Sabtu, 07 November 2015

WUSHUL (SAMPAI) KEPADA ALLAH

Bismillahirrahmanirrahim.

Dengan menyebut nama Allah yang memiliki segala keagungan 
Yang Tiada serupa dengan apapun ciptaanNya 
Dengan menyebut Nama Allah 
tempat hamba bergantung dan memohon Rahmat dan pertolongan.

WUSHUL (SAMPAI) KEPADA ALLAH.

“Wushul (sampai) kepada Allah adalah 
 sampaimu kepada pengetahuan tentang-Nya, 
 karena mustahil Allah disentuh atau menyentuh sesuatu.”

—Syekh Ibnu Atha’illah dalam kitab Al-Hikam.

Syekh Abdullah Asy-Syarqawi menjelaskan bahwa
 sampainya kita kepada Allah, 
seperti diisyaratkan oleh ahli tarekat, 
adalah sampainya kita kepada 
penyaksian-Nya dengan mata batin kita. 

Inilah yang disebut dengan penyaksian langsung atau ‘ilmul-yaqiin 
terhadap tajalli (penampakan) Allah dan limpahan kasih sayang-Nya.

Penyaksian ini juga disebut sebagai perkenalan langsung 
dengan mata batin dan perasaan fitrah. 

Para ahli syuhud berbeda-beda dalam mendapatkannya. 

Ada yang mendapatkan tajalli perbuatan Allah. 
Disini, 
perbuatan mereka dan perbuatan selain mereka sirna melebur 
dalam perbuatan Allah. 
Mereka tidak melihat sosok pelaku sebuah perbuatan, kecuali Allah. 
Pada kondisi ini, 
mereka akan keluar dari ikhtiar dan usaha. 
Ini adalah tingkatan pertama sampainya seseorang kepada Allah (wushul).

Ada pula yang mendapatkan tajalli sifat-sifat Allah. 
Disini mereka akan berdiri penuh pengagungan dan kerinduan 
terhadap apa yang dilihat oleh mata batin mereka, 
berupa keagungan dan keindahan Allah. 
Ini adalah tingkatan kedua sampainya seseorang kepada Allah.

Di antara mereka ada yang sampai kepada maqam kefanaan. 
Batinnya berisi cahaya keyakinan dan musyahadah. 

Ketika syuhud, ia tidak lagi merasakan wujud dirinya. 
Ini adalah tajalli dzat yang berlaku 
pada kaum khusus dan orang-orang muqarrabin. 
Ini adalah tingkatan ketiga dalam wushul.

Di atasnya lagi ada tingkatan haqqul yaqiin. 
Di dunia, 
tingkatan ini terjadi dalam bentuk lamh (pandangan sekilas), 
yaitu mengalirnya cahaya musyahadah di sekujur tubuh seorang hamba 
sampai ruhnya pun turut mendapatkannya, 
demikian pula kalbu dan jiwa-nya. 
Ini adalah tingkatan tertinggi wushul.

Dalam kitab ‘Awarif al-Ma’arif disebutkan,

 “Jika segala hakikat telah diraih, 
   seorang hamba dengan ahwalnya yang mulia ini 
   akan mengetahui bahwa 
   dirinya masih berada di tingkat pertama. 
   Lalu, 
   bagaimana dengan wushul haqiqi (wushul secara fisik)? 
   Mustahil, 
   karena jalan wushul tidak akan pernah terputus selamanya, 
   sepanjang usia akhirat yang abadi. 
   Lantas, 
   bagaimana mungkin wushul haqiqi itu terjadi 
   di umur dunia yang pendek ini?
   Jadi, 
   yang dimaksud dengan wushul adalah 
   sampainya kita kepada pengetahuan tentang Allah     
   dengan media perasaan dan fitrah. 
   Jika pengertiannya tidak demikian, 
   berarti wushul kita tidak benar, 
   karena Allah tidak mungkin menyentuh atau disentuh sesuatu 
   secara lahir dan batin. 

Bagaimana mungkin Dzat yang tidak ada bandingnya 
akan bersentuhan dengan sesuatu yang memiliki bandingan. 
Padahal, 
syarat terjadinya persentuhan adalah 
adanya kesamaan sifat di antara keduanya. 
Sedangkan, 
secara mutlak tak ada kesamaan antara Dzat Yang Maha Sempurna 
dengan sesuatu yang tidak sempurna atau kurang sempurna.

Syekh Ibnu Atha’illah dalam kitab Al-Hikam juga mengatakan: 
“Kedekatanmu dengan-Nya adalah ketika engkau menyaksikan-Nya mendekatimu, 
  karena bagaimana mungkin engkau bisa mendekati-Nya?”

Menurut Syekh Syarqawi, 
kedekatan kita kepada-Nya adalah 
ketika kita menyaksikan-Nya secara maknawi 
sehingga engkau merasa sangat diawasi oleh-Nya. 
Buahnya adalah, 
engkau akan terdorong untuk selalu bersikap sopan 
saat ada di hadirat-Nya. 
Jadi, 
hal yang penting di sini adalah 
bagaimana engkau menyaksikan kedekatan-Nya. 
Dengan penyaksian ini, 
kau merasa diawasi dan dikuasai oleh rasa takut 
yang akan mendorongmu untuk bersikap sopan 
saat bertamu kepada-Nya. 

Inilah pengertian kedekatan seorang hamba dengan Allah; 
dan tidak mungkin makhluk dapat mendekati-Nya secara nyata.”

--Syekh Ibnu Atha’illah dalam kitab Al-Hikam, 
  dengan syarah oleh Syekh Abdullah Asy-Syarqawi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar