedudukannya seperti itu , Iqbal memberikan 
tempatnya yang wajar di lubuk hati.
Namun ia menyadari benar bahwa bila kekuatan tidak dikaitkan 
pada kekuatan Adam (insani) , maka kemanusiaan tidak akan dapat
mencapai penegmbangannya yang penuh.
Idee ini dilukiskannya dengan jelas dan hidup dalam sajaknya
"Tashkir-i-Fitrat" (Menundukkan Alam") dalam karyanya 
Payam-i-Masyriq serta "Mukalimat-i- Jibril O-Iblis" dalam karyanya
Bal-i-Jibril.

Demikian pula pandangan Iqbal tersebut dapat dibaca dalam kumpulan
ceramahnya, Lecture on the Reconstruction of Religious Thought in Islam.
Iqbal berkata :

"Manusia modern, 
  dengan alam fikirannya yang serba kritis serta 
  pengkotak-kotakan spesialisasinya atas dasar ilmu pengetahuan,
  menemukan dirinya dalam kedudukan dan posisi yang aneh.
  Naturalisme telah memberikan kepadanya kemampuan untuk 
  mengadakan kontrol terhadap kekuatan alam , namun sekaligus
  telah merampas dari padanya kepercayaan pada masa depannya 
  sendiri.....karena terus dibayangi oleh berbagai hasil kegiatan
  inteleknya. ia tidak lagi hidup dalam kesadaran batinnya.
 Dalam alam fikirannya , 
 manusia terperangkap dalam konflik terbuka dengan dirinya sendiri , 
 sedang dalam dunia ekonomi dan politiknya ia dibayangi konflik 
 dengan sesama manusia .
 Ia tidak lagi mampu mengontrol enersinya yang hebat, 
 tidak pula mampu menegndalikan keserakahannya 
 akan harta kekayaan;
 setapak demi setapak situasi ini telah mematikan citranya 
 yang lebih tinggi yang semula  bergelora dalam dirinya; 
 akibat ini semua ialah ia dihinggapi kejemuan hidup".

K.G. Saiyidain.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar