Kami katakan tentang Tauhidullah bahwa Allah itu Esa lagi tidak ada sekutu bagiNya,
baik dalam RububiyyahNya maupun dalam UluhiyyahNya
ataupun dalam Asma dan SifatNya.
Maka tidak ada Pencipta selainNya,
tidak ada Rabb selain Dia dan tidak ada Pemberi rizki yang Memiliki dan Mengatur
semua wujud ini kecuali Dia, dan
kami mentauhidkan Allah dalam semua perbuatanNya Subhanahu,
sebagaimana kami mentauhidkanNya dengan semua perbuatan kami.
Kami bersaksi sebagaimana Allah bersaksi bagi DiriNya sendiri
dan juga malaikat-malaikat dan para ulama,
Dia-lah yang menegakan keadilan,
tidak ada ilah yang berhak diibadati kecuali Dia Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana seraya kami menetapkan apa yang ditetapkan oleh kalimat yang agung ini
berupa pemurnian seluruh ibadah kepada Allah saja,
konsekwensi-konsekwensinya,
kewajiban-kewajibannya dan hak-haknya,
juga kami menafikan (meniadakan) apa yang dinafikan oleh kalimat ini
berupa berbagai macam kemusyrikan dan tandingan serta hal-hal yang menyertainya.
Dan kami beriman,
bahwa tujuan yang karenanya Allah ta’ala menciptakan semua makhluk adalah
ibadah kepadaNya saja, sebagaimana firman Allah:
“Tidaklah Aku menciptakan jin dan manusia melainkan untuk beribadah kepadaKu”
(Adz Dzariyat : 65)
Kami menyeru kepada Tauhidullah subahanahu
dalam seluruh macam-macam ibadah
berupa sujud atau ruku’ atau nazar atau thawaf atau haji atau sembelihan atau hukum
dan yang lainnya.
“Katakanlah:
“Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah,
semesta alam.
Tidak ada sekutu bagiNya; dan demikian itulah yang diperintahkan kepadaku dan
aku adalah orang yang pertama-tama menyerahkan diri (kepada Allah)”
(Al An’am: 162-163)]
Perintah Allah Subhanahu Wa Ta’ala adalah mencakup perintah kauni(ketentuan alam) dan syar’iy (ketentuan syari’at), dan sebagaimana hanya milik Dia Subhanahu hukum kauni qadariy (ketentuan alam yang bersifat taqdir), dimana Dia-lah yang mengatur alam ini
lagi menentukan di dalamnya dengan ketentuan yang Dia inginkan dan
sesuai apa yang dituntut oleh hikmahNya,
maka begitu juga kami mentauhidkan Allah Subhanahu Wa Ta’ala dalam hukumNya
yang bersifat syar’iy sehingga tidak menyekutukan seorangpun dalam hukumNya
dan kami tidak menyekutukan seorangpun dalam ibadahNya:
“Ingatlah, menciptakan dan memerintah-kan hanyalah hak Allah.
Maha Suci Allah Tuhan Semesta Alam” (Al A’raf: 54)]
Halal adalah apa yang Dia halalkan dan haram adalah apa yang Dia haramkan.
[“Keputusan itu hanyakah keputusan Allah,
Dia memerintahkan agar kamu tidak menyembah selain Dia” (Yusuf: 40)],
Maka tidak ada yang berhak membuat hukum kecuali Dia Subhanahu Wa Ta’ala,
dan kami berlepas diri dan menanggalkan diri serta kafir (ingkar)
terhadap setiap musyarri’ (pembuat hukum) selainNya,
maka kami tidak mencari tuhan pengatur selain Allah,
dan kami tidak menjadikan selain AllahSubhananhu sebagai sembahan,
dan kami tidak mencari aturan selain Islam,
karena sesungguhnya orang yang menjadikan penentu hukum dan pembuat hukum
selain Allah Subhanahu Wa Ta’ala dimana orang tersebut mengikutinya
dan bersepakat bersama-nya terhadap undang-undang yang menyelisihi aturan Allah
maka dia itu telah menjadikan tuhan pengatur selain Allah
dan telah mencari aturan selain Islam. Allah Subhanahu Wa Ta’alaberfirman:
“Sesungguhnya syaitan itu membisikan kepada kawan-kawannya
agar mereka membantah kamu;
dan jika kamu menuruti mereka,
sesungguhnya kamu tentulah menjadi orang-orang musyrik” (Al An’am; 121)
Dan firmanNya:
“Mereka menjadikan orang-orang alimnya dan rahib-rahib mereka
sebagai tuhan selain Allah” (At Taubah: 31)
Sebagaimana kami mentauhidkan Allah Subhanahu Wa Ta’ala dalam Asma dan SifatNya, maka tidak ada orang yang menyerupaiNya dan tidak pula yang serupa denganNya dan tidak pula yang sepertiNya dan tidak pula tandingan dan yang sepadan denganNya.
[”Katakanlah: “Dialah Allah Yang Maha Esa.
Allah adalah Tuhan yang bergantung kepadaNya segala sesuatu.
Dia tiada beranak dan tiada pula diperanakan,
dan tidak ada seorangpun yang setara dengan Dia” (Al Ikhlas: 1-4)]
Allah Subhanahu Wa Ta’ala menyendiri
dengan sifat-sifat keagungan dan kesempurnaan yang Dia tetapkan bagi DiriNya
dalam kitabNya atau yang disebutkan oleh NabiNya dalam sunnahnya,
sehingga kita tidak mensifati satupun dari makhlukNya dengan sifat-sifatNya,
dan kami tidak tidak membuatkan nama bagiNya dari nama-namaNya,
dan kami tidak membuatkan bagiNya perumpamaan-perumpamaan atau menyerupakanNya dengan salah satu dari makhlukNya,
serta kami tidak melakukan penyimpangan dalam nama-nama dan sifat-sifat Rabb kami.
Akan tetapi kami beriman terhadap semua sifat Allah yang Dia tetapkan bagi DiriNya dan terhadap sifat-sifat Allah yang diutarakan oleh RasulNyaShalallahu ‘alaihi wasallam
sesuai hakikat yang sebenarnya,
bukan majaz(kiasan),
tanpa tahrif (memalingkan maknanya),
tanpa takyif (mereka-reka), dan
tanpa tamtsil (penyerupan).
[“Dan bagiNyalah sifat-sifat yang Maha Tinggi di langit dan di bumi;
dan Dia-lah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana” (Ar Rum: 27)],
Maka kami tidak meniadakan darinya sedikitpun dari sifat-sifat yang telah Dia tetapkan bagiNya Subahanahu, dan kami tidak memalingkan kalimat-kalimat
dari tempat-tempatnya, dan kami tidak masuk di dalamnya seraya melakukan takwil dengan pikiran-pikiran kami, atau melakukan dugaan-dugaan dengan dudaan-dugaan kami dengan dalih tanzih (mensucikan Alah),
maka tidak selamat dalam agamanya kecuali orang yang menerima putusan
Allah ‘Azza Wa Jalla dan RasulNya Shalallahu ‘alaihi wasallam,
serta mengembalikan ilmu yang samar atas dia kepada yang mengetahuinya,
dan tidak kokoh pijakan Islam bagi seseorang kecuali di atas panggung penerimaan dan penyerahan diri, barangsiapa menginginkan pengetahuan apa yang dia dilarang darinya dan dia tidak puas pemahamannya dengan penerimaan penuh,
maka keinginannya itu menghalangi dia dari kebenaran iman dan kemurnian Tauhid.
Kami beriman bahwa Allah telah menurunkan kitabNya dengan bahasa Arab yang jelas, maka kami tidak menyerahkan ilmu tentang makna-makna sifat (kepada Allah),
akan tetapi yang kami serahkan kepadaNya adalah ilmu tentang kaifiyat
(bentuk sebenarnya) sifat-sifatNya dan kami mengatakan
[“Kami beriman kepadaNya, semuanya itu dari sisi Tuhan kami” (Ali Imran: 7)].
Kami berlepas diri kepada Allah dari ta’thil kaum Jahmiyyah dan tamtsilkaum Musyabbihah,
maka kami tidak cenderung kepada yang ini dan yang itu,
akan tetapi kami bersikap pertengahan dan lurus
sebagaimana yang diinginkan Rabb kami antara penafian dan penetapan.
Dia ta’ala berfirman:
“Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia dan
Dia-lah Yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat”
(Asy Syura: 11).
Barangsiapa tidak menghindari ta’thil dan tasybih
maka dia tergelincir dan tidak tepat pada tanzih.
Kami dalam bab ini ~sebagaimana dalam bab-bab yang lain~ adalah di atas
apa yang diyakini salafush shalih Ahlus Sunnah Wal Jama’ah,
dan di antara hal itu adalah apa yang di kabarkan dalam kitabNya
dan telah mutawatir dari Rasul-Nya Shalallahu ‘alaihi wasallam bahwa
Dia Subhanahu Wa Ta’ala di atas langit-langit-Nya bersemayam di atas Arasy-Nya sebagaimana dalam firmanNya:
“Apakah kamu merasa aman terhadap Allah yang di langit bahwa
Dia akan menjungkir balikan bumi bersama-sama,
sehingga dengan tiba-tiba bumi itu tergoncang?” (Al Mulk: 16)
Dan sebagaimana hadits budak wanita yang ditanya Nabi Shalallahu ‘alaihi wasallam: ”Dimana Allah?”,
dia menjawab:
“Di atas”,
Rasul berkata:
“Saya siapa?”,
dia menjawab:
“Engkau rasulullah”,
beliau berkata:
“Merdekakanlah dia karena dia itu wanita beriman” [2]
Dan ini adalah kebenaran yang tidak ada keraguan di dalamnya bagi kami.
Akan tetapi kita menjagaNya sebagaimana As Salaf Ash Shalih telah menjagaNya
dari dugaan-dugaan yang dusta seperti diduga bahwa langit itu menaungiNya
atau menjadi pijakanNya,
maka ini adalah bathil yang memaksa kami menyebutkannya dan menafikannya dan mensucikan Allah darinya ~walaupun generasi Salaf tidak secara jelas menyinggungnya~ adalah sikap gaduh para ahli bid’ah dan ilzam-ilzam (pengharusan-pengharusan) mereka yang bathil terhadap Ahlus Sunah.
Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:
“Kursi Allah meliputi langit dan bumi” (Al Baqarah: 255)
Dan:
“Menahan langit dan bumi supaya jangan lenyap” (Fathir: 41)
Dan:
“Dan Dia menahan (benda-benda) langit jatuh ke bumi kecuali dengan izinNya” (Al Hajj: 65)
“Dan di antara tanda-tanda kekuasaanNya ialah berdirinya langit dan bumi dengan
iradat-Nya” (Ar Rum: 25)
Dan kami beriman bahwa Dia Subhanahu istiwa (bersemayam) di atas Arasy-Nya sebagaimana firman-Nya ta’ala:
“Tuhan Yang Maha Pemurah yang bersemayam di atas Arasy” (Thaha: 5)
Dan kami tidak mentakwil istiwa dengan istiila-istiila (menguasai),
akan tetapi istiwa itu sesuai dengan maknanya dalam bahasa Arab yang mana Al Qur’an Allah turunkan dengan bahasa itu,
dan kami tidak menyerupakan istiwaNya dengan istiwa sesuatupun dari makhlukNya,
akan tetapi kami mengatakan seperti apa yang dikatakan Imam Malik :
“Istiwa itu sudah di ketahui, iman terhadapnya adalah wajib dan kaifiyyahnya adalah
tidak diketahui, sedangkan bertanya tentangnya adalah bid’ah”
Dan terhadap ini kami memahami sifat-sifat dan perbuatan-perbuatan Allah Subhanahu Wa Ta’ala yang lainnya seperti turun, datang, dan hal-hal lainnya yang telah Allah kabarkan dalam kitabNya atau telah ada dalam Sunnah yang shahih.
Dan kami beriman bahwa Allah Subhanahu Wa Ta’ala walaupun Dia istiwa
di atas Arasy-Nya lagi tinggi di atas langit-lanngit-Nya,
bahwa Dia dekat dari hamba-hamba-Nya sebagaimana firman-Nya:
“Dan apabila hamba-hambaKu bertanya kepadamu tentang Aku,
maka (jawablah) bahwasannya Aku adalah dekat” (Al Baqarah: 186)
Dan sebagaimana dalam hadits Muttafaq ‘alaih:
“Hai manusia kasihanilah diri kalian karena sesungguhnya kalian tidaklah menyeru Dzat yang tuli dan jauh,
namun kalian ini menyeru Dzat Yang Maha Mendengar, Maha Melihat lagi Dekat, sesungguhnya Dzat yang kalian seru itu adalah
lebih dekat kepada seorang di antara kalian daripada leher hewan tunggangannya”
Allah Subhanahu Wa Ta’ala bersama hamba-hamba-Nya dimana saja mereka berada.
Dan Allah mengetahui apa yang mereka kerjakan sebagaiman firman-Nya ta’ala:
“Dan Dia bersama kamu dimana saja kamu berada,
dan Allah Maha melihat apa yang kamu kerjakan” (Al Hadid: 4)
Dan kami tidak memahami dari firman-Nya
“Dan Dia bersama kamu” apa yang di pahami oleh orang-orang zindiq
bahwa Allah itu berbaur dengan hamba-hamba-Nya
atau menempati pada sebagian mereka atau menyatu dengan mereka,
dan keyakinan-keyakinan kafir dan sesat lainnya,
akan tetapi kami berlepas diri di hadapan Allah dari itu semuanya.
Dan Allah Subhanahu Wa Ta’ala memiliki bersama hamba-hamba-Nya yang mukmin memiliki kebersamaan yang lain yang khusus selain kebersamaan yang umum, yaitu kebersamaan pertolongan dan bimbingan serta pelurusan sebagaimana dalam firman-Nya:
“Sesungguhnya Allah bersama orang-orang yang bertaqwa
dan orang-orang yang berbuat kabaikan” (An Nahl: 128).
Allah Subhanahu Wa Ta’ala walaupun Dia bersemayam di atas Arasy-Nya dan Tinggi
di atas langit-langit-Nya namun Dia bersama hamba-hambaNya di mana saja mereka berada seraya mengetahui apa yang mereka lakukan, dan Dia Subhanahu Wa Ta’ala dekat dari orang yang menyeru-Nya, dan Dia bersama hamba-hambaNya yang beriman;
menjaga mereka, menolong mereka, dan memelihara mereka,
maka kedekatan dan kebersamaan Allah tidak menafikan Tingginya Dia,
karena tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia dalam sifat-sifatNya,
dan Dia itu Tinggi pada kedekatan-Nya lagi dekat pada Ketinggian-Nya.
Dan di antara buah-buah tauhid yang agung yang merupakan hak Allah atas hamba-hamba-Nya ini adalah
keberhasilan orang yang bertauhid dengan surga Tuhannya
dan keselamatan dari api neraka sebagaimana dalam hadits Mu’adz Ibnu Jabbal,
dan di antaranya juga pengagungan Allah dan pemuliaan-Nya dengan mengenal sifat-sifat kesempurnaan dan keagungan-Nya, mensucikan-Nya dan membersihkan-Nya dari yang menyerupai atau menyamai,
dan mengetahui kebodohan orang-orang yang menjadikan tuhan-tuhan selain-Nya yang mereka sekutukan bersama-Nya dalam ibadah atau hukum-hukum dan aturan,
serta kehinaan dan kenistaan orang yang menjadikan dirinya sebagai sekutu dalam sesuatu dari hal itu, padahal mereka itu tidak ikut dalam penciptaan dan tidak memiliki sedikitpun bagian dalam kekuasaan atau pemberian rizki atau pengaturan.
Dan di antara buah tauhid ini juga keberlepasan hati dan jiwa dari perbudakan terhadap makhluk dan keteguhan si hamba dalam kehidupan dunia dan akhirat karena orang yang menyembah sekutu-sekutu yang berselisih dimana dia menyeru mereka dan terpecah-pecah rasa takut dan pengharapannya di antara mereka tidaklah seperti orang yang mentauhidkan Tuhannya Subhanahu Wa Ta’ala dan yang memurnikan bagi-Nya rasa takut, pengharapan, tujuan, keinginan dan ibadah.
Ya Allah, wahai pelindung Islam dan para pemeluknya,
teguhkanlah kami di atas tauhidMu sampai hari berjumpa denganMu…
* * *
Tidak ada komentar:
Posting Komentar